1 Rumah Gudang
“Rumah model ini berbentuk empat persegi panjang, memanjang dari depan ke belakang. Luasnya, tergantung
pada kemampuan pemilik dan keperluannya. Ada yang berukuran 5x10 meter, 6x12 meter, atau juga ada yang
berukuran 8x15 meter, atau juga ada yang lebih. Yang
umum adalah 6x12 meter”.
40
Rumah gudang memiliki denah segi empat memanjang dari depan ke belakang. Di dalam buku Jakarta Membangun dijelaskan
rumah gudang, “memiliki bentuk segi empat yang polos dan sangat sederhana”.
41
Atapnya berebntuk pelana, tetapi terdapat pula rumah gudang yang beratap periasi. Selain itu, pada bagian depan rumah
gudang terdapat sepenggal atap miring yang disebut dengan topi, dark atau markis yang berfungsi menahan cahaya matahari atau
tampias hujan pada ruang depan yang selalu terbuka. Topi, dark atau markis di topang dengan kayu atau besi.
Gambar 2.5 Rumah Gudang
Sumber gambar: bp.blogspot.com
40
Abdul Chaer, Folklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, Jakarta,
Masup Jakarta, 2012, h. 218
41
Basri Rochadi, dkk, Jakarta Membangun Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta-
1998, Jakarta, BAPPEDA DKI Jakarta, 1998, h.75
2 Rumah Joglo
Menurut Abdul Chaer “disebut rumah model joglo karena atapnya berupa model joglo”.
42
Atap model joglo adalah bentuk atap yang memanjang dibagian tengah atas.
Rumah joglo dicirikan dengan bentuk atap yang menjorok ke atas dan tumpul, seperti rumah joglo Jawa.
43
Seperti dapat diperhatikan dari nama dan bentuk bangunannya, rumah joglo
dapat dipastikan merupakan hasil pengaruh langsung dari arsitektur dan kebudayaan Jawa.
44
Pada umumnya rumah joglo Betawi memiliki bentuk denah bujur sangkar. Sebagian ruang depan diatasi
oleh sorondoy
45
dari atap joglo yang ada. Sehingga sepenggal ruang depan yang diatapi
sorondoy dan bagian utama rumah yang diatapi joglo secara keseluruhan menghasilkan denah berbentuk bujur
sangkar. Bentuk joglo yang dilengkapi dengan teras yang lebar merupakan bentuk yang banyak dipengaruhi oleh arsitektur
Indies
46
, percampuran antara arsitektur Eropa dengan arsitektur lokal terutama Jawa yang berkembang pada abad ke 19.
“Rumah joglo Betawi ini berdenah bujur sangkar, bisa berukuran 6x6 meter, 8x8 meter, 10x10 meter, dan
sebagainya. Kalo berukuran 10x10 meter, yang beratap Joglo terletak pada bagian tengah berdenah 4x10 meter,
3x10 meter lagi adalah bagian depan dan 3x10 meter adalah
bagian belakang”. Ukuran diatas adalah menurut Abdul Chaer, tetapi pada
zaman seperti sekarang ini ukuran rumah disesuaikan pada pemilik dan ketersedian lahan.
42
Abdul, op,cit., h.219
43
Nurdjati, Partisipasi Masyarakat Betawi pada Upaya Pelestarian Lingkungan ”,Tesis
pada PascasarjanaUI, Jakarta,1996, h. 72 tidak dipublikasikan
44
Harun, “Rumah Tradisional Betawi”, catatan kedua, Jakarta, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 1999, h.30
45
Bahasa Sunda yang berarti terusan
46
Berasal dari istilah Indische Huize atau Indo Europeesche Bouwkunst yang digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menyebut rumah kedinasan atau perkantoran yang
menggunakan gaya arsitektur campuran
Gambar 2.6 Rumah Joglo Betawi
Sumber gambar:google.com
3 Rumah Bapang
Menurut Abdul Chaer “rumah model bapang atau kebaya mirip dengan model gudang, hanya bukan memanjang dari depan
ke belakang, melainkan dari kiri ke kanan”.
47
Perbedaan dengan model gudang hanya posisi atapnya saja, jika model gudang
memanjang ke belakang sedangkan model bapang atau kebaya memanjang kesamping.
Rumah bapang adalah rumah yang beratap pelana, tetapi berbeda dengan rumah gudang. Bentuk rumah bapang tidak penuh,
kedua sisi luar dari atapnya dibentuk oleh terusan atau serondoy
dari atap pelana yang terletak di tengahnya. Rumah bapang atau kebaya, memiliki beberapa pasang atap, yang dilihat dari samping
tampak berlipat-lipat seperti kain kebaya.
48
Rumah di Setu Babakan merupakan bangunan yang lebih modern sudah merupakan bangunan batu atau semen dengan atap
berbentuk gabungan antara bentuk joglo dan bapang.
