Ekobiologi kerang sepetang (Pharella acutidens Broderip & Sowerby, 1828) di Ekosistem Mangrove Pesisir Kota Dumai Riau

(1)

(

Pharella acutidens

Broderip & Sowerby, 1828) DI

EKOSISTEM MANGROVE PESISIR KOTA DUMAI

RIAU

EFRIYELDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Ekobiologi Kerang Sepetang (Pharella acutidensBroderip & Sowerby, 1828) di Ekosistem Mangrove Pesisir Kota Dumai Riau adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Efriyeldi


(3)

EFRIYELDI. Ecobiology of “Sepetang” (Pharella acutidensBroderip & Sowerby, 1828) Clamin Mangrove Ecosystem Dumai Coastal Riau. Under direction of DIETRIECH G. BENGEN, RIDWAN AFFANDI and TRI PRARTONO.

The“Sepetang” (P. acutidens) clam population in Dumai mangrove ecosystem seemed to decrease due to the increase of mangrove degradation and clam exploitation. The aims of the study were todetermine the population and reproductive biology character of the“sepetang” (P. acutidens)clam and their relationship with biophysical and chemical characteristic of mangrove ecosystem.The study was carried out from November 2010 to October 2011 inDumai mangrove ecosystem. Population biology aspects such as patterns of the population growth, mortality and recruitment of the clam P. acutidens were determined.Reproductive biology aspects such as sex ratio, gonadal development,gonadosomatic index, fecundity and oocytes diameter were also studied.The “sepetang” clam habitat characteristic was evaluated based on biophysical and chemical parameters of mangrove environment at each station using principal component analysis. Descriptive analysis was used to evaluate relationship between “sepetang” biological character and mangrove ecosystem environment characteristics. Correspondence analysis was used to analyze spatial distribution of “sepetang” clam in relation with biological character. The results showed that the study area was classified into four groups of stations. First, consists of station SM1 and SM2 was characterized by high concentration of nitrate and phosphate, organic sediment, silt fraction, X. granatum andR. apiculata mangrove species density. Seconds, consists of station P1, P2 and P3 characterized by high salinity, sand and clay fraction, and H. littoralis mangrove species density. Third, consist of station SM3 characterized by high pH of water and sediment and plankton density. Fourth, consists of stasion SD1, SD2 and SD3 characterized by high density of B. gymnorrhiza and A. alba. The growth pattern of P. acutidens was negative allometric with asymptotic length (L ) was 92.71 mm. The annual growth coefficient (K) and total mortality were 0.59 and 1.87 per year, respectively. The recruitment occurred every month.Sex of the sepetang clam can be determined at the size more than 35 mm. The male to female ratio was 1 : 1.12 and no specimen hermaphroditism was observed. Histological analysis indicated that P. acutidenswas partially spawned. The fecundity increase with an increase of shell length and correlated significantly with shell length. The sepetang clam probably spawn continuously throughout the year with a peak spawning season between May-June. The results showed that high gonadosomatic index and fecundity of “sepetang” clam in station SM1, SM2 and SM3. The stations were characteristized by high organic sediment, silt fraction, andR. apiculata density.

Keywords : Ecobiology, mangrove ecosystem, population, reproduction, “Sepetang” clam


(4)

EFRIYELDI. Ekobiologi Kerang Sepetang (Pharella acutidensBroderip & Sowerby, 1828) di Ekosistem Mangrove Pesisir Kota Dumai Riau. Dibimbing oleh DIETRIECH G. BENGEN, RIDWAN AFFANDI dan TRI PRARTONO.

Pharellaacutidens Broderip dan Sowerby, 1828 merupakan salah satu jenis bivalvia/kerang (moluska) yang hidup di ekosistem mangrove. Bivalvia P. acutidens termasuk ke dalam Ordo Veneroida dan Famili Solenidae (Cultellidae). Belum banyak laporan tentang penyebaran kerang Pharella ini, terutama di Indonesia, salah satunya di ekosistem mangrove pesisir Dumai Barat Kota Dumai, Riau. Selain sebagai salah satu sumber protein bagi masyarakat, kerang sepetang juga mempunyai peran ekologis. Lubang-lubang yang dibangun kerang sepetang dapat membantu masuknya oksigen masuk ke dalam substrat hutan mangrove yang sering mengalami kondisi anoksik. Cara makan sepetang yang bersifat filter feeder dapat menurunkan tingkat kekeruhan perairan. Populasi kerang sepetang di ekosistem mangrove Dumai Barat saat ini menunjukkan gejala penurunan. Hal ini diperkirakan terkait dengan degradasi ekosistem mangrove, yaitu penurunan kerapatan vegetasi mangrove dan luasan hutan mangrove di Dumaidan penangkapan sepetang yang intensifoleh masyarakat. Perkembangan Kota Dumai sebagai kota industri dan pelabuhan telah menyebabkan bertambahnya limbah yang masuk ke perairan, termasuk ke ekosistem mangrove. Mengingat pentingnya peran ekologis kerang sepetang di ekosistem mangrove dan peran ekonomis kerang sepetang bagi masyarakat pesisir Dumai khususnya, masalah penurunan populasi kerang P. acutidens perlu segera diatasi, baik melalui tindakan konservasi maupun rehabilitasi.

