1
BAB 1 PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Setiap manusia mengalami banyak transisi dalam kehidupannya.  Menurut Santrock  1995  masa  dewasa  awal  ditandai  dengan  adanya  transisi  secara  fisik,
transisi  secara  intelektual  dan  transisi  peran  sosial.  Dariyo  2003  mengatakan bahwa  masa  transisi  peran  sosial  menuntut  individu  untuk  segera  menikah,  agar
dapat membentuk dan memelihara kehidupan rumah tangga yang baru. Menikah  dan  membina  kehidupan  rumah  tangga  merupakan  salah  satu
aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia. Menikah juga merupakan saat  yang penting bagi siklus kehidupan
manusia.  Menurut  Duvall    Miller  1985  Pernikahan  adalah  suatu  bentuk hubungan  antara  laki-laki  dan  perempuan  yang  meliputi  hubungan  seksual,
legitimasi  untuk  memiliki  keturunan  memiliki  anak,  dan  penetapan  kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pasangan.
Proses  menuju  jenjang  pernikahan  biasanya  dilakukan  dengan  berbagai cara. Secara sejarah dan lintas kultur, cara paling umum memilih pasangan adalah
melalui  perjodohan,  baik  oleh  orang  tua  maupun  „mak  comblang‟  professional. Terkadang  perjodohan  terjadi  di  masa  kanak-kanak.  Pengantin  pria  dan  wanita
akan bertemu pada hari pernikahan Papalia, Olds,  Feldman, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Cara  lain  menuju  jenjang  pernikahan  adalah  melalui  pacaran.  Pacaran merupakan  proses  awal  menuju  pernikahan  atau  dengan  kata  lain  pacaran
merupakan sarana dalam memilih pasangan yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup Benokraitis, 1996. Menurut DeGenova 2008 pacaran merupakan proses
menjalankan  suatu  hubungan  dimana  dua  orang  bertemu  dan  melakukan serangkaian  aktivitas  untuk  mengenal  satu  sama  lain,  mempelajari  pasangan,
bersosialisasi  dengan  pasangan,  dan  memilih  pasangan  dengan  pilihan  mutual. Proses pacaran biasanya dilakukan sebagai dasar pernikahan.
Di Indonesia biasanya pacaran merupakan salah satu cara yang dilakukan masyarakat  dalam  memilih  pasangan  hidup.  Namun  ada  beberapa  budaya  yang
masih  memegang  teguh  adat  mengenai  pernikahan  tanpa  melalui  proses  pacaran melainkan  dengan  cara  dijodohkan.  Pernikahan  tanpa  melalui  proses  pacaran
biasanya  terjadi  karena  kesepakatan  untuk  menikah  diatur  oleh  orang  tua  atau orang  lain,  yaitu  dengan  jalan  dijodohkan.  Perrnikahan  yang  terjadi  tanpa
didahului  dengan  pacaran  biasanya  dilakukan  karena  alasan  latar  belakang budaya.  Salah  satu  budaya  yang  menganut  paham  perjodohan  adalah  Budaya
Batak Nasution, 2005. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti di lapangan bahwa perjodohan dalam Budaya Batak masih banyak terjadi.
Budaya  Batak  adalah  budaya  yang  menganut  paham  patrilineal  yaitu mengikuti  garis  keturunan  ayah.  Garis  keturunan  yang  bersifat  patrilineal  turut
menentukan  dengan  siapa  seseorang  boleh  menikah  dan  tidak  boleh  menikah. Menurut  Duvall  dan  Miller  1985  ada  dua  konsep  utama  dalam  pemilihan
pasangan  yaitu  secara  eksogami  dan  endogami.  Budaya  Batak  biasanya
Universitas Sumatera Utara
menerapkan  sistem  eksogami.  Sistem  eksogami  artinya  pernikahan  dilakukan  di luar klan atau marga Tambunan, 1982. Sistem eksogami juga turut menentukan
seorang pemudapemudi Batak dalam memilih pasangan. Pernikahan  dalam  Budaya  Batak  ada  beberapa  macam,  yaitu  pernikahan
pariban,  pernikahan  gancih  abu,  pernikahan  lako  man.  Tradisi  pernikahan  yang paling  umum  dilakukan  biasanya  pernikahan  antar  keluarga.  Pernikahan  antar
keluarga  dalam  Budaya  Batak  sering  disebut  pernikahan  dengan  pariban. Pernikahan  dengan  pariban  adalah  pernikahan  dimana  seorang  pemuda
mengambil  anak  tulang  paman,  saudara  laki-laki  dari  ibu  untuk  dijadikan  istri atau  seorang  perempuan  menikah  dengan  anak  Bouk  tante,  saudari  perempuan
ayah Nasution, 2005. Pernikahan  pariban merupakan pernikahan ideal bagi  orang  Batak karena
mampu  mewujudkan  semakin  kuatnya  kesatuan  dan  aliran  cinta  kasih  dalam pihak  saudara  ibu  dan  saudari  ayah  Tambunan,  1982.  Hal  ini  dipertegas  oleh
hasil  penelitian  yang  dilakukan  Fessler  2007  mengenai  pernikahan  antar  impal pariban pada Suku Batak Karo yang menyatakan bahwa pernikahan antar impal
adalah  pernikahan  yang  ideal  karena  bisa  meningkatkan  kekerabatan  dan mempertahankan status ritual.
