Data Tempat Tinggal dan Bangunan

Keempat belas, Gito merupakan warga pendatang asal Pemalang, Jawa Tengah. Alasannya pindah karena menganggap di daerah Setu Babakan aman dari penggusuran. Lamanya tinggal di Setu Babakan adalah 22 tahun. Kontrakannya yang berada dekat dengan panggung utama sehingga mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa gigi balang dan langkan. Namun lankannya sudah terlihat keropos pada bagian kayu. Kelima belas, Ana merupakan warga pendatang asal Lampung. Lamanya tinggal di Setu Babakan adalah 14 tahun. Alasan pidah ke Setu Babakan karena ikut suami. Rumah mengontrak dan sudah bercirikan Betawi karena sudah ada gigi balang dan langkan. Namun langkan rusak dan ditutup menggunakan banner agar tidak tampias dan teras becek. Keenam belas, Yati merupakan warga asal Kuningan, Jawa Barat. Lamanya tinggal di Setu Babakan adalah 15 tahun. Alasannya pindah karena ikut suami yang bekerja di daerah Cilandak. Rumahnya mengontrak dan sudah bercirikan rumah tradisional Betawi, cat berwarna hijau, jendela, pintu, ukiran besi dan gigi balang sudah menghiasai rumahnya. Namun sehari sebelum diwawancarai ornamen langkan baru aja roboh. Kedelapan belas, Zaenal merupakan warga pendatang asal Indramayu, Jawa Barat. Lama tinggal di Setu Babakan sudah tiga tahun. Alasannya pindah adalah untuk berjualan sate keliling. Rumah masing mengontrak dan belum bercirikan Betawi karena letaknya jauh dari jalan. Kesembilan belas, Desi merupakan warga pendatang asal Ciamis, Jawa Barat. Lama tinggal di Setu Babakan baru enam bulan. Alasan pindah karena mencari kontrakan yang agak luas. Kontrakannya belum bercirikan Betawi. Kedua puluh, Puji merupakan warga asal Majalengka, Jawa Barat. Lama tinggal di Setu Babakan adalah 10 tahun. Alasan pindah karena usaha berjualan minuman dan rokok di pinggir setu.