Tujuan penelitian ini adalahmendeterminasi karakter biologi populasi dan karakter biologi reproduksi kerang sepetang (P. acutidens) serta menelaah hubungan antara karakteristik biofisik dan kimia ekosistem mangrove dan karakter biologi populasi dan biologi reproduksi kerang sepetang (P. acutidens) di ekosistem mangrove Dumai.

Untuk mengkaji variasi karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove pada tiap stasiun digunakan pendekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principle Component Analysis), kelimpahan kerang antar stasiun dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANOVA), pola distribusi menggunakan indeks sebaran Morisita, pola pertumbuhan menggunakan regresi linier sederhana, indeks kondisi dianalisis secara deskriptif dengan memplotkannya dengan bulan pengamatan, parameter pertumbuhan dianalisis menggunakan program ELEFAN yang terakomodasi dalam program FiSAT II, laju mortalitas menggunakan laju mortalitas model Beverton dan Holt dari FiSAT II, rekrutmen diketahui melalui analisis pola rekrutmen dari program FiSAT II, jenis makanan sepetang dianalisis dengan indeks pilihan (index of electivity). Aspek biologi reproduksi kerang sepetang dianalisis secara deskriptif untuk menentukan ukuran pertama dapat dibedakan jenis kelaminnya, nisbah kelamin dianalisis dengan Chi Square, nilai IKG yang diperoleh setiap bulannya diplotkan dengan bulan pengambilan sampel untuk melihat perkembangan gonad dan musim pemijahannya, hubungan antara fekunditas dan panjang serta berat total dianalisis menggunakan regresi. Diamater


(5)

mangrovemembentuk 4 kelompok stasiun, masing-masing memiliki karakteristik biofisik kimia yang berbeda.Kelompok I (pertama) terdiri atas stasiun SM1 dan SM2 dicirikan oleh nitrat dan fosfat air, kandungan organik sedimen, fraksi lumpur, jenis mangrove X. granatum dan R. apiculata yang tinggi.Kelompok II (kedua) yang terdiri dari stasiun PP1, PP2 dan PP3 dicirikan oleh salinitas air, fraksi pasir dan liat, serta jenis mangrove H. littoralisyang tinggi. Kelompok III (ketiga) terdiri dari stasiun SM3 yang dicirikan oleh pH air dan pH sedimen serta kelimpahan plankton yang tinggi. Kelompok IV (keempat) terdiri dari stasiun SD1, SD2 dan SD3, yang dicirikan oleh jenis mangrove B. gymnorrhizadan A. alba yang relatif tinggi dan tidak dicirikan oleh karakteristik fisika kimia tertentu.

Kerang sepetang menunjukkan kebiasaan hidup membenamkan diri dalam substrat lumpur. Bagian ujung anterior kerang ini berada pada bagian bawah menghadap ke substrat dan bagian ujung posterior menghadap ke atas (permukaan air).Kelimpahan rata-rata kerang sepetang (P. acutidens) pada setiap stasiun, tertinggi pada Stasiun SM, 10.2 ind/m2, diikuti Stasiun SD dan PP, masing-masing 7.4 dan 6.7 ind/m2. Nilai indeks sebaran Morisita yang diperoleh berkisar antara0.94-1.19, yang secara umum dapat dinyatakan kerang sepetang menyebar secara bergerombol. Pola pertumbuhan kerang sepetang jantan allometrik negatif dan betina isometrik.Panjang infinity (L ) dan koefisien pertumbuhan (K) kerang sepetang berturut-turut adalah 92.71 mmdan 0.59 per tahun dengan koefisien pertumbuhan (K) tertinggi didapatkan pada stasiun SM.Laju mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F) berturut-turutadalah 1.036 per tahun dan 0.834 per tahun. Secara umum mortalitas alami lebih tinggi dari mortalitas karena penangkapan.Laju eksploitasi (E) sepetang yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0.44.Rrekrutmen kerang sepetang berlangsung setiap bulan dengan jumlah yang bervariasi.Kerang sepetang memilih plankton kelompok Bacillariophycea sebagai makanan yang disukai setelah detritus

Kerang sepetang (P. acutidens) dapat ditentukan jenis kelaminnya secara mikroskopis setelah kerang mempunyai ukuran panjang cangkang ± 35 mm, dengan warna gonad betina putih sampai krem dan jantan kecoklatan. Kerang sepetang bersifat dioeciousdengan nisbah kelamin jantan dan betina seimbang (1 : 1.12). Kerang sepetang memijah dengan cara bertahap (mengeluarkan gametnya sebagian, partially spawned).Kerang sepetang memijah sepanjang tahun dengan puncak pemijahan pada bulan Mei - Juni.

Hasil analisis hubungan antara karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove dan karakter biologi (populasi dan reproduksi) kerang sepetang secara deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata kelimpahan dan karakter biologi populasi dan reproduksi yang meliputi indeks kondisi, koefisien pertumbuhan, indeks kematangan gonad, fekunditas dan diameter telur kerang sepetang relatif lebih tinggi pada stasiun SM dengan kandungan nitrat, pH air, DO, organik sedimen, pH sedimen dan fraksi lumpur atau lanau yang tinggi. Selain itu pada stasiun SM ini juga mempunyai kelimpahan plankton, kerapatan mangrove X. granatum dan R. apiculata yang lebih tinggi dibandingkan stasiun PP dan SD.