Pernikahan pariban bisa terjadi dengan dua cara yaitu melalui pacaran dan perjodohan.  Pernikahan  pariban  sering  terjadi  dalam  Budaya  batak.  Salah  satu
keuntungan  menikah  dengan  pariban  bisa  mempererat  tali  kekeluargaan.  Namun pernikahan  pariban  juga  memiliki  kelemahan,  menikah  dengan  pariban  harus
Universitas Sumatera Utara
bertanggungjawab  terhadap  keharmonisan  pernikahan.    Hal  ini  disebabkan masalah kedua pasangan suami istri akan menjadi masalah besar kedua keluarga.
Pernikahan  dengan  pariban  awalnya  bertujuan  untuk  pembagian  harta warisan. Di masyarakat Batak tradisional dahulu, seorang anak dinikahkan dengan
paribannya  supaya  harta  keluarganya  tidak  jatuh  ke  tangan  orang  lain.  Hal  ini dilakukan agar harta keluarga diturunkan kepada saudara sendiri yang sudah jelas
siapa orangnya dari pada harta keluarga nanti akan diwariskan kepada orang yang tidak dikenal Lacapitale, 2012.
Tradisi  perjodohan  dengan  pariban  ini  masih  bertahan  hingga  sekarang. Namun  sesuai  dengan  perkembangan  jaman,  tujuan  perjodohan  dengan  pariban
sudah  tidak  lagi  seputar  persoalan  harta  warisan.  Saat  ini,  tujuan  perjodohan dengan  pariban  sering  kali  demi  menjaga  kekerabatan  di  dalam  sebuah  keluarga
besar.  Hal  ini  disebabkan  kekhawatiran  orangtua  akan  longgarnya  hubungan kekerabatan di dalam keluarga besar jika anak di dalam keluarga tersebut menikah
dengan orang yang tidak dekat dengan keluarganya Lacapitale, 2012. Menurut  masyarakat  Batak  sendiri,  orangtua  dan  keluarga  masih
memegang  peranan  yang  besar  dalam  penentuan  pasangan  hidup  seseorang. Dalam  masyarakat  Batak  pernikahan  terjadi  bukan  hanya  antara  kedua  individu
yang  akan  menikah,  tetapi  juga  pernikahan  antar  dua  keluarga.  Tidak  jarang orangtua  dan  keluarga  menolak  pilihan  calon  pasangan  hidup  anak  mereka  jika
calonnya  tersebut  bukan  berasal  dari  orang  Batak.  Para  orang  tua  mengatur kesepakatan  dalam  menentukan  pernikahan,  siapa  pasangan  yang  cocok  untuk
anaknya, dengan cara dijodohkan Tambunan, 1982.
