Kondisi Masyarakat BANTARAN SUNGAI DI SANGKRAH SEBAGAI OBJEK PERMUKIMAN

commit to user III - 6

2. Kondisi Masyarakat

a. Gambaran Kependudukan

Jumlah penduduk pada lokasi kurang lebih 450 orang dalam 116 kepala keluarga 116 rumah sehingga masing-masing terdiri kurang lebih 3 hingga 5 anggota keluarga. Secara garis besar, panduduk bantaran sungai di Sangkrah dapat digolongkan sebagai masyarakat menengah ke bawah. Warganya bermata pencaharian sebagai buruh, pegawai, dan sisanya pada sektor informal seperti pedagang, home industry, dan berbagai usaha jasa. Untuk memenuhi tuntutan urban, beberapa komoditi sekunder bagi sebagian masyarakat telah menjadi kebutuhan primer seperti kendaraan pribadi untuk menunjang mobilitas tinggi. Hubungan sosial masih sangat tinggi, digambarkan dengan masih banyaknya aktivitas bersama yang ditemui, bercengkrama, anak-anak bermain bersama, kegiatan-kegiatan rutin, meskipun tidak ada space khusus yang “berpangkat” sebagai ruang komunal, hanya ada jalanan, teras-teras kecil rumah, warung, tempat rindang di atas tanggul, yang dapat dimanfaatkan.

b. Cerita Tentang Masyarakat Bantaran Sungai di Sangkrah

Warga bantaran sungai di Sangkrah yang dikatakan “asli” telah lama bermukim pada lokasi, semenjak pendahulu mereka, sebelum ada Tanggul Bengawan Solo yang kini mendiskriminasi. Perkembangan penduduk dan rumah- rumah yang muncul belakangan merupakan akibat dari adanya budaya urbanisasi. Lahan yang ditempati sebagian besar telah bersertifikat hak milik, karena memang sejak awal demikian, kendati dalam pandangan regulatif umum mendirikan bangunan pada lahan bantaran adalah ilegal, seperti yang tercermin pada kondisi yang ada sekarang. Menurut penuturan warganya, keberadaan masyarakat bermukim pada lokasi itu memang sudah diakui dan dibebaskan sejak masa pemerintahan Bung Karno. Baru kemudian ketika muncul permasalahan air, pembangunan tanggul, lalu banjir, keberadaan permukiman yang telah terbentuk sejak lama mulai dipermasalahkan. Relokasi masih menjadi satu-satunya solusi yang dapat ditawarkan. Pemerintah Surakarta sebagai eksekutor regulasi dan juga pelaksana tata ruang praktisnya memandang area bantaran sungai tidak layak untuk lahan permukiman. Akan tetapi, masyarakat sebagai subjek penghuni permukiman bantaran yang bersangkutan tidak sependapat dan kukuh untuk tetap bermukim di situ dengan memandang bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik bagi mereka sendiri. Urgensi yang ada bermacam-macam. - Sebagian besar karena warga telah lama tinggal di permukiman bantaran yang terbentuk, terutama masyarakat yang ada turun-temurun. Bahkan bukti kepemilikan tanah beberapa memiliki, sehingga dianggap masyarakat bebas menggunakan lahannya sendiri. Justru masyarakat menganggap diri commit to user III - 7 menjadi korban program pemerintah dengan perencanaan tanggul pada lokasi tersebut. - Masyarakat telah mapan bermukim pada lokasi tersebut karena mereka telah beradaptasi dengan skala lingkungan permukiman yang dibentuk masing-masing dengan merumah pada bantaran sungai di Sangkrah ini, misalnya orientasi dengan tempat kerja atau tempat berpenghidupan yang lainnya yang belum tentu dapat diperoleh di lokasi yang baru. - Terutama terhadap program rusunisasi, masyarakat yang biasa hidup secara “horizontal” sangsi rusun akan bisa mewadahi kehidupan lama tersebut, seperti memiliki kandang dan hewan ternak, bertanam dan memiliki halaman, posisi rumah dengan jalan, dan sebagainya.

c. Eksistensi Masyarakat Bantaran

1 Intern Umumnya, dengan didasari adanya suatu kesenasiban terhadap kegiatan memukim pada bantaran sungai yang memiliki karakter rawan banjir khususnya, masyarakat bantaran yang ada berusaha menjaga eksistensi dan kebersamaan untuk menghadapi permasalahan bersama yang muncul. Adalah SKoBB Solidaritas Korban Banjir Bantaran sebagai bentuk keber-ada-an masyarakat bantaran. Selama ini SKoBB telah berperan menampung aspirasi, memperjuangkan kesejahteran dan eksistensi warga bantaran seperti upaya mediasi dengan pihak pemerintah daerah terkait masalah-masalah kependudukan, upaya pembangunan tempat pertunjukan kesenian bersama di bantaran sungai di wilayah Semanggi untuk memfasilitasi kegiatan sosial yang ada, dan juga ada pula cerita mengenai rencana pengadaan mesin pemurni air sungai secara swadaya untuk menunjang ketersediaan air bersih pada bantaran, dengan mengacu pada preseden penyediaan air bersih pada korban tsunami Aceh silam. 2 Ekstern Masyarakat bantaran secara administratif diakui sebagai bagian dari sistem kependudukan secara keseluruhan pada skala yang lebih luas. Hal tersebut ditunjukkan dengan status warga bantaran bersama dengan warga di luar tanggul membentuk kelompok administratif paling kecil yang dikenal dengan sistem Rukun Tetangga RT. Pada lokasi ini, RT.02 dan 03 RW.X, RT.05 RW.XI Kelurahan Sangkrah sebagian merupakan penduduk bantaran dan sebagian lagi merupakan penduduk luar tanggul. Bahkan keseluruhan RT.04 RW.XII merupakan penduduk bantaran seluruhnya. Pada lingkup administratif yang lebih luas, bersama dengan penduduk luar bantaran, masyarakat bantaran termasuk dalam sistem RW Rukun Warga, kemudian menjadi bagian Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, hingga Kota Surakarta, dan seterusnya. Terlepas dari karakter dan permasalahan lokasinya, masyarakat bantaran dapat dipandang layaknya commit to user III - 8 masyarakat “biasa” sebagai penduduk “biasa” yang menjadi bagian dari lingkungan administratif layaknya masyarakat yang berada di area luar tanggul.

C. BANTARAN SUNGAI DI SANGKRAH SEBAGAI LAHAN