Hasil analisis distribusi spasial karakter biologi (populasi dan reproduksi) kerang sepetang menggunakan correspondence analysis, memperlihatkan


(6)

karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove yang berbeda. Kelompok I (pertama) yang terdiri dari stasiun SM1, SM2 dan SM3 dicirikan oleh nilai indeks kematangan gonad(IKG) dan fekunditas sepetang yang lebih tinggi, dengan karakteristik ekosistem mangrove pada stasiun ini adalah fraksi lumpur, bahan organik sedimen, kerapatan mangrove R. apiculata dan X. granatum yang relatif tinggi.Kelompok II (kedua) yang terdiri dari stasiun SD1, SD2 dan SD3 dicirikan oleh nilai indeks kondisi (IK) yang relatif tinggi. Stasiun ini dicirikan oleh jenis mangrove B. gymnorrhizadan A. alba yang relatif tinggi dan tidak dicirikan oleh karakteristik fisika kimia tertentu

Kata kunci : Ekobiologi, ekosistemmangrove, kerang sepetang, populasi, reproduksi


(7)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Perngutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

EKOSISTEM MANGROVE PESISIR KOTA DUMAI

RIAU

EFRIYELDI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASRJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Aras Mulyadi, DEA Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA


(10)

Nama : Efriyeldi

NIM. : C561070061

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Ketua

Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atassegala karunia-Nyasehingga disertasi ini berhasil diselesaikan dengan judul “Ekobiologi Kerang Sepetang (Pharella acutidensBroderip & Sowerby, 1828)di Ekosistem Mangrove Pesisir Kota Dumai Riau”.

Dalam menyelesaikan disertasi ini berbagai pihak telah banyak membantu, oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA, selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan dan arahan dalam penyelesaian disertasi ini.

2. Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kelautan beserta staf (khususnya Mbak Denti) yang telah banyak membantu penulis dalam hal administrasi akademik selama menempuh studi.

3. Bapak Prof. Dr. Ashaluddin Jalil, MS, selaku Rektor Universitas Riau yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor.

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Bustari Hasan, M.Sc., sebagai Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau yang telah memfasilitasi penulis dalam pemakaian laboratorium di lingkungan Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan UR. 6. Ibu Dr. Windarti, M.Sc. Kepala Laboratorium Pelayanan Terpadu Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau yang telah banyak memberikan bantuan dan arahan dalam analisis sampel.

7. Kepada Miswantono, SPi,MSi dan Ernawati, SSos atas bantuan dan tumpangan di kediamannya selama penelitian di Kota Dumai.

8. Kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam pengumpulan sampel di lapangan, analisis sampel di laboratorium (khususnya sdr. Helvitri S.Farm), pengolahan dan analisis data serta penyusunan laporanyang tidak dapat disebutkan satu per satu tak lupa penulis ucapkan terimakasih.

9. Rekan-rekan mahasiswa IKL dan TEK 2007 (Supriadi, Syafyudin, Isni Nurruhwati, Maxi ET Parengkuan, Ahmad Najid, M. Banda Selamat, Syamsul Bahri Agus) atas dukungan, bantuan, semangat dan kebersamaannya.

10 Kepada Istri tercinta Sri Astutik Ambar Wahyuni, SEdan Athiyyah A. Diastuti ananda tercinta atas dukungan moral dan material serta doanya.

11Terkhusus buat kedua orang tua tercinta Bapak H. Syamsurijal dan Ibu Hj. Nurmayunis (Almh.) atas dorongan dan doanya.

Demikian, akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2012


(12)

Penulis dilahirkan di Kt. Tuo Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat pada tanggal 18 November 1966 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak H. Syamsurijal dan Ibu Hj. Nurmayunis (almh.). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau Pekanbaru, lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan universitas yang sama diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau Pekanbaru sejak tahun 1991. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti adalah ekobiologi kerang sepetang (Pharella acutidensBroderip & Sowerby, 1828)di ekosistem mangrove pesisir Kota Dumai Riau.Selama mengikuti program S3, penulis telah menerbitkan 2 (dua) buah artikel. Artikel dengan judul Karakteristik Biologi Populasi Kerang Sepetang (Pharella acutidens) di Ekosistem Mangrove Dumai, Riau diterbitkan pada Jurnal Berkala Perikanan Terubuk Vol. 41 No.1 Februari 2012. Artikel lain dengan judul Perkembangan Gonad dan Musim Pemijahan Kerang Sepetang (Pharella acutidens) di Ekosistem Mangrove Dumai, Riau diterbitkan pada Jurnal Maspari Vol. V No. 2 Juli 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.


(13)

(14)

of “Sepetang” (

Sowerby, 1828) Clamin Mangrove Ecosystem Dumai Coastal Riau. Under direction of DIETRIECH G. BENGEN, RIDWAN AFFANDI and TRI PRARTONO.

