Studi etnobiologi, etnoteknologi dan pemanfaatan kekuak (Xenosiphon sp.) oleh masyarakat di kepulauan Bangka-Belitung

(1)

OLEH MASYARAKAT DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG

YULIAN FAKHRURROZI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Studi Etnobiologi, Etnoteknologi dan Pemanfaatanan Kekuak (Xenosiphon sp.) oleh Masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung ini adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian disertasi ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, 01 Pebruari 2011

Yulian Fakhrurrozi NIM C526014031


(4)

(5)

ABSTRACT

YULIAN FAKHRURROZI. Studies on Ethnobiology, Ethnotechnology and the Utilization of Kekuak (Xenosiphon sp.) by People in Bangka-Belitung Islands. Under supervision of JOHN HALUAN, ARI PURBAYANTO and SOEWARNO T. SOEKARTO

The main objectives of this research are to study kekuak utilization aspects by people in Bangka-Belitung Islands and to develope its sustainable utilization concepts. The specific objectives are: to analyze kekuak ethnobiological aspects (ethnoecology, ethnozoology, and taxonomy); to analyze its ethnotecnological aspects (technical and operation, local patterns and rules); and to analyze kekuak utilizing aspects (bait, food, and commercial utilities).

This research was devided into three topics: Ethnobiology of kekuak in Bangka-Belitung Islands; Ethnotechnology of kekuak in Bangka-Belitung Islands; and Utilization of kekuak by Bangka-Belitung people. This study was focused in kekuak utilization activities of local people, as case study at some locations in this province region. Laboratorium test and observation activities were done in Bogor. There are stratification level of local people knowledges about kekuak, related to their role and position in utilization chain of this biota, and the fishermen have much amount of knowledges about it. White sand beach type, especially in intertidal zone is known as main habitat of kekuak, that local people made as fishing ground. The existence of kekuak is known by fishermen from a mark of the nest surface likes a dog footprint.

Fishing kekuak by local people is mainly used for commercial food. There are three kinds of gear applied, i.e.: cucok, rangkang and serampang. All of them are still classified as traditional gears. The catching techniques with them called

nyucok, ngerangkang and nyerampang, all of them are classified as taken by wounding methods. The fishing activities with operating thoose gears or techniques appraised still environment friendly. Local custom policy and certain patterns in commercial fishing play an important role as a guarantee for population balance of kekuak in habitat, and the sustainability utilization.

Local people use kekuak as bait and food materials. Kekuak is appraised as qualified natural bait and potential developed as commercial natural bait for professional and recreational fishing, beside as local specific food which halal, delicious, and nutritious, so far still secure for consumption, and potential developed with product diversification with creative ideas, for increasing economic values.

In this research, the biota of kekuak was identified as Xenosiphon sp., and aims for a new species, or moreover, a new subgenera, member of Sipuncula that have been clearly identified. Anatomically this biota has a specific character, that is, it is no post-esophageal loop on its gut and it does not have a paire of protractor muscles unlike other members of Xenosiphon.

Keywords: kekuak, ethnobiology, ethnotechnology, utilization, local people, Bangka-Belitung Islands


(6)

(7)

RINGKASAN

YULIAN FAKHRURROZI. Studi Etnobiologi, Etnoteknologi dan Pemanfaatan Kekuak (Xenosiphon sp.) oleh Masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung. Dibimbing oleh JOHN HALUAN, ARI PURBAYANTO dan SOEWARNO T. SOEKARTO

Kekuak adalah sejenis biota laut anggota Filum Sipuncula (peanutworm) yang biasa juga disebut wak-wak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung. Hewan ini adalah salah satu kekayaan keanekaragaman hayati laut di daerah kepulauan tersebut, yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, baik sebagai bahan umpan maupun pangan yang kemudian mereka tangkap secara komersial.

Pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung belum pernah diteliti. Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari aspek-aspek pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung dan mengembangkan konsep pemanfaatan berkelanjutan berbasis kebijaksanaan lokal. Tujuan khusus: menganalisis aspek etnobiologi kekuak (etnoekologi, etnozoologi dan taksonomi); menganalisis aspek etnoteknologi kekuak (teknis dan operasi, pola dan aturan lokal, serta dinamika perkembangan terkait penangkapan komersial); dan menganalisis aspek pemanfaatan kekuak (manfaat umpan, pangan dan komersialnya).

Penelitian ini dibagi menjadi tiga topik yaitu: Etnobiologi kekuak di Kepulauan Belitung; Etnoteknologi kekuak di Kepulauan Bangka-Belitung; Pemanfaatan kekuak oleh masyarakat Bangka-Belitung. Penelitian ini difokuskan pada kegiatan pemanfaatan kekuak oleh masyarakat setempat, berupa studi kasus partisipatif melalui wawancara, pengamatan dan diskusi konfirmasi. Dilakukan pada beberapa lokasi yaitu di Pebuar (Bangka Barat) dan Nangkabesar (Bangka Tengah) sebagai lokasi utama; dengan lokasi-lokasi pendukungnya yaitu: Pantai Olifir dan Pantai Burongmandi (Belitung Timur); Semulut (Bangka Barat) dan Pangkalpinang. Untuk keperluan analisis juga dilakukan pengujian dan pengamatan laboratorium di Bogor. Analisis informasi dan data emik (pengetahuan lokal) umumnya dilakukan secara deskriptif-kualitatif, meliputi analisis konten, analisis komparatif dan analisis kronologis, yang dikonfirmasi dengan data etik (ilmu pengetahuan) dari hasil pengujian dan pengamatan di laboratorium.

Secara umum pengetahuan masyarakat setempat tentang kekuak ada tingkatan yang perbedaannya terkait peran dan posisi mereka dalam rantai pemanfaatannya, yaitu sebagai konsumen dan pedagang, serta nelayan dan penangkap. Tingkatan pengetahuan itu juga terkait lokasi terjadinya jenis kegiatan pemanfaatan, yaitu di toko atau pasar, rumah atau kediaman, dan pantai atau lokasi tangkap. Pengetahuan terbanyak dimiliki oleh nelayan pengguna kekuak dan terutama para penangkapnya. Tipe pantai berpasir putih terutama pada zona pasang-surut diketahui sebagai habitat utama kekuak, yang dijadikan masyarakat setempat sebagai lokasi tangkapnya. Biota ini bisa diketahui keberadaannya oleh para nelayan atau penangkap ditandai oleh permukaan sarangnya yang mirip jejak anjing.


(8)

Sebagai record data baru, hasil identifikasi pada penelitian ini menunjukkan biota kekuak lebih mendekati genus Xenosiphon sebagai

Xenosiphon sp. Adanya karakteristik kekuak yang berbeda dan khas, mengarahkannya pada pembentukan spesies bahkan subgenus baru, atau bisa diusulkan sebagai spesies ke-148 anggota Filum Sipuncula yang telah teridentifikasi jelas. Ciri khas biota ini secara anatomis yaitu: saluran ususnya tanpa belokan pasca-kerongkongan; dan juga tidak memiliki sepasang otot protraktor, tidak seperti pada anggota genus Xenosiphon lainnya.

Penangkapan kekuak oleh masyarakat setempat di Bangka-Belitung terutama untuk tujuan pangan komersial, menggunakan tiga jenis alat tangkap, yaitu cucok (alat tangkap warisan dari leluhur), rangkang dan serampang (alat tangkap temuan warga setempat), ketiganya dinilai masih tergolong jenis alat tangkap tradisional. Teknik tangkapnya yaitu nyucok, ngerangkang dan nyerampang, semuanya tergolong metode pengambilan dengan pelukaan. Kegiatan penangkapan kekuak yang mengoperasikan ketiga jenis alat tangkap dengan teknik tangkap masing-masing dinilai masih ramah lingkungan.

Kebijakan adat setempat (pemali ngesik dalam kegiatan nyucok dan

kawasan ‘pengopongan timah’) dan pola-pola khas dalam penangkapan komersial (pola musim dan waktu tangkap, serta pola zonasi dan pindah lokasi tangkap) berperan menjamin keseimbangan populasi kekuak di habitatnya dan kelestarian pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Warga masyarakat setempat juga berjasa menjaga pengetahuan teknis terkait pemanfaatan kekuak sebagai warisan dan tradisi leluhur. Mereka pun berperan membuat inovasi terkait penangkapan, menguji, dan mengadaptasikannya di lingkungan sekitar mereka demi keberlanjutan pemanfaatan kekuak.

Masyarakat Bangka-Belitung menggunakan kekuak sebagai bahan umpan dan pangan. Awalnya kekuak merupakan pangan indigenus etnik Seka’, kemudian pangan subsisten etnik Melayu, dan akhirnya menjadi pangan istimewa etnik Tionghoa yang bernilai ekonomis (komersial). Berdasarkan pengetahuan lokal (emik) yang dikaji di sini dan dikonfirmasi secara etik (ilmu), kekuak adalah umpan alami yang bermutu dan potensial dikembangkan sebagai umpan alami komersial penunjang kegiatan memancing profesional ataupun rekreasional, sekaligus sebagai sumber pendapatan potensial bagi nelayan. Selain itu kekuak merupakan bahan pangan khas yang halal, lezat dan bergizi, sejauh ini aman dikonsumsi serta potensial dikembangkan melalui diversifikasi produknya dengan berbagai gagasan kreatif demi peningkatan nilai ekonomisnya, memperpanjang rantai pemanfaatan, membuka lapangan kerja baru dan menambah pendapatan keluarga nelayan dan para penangkap kekuak.

Kekuak panggang kelup adalah kuliner kekuak khas Pebuar yang unik dan inspiratif, memunculkan beberapa gagasan baru pada penelitian ini seperti kekuak sebagai casing sosis edibel untuk dipanggang ataupun digoreng. Kekuak basah atau kering yang digoreng tepung bisa menutupi bentuk aslinya yang kurang menarik. Kekuak kering yang dipotong-potong pendek membuatnya lebih mudah untuk diolah, dikemas, disimpan, dibawa serta lebih menarik dan mudah pula untuk dinikmati.

Kata kunci: kekuak, etnobiologi, etnoteknologi, pemanfaatan, masyarakat lokal, Kepulauan Bangka-Belitung


(9)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

STUDI ETNOBIOLOGI, ETNOTEKNOLOGI

DAN PEMANFAATAN KEKUAK (Xenosiphon sp.)

OLEH MASYARAKAT DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG

Oleh:

YULIAN FAKHRURROZI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 22 Desember 2010, 1. Dr.Ir. Domu Simbolon, MSi.

2. Prof.Dr.Ir. Mulyono S. Baskoro, MSc.

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 01 Pebruari 2011, 1. Prof.Dr.Ir. Daniel R.O. Monintja


(13)

(14)

(15)

KATA PENGANTAR

Puji-yukur kepada Allah SWT, dengan rahmat-Nya disertasi berjudul

‘Studi Etnobiologi, Etnoteknologi dan Pemanfaatan Kekuak (Xenosiphon sp.) oleh Masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung’ inipun akhirnya rampung juga.

Terima kasih sangat kepada Prof.Dr.Ir. John Haluan, MSc., Prof.Dr.Ir. Ari Purbayanto, MSc. dan Prof.Dr. Soewarno T. Soekarto, MSc. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar memberi masukan, arahan dan dukungan. Terima kasih juga kepada bapak-bapak yang berkenan me-review

naskah disertasi dan menjadi penguji luar komisi ujian tertutup dan terbuka. Terima kasih kepada para pengelola dan teknisi di Lab Tanah FAPERTA, Lab Produktivitas dan Lingkungan Perairan FPIK IPB dan Lab Uji Pangan BBPP Pascapanen Pertanian Cimanggu, yang telah memberi fasilitas dan ikut membantu pengujian dan pengamatan sampel-sampel penelitian. Terima kasih juga kepada semua warga masyarakat Bangka-Belitung khususnya di Pangkalpinang, Pebuar, Nangkabesar, Semulut dan Manggar yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Terima kasih kepada Rektor Universitas Bangka Belitung dan segenap jajaran yang telah memberi izin, kesempatan dan dukungan demi penyelesaian studi ini. Terima kasih juga kepada rekan-rekan seperjuangan, semua pihak dan individu terkait studi dan penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satu demi satu.