B. Hasil Temuandan Pembahasan Hasil Penelitian

Saat kita memasuki gerbang utama Perkampungan Budaya Betawi yang disebut dengan Gerbang Si Pitung yang terletak pada jalan Moh. Kahfi II maka kita akan disuguhkan oleh deretan rumah bernuansakan Betawi di sebelah kanan jalan yang berjumlah lima rumah. Tetapi pada lima rumah pertama di sebelah kiri tidak semuanya bercirikan Betawi. Inilah gambaran awal yang dapat dilihat dari gerbang utama Perkampungan Budaya Betawi. Memang sangat miris, disebut sebagai cagar budaya namun tidak semua bangunan memiliki ciri Betawi yang menandakan keserasian. Banyakpula rumah yang hanya menggunakan gigi balang saja tanpa menggunakan ornamen lain. Ada beberapa rumah yang catnya sudah mulai kusam, ornamen sudah mulai rusak dan keropos. Tidak hanya itu jika melihat semakin kedalam akan terlihat pula rumah-rumah model minimalis atau modern yang mendominasi. Bisa dikatakan rumah tradisional Betawi tidak lagi menjadi primadona di kawasan pelestariannya. Itu sangat ironis, karena rumah tradisional Betawi merupakan program dalam membangun Perkampungan Budaya Betawi dengan tujuan menyerasikan rumah dan bangunan. Inilah beberapa fakta yang dapat ditemukan di kawasan Perkampungan Budaya Betawi: 1. Cat hijau kuning tidak lagi mendominasi perkampungan. Padahal, cat hijau dan kuning adalah ciri khas bangunan Betawi seperti yang sering dijumpai pada rumah, gerobak, kandang, dan lain-lain. Bagi masyarakat Betawi cat hijau memiliki arti kesejukan, sedangkan warna kuning memiliki arti keceriaan. Bisa diartikan jika masyarakat Betawi memiliki sifat sejuk yang membawa keceriaan. Banguan di dalam kawasan Setu Babakan tidak memiliki warna khusus, warna hanya disesuaikan oleh warna kesukaan sang pemilik rumah tanpa ada warna khusus. 2. Tidak lengkapnya ornnamen pada bangunan di Perkampungan Budaya Betawi. Mayoritas ornamen yang paling sering digunakan adalah lis plank dan langkan. Namun bisa dipastikan rumah yang menggunakan list plang belum tentu menggunakan langkan namun rumah yang menggunakan langkan sudah pasti menggukan list plank. Hal ini terjadi karena bantuan langkan dari Dinas cepat mengalami kerusakan karena dimakan usia ataupun karena terkena panas dan hujan secara langsung. Kualitas kayu juga akan berpegaruh pada umur langkan¸ jika kayu kualitas bagus maka akan semakin awet dan sebaliknya jika kualitas kayu rendah maka langkan akan mudah rusak. Ada juga warga yang mengganti langkan yang sudah rusak dengan pagar semen setinggi lutut. Karena anggapan mereka langkan tidak ada manfaatnya. Jika pagar semen bisa dimanfaatkan untuk duduk dan ngobrol dengan tetangga ataupun duduk para tamu yang datang ke rumah. Seperti yang dituturkan oleh Bu Tini sebagai berikut: “......dulunya ada langkan tapi keropos di lepas deh. Diganti sama yang punya kontrakan pake semen. Lebih enak ini pake semen bisa buat duduk kalo sore ama ibu-ibu yang lain. kalo ada tamu juga enak, bisa duduk di sini. Yah namanya aja rumah kontrakan, ga punya ruang tamu. Kalo dulu pake kayu mana bisa duduk, ribet deh kalo ada tamu ” 17 Mutu kayu yang semakin menurun juga menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Saat periode awal pemberian bantuan yang dilakukan oleh Dinas Perumahan menggunakan kayu yang bagus. Setelah beberapa periode kualitas kayu semakin jelek. Rumah yang mendapatkan bantuan pada periode empat atau lima, ornamennya hanya bertahan dalam hitungan bulan saja. 17 Wawancara pribadi dengan bu Tini tanggal 15 September 2014 Hal tersebut yang menjadikan pihak kelurahan terutama RW memutuskan kerjamasa dengan Dinas Perumahan secara sepihak. Kekecewaan masyarakat dengan Dinas Perumahan berdampak langsung pada pembangunan rumah Betawi. Sudah hampir lima tahun tidak ada lagi penembahan rumah tradisional secara signifikan. 3. Salah pemanfaatan pada list plank juga banyak dijumpai, seprti memaanfaatkan gigi balang sebagai tempat gantungan baju saat menjemur. Hal tersebut dilakukan karena adanya lubang pada motif gigi balang sehingga memudahkan mereka untuk memasukkan pengait gantungan baju. Penempatan gigi balang yang berada di depan rumah bagian atas, menjadi daya tarik mereka untuk menjemur di sana. Seperti yang dituturkan oleh Bu Titin sebagai berikut: “itu gigi balang saya jadiin buat gantungan jemuran, abisnya kita ga punya halaman buat jemur. Liat ada begituan depan rumah ya lumayan, bisa ngirit tempat. Cepet kering kalo jemur di situ karena di atas ga kalingan apa-apa ” 18 Ada salah satu toko juga memanfaatkan lisplank sebagai gantungan jualannya seperti jajanan sahcetanyang dikaitkan menggunakan tali. Jika beban yang digantung pada lisplank terlalu berat maka kayu akan patah dan lisplank akan terlihat ompong. Pemanfaatan seperti itu hanya akan mempercepat gigi balang rusak karena menahan beban gantungan yang terlalu berat. 4. Tidak adanya penyuluhan dari pihak Pemerintah kepada masyarakat untuk mendirikan rumah-rumah tradisional Betawi mengakibatnya lambannya pertambahan rumah tradisional Betawi. Bahkan kuantitasnya semakin berkurang, padahal sosialisasi atau penyuluhan sangatlah penting karena sosialisasi yang dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan akan meningkatkan tingkat partisipasi warga. Hal tersebut yang menyebabkan masyarakat pendatang tidak 18 Ibid., mengetahui adanya arahan untuk menjaga keserasian bangunan dan lingkungan yang mencerminkan ciri khas Budaya Betawi. Fasilitator pendekatan yang dinggap paling ampuh adalah ketua RT atau RW karena dianggap paling mengetahui kondisi warga secara langsung. Sebagian narasumber mengatakan tidak ada penyuluhan dari pihak RT ataupun yang lainnya untuk mendirikan rumah bercirikan Betawi. Sehingga warga baru yang membeli rumah di kawasan Perkampungan Budaya Betawi ada yang merubah rumah sesuai dengan keinginannya hingga menghilangkan kekhasan budaya Betawi di dalamnya, seperti yang dituturkan oleh pak Namin selaku RT 010, sebagai berikut: “.....pendatang yang termasuk kaya. Mereka membeli rumah- Betawi terus dibangun jadi bertingkat. Namanya orang punya duit pasti pingin membuat rumah yang bagus. Bukannya mereka tidak suka rumah Betawi, tapi memang ornamennya agak kurang cocok kalo dipasang ”. 19 Jika hal ini berkelanjutan maka rumah-rumah Betawi di Setu Babakan akan semakin berkurang dan lama kelamaan hilang.