TheSepetang” (P. acutidens) clam population in Dumai mangrove ecosystem seemed to decrease due to the increase of mangrove degradation and clam exploitation. The aims of the study were todetermine the population and

reproductive biology character of the“sepetang” (P. acutidens)clam and their

relationship with biophysical and chemical characteristic of mangrove ecosystem.The study was carried out from November 2010 to October 2011 inDumai mangrove ecosystem. Population biology aspects such as patterns of the

population growth, mortality and recruitment of the clam P. acutidens were

determined.Reproductive biology aspects such as sex ratio, gonadal development,gonadosomatic index, fecundity and oocytes diameter were also

studied.The “sepetang” clam habitat characteristic was evaluated based on

biophysical and chemical parameters of mangrove environment at each station using principal component analysis. Descriptive analysis was used to evaluate

relationship between “sepetang” biological character and mangrove ecosystem

environment characteristics. Correspondence analysis was used to analyze spatial

distribution of “sepetang” clam in relation with biological character. The results

showed that the study area was classified into four groups of stations. First, consists of station SM1 and SM2 was characterized by high concentration of

nitrate and phosphate, organic sediment, silt fraction, X. granatum andR.

apiculata mangrove species density. Seconds, consists of station P1, P2 and P3

characterized by high salinity, sand and clay fraction, and H. littoralis mangrove

species density. Third, consist of station SM3 characterized by high pH of water and sediment and plankton density. Fourth, consists of stasion SD1, SD2 and SD3

characterized by high density of B. gymnorrhiza and A. alba. The growth pattern

of P. acutidens was negative allometric with asymptotic length (L) was 92.71

mm. The annual growth coefficient (K) and total mortality were 0.59 and 1.87 per

year, respectively. The recruitment occurred every month.Sex of the sepetang

clam can be determined at the size more than 35 mm. The male to female ratio was 1 : 1.12 and no specimen hermaphroditism was observed. Histological

analysis indicated that P. acutidenswas partially spawned. The fecundity increase

with an increase of shell length and correlated significantly with shell length. The sepetang clam probably spawn continuously throughout the year with a peak spawning season between May-June. The results showed that high

gonadosomatic index and fecundity of “sepetang” clam in station SM1, SM2 and

SM3. The stations were characteristized by high organic sediment, silt fraction,

andR. apiculata density.

Keywords : Ecobiology, mangrove ecosystem, population, reproduction,


(15)

Sowerby, 1828) di Ekosistem Mangrove Pesisir Kota Dumai Riau. Dibimbing oleh DIETRIECH G. BENGEN, RIDWAN AFFANDI dan TRI PRARTONO.

Pharellaacutidens Broderip dan Sowerby, 1828 merupakan salah satu jenis

bivalvia/kerang (moluska) yang hidup di ekosistem mangrove. Bivalvia P.

acutidens termasuk ke dalam Ordo Veneroida dan Famili Solenidae

(Cultellidae). Belum banyak laporan tentang penyebaran kerang Pharella ini,

terutama di Indonesia, salah satunya di ekosistem mangrove pesisir Dumai Barat Kota Dumai, Riau. Selain sebagai salah satu sumber protein bagi masyarakat, kerang sepetang juga mempunyai peran ekologis. Lubang-lubang yang dibangun kerang sepetang dapat membantu masuknya oksigen masuk ke dalam substrat hutan mangrove yang sering mengalami kondisi anoksik. Cara makan sepetang

yang bersifat filter feeder dapat menurunkan tingkat kekeruhan perairan. Populasi

kerang sepetang di ekosistem mangrove Dumai Barat saat ini menunjukkan gejala penurunan. Hal ini diperkirakan terkait dengan degradasi ekosistem mangrove, yaitu penurunan kerapatan vegetasi mangrove dan luasan hutan mangrove di Dumaidan penangkapan sepetang yang intensifoleh masyarakat. Perkembangan Kota Dumai sebagai kota industri dan pelabuhan telah menyebabkan bertambahnya limbah yang masuk ke perairan, termasuk ke ekosistem mangrove. Mengingat pentingnya peran ekologis kerang sepetang di ekosistem mangrove dan peran ekonomis kerang sepetang bagi masyarakat pesisir Dumai khususnya,

masalah penurunan populasi kerang P. acutidens perlu segera diatasi, baik

melalui tindakan konservasi maupun rehabilitasi.

Tujuan penelitian ini adalahmendeterminasi karakter biologi populasi dan

karakter biologi reproduksi kerang sepetang (P. acutidens) serta menelaah

hubungan antara karakteristik biofisik dan kimia ekosistem mangrove dan

karakter biologi populasi dan biologi reproduksi kerang sepetang (P. acutidens) di

ekosistem mangrove Dumai.