Terima kasih teramat dalam buat Ibu-Bapak tercinta atas doa-restu dan kasih-sayang sepanjang hayat, juga adik-adik dan semua ponakanku tersayang serta seluruh keluarga besar penulis, atas pengorbanan dan kesabarannya menanti penyelesaian studi ini, teristimewa buat Pamanda Prof.Dr. Yusril Ihza Mahendra, MSc. atas dukungan moriil-materiil selama ini. Terima kasih khusus buat istriku tercinta yang selalu setia menemani dalam menapaki pahit-getir perjuangan ini.

Semoga Allah membalas semua kebaikan tadi dengan pahala berlipat-ganda, semoga pula karya ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya, amin. Atas segala kesalahan, kekurangan dan kekhilafan, penulis mohon dimaafkan.

Bogor, 01 Februari 2011


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Manggar, Belitung Timur pada 11 Juli 1969 sebagai putra sulung dari Bapak H. Yuslim Ihza dan Ibu Hj. Martini MS, AMa.Pd. Pada 15 Desember 2007 penulis menikah dengan Annita Meilanny, SPd.

Lulus dari SMAN di kota Manggar pada 1988, penulis diterima pada program S1 di IPB Bogor pada tahun yang sama melalui jalur PMDK, namun tidak berlanjut. Pada 1990 penulis diterima kuliah pada program S1 Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP Jakarta melalui jalur UMPTN dan lulus pada Maret 1995. Penulis kemudian bekerja sebagai guru pada beberapa sekolah dan lembaga bimbingan belajar di Jakarta sampai 1998.

Pada 1998 penulis melanjutkan pendidikan S2 Program Studi Biologi (Taksonomi Tumbuhan) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada Januari 2001, kemudian melanjutkan S3 Program Studi Teknologi Kelautan (Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada 2002, keduanya di Program/Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Sejak tahun 2008 penulis adalah staf pengajar tetap Program Studi Biologi pada Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung.

Terkait penelitian ini, penulis telah menerbitkan karya ilmiah berjudul

“Tiga Jenis Alat Tangkap Kekuak untuk Tujuan Komersial di Bangka: Studi kasus Pebuar (Bangka Barat) dan Pulau Nangkabesar (Bangka Tengah)” di Jurnal Akuatik (ISSN 1978-1652) Volume 3 No. 2 Tahun 2009. Disamping itu karya

ilmiah berjudul “Teknik Penangkapan dalam Perikanan Kekuak Komersial -Tradisional di Bangka: Studi kasus Pebuar (Bangka Barat) dan Pulau Nangkabesar (Bangka Tengah)” di jurnal yang sama Volume 4 No. 2 Tahun 2010.


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5

1.4 Kerangka Pemikiran... 6

2TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1 Biologi Sipuncula... 9

2.2 Pemanfaatan Sipuncula... 13

2.3 Metode Penangkapan... 15

2.4 Kearifan Lokal dan Pengetahuan Tradisional... 19

2.5 Kepulauan Bangka-Belitung... 23

3 METODOLOGI PENELITIAN... 25

3.1 Metode Umum... 25

3.2 Lokasi dan Waktu... 25

3.3 Pengumpulan Informasi dan Data... 26

3.4 Pengolahan dan Analisis Data... 28

4 KONDISI DAERAH PENELITIAN... 29

4.1 Lokasi Pemanfaatan Kekuak... 29

4.2 Masyarakat Penangkap Kekuak Komersial... 30

5 ETNOBIOLOGI KEKUAK DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG. 33 5.1 Pendahuluan... 33

5.2 Metode Penelitian... 34

5.2.1 Prosedur analisis substrat... 34

5.2.2 Prosedur pengamatan spesimen... 35

5.3 Hasil dan Pembahasan... 36

5.3.1 Analisis etnoekologi kekuak... 36

5.3.1.1 Pengetahuan ekologis lokal... 37

5.3.1.2 Pemetaan marinsekap dan analisis substrat... 41

5.3.2 Analisis etnozoologi kekuak... 45

5.3.2.1 Pengetahuan zoologis lokal... 45

5.3.2.2 Pengamatan biota di lapangan dan laboratorium... 53

5.3.3 Analisis taksonomi kekuak... 65

5.3.3.1 Pengetahuan taksonomis lokal... 66

5.3.3.2 Proses identifikasi biota... 67

5.4 Kesimpulan... 73

6 ETNOTEKNOLOGI KEKUAK DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG... 75

6.1 Pendahuluan... 75

6.2 Metode Penelitian... 76


(18)

6.3.1 Analisis teknis penangkapan kekuak komersial... 77

6.3.1.1 Ragam kegiatan penangkapan... 77

6.3.1.2 Komparasi teknis penangkapan... 89

6.3.1.3 Beberapa konten teknis penangkapan... 94

6.3.2 Analisis aturan lokal dan pola tangkap... 99

6.3.2.1 Pemali ngesik dan pengopongan timah... 99

6.3.2.2 Pola waktu dan musim tangkap... 104

6.3.2.3 Pola zonasi dan pindah lokasi tangkap... 106

6.3.3 Analisis dinamika perkembangan penangkapan... 111

6.3.3.1 Sejarah singkat dan peran masyarakat... 112

6.3.3.2 Adaptasi masyarakat terhadap inovasi... 115

6.3.3.3 Penemuan mutakhir... 118

6.4 Kesimpulan... 123

7 PEMANFAATAN KEKUAK OLEH MASYARAKAT BANGKA BELITUNG 125 7.1 Pendahuluan... 125

7.2 Metode Penelitian... 126

7.2.1 Prosedur analisis kandungan kimia... 127

7.3 Hasil dan Pembahasan... 128

7.3.1 Analisis pemanfaatan kekuak untuk umpan... 128

7.3.1.1 Kebiasaan memakai umpan... 128

7.3.1.2 Komparasi penggunaan umpan... 133

7.3.1.3 Karakteristik kekuak sebagai umpan... 135

7.3.1.4 Komposisi kimia bahan umpan... 138

7.3.2 Analisis pemanfaatan kekuak untuk pangan... 140

7.3.2.1 Mitos dan kebiasaan konsumsi... 141

7.3.2.2 Kandungan gizi dan kimia pangan... 149

7.3.2.3 Mutu dan penanganan produk pangan... 153

7.3.2.4 Kuliner dan pengembangannya... 157

7.3.3 Analisis manfaat komersial kekuak... 167

7.3.3.1 Komoditas dan harga produk... 168

7.3.3.2 Pola pemasaran dan peran pengumpul... 173

7.4 Kesimpulan... 179

8 PEMBAHASAN UMUM... 181

8.1 Karakteristik, Kondisi dan Status Aspek Terkait Pemanfaatan Kekuak.... 181

8.1.1 Aspek etnobiologi... 181

8.1.2 Aspek etnoteknologi... 182

8.1.3 Aspek pemanfaatan... 184

8.2 Pengembangan Konsep Pemanfaatan Kekuak Berkelanjutan... 187

8.2.1 Aspek biologi... 187

8.2.2 Aspek teknologi... 188

8.2.3 Aspek ekonomi... 190

8.3 Strategi Pengelolaan Pemanfaatan Kekuak yang Adaptif... 193

9 KESIMPULAN UMUM... 197

9.1 Kesimpulan... 197

9.2 Saran... 198


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Klasifikasi anggota Filum Sipuncula - 144 spesies revisi Cutler (1994)…. 13