Universitas Sumatera Utara
Pemuda maupun pemudi Batak sudah mengenal istilah pariban sejak kecil, sehingga banyak pemudapemudi Batak yang menjalin hubungan dengan pariban
bahkan  ada  yang  sampai  ke  jenjang  pernikahan.  Berpacaran  dengan  pariban membuat  pemudapemudi  harus  serius  dalam  menjalankan  hubungan,  karena
kalau  hanya  sekedar  main-main  akan  mempermalukan  kedua  keluarga.  Pacaran dengan  pariban  tidak  hanya  sekedar  pacaran  biasa,  tapi  juga  menjaga  nilai
hubungan keluarga. Setelah  menikah,  maka  istri  berada  di  bawah  kekuasaan  kerabat  suami,
hidup matinya menjadi tanggungjawab kerabat suami dan menetap diam di tempat kerabat suami. Pada umumnya bentuk pernikahan pariban berlaku adat
“pantang cerai”, jadi senang dan susah selama hidupnya istri harus bersedia mendampingi
suami.  Dalam  rumah  tangga  pariban  kewajiban  seorang  suami  memikul kehidupan  rumah  tangga  sedangkan  istri  hanya  sebagai  pendamping
Hadikusuma, 2003. Menurut  Tambunan  1982  dalam  budaya  Batak  hubungan  pernikahan
antara  suami-istri  sangat  menentukan  keberhasilan  dan  kepuasan  sebuah  rumah tangga dapat tercapai. Banyak faktor yang harus diketahui suami-istri dalam usaha
mencapai kepuasan pernikahan itu. Menurut  Dariyo  2003  kebahagiaan  lahir  dan  batin  dalam  membina
kehidupan rumah tangga dapat diraih dengan berupaya mencari calon teman hidup yang  cocok  untuk  dijadikan  pasangan  dalam  pernikahan.  Menurut  beberapa
penelitian,  pasangan  yang  memiliki  banyak  kesamaan  seperti:  ketertarikan  pada hobi, ketertarikan pada jumlah anak Kaslow  Robinson, 1996, keyakinan pada
Universitas Sumatera Utara
agama,  dan  philosophy  kehidupan  Bradbury  et  al.,  2000;  Chinitz,  2001;  Greeff, 2000;  Greenberg  1996;  Kohn  2001;  Rosen  Grandon,  1998  dengan  pasangannya
akan mempengaruhi kepuasan pernikahan. Menurut  Hawkins  dalam  Olson    McCubbin,  1983  kepuasan
pernikahan  merupakan  perasaan  subjektif  akan  kebahagiaan  dan  pengalaman menyenangkan  yang  dialami  oleh  masing-masing  pasangan  dalam  pernikahan
dengan  mempertimbangkan  keseluruhan  aspek  dalam  pernikahan.  Sebuah pernikahan  dapat  dikatakan  mencapai  kepuasan  apabila  kedua  pasangan  dapat
sepenuhnya  menerima  pasangannya  dan  kepuasan  itu  dirasakan  dari  waktu  ke waktu  sepanjang  rentang  pernikahannya  Bowman    Spanier  dalam  Gray
Burks, 1983. Menurut  DeGenova  2008  dua  tahun  pertama  pernikahan  itu  bisa
digunakan  untuk  memprediksi  kepuasan  pernikahan  yang  dialami  oleh  sepasang suami  istri.  Hal  ini  sesuai  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Huston,
Caughlin,  Houts,  Smith,  dan  George  2001  yang  meneliti  hubungan  dua  tahun pertama  pernikahan  dengan  kepuasan  pernikahan  dan  hasilnya  menunjukkan
perubahan yang terjadi setelah dua tahun pertama akan mempengaruhi nasib dari pernikahan.  Perubahan  tersebut  seperti  cara  mengekspresikan  kasih  sayang,
memiliki  sikap  yang  bertentangan  yang  bisa  membuat  pernikahan  menjadi  tidak harmonis yang berujung pada ketidakpuasan pernikahan DeGenova, 2008.
Tingginya tingkat kepuasan dalam pernikahan antara suami-istri bisa juga disebabkan  karena  harapan  yang  dimiliki  suami  atau  istri  sangat  besar  terhadap
pernikahannya.  Ketika  harapan  yang  diharapkan  tidak  sesuai  dengan  kenyataan
Universitas Sumatera Utara
maka  suami  atau  istri  akan  merasakan  ketidakpuasan  dalam  pernikahannya.  Hal ini  sesuai  dengan  penelitian  Epstein    Eidelson  1981  pasangan  yang  tidak
bahagia  menunjukkan  harapan  yang  tidak  realistik  terhadap  pasangannya  dalam Santrock, 1995.
Menurut  Tambunan  1982  pasangan  suami  istri  yang  menerima paribannya  sebagai  suami  atau  istri  harus  menjalani  hubungan  pernikahan  yang
baik  terlepas  dari  harapan  yang  dimiliki  suami  atau  istri  terhadap  pasangannya, karena  hubungan  yang  baik  antara  suami  istri  sangat  menentukan  keberhasilan
sebuah  rumah  tangga  yang  bahagia  sehingga  akan  berujung  pada  kepuasan pernikahan. Kalau suatu pernikahan dengan pariban itu berhasil baik, sudah tentu
segala  sesuatu  akan  dapat  tercapai  dengan  baik  dan  memuaskan  baik  itu  dalam kehidupan  rumah  tangga  maupun  dimasyarakat.  Pasangan  yang  memiliki
pandangan  yang  positif  terhadap  hidup  juga  lebih  bisa  menjaga  hubungan pernikahan yang memuaskan DeGenova, 2008.
Berdasarkan  fenomena  diatas,  pernikahan  pariban  masih  banyak  terjadi dalam  Budaya  Batak.  Untuk  itu  peneliti  ingin  mengetahui  gambaran  kepuasan
pernikahan pada pasangan yang menikah dengan pariban dalam suku Batak”.
B.  Perumusan Masalah