Untuk mengkaji variasi karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove pada tiap stasiun digunakan pendekatan analisis statistik multivariabel yang

didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principle Component Analysis),

kelimpahan kerang antar stasiun dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANOVA), pola distribusi menggunakan indeks sebaran Morisita, pola pertumbuhan menggunakan regresi linier sederhana, indeks kondisi dianalisis secara deskriptif dengan memplotkannya dengan bulan pengamatan, parameter pertumbuhan dianalisis menggunakan program ELEFAN yang terakomodasi dalam program FiSAT II, laju mortalitas menggunakan laju mortalitas model Beverton dan Holt dari FiSAT II, rekrutmen diketahui melalui analisis pola rekrutmen dari program FiSAT II, jenis makanan sepetang dianalisis dengan

indeks pilihan (index of electivity). Aspek biologi reproduksi kerang sepetang

dianalisis secara deskriptif untuk menentukan ukuran pertama dapat dibedakan

jenis kelaminnya, nisbah kelamin dianalisis dengan Chi Square, nilai IKG yang

diperoleh setiap bulannya diplotkan dengan bulan pengambilan sampel untuk melihat perkembangan gonad dan musim pemijahannya, hubungan antara fekunditas dan panjang serta berat total dianalisis menggunakan regresi. Diamater


(16)

mangrovemembentuk 4 kelompok stasiun, masing-masing memiliki karakteristik biofisik kimia yang berbeda.Kelompok I (pertama) terdiri atas stasiun SM1 dan SM2 dicirikan oleh nitrat dan fosfat air, kandungan organik sedimen, fraksi

lumpur, jenis mangrove X. granatum dan R. apiculata yang tinggi.Kelompok II

(kedua) yang terdiri dari stasiun PP1, PP2 dan PP3 dicirikan oleh salinitas air,

fraksi pasir dan liat, serta jenis mangrove H. littoralisyang tinggi. Kelompok III

(ketiga) terdiri dari stasiun SM3 yang dicirikan oleh pH air dan pH sedimen serta kelimpahan plankton yang tinggi. Kelompok IV (keempat) terdiri dari stasiun

SD1, SD2 dan SD3, yang dicirikan oleh jenis mangrove B. gymnorrhizadan A.

alba yang relatif tinggi dan tidak dicirikan oleh karakteristik fisika kimia tertentu.

Kerang sepetang menunjukkan kebiasaan hidup membenamkan diri dalam substrat lumpur. Bagian ujung anterior kerang ini berada pada bagian bawah menghadap ke substrat dan bagian ujung posterior menghadap ke atas (permukaan

air).Kelimpahan rata-rata kerang sepetang (P. acutidens) pada setiap stasiun,

tertinggi pada Stasiun SM, 10.2 ind/m2, diikuti Stasiun SD dan PP,

masing-masing 7.4 dan 6.7 ind/m2. Nilai indeks sebaran Morisita yang diperoleh berkisar

antara0.94-1.19, yang secara umum dapat dinyatakan kerang sepetang menyebar secara bergerombol. Pola pertumbuhan kerang sepetang jantan allometrik negatif

dan betina isometrik.Panjang infinity (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K) kerang

sepetang berturut-turut adalah 92.71 mmdan 0.59 per tahun dengan koefisien

pertumbuhan (K) tertinggi didapatkan pada stasiun SM.Laju mortalitas alami (M)

dan mortalitas penangkapan (F) berturut-turutadalah 1.036 per tahun dan 0.834

per tahun. Secara umum mortalitas alami lebih tinggi dari mortalitas karena

penangkapan.Laju eksploitasi (E) sepetang yang diperoleh pada penelitian ini

adalah 0.44.Rrekrutmen kerang sepetang berlangsung setiap bulan dengan jumlah yang bervariasi.Kerang sepetang memilih plankton kelompok Bacillariophycea sebagai makanan yang disukai setelah detritus

Kerang sepetang (P. acutidens) dapat ditentukan jenis kelaminnya secara

mikroskopis setelah kerang mempunyai ukuran panjang cangkang ± 35 mm, dengan warna gonad betina putih sampai krem dan jantan kecoklatan. Kerang

sepetang bersifat dioeciousdengan nisbah kelamin jantan dan betina seimbang (1 :

1.12). Kerang sepetang memijah dengan cara bertahap (mengeluarkan gametnya

sebagian, partially spawned).Kerang sepetang memijah sepanjang tahun dengan

puncak pemijahan pada bulan Mei - Juni.

Hasil analisis hubungan antara karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove dan karakter biologi (populasi dan reproduksi) kerang sepetang secara deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata kelimpahan dan karakter biologi populasi dan reproduksi yang meliputi indeks kondisi, koefisien pertumbuhan, indeks kematangan gonad, fekunditas dan diameter telur kerang sepetang relatif lebih tinggi pada stasiun SM dengan kandungan nitrat, pH air, DO, organik sedimen, pH sedimen dan fraksi lumpur atau lanau yang tinggi. Selain itu pada stasiun SM

ini juga mempunyai kelimpahan plankton, kerapatan mangrove X. granatum dan

R. apiculata yang lebih tinggi dibandingkan stasiun PP dan SD.

Hasil analisis distribusi spasial karakter biologi (populasi dan reproduksi)