2 Perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Villorro 1982)... 20

3 Situs-situs pemanfaatan kekuak sebagai lokasi utama penelitian... 29

4 Jumlah penangkap kekuak komersial di Bangka (2007-2009)... 31

5 Perbandingan karakter antara kekuak dan beberapa spesies pembanding... 68

6 Perbedaan karakter antara kekuak dan beberapa genus Sipunculidae... 69

7 Perbandingan tiga jenis alat tangkap kekuak di Bangka... 89

8 Perbandingan teknik tangkap kekuak komersial di Bangka... 91

9 Perbandingan operasi penangkapan kekuak komersial di Bangka... 93

10 Penilaian aspek tradisional alat tangkap kriteria Hutabarat (2001)... 94

11 Karakter pelukaan/pemaksaan pada teknik tangkap kekuak... 96

12 Bedah kasus kebijakan pemali ngesik pada gawe nyucok di Pebuar... 101

13 Bedah kasus kebijakan pengopongan timah di Pebuar... 103

14 Jadwal umum kegiatan musim tangkap kekuak setahun (rekonstruksi)... 105

15 Proses adaptasi inovasi penangkapan kekuak komersial di Pebuar... 116

16 Proses adaptasi inovasi penangkapan kekuak komersial di Nangkabesar.... 116

17 Perbedaan cucok rotan dengan cucok paralon... 119

18 Perbedaan ngerangkang biasa dengan ngerangkang plus... 121

19 Perbedaan pengunaan umpan kekuak antara dua kasus unik... 133

20 Kelebihan/kekurangan penggunaan umpan kekuak di Manggar... 134

21 Kelebihan/kekurangan penggunaan umpan kekuak di Pebuar... 134

22 Karakteristik umpan kekuak menurut pengetahuan nelayan... 135

23 Penilaian umpan kekuak (Djatikusumo 1975 dan Tampubolon 1980)….... 137

24 Komposisi proksimat kekuak segar (%)... 139

25 Komposisi asam amino daging kekuak segar (%)... 140

26 Kategorisasi konsumsi pangan kekuak masyarakat setempat... 148

27 Kandungan proksimat daging kekuak untuk konsumsi (%)... 149

28 Kandungan asam amino daging kekuak untuk konsumsi (%)... 151

29 Kandungan asam lemak produk kekuak... 152

30 Kandungan beberapa unsur penting dalam kekuak... 153

31 Perbedaan mutu daging kekuak segar hasil tiga macam teknik tangkap... 155

32 Harga rata-rata komoditas kekuak basah/segar di Pebuar 2008/2009... 169


(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pikir penelitian... 8

2 Sipunculus nudus dan Xenosiphon branchiatus... 9

3 Kedudukan Filum Sipuncula diantara filum-filum lain (Anonim 2009)... 10

4 Hubungan filogenetik antar-genus dalam filum (Cutler & Gibbs)... 11

5 Sipunculus nudus tubuh bagian dalam (Anonimª 2009)... 12

6 Cara menangkap terung di Selat Madura (Subani & Barus 1989)... 16

7 Peta daerah penelitian di Kepulauan Bangka-Belitung... 26

8 Pantai pasir putih berupa beting (1) dan gosong (2)... 38

9 Pantai berterumbu karang (1) dan pantai berhutan bakau (2)... 40

10 Skema posisi marinsekap terkait habitat/lokasi tangkap kekuak... 42

11 Diagram bagian-bagian lingkungan laut (Davis 1986)... 43

12 Tekstur tanah (substrat) beberapa lokasi tangkap kekuak di Bangka... 44

13 Tanda lubang sarang kekuak, mirip jejak anjing... 46

14 Sketsa bentuk umum lubang sarang kekuak... 46

15 Urutan teknik nyucok kekuak untuk keperluan umpan... 47

16 Perkiraan bentuk sarang dan posisi kekuak... 48

17 Kekuak dewasa yang bertelur... 51

18 Kekuak yang masih kecil, ditemukan saat menangkap yang dewasa... 52

19 Kekuak kering dijual di pasar (digantung bersama produk lain)... 54

20 Kekuak hasil nyucok dan nyerampang sedang dijemur... 54

21 Kekuak hasil nyucok baru saja tertangkap (masih utuh)... 56

22 Kekuak segar hasil ngerangkang... 56

23 Sisa-sisa gerak kekuak yang baru terkena cucok... 57

24 Spesimen kekuak utuh hasil nyucok, introvert membesar sebagian... 58

25 Variasi bentuk introvert (anterior) pada spesimen kekuak basah... 58

26 Variasi bentuk ekor (posterior) spesimen kekuak... 58

27 Variasi motif pemukaan luar kulit badan kekuak... 59

28 Badan depan kekuak, variasi susunan POS... 59

29 Permukaan kulit dan POS badan tengah kekuak motif tidak seragam... 59

30 Spesimen kekuak basah hasil ngerangkang (belum dibalik)... 60

31 Bagian dalam tubuh spesimen kekuak basah awetan... 61

32 Bagian dalam spesimen kekuak basah non-awetan... 61

33 Bagian dalam utuh tubuh kekuak... 62

34 Pita-pita otot longitudinal (POL) terpisah (separated)... 63

35 Bentang potongan dinding badan tengah kekuak... 63

36 Anatomi badan atas kekuak dengan kondisi introvert sedang keluar... 64

37 Anatomi badan atas kekuak dengan kondisi introvert sedang masuk... 64

38 Sketsa anatomi tubuh kekuak (gambar rekonstruksi)... 65

39 Nyucok di atas tanah dan di genangan air... 78

40 Proses pengeringan kekuak pada tali (1) dan kayu (2) jemuran... 79

41 Kaum perempuan Pebuar dan gawe nyucok... 80

42 Ngerangkang di kolom air (1 menikam; 2 mengangkat)... 82

43 Kaum lelaki Pebuar dan gawe ngerangkang... 83

44 Nyerampang di air (1 menancap; 2 mengungkit; 3 mengambil)... 86

45 Gawe nyerampang warga Nangkabesar... 87


(21)

47 Nelayan dan perlengkapan menangkap kekuak... 90

48 Sketsa perkiraan cara kekuak terkena alat tangkap... 92

49 Luka kekuak akibat nyucok (1), ngerangkang (2) dan nyerampang (3)... 96

50 Ngesik atau nuis, menyayati permukaan lubang kekuak dengan pisau... 100

51 Skema zonasi tangkap kekuak kasus Pebuar dan Nangkabesar... 106

52 Peta daerah dan lokasi tangkap kekuak kawasan Pebuar... 110

53 Peta daerah dan lokasi tangkap kekuak Pulau Nangkabesar... 111

54 Cucok dari rotan dan pipa paralon... 108

55 Ngerangkang plus, kompresor sebagai alat bantu utama... 120

56 Rancang-ulang alat tangkap kekuak bongkar-pasang... 123

57 Ikan gagok, target mancing hobi... 129

58 Pantai (bekas pelabuhan) Olifir Manggar... 130

59 Pantai Burongmandi... 130

60 Nelayan Pebuar menyiapkan pancing rawai... 132

61 Tembilok di kayu bakau (1), tembilok segar (2), langsung makan (3)... 142

62 Kekuak kering mentah... 143

63 Kekuak segar (1), dimakan mentah langsung (2) atau sebagai lauk (3)... 144

64 Tembilok panggang-lilit khas Belinyu (1 cara lilit; 2 cara panggang)... 142

65 Kekuak panggang-kelup khas Pebuar (1 cara kelup; 2 cara panggang)... 145

66 Pohon kendu atau keremuntingen... 145

67 Kekuak hasil ngerangkang... 155

68 Terung setelah dibalik... 156

69 Kumpulan serat daging (*) kekuak segar yang lepas ... 156

70 Kemasan kekuak kering mentah (1) dan siap saji (2) di pasar/toko... 157

71 Tangkai daun paku resam... 162

72 Kekuak kelup tangkai bambu dan resam... 162

73 Tendangan pada kekuak kelup goreng... 163

74 Penggunaan kekuak sebagai casing sosis edibel... 164

75 Percobaan pewarnaan pada kekuak dengan biji kesumba dan kunyit... 164

76 Kekuak kelup mini goreng biasa (*) dan goreng tepung (#)... 165

77 Menjemur kekuak basah dengan cara dibelah dulu... 166

78 Potongan kekuak kering dibelah dan dibuat keripik goreng... 166

79 Penyimpanan tidak praktis (1) dan pengemasan praktis (2)... 167

80 Rantai pemasaran kekuak kering dan cara pembayaran pengumpul... 174

81 Data kekuak kering 2005 Pebuar dan Nangkabesar... 175

82 Data kekuak kering 2006 dan 2008 Nangkabesar... 176

83 Rantai pemasaran kekuak basah (segar) kasus Pebuar... 179


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Daftar informan kunci... 208 2 Topik-topik dan prinsip-prinsip umum CCRF... 209 3 Data analisis substrat habitat dan sebaran lubang sarang kekuak... 210 4 Data ukuran kekuak yang tertangkap... 211 5 Data setoran kekuak kering tahun 2006 dan 2008 di Nangkabesar... 213 6 Data pengumpul dan penangkap kekuak di Pebuar dan Nangkabesar... 214 7 Profil warga nelayan dan penangkap kekuak di Bangka-Belitung... 216 8 Profil Kampong Pebuar dan Pulau Nangkabesar... 217 9 Dokumentasi kegiatan penelitian... 218 10 Kriteria alat tangkap ramah lingkungan menurut Baskoro (2006)... 219 11 Determinasi mudah untuk genus-genus anggota Sipuncula... 220 12 Ringkasan sejarah perikanan tangkap kekuak... 221


(23)

DAFTAR ISTILAH

Anastomosing Terhubung atau bertemunya (interkomunikasi) antara

dua pita (jalur) otot yang berlainan pangkalnya Belokan paska kerongkongan

(BPK)

Suatu putaran lepas usus antara kerongkongan dan gulungan terketat (Sipunculus gut)

Bos Tenggkulak; pedagang pengumpul; pengumpul

Coelom Rongga badan (tubuh)

Daerah tangkap Area dimana berada lokasi-lokasi tangkap pada kurun waktu tertentu di suatu wilayah

Etnobiologi Studi ilmiah tentang hubungan dinamik antara masyarakat, biota dan lingkungan dari masa lalu sampai kini

Etnoekologi Bidang etnobiologi yang fokusnya mendokumentasi, menggambarkan dan memahami bagaimana suatu masyarakat memandang, mengelola dan menggunakan seluruh ekosistem

Etnoteknologi Studi ilmiah tentang pengetahuan teknis yang dimiliki oleh masyarakat lokal; atau tentang teknik-teknik yang dimiliki oleh masyarakat tradisional, terutama terkait produksi dan pemanfaatan sumberdaya

Etnozoologi Bidang etnobiologi yang fokusnya hubungan antara hewan dan masyarakat manusia sepanjang sejarah

Gawe Kegiatan; pekerjaan

Introvert Bagian depan/kepala (belalai) yang bisa keluar-masuk

rongga badan (coelom)

Kebijaksanaan lokal Pandangan, keputusan dan tindakan yang muncul dari atau dikeluarkan oleh masyarakat lokal berdasarkan pengetahuan, keyakinan, pengalaman dan pemikiran mereka sehingga bernilai positif dari berbagai aspek Lokasi tangkap Area kegiatan penangkapan pada saat tertentu di suatu

daerah tangkap

Ngesik (nuis) Perbuatan menyayati permukaan sarang kekuak

dengan benda tajam seperti pisau untuk memperjelas lubangnya agar mudah ditusuk pada saat gawe nyucok

Otot protraktor (OP) Otot pendorong yang fungsinya membantu introvert keluar coelom


(24)

Otot retraktor (OR) Otot penarik yang fungsinya membantu menarik introvert masuk kedalam coelom

Panggang kelup Cara panggang dengan memasukkan (menyusupkan) separuh badan kekuak kedalam dengan tangkainya Panggang lilit Cara panggang dengan melilitkan kekuak pada

tangkainya

Partisipatori (partisipatif) Berperan-serta atau mengikut-sertakan masyarakat lokal sebagai objek sekaligus subjek penelitian

Pemakaian Tindakan mengenakan/menghabiskan sesuatu yang bernilai pakai untuk menunaikan/menjalankan suatu pekerjaan atau mencapai suatu tujuan

Pemali’ Pantangan atau larangan adat di suatu tempat yang

jika dilanggar diyakini akan mendatangkan kutukan bagi pelanggar atau bencana di lingkungan tersebut Pemanfaatan Semua upaya dan tindakan terkait dalam mengambil

sesuatu yang bermanfaat/berguna (sumberdaya) dan mempergunakannya untuk berbagai keperluan/tujuan Pengetahuan tradisional Segala sesuatu yang diketahui oleh masyarakat lokal

yang didapat dari generasi sebelum-sebelumnya atau hasil dari pengalaman mereka selama ini

Penggunaan Tindakan memakai atau menggunakan sesuatu yang berguna atau bermanfaat untuk memenuhi/mencapai suatu keperluan/tujuan atau kebutuhan

Pita otot longitudinal (POL) Lapisan terdalam dari dua lapisan otot dinding badan atau introvert

Pita otot sirkular (POS) Lapisan terluar dari dua lapisan otot dinding badan atau introvert

Ruap Periode surut air laut terendah (bonang)

Takok Bagian kepala alat tangkap yang mirip mata panah

Taru’ atau keunda’ Periode surut air laut tanggung (konda)

Tentakel Lanjutan dinding tubuh pada ujung distal introvert, berfungsi untuk mengambil makanan


(25)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan, Indonesia amat kaya akan keanekaragaman hayati di lingkungan lautnya. Keanekaragaman budaya berbagai etnik penduduknya sebagai sumberdaya manusia lokal, makin melengkapi kekayaan hayati tadi. Setiap etnik berperan menyumbangkan pengetahuan lokal berupa berbagai bentuk dan pola pemanfaatan sumberdaya alam lokal di lingkungannya. Bentuk dan pola yang umumnya masih tradisional dan sederhana itu merupakan potensi dalam upaya pengembangan pemanfaatan sumberdaya yang lestari atau berkelanjutan.

Bangka dan Belitung adalah salah satu wilayah yang penduduknya berasal dari masyarakat berbagai etnik, Melayu adalah etnik yang dominan. Sebagai provinsi kepulauan, penduduk aslinya sebagian besar masyarakat pesisir yang kehidupannya mendapat pengaruh kondisi laut, meskipun tidak bergantung penuh pada laut. Dalam kegiatan produksi mereka memanfaatkan sumberdaya hayati di lingkungan perairan laut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (subsisten dan komersial), yang umumnya masih tradisional, sederhana dan belum optimal, terutama yang unik dan khas.

Salah satu sumberdaya perairan pantai yang sudah lama dimanfaatkan masyarakat Melayu setempat adalah sejenis biota anggota Sipuncula yang disebut ‘kekuak’ atau ‘wak-wak’. Penangkapan biota ini oleh warga masyarakat beberapa tempat di wilayah ini, sudah rutin dilakukan sebagai kegiatan musiman. Tanpa pola pemanfaatan yang mempertimbangkan keseimbangan alamiah di lingkungan mereka, mana mungkin kegiatan rutin itu masih bisa berlangsung hingga kini.

Secara turun-temurun kekuak sudah dipakai nelayan setempat sebagai umpan, tetapi telah lama pula dijadikan sebagai pangan, khususnya di Bangka. Sekelompok warga di beberapa tempat di Bangka bahkan sengaja menangkapnya untuk dijual sebagai produk pangan, kebanyakan pembelinya adalah masyarakat dari etnik Tionghoa setempat. Meskipun begitu, sampai kini kekuak belum terdaftar sebagai komoditas hasil laut dalam statistik perikanan setempat, masyarakat awamnya pun tidak banyak tahu dan peduli perihal kekuak dan


(26)

penangkapannya, padahal dalam sejarah perkembangan pemanfaatannya banyak hal menarik yang perlu dipelajari.

