Khusus – Sangkrah dan Masalah Banjir Bantaran

commit to user I - 2 pangan. Dengan urgensi dan latar belakang yang berbeda-beda, manusia “dituntut” untuk memanfaatkan lahan bantaran, mengalihkan dari kefungsian seharusnya sebagai ruang hijau disertai penurunan kualitas lingkungan lebih lanjut. Di sisi lain, kemanfaatan bantaran sungai tersebut tidak lepas dari problematika lokasionalnya. Sebagai pelindung, fungsi tanggul yaitu melindungi daerah sekitar sungai luar tanggul dari limpasan atau kenaikan debit air sungai. Sehingga, semua sungai bertanggul dan berbantaran tentu saja berpotensi terjadi limpasan air sungai karena memang adanya tanggul yang kemudian menciptakan bantaran sungai diperuntukkan untuk itu. Adanya kondisi tersebut secara umum juga terrumus dalam salah satu permasalahan klasik air, disebut dengan 3T too little, too much, dan too dirty. Pada dasarnya, keadaan di mana air yang ada lebih baca: terlalu banyak dari kondisi normal disebut dengan banjir. Banjir bantaran, sebutan untuk limpasan yang terjadi, banjir yang terjadi pada lahan bantaran, yang kemudian menjadi permasalahan apabila merugikan, mulai kerusakan material, occupancy tidak berhasil akibat keterancaman jiwa dan ketidakamanan, tekanan psikis, hingga kerugian finansial harta benda. Banjir di bantaran merupakan banjir yang mutlak baca: wajar terjadi. Tentunya, pemanfaatan bantaran sungai selalu dihadapkan pada permasalahan banjir bantaran tersebut.

2. Khusus – Sangkrah dan Masalah Banjir Bantaran

Fenomena nyata dari problematika pemanfaatan bantaran sungai salah satunya digambarkan oleh kondisi permukiman bantaran sungai di Sangkrah, Surakarta. Bagaimanakah ketika pemanfaatan bantaran sungai untuk permukiman “konvensional” dihadapkan pada permasalahan banjir? Berdasarkan kejadian banjir 2007, akibat tingginya luapan air sungai yang berarus, belum lagi sifat destruktifnya, hampir seluruh properti pada lahan bantaran terendam limpasan air Bengawan Solo, mati dari segala aktivitas bermukim akibat gangguan banjir tersebut, belum lagi kerusakan yang terjadi akibat sifat destruktif aliran fluida air. Yang ada berupa kegagalan fungsional total. Gambar 1.1 Gambaran Kondisi Permukiman Bantaran Sungai di Sangkrah saat Banjir Sumber: konsorsiumsolo.multiply.com, 22 Oktober 2008 commit to user I - 3 Tanggul Bengawan Solo, pembentuk lahan bantaran yang ada, merupakan wujud kebutuhan akan proteksi, juga merupakan refleksi dari potensi melimpasnya volume air Bengawan Solo. Yang diketahui, aliran Bengawan Solo melalui daerah depresi antara beberapa vulkan intermountain plain yaitu Lawu, Merapi, dan Pegunungan Seribu. Kondisi itu membuat Bengawan Solo berperan sebagai muara banyak anak sungai, memiliki banyak suplier air selain Waduk Gajah Mungkur sebagai penyuplai utama. Kejadian banjir akhir 2007 silam yang melibatkan debit aliran air Bengawan Solo merupakan banjir terbesar sejak tahun 1966. Tercatat, banjir serupa pernah terjadi pada tahun 1863, 1904, dan 1966 bahkan penguasaan airnya meluas, sebagai gambaran, pernah hingga menggenangi tengah kota Surakarta. Curah hujan di DAS Bengawan Solo hulu per 26 Desember 2007 memiliki rata-rata 124 mmhari atau ekuivalen dengan periode ulang 55 tahun sebagai perbandingan banjir tahun 1966 ekuivalen dengan periode ulang 60 tahun. Debit puncak di Jurug diperkirakan sebesar 1986 m 3 detik atau ekuivalen dengan periode ulang 30 tahun. 2 Informasi di atas menggambarakan problematika pemanfaatan bantaran sungai di Sangkrah. Kemanfaatan bantaran sungai untuk permukiman selama ini dihantui oleh potensi permasalahan banjir bantaran. Oleh karena itu, kondisi tersebut membutuhkan tindak lanjut berdasarkan batasan normatif yang ada.

3. Urgensi – Skema Penataan, Bukan Menentang, Melainkan Memberi Alternatif