(17)

karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove yang berbeda. Kelompok I (pertama) yang terdiri dari stasiun SM1, SM2 dan SM3 dicirikan oleh nilai indeks kematangan gonad(IKG) dan fekunditas sepetang yang lebih tinggi, dengan karakteristik ekosistem mangrove pada stasiun ini adalah fraksi lumpur, bahan

organik sedimen, kerapatan mangrove R. apiculata dan X. granatum yang relatif

tinggi.Kelompok II (kedua) yang terdiri dari stasiun SD1, SD2 dan SD3 dicirikan oleh nilai indeks kondisi (IK) yang relatif tinggi. Stasiun ini dicirikan oleh jenis

mangrove B. gymnorrhizadan A. alba yang relatif tinggi dan tidak dicirikan oleh

karakteristik fisika kimia tertentu

Kata kunci : Ekobiologi, ekosistemmangrove, kerang sepetang, populasi, reproduksi


(18)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Pendekatan Masalah ... 4

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Hipotesis Penelitian ... 5

1.6. Kebaruan (Novelty) ... 6

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 9

2.2 Ekosistem Mangrove ... 10

2.3 Plankton ... 12

2.4 Faktor-faktor Lingkungan ... 12

2.5 Sistematika dan Morfologi Kerang Sepetang ... 14

2.6 Biologi Populasi Bivalvia ... 15

2.7 Biologi Reproduksi Bivalvia ... 17

3. METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.2 Bahan dan Alat ... 23

3.3 Prosedur Pengumpulan Data ... 23

3.4 Analisis Data ... 33

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1 Struktur Komunitas Vegetasi Mangrove ... 47

4.2 Jenis dan Kelimpahan Plankton ... 51

4.3 Karakteristik Fisik Kimia Lingkungan Ekosistem Mangrove ... 52

4.4 Sebaran Spasial Karakteristik Lingkungan Ekosistem Mangrove 60

4.5Biologi Populasi Kerang Sepetang (Pharella acutidens) ... 63

4.6 Biologi Reproduksi Bivalvia ... 90

4.7 Hubungan antara Karakteristik biofosik kimia ekosistem mangrove dan Karakter Biologi (Populasi dan reproduksi) ... 104

4.8 Distribusi Spasial Kerang Sepetang Berdasarkan Karakter Biologi (Populasi dan Reproduksi) ... 107

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 111

5.1 Kesimpulan ... 111

5.2 Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113


(19)

Halaman 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Pharella acutidens ... 24 2. Jenis-jenis vegetasi mangrove yang terdapat pada Dumai Barat Kota

Dumai ... 47 3. Indeks Nilai Penting mangrove kelompok pohon pada setiap stasiun ... 49 4. Indeks Nilai Penting mangrove kelompok anakan pada setiap stasiun ... 50 5. Nilai parameter fisik kimia air dan sedimen pada setiap stasiun di

ekosistem mangrove pesisir Kota Dumai ... 56 6. Persentase rata-rata fraksi sedimen habitat kerang sepetang (P.

acutidens) ... 59 7. Indeks sebaran Morisita kerang sepetang pada di setiap stasiun per

bulan selama penelitian ... 70 8. Parameter hubungan panjang berat kerang sepetang P. acutidens

diekosistem mangrove pesisir Kota Dumai ... 76 9. Parameter pertumbuhan K, L dan t0 kerang sepetang (P. acutidens)

pada setiap stasiun ... 80 10. Laju mortalitas dan eksploitasi kerang sepetang (P. acutidens) di

ekosistem mangrove Kota Dumai ... 83 11. Persentase rekrutmen bulanan sepetang di ekosistem mangrove Kota

Dumai ... 85 12. Rata-rata kecepatan pertumbuhan spesifik panjang dan berat sepetang

per bulan selama lima bulan pemeliharaan ... 87

13. Nilai rata-rata Index Electivity (IE) plankton sebagai makanan P. acutidens ... 89

14. Nisbah kelamin kerang sepetang (P. acutidens) pada setiap stasiun ... 92 15. Nisbah kelamin kerang sepetang (P. acutidens) setiap bulan di

ekosistem mangrove Kota Dumai ... 93 16. Tahap perkembangan gonad (TPG) kerang sepetang betina (P.

acutidens) ... 94 17. Tahap perkembangan gonad (TPG) kerang sepetang jantan (P.

acutidens) ... 95 18. Matrik hubungan antara karakteristik lingkungan mangrove dan

karakter biologi (populasi dan reproduksi) kerang sepetang pada


(20)

1. Kerangka pendekatan pemecahan masalah penelitian ekobiologi

kerang Pharella acutidens ... 7

2. Kerang sepetang (Pharella acutidens) ... 15

3. Daur hidup bivalvia Tridagna (Sumber: King 1995) ... 18

4. Peta lokasi penelitian dan penempatan stasiun ... 25

5. Ilustrasi petak contoh (plot) pengambilan sampel vegetasi mangrove untuk tingkat pohon, anakan dan semai ... 26

6. Pedoman pengukuran panjang, lebar dan tebal kerang sepetang ... 29

7. Kelimpahan plankton (sel/l) pada setiap stasiun selama penelitian ... 52

8. Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan sumbu 2 (A) dan diagram sebaran stasiun penelitian pada sumbu 1 dan 2 (B). ... 61

9. Kerang sepetang mengeluarkan sifonnya dalam wadah berisi air ... 64

10. Kelimpahan rata-rata kerang sepetang selama penelitian pada setiap stasiun... 65

11. Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan sumbu 2 (A) dan diagram sebaran stasiun penelitian pada sumbu 1 dan 2 (B) ... 67