Berdasarkan informasi prapenelitian, Jebus (Bangka Barat) dan Sungaiselan (Bangka Tengah) adalah dua wilayah kecamatan yang menarik dan mewakili sebagai lokasi utama penelitian ini. Di lokasi pertama tinggal komunitas penangkap kekuak dengan jenis alat dan teknik tangkap yang sudah diterapkan turun-temurun, selain itu terjadi pula perkembangan penangkapan dengan jenis alat/teknik baru. Pengetahuan perihal penangkapan tadi ditransfer ke lokasi kedua, yang penerapannya melahirkan teknik dan pola tangkap baru, hasil adaptasi terhadap kondisi lingkungan berbeda.

Informasi ilmiah mendasar tentang pemanfaatan kekuak yang jadi fenomena dalam kehidupan masyarakat setempat ini belum pernah ada, adalah alasan utama penelitian ini dilakukan, demi mempelajari dan menggali potensinya untuk kemudian dikembangkan. Penelitian ini juga harus mengungkap secara ilmiah pengetahuan masyarakat setempat tentang kekuak dan peranan mereka sepanjang sejarah pemanfaatannya, terutama terkait biota, penangkapan dan manfaatnya. Ellen et al. (2000) menyatakan, pengetahuan dan tradisi masyarakat lokal sering dianggap statis dan tidak berubah padahal pada kenyataannya mengalami perubahan dan dinamis.

Pengetahuan tradisional sering dilecehkan karena dianggap tidak ilmiah, tidak atau belum bisa dijelaskan secara kuantitatif (terukur oleh metode penelitian), walaupun fakta mencatat manfaatnya sering bisa mengatasi persoalan masyarakat sehari-hari (Soedjito dan Sukara 2006). Kajian dalam penelitian ini memakai pendekatan analisis studi kasus, terutama dengan perspektif etnobiologi yang lalu dikembangkan pada perspektif etnoteknologi dan zoologi-ekonomi. Rifai (2000) menyatakan selama ini etnobiologi banyak terbukti menjadi instrumen berharga dalam memecahkan berbagai masalah mutakhir global, seperti penemuan obat tradisional untuk kanker, dan bentuk-bentuk pengelolaan sasi

untuk pemanfaatan sumberdaya hayati tanpa menguras stok. Namun disadari kini, banyak pengetahuan tradisional keburu lenyap sebelum sempat dicatat atau diketahui para peneliti.


(27)

Pendekatan tadi dipilih penelitian ini karena belum pernah ada informasi ilmiah tentang aspek pemanfaatan kekuak, apalagi aspek biologinya yang khusus dan rinci karena teknis pengamatannya relatif sulit dan butuh waktu lama. Saat ini informasi yang tersedia, relatif murah dan mudah dijangkau tentang semua itu cuma dari pengetahuan masyarakat setempat. Dengan sumberdaya terbatas, memanfaatkan pengetahuan lokal dalam penelitian ini adalah pilihan terbaik. Terkait hal ini, Soejito dan Sukara (2006) menyatakan bahwa mengilmiahkan pengetahuan tradisional amat penting, karena inilah cara paling efektif untuk menambah dan memajukan khasanah keilmuan di Indonesia, hasilnya pun pasti bisa diterapkan karena telah lama sekali dipraktekkan melalui tradisi masing-masing etnik pemiliknya, sekaligus mengangkat citra dan upaya mencari solusi efektif untuk tiap masalah di masing-masing lokalitas.

Bagi masyarakat nelayan setempat, penghasilan dari kekuak sama pentingnya dengan kelestarian pemanfaatannya. Secara ekonomi telah terbukti selama ini kekuak menjadi salah satu sumber pendapatan tambahan mereka, tetapi peningkatan kegiatan pemanfaatannya cenderung berpotensi mengancam kelestarian populasinya di habitat. Mengingat pentingnya arti ekonomi dan kelestarian kekuak bagi mereka, penelitian ini perlu dilakukan mengarah pada bagaimana agar pemanfaatannya tetap lestari, disamping optimal. Hal ini bisa dijadikan masukan bagi pemerintah setempat dalam merancang pembangunan berbasis kekuatan lokal dan kemandirian masyarakatnya.

Paradigma umum kajian etnobiologi selama ini masih menekankan kegiatan eksplorasi (inventarisasi) semua jenis tumbuhan/hewan yang dimanfaatkan kelompok etnik pada kawasan tertentu, yang biasanya lebih mudah diungkap secara kuantitatif. Sedikit bergeser dari situ, kajian penelitian ini menekankan eksplorasi satu jenis biota yang dimanfaatkan masyarakat lokal namun bukan merupakan komoditas lazim, yang lebih relevan diungkap secara kualitatif sebagai penelitian dasar. Pengetahuan lokal tentang jenis biota tadi pun sudah lebih jauh pada aspek teknis pemanfaatan, sehingga kajian etnoteknologinya perlu lebih ditekankan mendampingi kajian etnobiologinya.

Terkait pendekatan induktif dan kualitatif, Rifai (2000) mengingatkan bahwa masalah pendekatan dan metodologi dalam etnobotani (juga berlaku umum


(28)

pada etnobiologi) memang amat menentukan corak ilmu yang dihasilkan, jika dari semula pendekatan kualitatif sudah berhasil menelurkan berbagai teori etnobotani yang amat berharga untuk mengembangkan ilmunya, maka legitimasi pendekatannya tidak perlu dipersoalkan, selama pendekatan itu menjawab sesuatu persoalan dengan baik, kegunaannya pun pasti akan diterima dengan tangan terbuka oleh ilmu dan teknologi.

1.2 Perumusan Masalah

Pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung sudah dilakukan secara turun-temurun, tetapi belum ada laporan apalagi kajian ilmiahnya. Penelitian ilmiah tentang pemanfaatan kekuak di daerah ini bisa dipertimbangkan sebagai informasi dasar yang dibutuhkan bagi upaya pengembangan potensi lokal demi meningkatnya kesejahteraan masyarakat khususnya komunitas nelayan. Inti dari artikel 7 dan 10 dari Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1999) adalah bahwa semua yang terlibat dalam pengelolaan perikanan harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan, namun harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik dan tersedia.

Pemanfaatan kekuak oleh masyarakat setempat dengan berbagai aspeknya memang belum pernah diteliti. Dilihat dari masih terus berlangsungnya kegiatan rutin musiman masyarakat menangkapnya di beberapa tempat berbekal pengetahuan lokal, menandakan pemanfaatannya selama ini berkelanjutan, meski begitu belum diketahui secara ilmiah sampai sejauh mana dan apa jaminannya. Sementara itu, di tempat-tempat lain kegiatan ini terancam bahkan menghilang, namun ada pula yang belum optimal. Untuk itu pemanfaatan kekuak terutama kegiatan penangkapannya adalah masalah yang harus diteliti, demi tersedianya bukti ilmiah terbaik yang dibutuhkan.

Karakteristik kekuak dan habitatnya adalah aspek biologi yang amat penting diketahui sebagai informasi dasar dalam upaya menyusun strategi pengelolaan sumberdaya kekuak (konservasi jangka panjang dan pemanfaatannya yang berkelanjutan). Sudah berapa banyak sumberdaya hayati yang dimanfaatkan namun statusnya terancam dan kemudian punah, akibat minimnya informasi


(29)

ilmiah mendasar dan pengabaian pengetahuan informal (tradisional dan lokal) tentang aspek ini.

Penangkapan kekuak komersial sebagai proses hulu kegiatan pemanfaatan, merupakan aspek yang penting diketahui dalam sistem pengelolaan sumberdaya hayati lokal, penentu seberapa besar keuntungan bagi masyarakat pemanfaatnya dan seberapa besar tekanan/ancaman terhadap kelestarian populasi di habitatnya. Selama ini ketiadaan/miskinnya pengetahuan dan informasi ilmiah akibat belum adanya kepedulian dan studi, telah membiarkan masalah terkait keberlanjutan pemanfaatan kekuak komersial di wilayah ini. Aspek ini mencakup peralatan dan teknik tangkap serta pola pemanfaatan dan aturan lokal terkait yang ada.

Aspek manfaat kekuak pun belum pernah diteliti apalagi hal ini merupakan sebuah dilema. Penggunaannya sebagai umpan dan pangan sebagai proses hilir kegiatan pemanfaatan, terutama yang bersifat komersial akhirnya menjadi penyebab utama mengapa biota kekuak ditangkap. Kondisi ini secara langsung mempengaruhi pola dan aturan pemanfaatannya. Di satu sisi pengungkapan nilai guna/ekonomisnya berpotensi menguntungkan penangkap dan konsumen. Diversifikasi penggunaannya pun berpotensi memberi nilai tambah dan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Namun, di sisi lain secara tidak langsung hal ini pun bisa mengganggu kelestarian populasinya dan mengancam kelangsungan pemanfaatannya sendiri. Sejauh mana dan bagaimana potensi penggunaan ini bisa mengoptimalkan pemanfaatan kekuak dengan tetap berkelanjutan, juga merupakan masalah yang perlu diteliti.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengungkapkan aspek-aspek pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung dan mengembangkan konsep pemanfaatan berkelanjutannya berbasis kearifan lokal (local wisdom). Tujuan-tujuan khususnya adalah: (1) Menganalisis aspek etnobiologi kekuak (etnoekologi, etnozoologi dan taksonomi); (2) Menganalisis aspek etnoteknologi kekuak (teknis dan operasi, pola dan aturan lokal, serta dinamika perkembangan penangkapan komersial); (3) Menganalisis pemanfaatan kekuak berkelanjutan (manfaat umpan, pangan dan komersial).


(30)

Manfaat-manfaat penelitian ini: (1) Terselamatkannya perbendaharaan

sekaligus memperkaya khasanah pengetahuan tradisional (traditional heritage); (2) Berkembangnya metode kajian pemanfaatan sumberdaya berbasis kearifan

lokal; (3) Sebagai penghargaan atas peran-peran masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya hayati di lingkungannya; dan (4) Sebagai masukan bagi upaya pengembangan manfaat komersial kekuak yang lebih menguntungkan dan berkesinambungan bagi masyarakat lokal (komunitas nelayan dan penangkap). 1.4 Kerangka Pemikiran

Konsep pemanfaatan kekuak berkelanjutan yang sudah ada dalam kehidupan masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung perlu dikembangkan. Sebelumnya, harus diketahui lebih dulu bagaimana karakteristik, kondisi dan status aspek-aspek terkait yang sekaligus menggambarkan bagaimana konsep pemanfaatan berkelanjutan itu, sebagai bagian dari kearifan lokal. Demi memperoleh pengetahuan (data dan informasi) tentang itu semua, agar bisa menjadi bukti ilmiah terbaik dan tersedia, untuk diadopsi sebagai langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan seperti telah digariskan dalam CCRF, maka dilakukanlah penelitian ini.

Kerangka pikir penelitian ini mencakup input (masukan), proses dan

output (keluaran) yang secara skematik bisa dilihat pada Gambar 1. Bagian input

adalah proses yang terjadi di lingkungan perairan laut dan sumberdaya hayati lokal dimana terdapat biota kekuak, dan di lingkungan masyarakat dan budaya lokal dimana terdapat sistem pengetahuan terkait pemanfaatan sumberdaya alam.

Bagian proses merupakan ruang lingkup penelitian ini, mengungkap kegiatan pemanfaatan kekuak oleh masyarakat lokal, melalui pendekatan analisis terhadap aspek-aspek biologi, penangkapan komersial dan manfaat. Analisis aspek biologi (perspektif etnobiologi) mencakup: etnoekologi untuk karakteristik lingkungan habitat kekuak, etnozoologi untuk karakteristik biota, dan taksonomi untuk status biosistematik. Analisis aspek penangkapan (perspektif etnoteknologi), mencakup: teknis penangkapan komersial kekuak, pola dan aturan lokal pemanfaatan, dan dinamika perkembangan penangkapan. Sedangkan analisis aspek manfaat (perspektif zoologi-ekonomi) mencakup: manfaat kekuak sebagai


(31)

umpan, pangan, dan manfaat komersial. Pendekatannya bersifat interdisiplin (lintasbidang) sesuai subtopik kajian.