47
Abdul Chaer, Folklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, Jakarta,
Masup Jakarta, 2012, h. 220
48
Basri Rochadi, dkk, Jakarta Membangun Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta-
1998, Jakarta, BAPPEDA DKI Jakarta, 1998, h.75
Gambar 2.7 Rumah Bapang Rumah Kebaya
Sumber gambar: bp.blogspot.com
B. Penelitian yang Relevan
1. Partisipasi Masyarakat dalam “Program Pembangunan
Perumahan Nelayan Desa Penjajap di Desa Pemangkat Kota Kabupaten Sambas”
49
Tesis tahun 2003pada Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Program
Pascasarjana Ilmu Kesehatan Sosial, Konsentrasi Otonomi dan Pembangunan Sosial oleh M. Syerly.
Tesis ini adalah hasil penelitian tentang pelaksanaan Program Pembangunan Perumahan Nelayan Desa Penjajap di Desa Pemangkat
Kota sebagai salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam program pembangunan perumahan, dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat nelayan yang terkena bencan abrasi pantai dan gelombang pasang. Program pmbanguan perumahan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten Sambas tersebut dengan melibatkan partisipasi
49
M. Syerly, “Partisipasi Masyarakat dalam „Program Pembangunan Perumahan Nelayan Desa Penjajap
’ di Desa Pemangkat Kota Kabupaten Sambas”, Tesis pada Pascasarjana UI, Jakarta, 2003, tidak dipublikasikan
masyarakat yang dimulai pada tahun 2001 dengan mambangun sebanyak 112 unit rumah dengan sistem swakelola dan stimulus bagi
penerima sasaran. Program pembangunan perumahan yang melibatkan partisipasi
masyarakat pada era sekarang ini merupakam suatu instrumen yang lebih efektif dan efisien serta sebagai sumber investasi baru bagi
pembangunan. Masyarakat adalah objek dan sekaligus unsur yang dominan dalam keikiutsertaannya untuk menentukan keberhasilan atau
kegagalan kegiatan pembangunan yang dilakukan. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan tentang pelaksanaan partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaan program pembangunan perumahan nelayan Desa Penjajap di Dusun Sebangkau Desa Pemangkat Kota dan mengetahui
faktor-faktor penghambat atau pendorong partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program pembanguan perumahan.
Penelitian ini
merupakan pendekatan
kulaitatif yang
menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui studi pustaka, observasi dan wawancara mendalam
indepth interview dengan para informan. Sementara itu pemilihan memberikan petunjuk informasi
yang tepat dan mendalam atas informasi yang berikutnya. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa partisipasi masyarakat
dalam program pembangunan perumahan sejumlah 112 unit rumah tahun 2001 ini terbatas kepada kegiatan pembangunan prsarana,
pembentukan kelompok kerja dan kegiatan pembangunan perumahan. Hal ini dilaksanakan oeleh Pemerintah Kabupaten Sambas karena
merupakan rangkaian dari program-program bantuan sebelumnya yang pernah ada di kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas, dengan
melaksanakan sistem swakelola dan sitmulasi. Partisipasi program pembanguan tersebut dapat dikatakan
berorientasi kepada proyek yang kurang mengarar kepada kepentingan masyarakat. Hal ini dapat menjadikan beberapa asumsi yang belum
sesuai dengan konsep pentingnya partisipasi dan tujuan partisipasi
dimana feed back yang diharapkan adalah pelibatan masyarakat, mulai
dari persiapan program, proses perencanaan program, pelaksanaan program dan proses pembuatan keputusan program, masyarakat harus
dilibatkan. Kemudian secara komperhensip dan terintegrasi melibatkan dinas instansi terkait, kepala Desa serta Lembaga-lembaga desa yang
diadakan di desa yang bersangkutan. Perbedaan penelitian ini terletak pada fokus penelitian jika
penelitian di atas fokus kepada pembangunan desa nelayan. Sedangkan penelitian ini fokus kepada pembangunan desa budaya atau cagar
budaya dalam penyerasian bangunan.
2. Partisipasi Warga Betawi Setempat dalam Rangka
Keberlanjutan Program
Perkampungan Budaya
Betawi
50
Tesis tahun 2007 pada Program Kajian Pengembangan Perkotaan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia disusun oleh
Mutiara Khusnul Chotimah. Metode pengumpulan data pengamatan terlibat dan wawancara dengan cara tinggal bersama, maka diketahui
sejarah PBB dan proses partisipasi warga Betawi setempat didalamnya serta diketahui pula berbagai kegiatan eksisting yang mendukung PBB.
