5
Data ukuran panjang, lebar, tebal dan berat dibutuhkan untuk menentukan morfometrik, hubungan panjang berat, dan parameter pertumbuhan populasi kerang
sepetang. Data berat daging berat kering dan berat kering bebas abu dan berat cangkang kering, diperlukan untuk mendapatkan indeks kondisi kerang sepetang.
Melalui analisis data kelimpahan sampel kerang yang diperoleh pada setiap stasiun secara teratur selama satu tahun diketahui pola distribusi spasial sepetang. Data
kelimpahan kerang sepetang yang diperoleh, bila dipisahkan atas beberapa frekuensi panjang untuk mendapatkan parameter pertumbuhan kerang sepetang.
Melalui pembedahan atau pembukaan cangkang dan pengamatan gonad kerang sepetang setiap bulan dapat dikumpulkan data tentang biologi reproduksi kerang yang
mencakup, seksualitas, nisbah kelamin, tahap perkembangan gonad histologis, fekunditas dan diamater teluroosit. Melalui pengamatan selama satu tahun, diketahui
ukuran kerang mulai dapat dibedakan jenis kelamin, waktu kerang matang gonad dan memijah, dan potensi reproduksi.
Selanjutnya akan didapatkan informasi parameter biofisik kimia lingkungan mangrove, karakter biologi populasi dan reproduksi kerang sepetang yang sangat
diperlukan dalam konservasi dan rehabilitasi dalam rangka meningkatkan populasi kerang sepetang. Diagram pendekatan pemecahan masalah penelitian ekobiologi
kerang P. acutidens dapat dilihat pada Gambar 1.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mendeterminasi karakter biologi populasi kerang sepetang P. acutidens di ekosistem mangrove Dumai.
2. Mendeterminasi karakter biologi reproduksi kerang sepetang P. acutidens di
ekosistem mangrove Dumai 3.
Menelaah hubungan antara karakter biologi populasi dan reproduksi kerang sepetang P. acutidens dan karakteristik biofisik kimia lingkungan ekosistem
mangrove di ekosistem mangrove Dumai.
6
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam upaya konservasi dan rehabilitasi dalam rangka meningkatkan populasi kerang
sepetang P. acutidens di ekosistem mangrove Dumai.
1.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah karakter biologi populasi dan biologi reproduksi kerang sepetang P. acutidens terkait dengan karakteristik
biofisik kimia ekosistem mangrove.
1.6 Kebaruan Novelty
1. Jenis kelamin kerang sepetang dapat ditentukan secara mikroskopis setelah
berukuran panjang ± 35 mm. Secara makroskopis jenis kelamin dapat ditentukan setelah berukuran lebih dari ukuran tersebut dan sudah matang gonad ripe
dengan warna gonad betina putih - krem, jantan berwarna kecoklatan. Secara histologis diketahui kerang sepetang bersifat dioecious, bukan hermaprodit.
2. Karakter biologi kerang sepetang berupa indeks kematangan gonad dan fekunditas mempunyai hubungan yang positif dengan jenis dan kerapatan mangrove
Rhizophora, fraksi lumpur dan bahan organik sedimen yang tinggi.
Kerang Sepetang Pharella acutidens Eksploitasi
Degradasi Lingkungan
Penurunan Populasi Kerang Sepetang
Upaya pengelolaan Konservasi dan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove dan Populasi Sepetang
Populasi Sepetang Lestari
Parameter Biofisikkimia Lingkungan Mangrove :
• Struktur Komunitas Mangrove
• Jenis dan Kelimpahan Plankton
• Curah Hujan dan Pasang Surut
•
Kualitas Air dan Sedimen Biologi Populasi Sepetang :
• Kelimpahan • Distribusi
• Pola Pertumbuhan • Koefisien Pertumbuhan
• Indek Kondisi Biologi Reproduksi Sepetang :
• Nisbah kelamin • Indek Kematangan Gonad
• Tahap Perkembangan Gonad • Fekunditas
• Diameter Telur •
Kajian Ekobiologi Kerang Sepetang
Ekosistem Mangrove
Gambar 1. Kerangka pendekatan pemecahan masalah penelitian ekobiologi kerang Pharella acutidens 7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Kota Dumai yang merupakan lokasi penelitian berada pada posisi 1
o
34’25” - 1
o
44’08” LU dan 101
o
22’03” - 101
o
29’05” BT. Wilayahnya berupa daratan rendah dengan ketinggian 0 - 4 meter dari permukaan laut. Daerah ini pada
umumnya mengalami dua musim setiap tahunnya, yaitu musim hujan pada bulan Nopember - April dan musim kemarau Mei - Oktober. Kota Dumai berbatasan
dengan Selat Rupat di sebelah utara, sebelah timur dengan Kabupaten Bengkalis, sebelah barat dengan Kabupaten Rokan Hilir dan sebelah selatan dengan
Kecamatan Mandau Kab. Bengkalis Badan Pusat Statistik Kota Dumai, 2007. Perairan Kota Dumai yang berada di Selat Rupat termasuk kawasan dengan
lalu lintas laut yang ramai. Wilayah ini terlindungi oleh keberadaan Pulau Rupat dan pulau-pulau kecil lainnya yang menyebabkan kondisi perairan relatif tenang.