Secara umum dalam setiap pendekatan analisis pada bagian proses, data emik hasil wawancara berupa pengetahuan lokal terkait yang diolah menjadi informasi, lalu dikonfirmasi dengan data etik dari hasil pengamatan lapangan, kajian laboratorium dan pustaka (proporsi sesuai kondisi data dan keperluan analisis). Hasil kajian juga akan menunjukkan gambaran status pengetahuan lokal terkait dan status kegiatan pemanfaatan kekuak di lokasi-lokasi fokus, terutama kondisi keberlanjutannya.

Hasil kajian aspek-aspek tadi merupakan informasi berguna untuk menilai (memperbandingkan) dan mengevaluasi kasus-kasus serupa dan terkait pemanfaatan kekuak di Bangka dan Belitung, berkenaan dengan upaya konservasi jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan biota kekuak. Hasil penilaian/ evaluasi tersebut berguna untuk mengembangkan konsep pemanfaatan kekuak berkelanjutan berbasis kearifan lokal. Konsep-konsep pengembangan itu merupakan output yang berguna, sebagai sumber informasi (bahan masukan/ pertimbangan) yang bisa diadopsi dalam menyusun strategi pengelolaan pemanfaatan kekuak yang adaptif.


(32)

Keterangan: SDA sumberdaya alam; SDHL sumberdaya hayati laut; pendekatan analisis

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

proses

Kegiatan pemanfaaan kekuak oleh masyarakat lokal

Masyarakat dan budaya lokal

Perairan laut dan SDHL lokal

Pengetahuan

pemanfaatan SDA Kekuak

input

Langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan

Strategi pengelolaan pemanfaatan kekuak adaptif

output

umpan balik

Biologi

Etnoekologi Etnozoologi Taksonomi Etnobiologi

Penangkapan komersial

Pola dan aturan lokal

Dinamika perkembangan Teknis

penangkapan Etnoteknologi

Manfaat

pangan komersial umpan

Zoologi-ekonomi Permasalahan:

-Belum diketahui bagaimana karakteristik, kondisi dan status aspek-aspek terkait pemanfaatan berkelanjutan (biologi, teknologi dan ekonomi)

-Belum diketahui bagaimana konsep masyarakat lokal terkait pemanfaatan kekuak berkelanjutan dan bagaimana


(33)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Sipuncula

Dari morfologinya biota kekuak tergolong Filum Sipuncula yang lebih dekat dengan genus Sipuncula dan Xenosiphon. Sipuncula dideskripsikan sepintas sebagai hewan laut mirip cacing tapi tanpa segmen (Gambar 2), tubuhnya terbagi menjadi badan utama (trunk) dan belalai (introvert) yang bisa ditarik ke dalam atau belakang, perbandingan panjang kedua bagian itu bervariasi untuk tiap-tiap jenis (Cutler 1994). Sipuncula merupakan filum minor dalam kelompok besar hewan bilateria (Gambar 3), yaitu kelompok hewan yang bersifat tripoblastik, tubuhnya simetris bilateral dan terbentuk dari tiga macam lapisan benih (endodermis, mesodermis dan ektodermis).

Gambar 2 Sipunculus nudus dan Xenosiphon branchiatus

(Sumber: Anonimª 2009 & Kawauchi 2011)

Meskipun bentuk fisiknya mirip cacing, namun hipotesis filogenetik terbaru menunjukkan Sipuncula tidak ada jejak ciri penting Annelida seperti adanya segmentasi dan chaetae (seta). Ciri bersama seperti berbentuk “cacing”, adanya introvert dan larva trochophore, tidak membatasi mereka secara unik. Hipotesis kedua menempatkannya lebih dekat ke Mollusca minimal secara fisik (Gambar 3), beberapa ciri keduanya sama pada saat perkembangan dini, contohnya setelah fertilisasi dan pembelahan telur, susunan ciri sel keduanya dalam embrio disebut ‘simpang Mollusca’. Dan hipotesis ketiga, berkenaan dengan ciri bersama Mollusca dan Sipuncula, dijadikan ciri primitif kelompok lebih besar yang disebut Trocozoa dimana Annelida juga termasuk di dalamnya (Cutler 1994).

introvert

trunk

Sipunculus nudus Xenosiphon branchiatus


(34)

Filum ini secara khusus belum dipelajari dengan baik, dilaporkan baru sekitar 300 jenis yang telah dideskripsi secara formal, semua di laut dan umumnya perairan dangkal (Kozloff 1990). Ada yang meliang semipermanen dalam pasir dan lumpur, ada yang di celah karang, dalam kerang kosong, bahkan mengebor ke dalam karang. Merekapun tidak meninggalkan lubang di permukaan pasir atau lumpur untuk menunjukkan kehadiran mereka, sehingga relatif sulit untuk ditemukan dan ditangkap (Romimohtarto dan Juwana 2001).

Gambar 3 Kedudukan Filum Sipuncula diantara filum-filum lain (Anonim 2009) Berbagai sumber melaporkan perkiraan jumlah jenisnya secara beragam (147-320), terdapat di berbagai habitat bentik laut dingin, sedang dan tropik pada semua kedalaman, dari zone intertidal sampai 6.860 m. Hasil revisi Cuttler (1994), baru 144 spesies yang telah teridentifikasi valid dari 17 genus, 6 famili, 4 ordo dan 2 kelas (Tabel 1), tapi setelah filogeninya direkonstruksi menjadi 147 spesies (Schulze et al. 2005). Hubungan filogenetik antar-genusnya seperti diusulkan Cutler dan Gibbs (1985) tampak pada Gambar 4, dari kedekatannyha diperkirakan kekuak adalah salah satu anggota dari Sipunculus atau Xenosiphon.

Porifera

Chordata Hemichordata Echinodermata Lophophorates Chaetognatha Arthropoda Onychophora Echiura Pogonophora Annelida Sipuncula Mollusca Nemertea Aschelminthes Platyhelminthes Ctenophora Cnidaria

Bilateria


(35)

Gambar 4 Hubungan filogenetik antar-genus dalam filum (Cutler & Gibbs 1985) Sebagian besar bagian yang bisa dikenali dari sipuncula adalah mulut, yang dikelilingi massa tentakel dan semuanya bisa dikembalikan (dimasukkan) ke dalam badan (badan utama). Saluran pencernaan sipuncula mulai dari mulut hingga ke akhir posterior badan, kemudian berbalik arah dengan cara berpelin-ganda dan berakhir di anus pada sisi dorsi-ventral badannya, Gambar 5 memperlihatkan skema anatomi (struktur organ dalam) salah satu anggotanya. Sipuncula mempunyai sebuah coelom (rongga). Meskipun tidak mempunyai sistem pembuluh darah, cairan interstitial mengangkut oksigen dan nutrien ke sekeliling tubuh. Sebuah ruang terpisah berisi tentakel-tentakel berlubang, yang mengalirkan oksigen dari tentakel ke coelom. Dinding tubuhnya kuat dan berotot, jika terancam sebagian tubuhya ditarik masuk ke dalam menyerupai buah kacang sehingga dinamai ‘cacing kacang’ (Edmonds 2000).

Perilaku sipuncula relatif sedikit yang diketahui, sebagian besar jenis menarik tentakel dan introvert secara cepat mengikuti rangsangan taktil. Banyak jenis sifatnya fototaksis negatif dan sembunyi ke dalam sedimen atau karang jika diganggu. Cara meliang dan menjalarnya dengan kait-kait introvert sebagai


(36)

jangkar dan perototan introvert untuk menarik tubuh ke depan. Phascolion

strombus, penghuni cangkang kerang, bisa mengairi cangkangnya untuk

menaikkan kandungan oksigen dengan kontraksi perototan dinding tubuh. Berenang cuma dilaporkan ada pada Sipunculus yaitu dengan ‘membanatkan’ badan utama secara tidak terarah (Edmonds 2000).

Gambar 5 Sipunculus nudus, tubuh bagian dalam (Anonim 2009)

Sebagian besar sipuncula termasuk Sipunculus dan Xenosiphon dilihat dari cara makan bersifat sebagai deposit feeder dengan tentakel yang sederhana, kecuali angota Themiste sebagai filter feeder dengan tentakel bercabang rumit. Jenis-jenis penghuni pasir mencerna sedimen dan campuran biomassa yang dikumpulkan dengan tentakel-tentakel. Tentakel jarang tampak di atas dasar laut selama siang hari, mungkin dijulurkan pada malam hari untuk memeriksa dan mengambil sedimen di sekeliling sebagai partikel makanan. Jenis penghuni karang memakai kait-kait introvertnya, sebagian besar pada malam hari, untuk mengikis sedimen dan organisme epifauna dari permukaan karang sekelilingnya (Cutler 1994). Dilaporkan oleh Jeuniaux (1969) bahwa pada usus halus

Sipunculus nudus ada aktivitas kitinolitik tertentu (kitinase dan kitobiase).

Umumnya sipuncula berumah dua, cuma sejenis diketahui hermafrodit yaitu Nephasoma minutum. Themiste lageniformes bersifat partenogenesis fakultatif. Aspidosiphon elegans dilaporkan bereproduksi aseksual dengan tunas. Selain itu pada sipuncula tidak diketahui ada dimorfisme seksual. Gonad cuma lazim selama periode reproduktif. Gamet dilepaskan ke dalam coelom tempat pematangan berlangsung. Gamet matang diambil nefridia dan dilepaskan ke air melalui nefridiofor (Rice 1993).

nephridium

intestine

anus esophagus

retractor muscles ventral nerve chord

mouth


(37)

Sampai kini belum ada jenis sipuncula yang termasuk daftar merah IUCN. Karena fase larvanya yang panjang, kebanyakan jenisnya tersebar luas. Tingkat kemelimpahan dari jarang sampai amat umum (kerapatan Themiste lageniformes

bisa sampai 2.000 ekor lebih tiap m²). Perusakan habitat seperti mangrove dan dasar rumput laut bisa mengancam populasi regionalnya (Rice 1976).

Tabel 1 Klasifikasi anggota Filum Sipuncula - 144 spesies revisi Cutler (1994)

Kelas Ordo Familia Genus Subgenus

Sipunculidea Sipunculiformes Sipunculidae (24) Sipunculus (10) Sipunculus (8)

Austrosiphon (2)

Xenosiphon (2)

Siphonosoma (10)

Siphonomeccus (1)

Phascolopsis (1)

Golfingiiformes Golfingiidae (36) Golfingia (10) Golfingia (9)

Spinata (1)

Nephasoma (23) Nephasoma (22)

Cutlerensis (1)

Thysanocardia (3)

Phascolionidae (29) Phascolion (25) Phascolion (11)

Isomya (6)

Montuga (2)

Lesenka (5)

Villiophora (1)

Onchnesoma (4)

Themistidae (10) Themiste (10) Themiste (5)

Lagenopsis (5)

Phascolosomatidea Phascolosomatiformes Phascolosomatidae (23) Phascolosoma (18) Phascolosoma (16)

Fisherana (2)

Apionsoma (4) Apionsoma (3)

Edmonsius (1)

Antillesoma (1)

Aspidosiphoniformes Aspidosiphonidae (22) Aspidosiphon (19) Akrikos (5)

Aspidosiphon (7)

Paraspidosiphon (7)

Lithacrosiphon (2)

Cleosiphon (1)

2.2 Pemanfaatan Sipuncula

Di luar sipuncula sudah banyak jenis poliket (polichaeta) yang dimanfaatkan masyarakat lokal di berbagai belahan dunia, baik untuk umpan dan pakan ikan maupun pangan lezat bagi manusia (Romimohtarto & Juwana 2001).