1. Partisipasi Masyarakat Dalam Melestarikan Rumah

Tradisional Betawi “Pesatnya pembangunan kota Jakarta harus diimbangi dengan penguatan tata nilai budaya, penataan lingkungan dan pengembangan sarana prasarananya dalam suatu manajemen yang baik, guna menjaga adat istiadat tradisional budaya warganya terutama masyarakat Betawi, dalam rangka memperkaya khasanah budaya bangsa Indonesia ”. 20 Maka kawasan Setu Babakan mempunyai tugas membangun kampungnya agar mencerminkan kekhasan masyarakat Betawi. Berdasarkan Perda No. 3 Tahun 2005 pembangunan Perkampungan Budaya Betawi diarahkan untuk menjaga kelestarian 19 Wawancara pribadi dengan pak Namin tanggal, loc. cit 20 Perda no. 3 Tahun 2005 tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa Budaya Betawi, keserasian bangunan dan lingkungan yang mencerminkan ciri khas Betawi. Pembanguan fisik yang dimaksud adalah pembangunan fasilitas sarana dan prasarana penunjang seperti bangunan-bangunan, rumah penduduk, rumah adat, tempat ibadah, museum, pasar tradisional harus sesuai dengan ciri khas budaya Betawi. 21 Pelestarian rumah tradisional Betawi sangatlah membutuhkan partisipasi dari semua elemen masyarakat, baik masyarakat pribumi maupun pendatang. Namun jika dilihat dari partisipasi masyarakat pendatang dalam meslestarikan rumah tradisional Betawi belum bisa dirasakan secara nyata, karena masyarakat belum secara sukarela mengeluarkan uang untuk membangun rumah tradisional Betawi atau sekedar menambahkan ornamen pendukung. Rumah-rumah yang mendapatkan bantuan dari Dinas Perumahan banyak yang tidak dijaga dengan baik. Mereka hanya membiarkan saja hingga terjadi kerusakan dan keropos. Jika sudah keropos mereka akan melepas ornamen yang menjadikan rumahnya tidak bercirikan rumah tradisional Betawi. Padahal ornamen yang menjadi andalan dalam perkampungan Budaya Betawi adalah lisplank dengan motif gigi balang. Jika rumah hanya memiliki gigi balang namun dibiarkan rusak lalu dilepas begitu saja. Maka rumah tersebut akan kehilangan ciri khas budaya Betawi dan akan menjadi rumah biasa. “Melihat kecenderungan yang ada nampak jelas bahwa keberadaan arsitektur Betawi dalam keadaan yang menghawatirkan. Perubahan-perubahan seperti pada contoh di kelurahan Balekembang, Condet menunjukkan bahwa rumah-rumah tradisional Betawi sedang mengalami desakan cukup kuat. Hal serupa terjadi di daerah-daerah lain di Jakarta”. 22 21 Ibid. 22 Ibid., h.59-60 Tidak hanya itu penyebabnya, ornamen yang diberikan oleh pemerintah banyak yang dibiarkan rusak atau ornamen yang diberikan tidak ada perawatan sama sekali. Setelah rusak masyarakat akan melepaskan begitu saja. Seperti yang dituturkan oleh Bang Uta sebagai berikut: “dulu di tempat saya ada gigi balangnya, tapi udah saya lepas. Abisnya pada keropos terus copot sebelah, daripada jatoh ya udah saya copot deh 23 Hal serupa tidak hanya dialami oleh Bang Uta saja, tetapi ada beberapa rumah yang melepas langkan karena alasan keropos dan rusak sehingga dilepas. Seperti yang dituturkan oleh Bu Ana sebagai berikut: “ada gigi balang dan langkan. Tapi langkannya rusak tuh, udah pada lepas kayunya. Saya tutupin aja pake terpal dapet nemu di jalan. Daripada kena tampias, aernya masuk ke teras ” 24

