5
eksternal. UMKM justru mampu dengan cepat menangkap berbagai peluang, misalnya untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Karena itu, pengembangan UMKM dapat
menunjang diversifikasi ekonomi dan percepatan perubahan struktural, yang merupakan prasyarat bagi pembangunan ekonomi jangka panjang yang stabil dan berkesinambungan Ariawati 2004.
Saat ini, sektor ekonomi UMKM yang memiliki proporsi unit usaha terbesar berdasarkan statistik UMKM tahun 2009-2010 adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan,
perdagangan, hotel dan restaurant, industri pengolahan, pengangkutan dan komunikasi, serta jasa. Sedangkan sektor ekonomi UMKM yang memiliki proporsi unit usaha terkecil secara berturut-
turut adalah sektor pertambangan, bangunan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta listrik, gas, dan air bersih. BPS 2010. Secara kuantitas, UMKM memang unggul dibandingkan
dengan industri besar skala nasional. Hal ini berdasarkan fakta bahwa sebagian besar usaha di Indonesia, yaitu lebih dari 99 berbentuk UMKM Dipta 2004. Namun, apabila keseluruhan
pendapatan dan aset UKM di Indonesia digabungkan, jumlahnya belum tentu dapat bersaing dengan satu perusahaan berskala nasional. Data tersebut menunjukkan bahwa UMKM berada di
sebagian besar sektor usaha yang ada di Indonesia. Pengembangan sektor swasta, khususnya UKM, perlu dilakukan mengingat sektor ini memiliki potensi untuk menjaga kestabilan
perekonomian, meningkatkan tenaga kerja, dan mengembangkan dunia usaha Pangabean 2004. Perkembangan jumlah UMKM yang meningkat belum diimbangi dengan perkembangan
kualitas. UMKM masih menghadapi permasalahan klasik, yaitu rendahnya produktivitas. Keadaan ini secara langsung berkaitan dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia, khususnya dalam
manajemen, organisasi, teknologi, dan pemasaran Iwantono 2004. Selain itu, lemahnya kompetensi kewirausahaan dan terbatasnya kapasitas UMKM untuk mengakses permodalan,
informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya menjadi permasalahan umum yang dihadapi UMKM. Sementara itu, masalah eksternal yang dihadapi oleh UMKM, antara lain
besarnya biaya transaksi akibat kurang mendukungnya iklim usaha, praktek usaha yang tidak sehat, dan keterbatasan informasi serta jaringan pendukung usaha Taufiq 2004. UMKM juga
menghadapi tantangan terutama yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan seiring dengan cepatnya perkembangan teknologi Dipta
2004.
3.3. CARA PRODUKSI PANGAN YANG BAIK CPPB
Cara Produksi Pangan yang Baik CPPB merupakan salah satu faktor yang penting untuk memenuhi standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan untuk pangan CPPB sangat berguna bagi
kelangsungan hidup industri pangan baik yang berskala kecil, sedang, maupun yang berskala besar. Melalui CPPB ini, industri pangan dapat menghasilkan pangan yang bermutu, layak
dkonsumsi dan aman bagi kesehatan. Dengan menghasilkan pangan yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi, kepercayaan masyarakat niscaya akan meningkat, dan industri pangan yang
bersangkutan akan berkembang pesat. Dengan berkembangnya industri pangan yang menghasilkan pangan yang bermutu dan aman untuk dkonsumsi, maka masyarakat pada umumnya akan
terlindung dari penyimpangan mutu pangan dan bahaya yang mengancam kesehatan. Pedoman CPPB-IRT CPPB-Industri Rumah Tangga sesuai dengan Surat Keputusan
Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1639.2003. Melalui CPPB ini, industri pangan dapat menghasilkan pangan yang bermutu, layak dikonsumsi, dan aman bagi kesehatan BPOM 2003.
Penetapan lokasi IRT perlu mempertimbangkan keadaan dan kondisi lingkungan yang mungkin dapat menjadi sumber pencemaran potensial dan telah mempertimbangkan berbagai
tindakan pencegahan yang mungkin dapat dilakukan untuk melindungi pangan yang
6
diproduksinya. Bangunan dan fasilitas IRT harus dapat menjamin agar pangan selama dalam proses produksi tidak tercemar oleh bahaya fisik, biologis, dan kimia serta mudah dibersihkan.
Tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang. Peralatan produksi yang kontak langsung dengan pangan agar diletakkan sedemikian untuk menjamin mutu
dan keamanan pangan yang dihasilkan. Air yang digunakan selama proses produksi harus cukup
dan memenuhi persyaratan kualitas air bersih dan atau air minum. Fasilitas dan kegiatan sanitasi
diperlukan untuk menjamin agar bangunan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan mencegah terjadinya kontaminasi silang dari karyawan. Hama, seperti tikus, serangga, dan lain-
lain merupakan pembawa cemaran biologis yang dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan. Kegiatan pengendalian hama dilakukan untuk mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang
produksi yang akan mencemari pangan. Kesehatan dan higiene karyawan yang baik dapat menjamin bahwa pekerja yang kontak langsung maupun tidak langsung dengan pangan tidak
menjadi sumber pencemaran. Label pangan harus jelas dan informatif untuk memudahkan konsumen memilih, menyimpan, mengolah, dan mengonsumsi pangan. Kode produksi pangan
diperlukan untuk penarikan produk. Ironisnya, seiring dengan penetapan pedoman CPPB-IRT tersebut, pada kenyataannya
IRTP yang kian menjamur justru kurang menerapkan CPPB, baik dari segi proses maupun produksinya. Hal ini ditandai dengan belum adanya sertifikat P-IRT yang seharusnya dimiliki oleh
setiap IRTP tersebut BPOM 2003. Para pengusaha IRTP memiliki pengetahuan yang terbatas terkait CPPB itu sendiri sehingga mengambil jalan pintas berupa kecurangan yang seringkali
ditemui di dunia bisnis, misalnya perdagangan produk pangan tanpa nomor P-IRT yang seharusnya tertera pada label produk.Hal tersebut sangat merugikan berbagai pihak, terutama
konsumen karena pangan yang tidak aman dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu, usaha IRTP untuk menerapkan pedoman CPPB salah satunya dengan sertifikasi P-IRT
BPOM 2003.
3.4. TEMULAWAK