12. Sebaran ukuran panjang cangkang kerang sepetang (P. acutidens). Data gabungan, B) Stasiun SM, C) Stasiun PP, D) Stasiun SD ... 71

13. Hubungan morfometrik cangkang kerang sepetang (P. acutidens). A) Hubungan panjang dengan lebar, B) Panjang dengan tebal, C) Lebar dengan tebal ... 72

14. Hubungan morfometrik antara panjang cangkang dengan lebar dan tebal kerang sepetang (P. acutidens). A) Betina dan B) Jantan ... 73

15. Grafik hubungan panjang berat kerang sepetang (P. acutidens) dari pesisir Dumai. A) Gabungan, B) Jantan, C) Betina ... 74

16. Grafik rata-rata Indeks Kondisi (%) kerang P. acutidens pada masing-masing stasiun. ... 77

17. Kurva pertumbuhan kerang P. acutidens hasil analisis program FISAT. L = 92.71 dan K = 0.59 ... 80

18. Kurva konversi hasil tangkapan panjang kerang P. acutidens ... 81


(21)

21. Persentase tahap perkembangan gonad kerang sepetang (P. acutidens) selama penelitian ... 97 22. Grafik nilai rata-rata IKG selama penelitian. SM : muara S. Mesjid, PP :

Pantai Purnama, SD : muara S. Dumai... 98 23. Hubungan antara IKG dengan curah hujan, salinitas dan suhu air ... 101 24. Grafik hubungan panjang (A) dan berat (B) kerang sepetang dengan

fekunditas ... 100 25. Diameter rata-rata oosit kerang sepetang setiap bulan pada

masing-masing stasiun. SM : muara S. Mesjid, PP : Pantai Purnama, SD : muara S. Dumai ... 103 26. Distribusi frekuensi diameter telur (µm) setiap bulan selama penelitian .. 104 27. Diagram analisis faktorial koresponden antara stasiun pengamatan dan

karakter biologi (populasi dan reproduksi) sepetang (P. acutidens) pada sumbu 1 dan sumbu 2 ... 107


(22)

Halaman 1. Skema penempatan transek dan petakan kuadrat untuk pengamatan

vegetasi mangrove dan kerang sepetang di ekosistem mangrove Dumai . 123 2. Klasifikasi ukuran butiran sedimen berdasarkan skala Wentworth

(English et al. 1994) ... 124 3. Gambar kurungan tempat pemeliharaan kerang sepetang (P. acutidens)

dan penempatannya di ekosistem mangrove ... 125 4. Prosedur pembuatan preparat histologis dengan metode irisan (Rao

dalam Natan 2008) ... 126 5. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tahap perkembangan gonad

pada preparat histologis menurut Porter (1964); Ropes (1968) dan Gribben et al. (2001) diacu dalam Gribben (2005). ... 129 6. Struktur komunitas vegetasi mangrove kelompok pohon di pesisir

Dumai ... 131 7. Struktur komunitas vegetasi mangrove kelompok anakan di pesisir

Dumai ... 132 8. Jenis dan kerapatan (ind./ha) vegetasi mangrove dari kelompok semaian

di pesisir Dumai ... 133 9. Struktur komunitas plankton di perairan hutan mangrove Kota Dumai . 134 10. Curah hujan dan jumlah hari hujan di Kota Dumai pada bulan

November 2010 sampai Oktober 2011 ... 136 11. Daftar pasang surut di perairan Dumai ... 137 12. Data yang diolah dan hasil analisis komponen utama karakteristik

biofisik kimia ekosistem mangrove ... 139 13. Kelimpahan (ind./m2) rata-rata kerang sepetang (P. acutidens) pada

masing-masing stasiun di perairan pesisir Dumai Barat ... 142 14. Hasil Analisis Variansi (ANOVA) kelimpahan kerang sepetang antar

stasiun di ekosistem mangrove pesisir Kota Dumai ... 143 15. Data yang diolah dan hasil analisis komponen utama fisik kimia

sedimen, mangrove dan sepetang... 144 16. Nilai 2 indeks Morisita masing-masing stasiun setiap bulan ... 147 17. Grafik hubungan panjang berat kerang sepetang dari ekosistem

mangrove pesisir Dumai menurut stasiun dan jenis kelamin ... 148 18. Kurva pertumbuhan kerang P. acutidens hasil analisis program FISAT.

L = 91.03 (SM), 88.10 (PP), 84.42 (SD) dan K = 0.60 (SM), 0.40 (PP), 0.50 (SD) ... 149


(23)

20. Jenis kelamin kerang sepetang berdasarkan kelas ukuran panjang ... 151 21. Hasil analisis faktorial koresponden kerang sepetang berdasarkan


(24)

1.1 Latar Belakang

Pharella acutidens Broderip dan Sowerby, 1828 merupakan salah satu jenis

bivalvia/kerang (moluska) yang hidup di ekosistem mangrove. Menurut Carpenter dan Niem (1998) bivalvia P. acutidens termasuk ke dalam Ordo Veneroida dan Famili Solenidae (Cultellidae). Genus Pharella ini selain terdiri dari jenis P.

acutidens atau dikenal Sharp razor clam, juga jenis P. javanica atau Javanese razor

clam.