2. Tingkat Partisipasi

Tingkat partisipasi masyarakat pendatang dalam melestarikan rumah tradisional Betawi sangatlah rendah. Karena masyarakat hanya menerima bantuan ornamen dari pemerintah. Tidak ikut di dalam perencanaan sama sekali. Pada tahap perencanaan yang memiliki andil adalah pihak kelurahan terutama ketua RT. Ketua Rt akan emmilih rumah-rumah mana yang akan diberikan ornamen. Dengan bentuk partisipasi seperti itu maka tingkat partisipasi masyarakat pendatang adalah pada tingkatan manipulation atau tahapan dengan skor paling rendah. Karena pada tahapan ini masyarakat tidak memungkinkan untuk melaksanakan perencanaan. Pada tingkatan ini masyarakat telah dilibatkan dalam menapatkan bantuan ornamen untuk mewujudkan program pembangunan.

3. Bentuk Partisipasi

23 Wawancara pribadi dengan Bang Uta tanggal 4 September 2014 24 Wawancara pribadi dengan bu Ana tanggal 11 September 2014

a. Partisipasi dalam Perencanaan

Bentuk partisipasi menurut Tjokoamidjojo adalah partisipasi dalam perencanaan, yang berpartisipasi adalah pihak pemerintahan seperti kepala desa, ketua RW, ketua RT dan pemuka agama atau sesepuh desa. Dalam tahap ini perencanaan yang dilakukan adalah memilih rumah-rumah yang akan direnovasi oleh Dinas Perumahan. Pembangunan rumah penduduk di Setu Babakan agar bercirikan Betawi merupakan program daerah DKI Jakarta yang mendapatkan bantuan dari pemerintah. Semuanya dilakukan oleh pemborong yang dibiayai oleh Dinas Perumahan DKI Jakarta. Dari bahan bangunan, alat-alat bangunan, tenaga dan biaya semuanya ditanggung oleh Dinas seperti yang dituturkan oleh Bapak Na’ali mantan ketua RT 012 sebagai berikut: “bantuan itu kite terima dari Dinas Perumahan Jakarta, pokonya kita tau beres aja dah. Dari segala tukang udah disipain, pake pomborong dari sana”. 25 Pembangunan fisik awal yang dilakukan Dinas Perumahan adalah dengan membangun rumah warga Betawi setempat yang dianggap sebagai tokoh masyarakat seperti ulama, ketua RT, ketua RW, lurah dan tokoh adat, terutama rumah atau tanahnya dekat dengan Setu ataupun berada di pinggir jalan. Hal ini akan menguntungkan Pemerintah karena dengan membangun rumah tokoh masyarakat setempat dapat memberikan contoh kepada warga jika program Perkampungan Budaya Betawi telah didukung sepenuhnya. Setelah membangun rumah tokoh masyarakat langkah selanjutnya adalah membangun rumah warga yang berada pada pinggir jalan dan dekat Setu. Dengan membangun secara keseluruhan ataupun dengan menambahkan ornamen saja. Pertimbangan yang dilakukan dengan melihat keadaan rumah. Jika 25 Wawancara pribadi dengan bapak Na’ali, tanggal 17 September 2014