Ekosistem Mangrove Ekobiologi kerang sepetang (Pharella acutidens Broderip & Sowerby, 1828) di Ekosistem Mangrove Pesisir Kota Dumai Riau

yang datarlandai, 5 keberadaan air laut, 6 fluktuasi pasang surut yang cukup besar dan 7 keberadaan lumpur dan tanah vulkanik Chapman 1975b diacu dalam Kusmana 1996. Fungsi biologi ekosistem mangrove adalah sebagai daerah asuhan bagi larva dan individu muda, tempat mencari makan, tempat bertelur, serta habitat alami berbagai jenis biota yang beberapa di antaranya memiliki nilai komersil. Daun- daun mangrove yang berjatuhan dan berakumulasi pada sedimen mangrove sebagai “leaf litter” lapisan dan sisa-sisa daun, mendukung komunitas organisme detrital yang besar jumlahnya. Organisme ini bertindak sebagai pengurai daun- daun dan mengubahnya menjadi energi yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah moluska, krustase, kepiting, ikan, reptilia laut, mamalia serta burung Dahuri 1996. Bagian tumbuhan mangrove yang gugur, seperti daun, bunga, buah, cabang dan ranting dikenal sebagai guguran serasah litterfall, penting sebagai sumber detritus bahan organik yang menyokong rantai makanan di laut. Serasah mangrove merupakan sumber hara bagi daerah muara dan sungai Odum Heald 1974. Nybakken 1992 menyatakan bahwa kelompok hewan lautan yang dominan dalam hutan bakau adalah moluska, udang-udangan tertentu dan beberapa ikan khas. Moluska diwakili oleh sejumlah siput, suatu kelompok yang umumnya hidup pada akar dan pohon bakau Littorinidae dan lainnya pada lumpur di dasar akar mencakup sejumlah pemakan detritus Ellobiidae dan Potamididae. Kelompok kedua adalah dari moluska, termasuk bivalva. Tomascik et al. 1997 menyatakan bivalvia di hutan mangrove Indonesia hanya diwakili oleh sedikit spesies. Bivalvia yang terdapat di tanah hutan mangrove harus dapat mentoleransi periode yang panjang dari suhu yang tinggi dan oksigen yang rendah dan sebagai akibatnya hanya sedikit grup yang dapat beradaptasi terhadap kondisi ini. Bivalvia menjadi komponen bentik yang dominan di batas menghadap ke laut dari hutan mangrove yang seringkali ditandai oleh intertidal dengan hamparan lumpur yang luas. Kebanyakan bivalvia hutan mangrove ditemukan pada hamparan lumpur bagian ke laut yang merupakan sumber makanan penting bagi wader dan berbagai burung air.

2.3 Plankton

Plankton merupakan salah satu komponen utama dalam sistem mata rantai makanan food chain dan jaring makanan food web. Plankton ini menjadi pakan bagi sejumlah konsumer dalam sistem mata rantai makanan dan jaring makanan. Keberadaan plankton sangat mempengaruhi kehidupan di perairan karena memegang peranan penting sebagai makanan bagi berbagai organisme laut. Plankton ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu fitoplankton plankton tumbuhan dan plankton hewani zooplankton Fachrul 2007. Fungsi fitoplankton di perairan selain sebagai makanan bagi zooplankton juga makanan bagi berbagai jenis ikan serta larva biota yang masih muda, mengubah zat anorganik menjadi organik dan mengoksigenasi air Wardiatno diacu dalam Fachrul 2007.

2.4 Faktor-faktor Lingkungan

Tomascik et al. 1997 menyatakan bahwa bivalvia yang berada di sedimen hutan mangrove dapat mentoleransi dalam periode yang panjang suhu yang tinggi dan oksigen yang rendah, dan sebagai hasilnya hanya sedikit grup yang dapat beradaptasi terhadap kondisi ini. Bivalva menjadi komponen bentik yang dominan pada bagian ke arah laut dari hutan mangrove yang dicirikan oleh hamparan lumpur intertidal mud flat intertidal yang luas. Beberapa kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi organisme penghuni daerah pasang surut diantaranya adalah suhu, salinitas, kekeringan, oksigen terlarut, dan pH. Suhu sangat besar pengaruhnya pada kehidupan moluska yang hidup beriklim empat, tetapi di perairan tropis pengaruh suhu tidak begitu tampak nyata, karena fluktuasi suhu tidak besar. Jenis-jenis moluska yang hidup di perairan estuari mempunyai toleransi besar terhadap fluktuasi suhu yang besar Kastoro, 1992. Morton 1985 menyatakan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan kerang Anadara adalah elevasi, substrat, salinitas, suhu dan oksigen terlarut. Hewan akuatik dipengaruh variabel abiotik seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut dan substrat dan variabel biotik seperti, makanan, predasi dan kompetisi Sahin et al. 2006. Trisyani et al. 2007 mendapatkan suhu perairan yang merupakan habitat kerang lorjuk Solen vaginalis di perairan pantai timur Surabaya sebesar 28-30 o C. Salinitas perairan pesisir sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai Effendi 2003. Dwiono 2003 menyatakan bahwa kemampuan mentoleransi salinitas dan temperatur Geloina expansa lebih sempit dibandingkan G. erosa . Kebanyakan moluska yang hidup di daerah estuari akan mengalami tekanan atau stress jika salinitas terlalu rendah Wells dan Lens 1977 diacu dalam Russel-Hunter 1983. Derajat keasaman pH perairan merupakan parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme. Setiap organisme mempunyai pH optimal, pH optimal untuk kehidupan moluska adalah 6.5-7.5 Russel-Hunter 1983. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH 7.0-8.5 Effendi 2003. Oksigen merupakan salah satu gas terlarut yang memegang peranan penting untuk menunjang kehidupan organisme dalam proses respirasi dan metabolisme sel. Kandungan oksigen terlarut optimum untuk moluska berkisar antara 4.1-6.6 ppm. A granosa tunduk terhadap tekanan oksigen yang rendah di habitat alami Bayne 1973 diacu dalam Broom 1985. Menurut Effendi 2003, kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mgl mengakibatkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik Nitrat dan fosfat di perairan merupakan senyawa mikronutrien pengontrol produktivitas primer di lapisan permukaan daerah eufotik. Nitrat adalah hasil akhir dari proses oksidasi nitrogen. Plankton yang menjadi makanan bagi hewan