“Pernah dek. Tapi biasanya gak abang kabulin permintaan istri soalnya gak pernah sesuai sama waktu yang abang miliki. Tau lah yang menyupir
ni dek jarang-jarang ada waktu untuk istirahat, sekali pulang di situlah istirahat. Nah kadang si kakak di situ pula ngajak jalan-
jalan, ya „gak bisa‟ abang bilang. Makanya kalau mau pigi jadi abang yang nentuin
karena abang yang bisa mastikan waktu abang ada atau gak. Bisa pigi jalan-jalan atau
gak.” R1, W4, 580-604
Pasangan terkadang marah apabila TL tidak memenuhi keinginan pasangan untuk melakukan aktivitas bersama. Tapi TL selalu mencoba
memberikan pengertian kepada pasangan mengenai waktu yang ia miliki. “Mungkin keberatan dek. Karena kalau udah ditolak atau gak dikabulin
ajakannya suka buncut merajuk. Kalau dah gitu marah lah itu. Tapi mau gimana lagi. Ya gini lah aku, inilah waktuku, gitu aja abang bilang. Kalau
mau jalan-jalan di waktu yang telah abang buat, OK. tapi kalau gak mau ikut ya biar abang aja lah sama anak-
anak.” R1, W4, 605-622
f. Sexual relationship
Hubungan seksual dalam rumah tangga TL lancar, walaupun pasangan
kurang terbuka saat membicarakan masalah hubungan seksual.
“gak, emang kurang terbuka. Gak mau bilang maunya apa. Pasangan kurang terbuka kalau masalah h
ubungan seksual.” R1, W3, 12-18
Sikap pasangan yang kurang terbuka mengenai komunikasi dalam masalah hubungan seksual membuat TL merasa kurang puas. TL berharap pasangan lebih
terbuka dalam membicarakan masalah seksual, supaya TL mengetahui apa yang pasangan inginkan.
“Masalah keterbukaan tentang itu menurut abang sangat tidak puas. Abang pinginnya istri terbuka sama apa yang dia mau, jadi abang bisa
ngerti juga. Ni gak pernah mau ngomong kalau udah masalah itu. Bek-bek nya hilang seperti ditelan bumi. Kalau udah gak mau jangan ditanya lagi
lah mau atau gak.”
Universitas Sumatera Utara
R1, W4, 652-668 Dalam melakukan hubungan seksual dengan pasangan menurut TL
tergantung pada kesepakatan antara TL dengan pasangan. Kalau pasangan sedang tidak ingin melakukan hubungan seksual sedangkan TL merasakan itu suatu
kebutuhan maka TL akan sedikit memaksa pasangan, sedangkan disaat pasangan dalam kondisi yang tidak fit TL tidak akan memaksa. Masalah perselingkuhan
tidak pernah terjadi dalam rumah tangga TL dengan pasangan. “Selingkuh, gak pernah dan mudah-mudahan jangan pernah terjadi.”
R1, W2, 128-132 “Gak juga hahaha. Abang kadang-kadang marah kalau istri gak mau, kan
ab ang jarang pulang dek, masa‟ disaat abang pulang, Pengin berduaan
sama istri, istri malah nolak. Marahlah abang, abang bilang kalau gini bagus gak usah pulang. Kalau udah digitukan istri nurut juga. Tapi
terkadang kalau abang lagi pengin terus ngelihat istri capek kali, dengan terpaksa lah dek nurut aja kalau istri gak mau. Walaupun dalam hati kesal
juga.” R1, W4, 669-691
g. Children and marriage
Pekerjaan TL yang banyak menyita waktu membuat TL jarang bertemu dengan anaknya. Menurut TL, anak tidak terlalu berpengaruh terhadap rumah
tangga sebab pekerjaan menuntutnya untuk berada jauh dan tidak memiliki kedekatan dalam hal emosional dengan anak sehingga ada atau tidak adanya anak
tidak memiliki pengaruh bagi TL. “Iya biasa saja, karena bang juga jarang di rumah. Kehadiran anak,
sama aja kayaknya ya dari sebelum gak ada anak”
R1, W3, 19-25
Universitas Sumatera Utara
Untuk pendidikan terhadap anak. TL mengaku ingin anaknya punya pendidikan yang lebih tinggi dari dirinya. Tapi tidak terlepas dari batas
kemampuan TL. “Untuk pendidikan anak pengennya tu ya lebih tinggi lah dari saya, tapi
tingginya juga ya semampu kita lah sebagai orangtua.” R1, W2, 164-170
Menurut TL tidak ada kesepakatan dalam mengasuh dan membesarkan anak. Dalam mengasuh dan mendidik anak lebih banyak dilakukan oleh pasangan.