(38)

Di Samoa dan Fiji setiap Oktober dan November sejenis polychaeta yang disebut

palolo (mbalolo), biasa ditangkap untuk dijadikan makanan. Di Lombok dan sekitarnya setiap Pebruari ada acara bau nyale, yaitu tradisi masyarakat setempat menangkap nyale, yaitu sejenis poliket dari marga Neanthes (Nereis). Di Maluku sejenis poliket serupa yang disebut laor muncul dan ditangkap setiap Maret, juga dijadikan makanan oleh masyarakat setempat (Romimohtarto & Juwana 2001).

Masih sedikit sekali laporan ilmiah yang menulis tentang pemanfaatan jenis-jenis sipuncula oleh masyarakat lokal, beberapa informasi menyebutkan diantaranya meskipun tanpa menyebutkan jenisnya yang mana saja. Di beberapa bagian dunia para nelayan memakai sipuncula sebagai umpan, sebagian besar merupakan penghuni pasir yang ukurannya lebih besar. Di Jawa dan bagian barat Carolina serta beberapa bagian Cina, sipuncula juga dimakan oleh masyarakat lokal. Romimohtarto dan Juwana (2001) menulis, Phascolosoma lurco yang dilaporkan paling banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura, biasa dijadikan sebagai makanan bebek. Di Sukolilo, Jawa Timur seperti dilaporkan oleh Subani dan Barus (1989), masyarakat nelayan setempat memanfaatkan biota sejenis sipuncula yang disebut terung sebagai makanan yang enak. Di Pulau Nusalaut, Maluku Tengah, sejenis sipuncula yang disebut sia-sia dilaporkan juga dimakan masyarakat setempat (Pamungkas 2010).

Khusus tentang kekuak, jenis sipuncula ini biasa digunakan sebagai umpan oleh para nelayan Kepulauan Seribu, seperti di Pulau Pari. Informasi lain mengatakan bahwa beberapa tahun menjelang kemerdekaan, di kota Dabo, Singkep kekuak dijual sebagai makanan ringan di warung-warung kopi. Ada juga informan mengatakan bahwa kekuak merupakan salah satu makanan hasil laut yang sering dijual di pasar Kota Palembang, yang kemungkinan dibawa dari Bangka. Terakhir, Pratomo (2005) melaporkan bahwa uwa-uwa (wak-wak) dipakai masyarakat nelayan di Pulau Kemujan (Kepulauan Karimunjawa) sebagai umpan untuk memancing.

Romimohtarto dan Juwana (2001) menulis bahwa Phascolosoma lurco

setelah ditangkap ditaruh dulu semalaman di air tawar, baru kemudian diberikan kepada bebek. Sedangkan Subani dan Barus (1989) menulis bahwa sejenis sipuncula yang disebut terung di daerah Sukolilo diproses secara sederhana untuk


(39)

dijadikan kerupuk terung, yaitu dengan cara mejemur (mengeringkan) dan menggorengnya. Sejenis sipuncula lainnya dilaporkan menjadi makanan lezat di kota Xiamen provinsi Fujian, Cina yang dibuat jeli (Edmonds 2000).

Kekuak yang dijual di warung-warung kopi di Dabo, Singkep, merupakan kekuak kering yang dipanggang sebagai makanan ringan. Di Palembang kekuak pun dijual di pasar sebagai makanan, sebelum disajikan juga dipanggang dulu lalu dipukul-pukul dan dinikmati dengan sambal asam, seperti makan cumi atau ikan juhi kering, merupakan makanan ringan khas warga etnik Tionghoa di Indonesia.

Pemanfaatan anggota Sipuncula sebagai umpan oleh nelayan atau pemancing ikan, khususnya kekuak seperti di Kepulauan Seribu, tidak jauh berbeda dengan pemanfaatan anggota poliket, namun kiranya perlu dikaji-kembangkan lebih lanjut terkait potensinya, terutama potensi komersialnya. Sebagaimana ditulis oleh Romimohtarto dan Juwana (2001), di Inggris hobi mancing adalah olahraga yang mewah, sehingga usaha budidaya cacing untuk umpan, atau lebih tepatnya industri umpan, bisa membuka lapangan kerja baru yang berpotensi menguntungkan dan menggembirakan berbagai pihak.

Informasi ilmiah (literatur) tentang bagaimana cara mengolah jenis-jenis sipuncula yang dimanfaatkan, baik untuk umpan dan makanan (pakan) hewan piaraan maupun terutama untuk makanan (pangan) manusia belum ada. Informasi tentang kandungan gizinya, sebagai produk pangan dan tinjauan ilmiah mengenai teknik pengolahannya pun belum pernah ada. Begitupun literatur tentang kelebihan dan kekurangan sipuncula sebagai umpan dan potensinya sebagai pakan, juga belum pernah ada. Apalagi tentang kekuak yang belum pernah diteliti, belum jelas spesies dan kedudukannya dalam taksonomi, karena itu penelitian ini merupakan rintisannya.

2.3 Metode Penangkapan

Informasi ilmiah tentang cara tangkap anggota Sipuncula yang dimanfaatkan masih sangat sedikit. Romimohtarto dan Juwana (2001) cuma menulis bahwa Phascolosoma lurco yang dipakai untuk pakan bebek, ditangkap dengan menggalinya di rawa mangrove, tanpa menyebutkan dengan alat apa. Namun, Subani dan Barus (1989) sudah menulis bahwa para nelayan Sukolilo menangkap terung sejenis Sipuncula di perairan sekitar Kenjeran (Selat Madura)


(40)

dengan garu atau garit dari bambu dan dioperasikan beberapa orang dalam satu perahu (Gambar 6). Alat itu merupakan satu-satunya jenis alat tangkap terung di Indonesia. Masyarakat Pulau Nusalaut menangkap sia-sia sejenis Sipuncula di perairan pantai Maluku Tengah menggunakan linggis (Pamungkas 2010). Sementara itu, nelayan di Pulau Pari (Kepulauan Seribu) menangkap wak-wak (kekuak) dengan penusuk sederhana yang terbuat dari sebilah rotan. Pratomo (2005) juga melaporkan bahwa masyarakat nelayan di Pulau Kemujan (Kepulauan Karimunjawa) menangkap uwa-uwa (kekuak) dengan pacucu’an dari rotan.

Gambar 6 Cara menangkap terung di Selat Madura (Subani & Barus 1989)

Dengan kategorisasi metode penangkapan ikan yang dirangkum oleh Brandt (2005), penggunaan alat penusuk dari rotan untuk menangkap kekuak di Kepulauan Seribu (Pulau Pari) bisa dikategorikan sebagai metode penangkapan dengan pelukaan (taken by wounding), karena rotan masuk dari mulut ke dalam rongga tubuh kekuak hampir sepanjang ukurannya. Penggunaan alat garu dan garit untuk menangkap terung di Sukolilo belum ada keterangan lebih lanjut, tetapi dari bentuk alat dan cara menggunakan, termasuk metode pengambilan tanpa pelukaan (without wounding).

Menurut Hutabarat (2001), teknik tangkap tradisional harus memenuhi empat syarat yaitu: (1) relatif sederhana dan tanpa mesin atau alat elektronik; (2) tanpa bahan peledak atau senyawa sintetik yang beracun atau membius; (3) sudah


(41)

cukup lama diterapkan (minimal 30 tahun); dan (4) dilakukan secara turun-temurun. Teknik tangkap kekuak di Kepulauan Seribu dan Karimunjawa, juga teknik tangkap terung di Selat Madura memenuhi semua syarat tersebut. Terkait sumberdaya atau keanekaragaman hayati lokal, keberadaan teknik-teknik lokal menurut Alcorn (1996) adalah salah satu wujud tindakan konservasi masyarakat asli (lokal), tetapi pendapat ini cuma berlaku jika satu jenis alat tangkap cuma bisa menangkap satu jenis biota saja yang ukuran tubuhnya juga tertentu saja.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang berkelanjutan harus dilakukan dengan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab melalui teknologi berwawasan lingkungan, yang misinya diterjemahkan lagi ke dalam bentuk teknologi ramah lingkungan (Sudirman 2003). Asian Productivity Organization (2002) menyatakan bahwa kriteria perikanan berkelanjutan adalah bagaimana bekerja secara maksimal dan kontinu membantu para nelayan, sehingga dapat melakukan pemanfaatan yang ramah lingkungan, secara teknik bisa dilakukan (efektif) dan secara ekonomi (komersial) menguntungkan, termasuk mendukung penyediaan ketahanan pangan. Menurut Gopankumar (2002), prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan adalah penggunaan sumberdaya perikanan jangka panjang yang memperhatikan karakteristik biologi, ekologi termasuk konservasi dan adanya sharing keuntungan.

Terkait pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab, Pasal 7 (7.1.1) dari

Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1999) menyebutkan: Negara-negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan, melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat, harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan pemanfatan sumberdaya perikanan berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan pada tingkat lokal, nasional, subregional dan regional, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik dan tersedia serta dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang sumberdaya perikanan pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan pemanfaatan optimum, dan mempertahankan ketersediaan untuk generasi kini dan mendatang: pertimbangan-pertimbangan jangka pendek tidak boleh mengabaikan tujuan ini.

Menurut Baskoro (2006) suatu alat tangkap dikatakan ramah lingkungan bila setidak-tidaknya memenuhi sembilan kriteria: (1) selektivitasnya tinggi; (2)


(42)

tidak merusak habitat; (3) menghasilkan ikan berkualitas tinggi; (4) tidak membahayakan nelayan; 5) produksi tidak membahayakan konsumen; (6) by-catch rendah; (7) dampak terhadap biodiversitas rendah; (8) tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi; dan (9) dapat diterima secara sosial. Semua kriteria ini ditentukan lebih rinci dengan empat subkriteria penilaian yang berturut-turut semakin meningkat, namun berlaku pada penangkapan ikan-ikan target umum.

Kriteria tradisional ataupun ramah lingkungan tadi sebenarnya jika dipakai untuk menilai berbagai jenis alat/teknik tangkap kekuak di lapangan (yang diterapkan masyarakat lokal dalam kegiatan penangkapan), kemungkinan belum tentu juga cocok dengan kondisi yang ada, tetapi minimal sebagai acuan pertama dalam menilai, untuk kemudian disempurnakan (dikembangkan) dengan kriteria lain yang lebih sesuai fakta di lapangan. Pola-pola pengelolaan tradisional yang sebagian belum/tidak bisa terbukti secara ilmiah tetapi hasilnya telah terbukti efektif menjamin keberlanjutan pemanfaatan selama puluhan/ratusan tahun, perlu dihargai/dihormati (jika tidak bisa diadopsi) karena hal itu merupakan wujud kepedulian (tangungjawab) masyarakat lokal, yang lebih dulu hadirnya ketimbang hegemoni kaidah ilmiah modern yang kini mendominasi (banyak diadopsi).

Paradigma klasik dalam perikanan tangkap tradisional adalah bagaimana agar pemanfaatan sumberdaya perikanan bisa berkesinambungan (sustainabilitas produksi) sebagai prioritas, barulah kemudian pendapatan yang cukup (cenderung minimalis). Namun, paradigma dalam perikanan tangkap modern prioritasnya adalah bagaimana agar produksi dan keuntungan bisa maksimal, barulah kemudian keberlanjutannya. Pada paradigma perikanan tangkap yang bertanggungjawab CCRF (FAO 1999) ada istilah ‘hasil tangkap optimum’, ‘efektivitas penangkapan’ dan ‘selektivitas alat tangkap’, atau dengan kata lain optimalisasi produksi sekaligus keberlanjutannya, pada sisi ini tampak hal ini lebih mendekati paradigma perikanan tangkap tradisional.