Jumlah informan adalah 12 orang. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat dua keluarga berpengaruh, tokoh masyarakat dan ketua RW
yang dapat menentukan siapa warga Betawi setempat yang dapat berpartisipasi. Sedangkan warga Betawi setempat yang berpartisipasi
adalah warga yang terlibat dalam kegiatan pertanian, peternakan, industri rumah tangga, kesenian, perikanan dan wisata, serta warga
yang terlibat dalam Badan Pengelolaan PBB. Bentuk-bentuk partisipasi yang ada adalah kerelaan lahan atau tanahnya digunakan
50
Mutiara Khusnul Chotimah, “Partisipasi Warga Betawi Setempat dalam Rangka Keberlanjutan Program Perkampungan Budaya Betawi”, Tesis pada Pascasarjana UI, 2007, h.44-
45 tidak dipublikasikan
untuk kepentingan PBB, inisiatif pembentukan kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai kegiatan mendukung PBB, tenaga dan
waktu dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mendukung PBB, serta kesadaran untuk menjaga keamanan dan kebersihan lingkungan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pelibatan warga Betawi di Setu Babakan dalam pengembangan PBB perlu memperhatikan dua
hal penting, yaitu keberadaan pemimpin dan tokoh masyarakat yang masih dianggap penting, sehingga pemerintah dapat melibatkan
mereka dalam mendorong warga Betawi setempat lainnya untuk berpartisipasi, dan pengembangan kegiatan yang bersifat dapat
meningkatkan pendapatan berorientasi pada peningkatan taraf hidup warga Betawi setempat, mengingatsebagian besar warga tidak
mempunyai pekerjaan tetap dan bergerak dalam sektor informal, seperti tukang ojeg, berdagang, tukang bangunan dn lain-lain.
penelitian ini menemukan bahwa menurut teori Arstein warga Betawi setempat yang berpartisipasi pada tingkatan paling tinggi yaitu warga
yang berkegiatan kesenian membuat sanggar seni kerajinan Betawi sedangkan yang digolongkan sebagai warga yang tidak berpartisipasi
non-participation, yaitu warga Betawi setempat yang mendapat bantuan “rumah Betawi” tanpa mengerti maksud pemberian tersebut
dan pedagang yang berada di pinggir Setu. Selain itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa program
Perkampunagn Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah ini dapat berkelanjutan jika pemerintah dan masyarakat dapat berorientasi
pada produktivitas. Pemerintah mengadakan kegiatan-kegiatan yang mengedepankan orientasi pasar, dan masyarakat dapat mengubah sifat
kurang giat bekerjaannya menjadi masyarakat yang lebih menjunjung prodktifitas.
Perbedaan penelitian terletak pada fokus penelitian, jika penelitian di atas memfokuskan pada permasalahan keberlanjutan
program Perkampungan Budaya Betawi. Sedangkan penelitian ini membahas tentang pelestarian rumah tradisional Betawi.
3. Partisipasi Masyarakat Betawi pada Upaya Pelestarian
Lingkungan Studi Kasus di Kawasan Condet, Jakarta Timur
51
Tesis tahun 1996 pada Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonsia disusun oleh Nurdjati.
Penelitian ini membahas tentang partisipasi masyarakat Betawi pada kawasan Condet yang merupakan daerah Cagar Budaya Betawi, karena
memiliki kekentalan budaya mulai dari bahasa, kesenian, bangunan rumah warga dan lain-lian. Hasil dari penelitian ini adalah kurang
terpeliharanya serta makin menghilangnya bangunan perumahan yang bercirikan tradisional Betawi serta semakin berkurangnya atraksi-
atraksi seni tradisional Betawi. Masuknya penduduk pendatang yang setiap tahun makin bertambah jumlahnya untuk bertempat tinggal di
kawasan Condet. Metode yang digunakan adalah kuantitatif dengan instrumen angket.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada fokus penelitian, jika penelitian di atas lebih menekankan kepada pelestarian
lingkungan. Sedangkan dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada pelestarian rumah tradisional Betawi. Perbedaan kedua adalah terletak
pada tempat penelitian, penelitian di atas dilakukan di daerah Condet, sedangkan penelitian ini dilakukan pada kawasan Perkampungan
Budaya Betawi di Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah.
51
Nurdjati, “Partisipasi Masyarakat Betawi pada Upaya Pelestarian Lingkungan”, Tesis pada PascasarjanaUI, Jakarta,1996, h. 72 tidak dipublikasikan
36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
1.
Tempat
Penelitian ini dilakukan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa,
Kotamadya Jakarta Selatan. Tepatnya pada RT 009 dan 010 RW 008. Tempat ini dipilih karena sebagai ring satu dalam Perkampungan
Budaya Betawi dengan tujuan untuk penyerasikan bangunan bercirikan
Betawi.
2. Waktu
Waktu penelitian ini dilakukan tujuh bulan. Waktu pelaksanaan dari Februari hingga September 2014.
Tabel 3.1
Time schedule penelitian
No Keterangan
Januari Februari
Maret I
II III
IV I II
III IV I
II III
IV 1
Penyusunan proposal
2 Seminar
proposal 3
Revisi proposal
4 Penyusunan
surat izin ke lapangan
5 Memasuki
lapangan 6
Pengumpulan data
7 Analisis data
8 Uji
keabsahan data
9 Penyempurnaan
laporan
B. Metode yang Digunakan
“Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu
”.
1
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan deskripstif dengan metode
kualitatif. “Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk
menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, jadi ia juga menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasikan
”.
2
Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk memecahkan masalah secara sistematis dan faktual mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi.
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif menurut
Sugiyono:
“kualitatif adalah metode penelitian metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan
secara
purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan triangulaasi
atau gabungan,
analisis data
bersifat
1
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2012, h.1
2
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara,
2004, h. 44