“Kalau kesepakatan dalam hal mengasuh anak, Istri lebih sering ngasuh anak-anak. Abang kurang tau. Kalau kesepakatan dalam hal mengasuh
anak, lebih sering istri karena pekerjaan saya kan lebih banyak waktu di luar jadi kalau pulang aja baru bisa bantu-
bantu istri.” R1, W2, 171-185
“Karena anak-anak masih kecil jadi belum terlalu ada kesepakatan yang aneh-
aneh.” R1, W2, 186-191
Dalam mengasuh dan mendidik anak lebih sering dilakukan oleh pasangan, hal ini kadang membuat TL merasa bukan ayah yang baik bagi anak-
anaknya karena kesibukan sebagai seorang supir tidak memungkinkan untuk mengasuh dan mendidik anak. Sehingga TL merasa tidak puas karena tidak bisa
mengurus anak secara langsung, untuk itu TL beranggapan tidak memiliki anak yang bertujuan sebagai penghilang rasa bersalah dan konsistensi dalam pekerjaan.
“Sebenarnya ada lah dek, perasaan tidak puas. Malah kadang lagi nyupir tu terfikir-fikir juga ayah seperti apa lah abang ini. Jarang di rumah,
jarang melihat pertumbuhan anak. Makanya untuk ngilangin rasa gak enak, abang ngerasa gak punya anak. Soalnya ada anak toh abang gak
bisa nengok perkembangan anak setiap hari. Dalam hati ini ada rasa bersalah. Tapi ya mau gimana lagi, kerja abang nuntut selalu pigi-pigi.
Makanya ada dan gak ada anak sama aja rasa abang, toh abang jarang
ketemu sama anak abang. Kalau ada waktu aja lah baru bisa kumpul.” R1, W4, 692-722
“Gak ada ya dek, namanya yang gurus kan umaknya sendiri, jadi rasa abang biasa-biasa aja kecuali yang ngurus anak itu neneknya baru rasa
Universitas Sumatera Utara
abang itu jadi masalah, selagi ada orangtua si anak ya dialah yang harus menjaga anak. Suami yang cari uang istri yang ngurus rumah tangga.
Istri gak perlu kerja lah, ngurus anak aja di rumah. Kalau abang ikut ngurus anak, siapa yang cari makan? Istri? Gak mungkin kan dek.
Perempuan itu tugasnya di rumah aja” R1, W4, 831-856
Dalam budaya batak anak laki-laki merupakan penerus garis keturunan marga yang menjadi suatu kebanggan dalam suku batak. Sebagai orang batak,
TL berharap memiliki anak laki-laki sedangkan kedua anak TL berjenis kelamin perempuan, hal ini membuat TL menginginkan hadirnya anak laki-laki sehingga
rumah tangga terasa lengkap dan garis keturunan tetap terjaga. ”Kayaknya ada dek. Di dalam rumah tangga pernikahan Budaya Batak,
dapat anak laki-laki itu sudah sebagai suatu kebanggaan. Nah anak abang dua-duanya perempuan. Kadang ada rasa yang kurang gitu, sebenarnya
dibilang senang abang senang lah punya anak tapi karena dua-duanya
perempuan agak gimana gitu. “ R1, W4, 723-746
“… orang Batak gak punya anak laki-laki itu rasanya hambar gitu, gak ada yang bisa dibanggakan. Bisa lah dibilang abang kecewa karena
belum dapat anak laki-laki. Tapi mudah-mudahan abang dapat lah anak laki-laki. Supaya rumah ni lebih seru gak suara anak perempuan semua.
Biar ada dulu yang berani di sini.” R1, W4, 766-783
h. Religious orientation