Selama ini orientasi perikanan tangkap tradisional pada prakteknya cenderung ‘kesinambungan hasil yang cukup’ (penggunaan seperlunya demi hari ini dan esok) sebagai prinsip kegiatan produksi sistem ekonomi subsisten (bertahan). Hal itu tergambar dari peribahasa Melayu: “Selagi ada jangan dimakan, sudah tak ada baru dimakan”, “Sedikit - cukup, banyak - habis” atau


(43)

“Tinggalkan (sebagian) untuk ular”. Sementara itu, orientasi perikanan tangkap modern pada prakteknya cenderung ‘aji mumpung’ (oportunis) dan ‘dengan modal dan risiko besar, untung jauh lebih besar’, sebagai prinsip kegiatan produksi sistem ekonomi industrial (komersial-kapitalistik). Terkait hal ini Charles (2001) mengklasifikasi penangkap (nelayan) menjadi empat kelompok utama yaitu: subsisten, native (indigenus), komersial, dan rekreasional; untuk yang komersial dibagi lagi menjadi: skala kecil (artisanal) dan skala besar (industrial).

2.4 Kearifan Lokal dan Pengetahuan Tradisional

Kata kearifan berasal dari kata ‘arif yang berarti tahu dan ma’rifat yang berarti pengetahuan (knowledge), tingkatannya masih di bawah fahm

(pemahaman) dan fiqh (pengertian) (Jazairy 2001), sehingga kearifan lokal sama saja maknanya dengan pengetahuan lokal (local knowledges). Namun demikian, telah terjadi proses ‘ameliorasi’ (perluasan) makna kata ‘kearifan’ menyamai makna wisdom (kebijaksanaan), sebaliknya terjadi proses ‘peyorasi’ (penyempitan) makna kata ‘kebijakan’ menyamai makna policy (keputusan politis), yang sebenarnya berasal dari kata bijak/bijaksana (wise) yang juga diartikan arif (makna peyoratif). Oleh karena itulah, kata local wisdom lebih populer diterjemahkan sebagai ‘kearifan lokal’ daripada ‘kebijaksanaan lokal’ yang sebetulnya secara bahasa adalah lebih tepat.

Pengetahuan tradisional merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat setempat, merupakan hasil interaksi manusia dengan alam dan lingkungannya yang berlangsung lama dan turun-temurun (Solihin 2006). Menurut Soekanto (2000), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Pengetahuan tradisional adalah sistem terpadu antara kepercayaan dan praktek khusus dalam kelompok budaya berbeda (Posey 1996). Pada tradisi ilmiah Barat, pengetahuan (knowledge) dibedakan dengan science (sains, ilmu), pengetahuan tradisional pun masih bagian dari wisdom (kearifan/kebijaksanaan). Menurut Soedjito dan Sukara (2006), selayaknya sistem pengetahuan dunia tidak cuma dimonopoli pengetahuan formal (sains didikan sekolahan), karena masih ada pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang tidak diajarkan dalam kelas.


(44)

Tabel 2 Perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Villoro 1982)

SCIENCE WISDOM

Societal Individual Universal Local

General Particular or singular

Unpersonal Personal Abstract Concrete Theoretical Practical Specialized Global

Toledo (1992) dengan mengutip pendapat Villoro (1982), menjelaskan perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Tabel 2). Melihat karakteristik wisdom, sebenarnya ‘kearifan’ (kebijaksanaan) lokal cikal-bakalnya adalah berbagai bentuk ‘kearifan’ (wisdom, kebijaksanaan) dan pengetahuan (ma’rifat, knowledge) dari seseorang, beberapa individu ataupun sekelompok warga dalam suatu komunitas masyarakat dengan lokalitas tertentu, yang seiring perjalanan waktu melembaga sebagai kesepakatan bersama ataupun ditetapkan sebagai aturan adat/lokal. Jadi kearifan (kebijaksanaan) lokal adalah hasil pelembagaan kejeniusan masyarakat lokal, yang prosesnya telah, sedang dan akan terjadi nanti, sebagai pertanda mereka pun belajar dari alam dan pengalaman (berubah sikap menjadi lebih baik daripada sebelumnya). Hal itu tergambar dari dua peribahasa Melayu yang kini sudah menjadi umum yaitu “Alam terkembang menjadi guru” dan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”.

Salah satu ciri masyarakat tradisional adalah ketergantungan (keterbatasan) yang tinggi terhadap lingkungan dan sumberdaya alamnya, terlebih pada masyarakat tradisional di pesisir dan pulau-pulau terpencil. Ketergantungan manusia terhadap alam tetumbuhan misalnya, diketahui sudah ada sejak zaman prasejarah dari bukti-bukti paleoetnobotani (Smith 1986), sebaliknya karena itu pula peran manusia atau kelompok etnik dengan segala tata-aturan kehidupannya amat menentukan nasib lingkungannya. Ketergantungan itu mengharuskan mereka hidup menyatu dengan alam sekitar, atau berusaha agar seimbang antara kehidupannya dan lingkungannya. Dengan begitu sebisa mungkin mereka hidup tanpa menimbulkan kerusakan bagi alam, supaya kerusakan tersebut tidak berbalik menimbulkan kesulitan bagi mereka.


(45)

Terkait fenomena tadi Lovelock (1979) pernah mengusulkan hipotesis GAIA, bahwa bumi berfungsi sebagai organisme tunggal, mengatur diri-sendiri dalam membuat keadaan-keadaan optimum demi kelangsungan hidupnya dengan keberadaan kehidupan itu sendiri. Implikasinya sebagai ide ilmiah Barat amat mendekati pemahaman masyarakat asli umumnya, termasuk orang Cina purba, dimana hubungan manusia dengan alam sepatutnya sebagai partisipan dalam sebuah sistem kehidupan yang lebih besar (Reichel-Dolmatoff 1976).

Strategi konservasi keragaman hayati mencakup kegiatan memanfaatkan, mempelajari dan menyelamatkan (Wilson 1995). Sudah jadi kebiasaan masyarakat lokal, selama masih mau terus memanfaatkan suatu sumberdaya hayati di lingkungannya, selama itu pula mereka tetap menjaga/menyelamatkannya. Seiring berjalannya kedua kegiatan itu, proses pembelajaran terkait sumberdaya itu pun berlangsung, termasuk mekanisme transfer pengetahuannya dalam masyarakat, antar anggota, generasi, kelompok atau daerah berbeda.

Ellen et al. (2000) menyatakan, pengetahuan dan tradisi masyarakat lokal sering dianggap statis (tidak berubah) tetapi faktanya berubah (dinamis). Tentang pandangan skeptis ilmuwan terhadap pengetahuan lokal terkait dilupakannya dan kesalahpahaman terhadap sistem pengetahuan/pengelolaan lokal, Neis (1992) mengatakan bahwa pemakaian metode ilmiah adalah suatu keganjilan karena pengetahuan tradisional punya begitu banyak informasi tidak terucapkan, tetapi metoda ilmiah berusaha mengurangi, mengujinya dan mengontrol seluruh variabel lain. Kini pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan dan hewan oleh masyarakat lokal dan pribumi kian banyak menghilang sebelum sempat dicatat/ diketahui para peneliti, padahal informasi itu amat penting bagi kelestarian pemanfaatan keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam lokal.

Selama ini pengetahuan tradisional terkait kegiatan masyarakat lokal memanfaatkan keanekaragaman hayati di lingkungannya, telah banyak dikaji dalam etnobiologi. Sejalan dengan itu cabang-cabang kajian etnobiologi seperti etnobotani (pengetahuan botanik tradisional/lokal) dan etnoekologi dikembangkan dalam biologi sebagai disiplin dengan metode tersendiri. Toledo (1992) termasuk biolog yang berperan mengembangkan etnoekologi sebagai disiplin dengan metodologi tersendiri, melalui pendekatan interdisiplin (lintas-bidang).


(46)

Menurut Subedi (1996), kelompok pengetahuan indigenus (pribumi) yang khusus mempelajari aspek teknis yang dipakai masyarakat lokal (tradisional) dalam memanfaatkan sumberdaya disebut pengetahuan teknis indigenus. Terkadang disebut ‘teknologi indigenus’ (lokal), istilah ‘salah-kaprah’ dimana teknologi diartikan sebagai ‘ilmu pengetahuan’ teknis (cara memproduksi), namun masih bisa dibenarkan jika diartikan sebagai ‘produk’ dari ilmu pengetahuan (pengetahuan ilmiah/formal) atau pengetahuan (informal) saja.

Pemakaian kata ‘lokal/tradisional’ dibelakang istilah biologi, botani, ekologi dan lain-lain tanpa didahului kata ‘pengetahuan’, tidak akan terjadi jika konsisten dengan perbedaan posisi antara ilmu dan pengetahuan. Sering pula terjadi campur-aduk istilah tradisional, indigenus (pribumi), native (asli) dan lokal, yang jika dicermati sebetulnya pengetahuan lokal mencakup semuanya. Berarti ada pengetahuan lokal non-tradisional (belum sempat atau sedang mentradisi), bukan dari penduduk asli/pribumi tapi murni dari pendatang (bukan yang dibawa) atau akulturasi dan asimilasinya, ada pula pengetahuan lokal yang sudah menjadi milik komunitas, sekelompok ataupun cuma individu-individunya.

Kata ‘teknologi’ dipakai Phillips dan Gentry (1993), Fakhrurrozi (2001) dan Banilodu (1998) sebagai kategori manfaat pada kajian inventarisasi penggunaan keanekaragaman nabati oleh masyarakat lokal. Pada kajian ilmu pangan, Rahayu (2000) memakai istilah ‘teknologi pangan tradisional’ bahkan ‘bioteknologi pangan indigenus’. Nazarea-Sandoval (1996) pada kajian etnobiologinya pun memakai istilah ‘teknologi indigenus’. Sementara di kalangan antropologi seperti Adimihardja (1999) dan Mamar (1999) memakai istilah ‘sistem teknologi lokal’, mengacu pada pendapat Koentjaraningrat (1990) bahwa ‘sistem teknologi’ meliputi unsur kebudayaan fisik yang dipakai dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, antara lain alat-alat produktif.

‘Teknologi’ semula cuma merupakan salah satu kategori manfaat pada kajian etnobotani selain beberapa manfaat lainnya. Lalu, pengetahuan yang amat teknis dan lebih jauh tidak lagi terkait langsung dengan biologi pun dikaji terpisah, seperti aspek teknis penangkapan, penanganan dan pengolahan oleh orang lokal. Pada konteks penelitian ini, studi pengetahuan teknis indigenus dan teknologi lokal (tradisional) diberi istilah ‘etnoteknologi’, analog munculnya


(47)

istilah etnobotani, etnoekologi dan lain-lain, meski pendekatannya relatif sama. Penelitian etnoteknologi didekati secara interdisiplin seperti Toledo (1992) mengembangkan etnoekologi. Semua itu adalah upaya kombinasi pengetahuan formal (etik) dengan pengetahuan tradisional (emik) yang selalu mempertimbangkan keunikan dan kekhasan, sehingga diperoleh solusi tepat untuk pengelolaan lestari sumberdaya alam (Soedjito dan Sukara 2006).

2.5 Kepulauan Bangka-Belitung

Kepulauan Bangka-Belitung ditetapkan menjadi provinsi dengan Undang-Undang No.27 tahun 2000 tanggal 21 November 2000 dan disahkan 9 Pebruari 2001, ibukotanya Pangkalpinang. Wilayah administrasinya dimekarkan menjadi 6 kabupaten dan 1 kotamadya yaitu: Bangka, Bangka Barat, Bangka Tengah, Bangka Selatan, Belitung, Belitung Timur; dan Pangkalpinang (Prov Babel 2010).

Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung secara geografis terletak pada 104º50’ sampai 109º30’ Bujur Timur dan 0º50’ sampai 4º10’ Lintang Selatan, wilayahnya dibatasi oleh: Selat Bangka di sebelah Barat, Selat Karimata di sebelah Timur, Laut Natuna di sebelah Utara dan Laut Jawa di sebelah Selatan. Wilayah provinsi ini terbagi menjadi wilayah daratan dan laut dengan luas total 81.725,14 km², luas daratan 16.424,14 km² (20,10 %) dan luas laut 65.301 km² (79,90 %). Total panjang pantainya kira-kira 1200 km (Prov Babel 2010).

Kepulauan Bangka Belitung merupakan gugusan Pulau Bangka, Pulau Belitung dan pulau-pulau kecil sekitarnya, kedua pulau utamanya dihubungkan Selat Gaspar. Ada 470 pulau yang telah bernama dan cuma 50 pulau yang sudah berpenghuni. Pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Bangka antara lain: Nangka, Penyu, Burung, Lepar, Pongok, Gelasa, Panjang dan Tujuh. Dan pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Belitung antara lain: Lima, Lengkuas, Selindung, Selanduk, Seliu, Nadu, Mendanau, Batudinding dan Sumedang (Prov Babel 2010).

Kepulauan ini beriklim tropis, dipengaruhi angin musim, mengalami bulan basah selama tujuh bulan tiap tahun dan bulan kering selama lima bulan terus-menerus. Alamnya sebagian besar berupa dataran rendah, lembah dan sebagian kecil pegunungan/perbukitan. Rata-rata pH tanahnya dibawah 5 (masam) dengan kadar aluminium amat tinggi. Banyak terkandung bijih timah dan bahan galian seperti: pasir kuarsa, batu granit, kaolin dan tanah liat (www. babelprov.go.id).


(48)

Daerah kepulauan ini dihubungkan oleh perairan laut dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan daratan dan perairannya merupakan satu kesatuan dari bagian Dataran Sunda, sehingga perairannya termasuk Dangkalan Sunda, kedalamannya kurang dari 30 m. Jenis perairan laut ‘terbuka’ ada di sebelah utara, timur dan selatan Pulau Bangka dan umumnya di Pulau Belitung); sedangkan yang ‘semi-tertutup’ di Selat Bangka dan Teluk Kelabat di Bangka Utara (BPS Babel 2007).

Pada tahun 2007 jumlah penduduknya 1.106.657 jiwa dengan kepadatan 67 jiwa/km². Penduduknya berasal dari suku: Melayu (71,89%), Tionghoa (11,54%), Jawa (5,82%), Madura (1,11%) dan lain-lain (6,95%). Jumlah penganut agamanya: Islam (81,83%), Budha (8,71%), Konghucu (5,11%), Protestan (2,44%), Kaholik (1,79%) dan Hindu (0,13%). Bahasa sehari-hari mereka adalah: Melayu Bangka, Melayu Belitung, Tionghoa, dan Indonesia (BPS Babel 2007).

Pada 2007 jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas (Penduduk Usia Kerja, PUK) sebanyak 766.428 jiwa atau 69.25%. Sebesar 66.28% dari PUK termasuk penduduk angkatan kerja (bekerja dan atau pencari kerja), sisanya 33.72% bukan angkatan kerja (sekolah, mengurus rumahtangga dan lainnya). Tingkat partisipasi angkatan kerjanya sebesar 66.28% artinya sebesar 66% penduduk usia kerja aktif secara ekonomi. Tingkat pengangguran terbukanya sebesar 6.49, berarti dari 100 penduduk yang termasuk angkatan kerja rata-rata 5-6 orang diantaranya pencari kerja. Penduduk usia kerja 34.4% bekerja di sektor pertanian, 20,9% di sektor pertambangan dan 18,7% di sektor perdagangan (BPS Babel 2007).

Pulau Bangka terkenal keindahan pantainya, berpasir putih dan halus, ada juga yang kuning-keemasan seperti bulir padi. Pantainya landai dengan ombak cukup besar dikelilingi batu vulkanik yang unik dan indah. Pulau Belitung pun terkenal pemandangan indahnya, pantai pasir putihnya berhiaskan batu-batu granit artistik dan air laut sejernih kristal, merupakan salah satu tempat dengan pantai terunik dan terindah di Indonesia (Prov Babel 2010).

Sebagai gugusan dua buah pulau besar dan banyak sekali pulau-pulau kecil yang terbentuk secara oceanic, hamparan pasir putih yang mendominasi dasar (sedimen) perairan lautan menjadi tipe dominan perairan pantainya, terkait tipe lokasi tangkap kekuak yang berupa pantai pasir putih, maka diperkirakan daerah ini memiliki potensi pemanfaatan kekuak yang amat besar.


(49)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Umum

Secara umum metode penelitian pada masing-masing topik dalam rangka penulisan disertasi ini dilaksanakan melalui dua macam kegiatan yaitu: kegiatan lapangan dan kegiatan non-lapangan. Kegiatan lapangan mencakup: wawancara, pengamatan dan diskusi (termasuk proses dokumentasi dan koleksi) yang dilakukan di lokasi tangkap sekaligus habitat kekuak, kediaman (halaman/dapur) warga, serta toko/pasar, khusus untuk ini pelaksanaannya bisa secara bersamaan ataupun terpisah. Kegiatan non-lapangan mencakup: pengamatan dan pengujian yang dilakukan di beberapa laboratorium tergantung topik kajian.

Pendekatan umum berupa studi kasus dalam tiga macam aspek analisis (biologi, penangkapan komersial dan manfaat) yang diterapkan secara partisipatif dengan tiga macam perspektif (etnobiologi, etnoteknologi dan zoologi-ekonomi). Kasus-kasus kajian berisi fakta dan fenomena terkait kehidupan masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan (apropriasi alam). Fakta dan fenomena itu berupa kegiatan memanfaatkan kekuak untuk tujuan komersial. Pendekatan penelitian ini juga mencakup kegiatan dokumentasi-ilmiah, survei-eksploratif dan expos-facto. 3.2 Lokasi dan Waktu

Lokasi kegiatan lapangan terbagi di dua daerah yaitu Bangka dan Belitung (Gambar 8). Lokasi utama yaitu Desa/Dusun Pebuar (Kecamatan Jebus, Bangka Barat) dan Dusun Nangkabesar (Desa Tanjungpura, Kecamatan Sungaiselan, Bangka Tengah), dipilih terkait penangkapan kekuak komersial dan manfaat pangannya. Alasannya, selain sebagai sentra utama produksi kekuak, di kedua tempat ini kegiatan penangkapan menerapkan lebih dari satu jenis alat tangkap. Lokasi pendukungnya yaitu Pantai Olifir (Desa Lalang) dan Pantai Burongmandi (Desa Mengkubang) di Kecamatan Manggar (Belitung Timur) terkait manfaat kekuak sebagai umpan, Desa Semulut (Kecamatan Jebus, Bangka Barat) terkait sejarah penangkapan, dan Kota Pangkalpinang terkait pemasaran produknya.

Lokasi kegiatan non-lapangan adalah beberapa laboratorium di Bogor yaitu: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu, Bogor tempat pengujian kandungan kimia dan gizi kekuak; Laboratorium Tanah


(50)

Fakultas Pertanian tempat analisis substrat/tanah habitat dan isi perut kekuak; dan Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor tempat pengamatan spesimen kekuak.

Penelitian ini dilaksanakan dari tahun 2005 sampai 2008, pada setiap periode musim tangkap kekuak terutama puncaknya yaitu dari bulan April sampai Juni. Sebelumnya kegiatan prapenelitian telah dilakukan pada tahun 2004, dan untuk kepentingan analisis, konfirmasi dan penyempurnaan serta pemutakhiran informasi dan data beberapa bagian tertentu penelitian ini dilakukan sampai 2010.

Gambar 7 Peta daerah penelitian di Kepulauan Bangka-Belitung

Lokasi utama: Pebuar (1) dan Pulau Nangkabesar (2);

Lokasi pendukung: Pantai Olifir (3), Burongmandi (4), Semulut (5) dan Pangkalpinang (6)

3.3 Pengumpulan Informasi dan Data

Teknik pengumpulan informasi dan data pada penelitian ini dilakukan dengan tiga macam teknik yaitu: wawancara, pengamatan dan diskusi. Teknik pemilihan informan, penentuan objek pengamatan dan pengambilan contoh dengan pendekatan purposif, berarti responden, lokasi (stasiun) dan contoh (sampel) ditentukan lebih dulu secara sengaja dengan berbagai pertimbangan, prinsip keterwakilan (terbaik, umum, normal atau rerata), informasi sebelumnya ataupun perkembangan situasi dan kondisi faktual dan aktual di lapangan.

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG

Kabupaten Bangka Barat Kabupaten Bangka Kota Pangkalpinang Kabupaten Bangka Tengah Kabupaten BangkaSelatan Kabupaten Belitung Kabupaten Belitung Timur PULAU BANGKA PULAU BELITUNG Selat Gaspar 2 6 5 4 3 1 U

Skala 1: 500.000

Sumber: Peta batas daerah Prov Kep Babel ed I-2004


(1)

Lampiran 9 Dokumentasi kegiatan penelitian

Pengamatan petak sebaran lubang sarang kekuak di lokasi tangkap, Nangkabesar (kiri)

Dokumentasi video pengamatan kegiatan penangkapan kekuak di lokasi tangkap, Pebuar (tengah) Percobaan aneka-kuliner kekuak di dapur warga, Pangkalpinang (kanan)

Peneliti dan Manap, penemu alat tangkap rangkang di Semulut (kiri)

Peneliti dan Amril (Apollo), penangkap kekuak umpan di Burungmandi (tengah) Peneliti dan Aliyanto, warga nelayan, pengumpul kekuak di Nangkabesar (kanan)


(2)

Lampiran 10 Kriteria alat tangkap ramah lingkungan menurut Baskoro (2006)

No Kriteria Ramah lingkungan

1 Selektivitas tinggi

1) menangkap lebih dari tiga spesies, variasi ukuran berbeda jauh 2) menangkap tiga spesies atau kurang, variasi ukuran berbeda jauh 3) menangkap kurang dari tiga spesies, ukuran relatif seragam 4) menangkap satu spesies, ukuran relatif seragam

2 Tidak merusak habitat

1) menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas 2) menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit 3) memyebabkan kerusakan sebagian habitat pada wilayah yang sempit 4) aman bagi habitat

3 Menghasilkan ikan berkualitas tinggi 1) ikan mati dan busuk

2) ikan mati, segar, cacat fisik 3) ikan mati dan segar 4) ikan hidup

4 Tidak membahayakan nelayan 1) bisa berakibat kematian pada nelayan 2) bisa berakibat cacat permanen pada nelayan 3) hanya bersifat gangguan kesehatan sementara 4) aman bagi nelayan

5 Produksi tidak membahayakan konsumen

1) berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen 2) berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen 3) relatif aman bagi konsumen

4) aman bagi konsumen 6 By-catch rendah

1) by-catch ada beberapa spesies dan tidak laku di pasar 2) by-catch ada beberapa spesies dan ada yang laku di pasar 3) by-catch kurang dari tiga spesies dan laku di pasar 4) by-catch kurang dari tiga spesies dan harganya tinggi 7 Dampak (negatif) terhadap biodiversitas rendah

1) menyebabkan kematian semua organisme dan merusak habitat 2) menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat 3) menyebabkan kematian beberapa spesies tapi tidak merusak habitat 4) aman bagi biodiversitas

8 Tidak membahayan ikan-ikan yang dilindungi 1) ikan yang dilindungi sering tertangkap 2) ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap 3) ikan yang dilindungi pernah tertangkap 4) ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap 9 Dapat diterima secara sosial

1) biaya investasi murah 2) menguntungkan

3) tidak bertentangan dengan budaya setempat 4) tidak bertentangan denan peraturan yang ada


(3)

(4)

(5)

(6)