Perairan ini memiliki kedalaman mencapai 30 meter. Kondisi ini sangat mendukung bagi lalu lintas kapal dan kegiatan kepelabuhan. Tipe pasang di
perairan Kota Dumai adalah pasang semi-diurnal, terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari semalam dengan tinggi antara pasang yang satu berbeda
dengan yang lainnya. Pasang surut berperanan menciptakan kelancaran arus transportasi pelayaran terutama di muara sungai yang mengalami sedimentasi
yang cukup tinggi Bappeko Dumai 2002. Aktivitas kepelabuhanan banyak terdapat di kawasan pesisir Kota Dumai.
Pelabuhan yang dikategorikan relatif besar dan beraktivitas relatif tinggi antara lain pelabuhan PT. Pelabuhan Indonesia I Cabang Dumai, PT. Pertamina UP II,
PT. Chevron Pasifik Indonesia, PT. Kawasan Industri Dumai, PT. Sari Dumai Sejati, PT. Semen Padang, dan Pangkalan Pendaratan Ikan PPI. Umumnya
kawasan pantai selain dikonversi menjadi kawasan pelabuhan juga sebagai kawasan industri. Kawasan industri yang berada di wilayah pesisir Kota Dumai
antara lain Kawasan Industri Pelintung seluas 5.840 ha, Kawasan Industri Lubuk Gaung seluas 2.150 ha dan Kawasan Industri Pangkalan Sesai seluas 300 ha
Peraturan Daerah Kota Dumai Nomor 11 tahun 2002.
Hutan mangrove di Kota Dumai diperkirakan seluas 2.125 ha, meliputi wilayah pesisir pantai Kecamatan Medang Kampai dengan luas yang telah
banyak berkurang dan tingkat kerapatannya telah menurun, di Kecamatan Dumai Barat, yaitu di Kelurahan Pangkalan Sesai dan Kelurahan Purnama, dan
Kecamatan Sungai Sembilan dengan sebaran yang paling tinggi, walaupun saat ini telah banyak mengalami penurunan Dinasnakkanla Kota Dumai 2008.
2.2 Ekosistem Mangrove
Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 pohon,
5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove.
Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati pentingdominan yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizophoraceae
Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops, Avicenniaceae Avicennia, Sonneraticeae Sonneratia, dan Meliaceae Xylocarpus Bengen 2002. Issfad 2009 mencatat
sebanyak 15 jenis mangrove di ekosistem mangrove sekitar muara Sungai Dumai, meliputi Avicenia alba, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera
parviflora, Ceriop tagal, Gymnanthera paludosa, Heritiera littoralis, Lumnitzera littorea, Lumnitzera racemosa, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa,
Scyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia alba, Sonneratia ovata, Xylocarpus granatum.
Mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir; daerah tergenang air laut secara berkala,
baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove; menerima
pasokan air tawar yang cukup dari darat; dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau 2-22 ‰ hingga asin
mencapai 38 ‰ Bengen 2002. Ada tujuh persyaratan utama yang diperlukan untuk pertumbuhan mangrove dengan baik, yaitu, 1 suhu udara dengan fluktuasi
musim tidak lebih dari 5
o
C, 2 arus laut yang tidak terlalu keras, 3 tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak kuat, 4 topografi pantai