Belum banyak laporan tentang penyebaran kerang Pharella ini, terutama di Indonesia. Salah satu lokasi yang memiliki sumberdaya P. acutidens adalah ekosistem mangrove di Dumai Barat Kota Dumai Provinsi Riau, dan oleh masyarakat pesisir Dumai disebut sipetang/sepetang (Tanjung et al. 2005; Disnakkanla Kota Dumai 2008). Kerang sepetang ini sudah lama menjadi bahan makanan bagi masyarakat pesisir Dumai. Menurut Tanjung (2005) kerang sepetang merupakan salah satu sumber protein hewani dan digemari penduduk pesisir Dumai Barat. Analisis proksimat kerang sepetang menunjukkan bahwa kerang ini mengandung protein relatif tinggi, yaitu 13.25%. Kandungan protein ini lebih tinggi dibandingkan pada kerang lumpur (Anodontia edentula) yang diperoleh Natan (2008), yaitu sebesar 10.8%, namun lebih rendah dibandingkan yang didapat Trisyani et al. (2007) pada kerang lorjuk (Solen vaginalis), yaitu sebesar 18.67%.

Selain sebagai salah satu sumber protein bagi masyarakat, kerang sepetang juga mempunyai peran ekologis. Lubang-lubang yang dibangun kerang sepetang dapat membantu masuknya oksigen ke dalam substrat hutan mangrove yang sering mengalami kondisi anoksik. Cara makan sepetang yang bersifat filter feeder dapat menurunkan tingkat kekeruhan perairan karena mengabsorpsi partikel seston organik dan anorganik, sehingga cahaya yang mencapai dasar menjadi meningkat (Newell 2007). Bivalvia juga memainkan peranan penting lainnya dalam ekosistem laut, yaitu mengontrol aliran material dan energi (Dame 1996 ; Gosling 2003 diacu dalam


(25)

Populasi kerang sepetang di ekosistem mangrove Dumai Barat saat ini menunjukkan gejala penurunan. Berdasarkan informasi dari masyarakat yang sering menangkap kerang sepetang, kerang ini semakin sulit didapat. Untuk mendapatkan 2 kg kerang sepetang saja sekarang ini dibutuhkan waktu berjam-jam, sehingga jarang dijual di pasar. Hal ini diperkirakan terkait dengan tekanan pada ekosistem mangrove sebagai habitat kerang sepetang seperti penebangan hutan mangrove, pencemaran dan penangkapan oleh masyarakat yang intensif. Degradasi ekosistem mangrove berupa penurunan kerapatan vegetasi mangrove dan luasan hutan mangrove di pesisir Dumai terjadi akibat penebangan vegetasi mangrove dan konversi hutan mangrove menjadi peruntukan lainnya seperti untuk kawasan industri, pelabuhan dan pertanian. Perkembangan Kota Dumai sebagai kota industri dan pelabuhan telah menyebabkan bertambahnya limbah yang masuk ke perairan, termasuk ke ekosistem mangrove.

Menurut Yayasan Laksana Samudera dan Bappeko Dumai (2003) hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Dumai memiliki luas 5.330.56 ha dan telah mengalami penurunan luasan hutan mangrove sebesar 553.379 ha (9.39%) dalam rentang waktu tahun 1998 - 2002. Perkembangan Dumai sebagai kota industri dan pelabuhan telah menyebabkan semakin beratnya tekanan terhadap lingkungan perairan pesisir Kota Dumai termasuk ekosistem mangrove dan biota yang hidup di dalamnya.

Mengingat pentingnya peran ekologis kerang sepetang di ekosistem mangrove dan peran ekonomis kerang sepetang bagi masyarakat pesisir Dumai khususnya, masalah penurunan populasi kerang P. acutidens perlu segera diatasi, baik melalui tindakan konservasi maupun rehabilitasi. Upaya perbaikan populasi kerang sepetang telah dimulai oleh kelompok Pencinta Alam Bahari di kawasan Muara Sungai Dumai pada tahun 2007 (Issfad 2009), namun belum menunjukkan hasil yang nyata. Hal ini terkait dengan terbatasnya informasi yang dapat dijadikan panduan pada kegiatan tersebut, terutama informasi ekologi dan biologi kerang sepetang itu sendiri.

Sejauh ini publikasi tentang spesies kerang Pharella acutidens masih sangat terbatas. Davy dan Graham (1982) melaporkan kerang P. acutidens sebagai komoditi perdagangan di Philipina. Han et al. (2003) menginformasikan keberadaan P.


(26)

acutidens sebagai salah satu jenis bivalvia di ekosistem mangrove semenanjung Leizhou, China dan Tang et al. (2007) tentang keberadaan P. acutidens di hutan mangrove Zhanziang Teluk Yingluo Provinsi Guangdong, China. Tanjung (2005) mendeskripsikan tingkat kematangan gonad sepetang secara kualitatif serta beberapa aspek biologi lainnya. Febrita et al. (2006) mendapatkan kerang sipetang mengakumulasi logam Pb dan Cu dengan nilai faktor konsentrasi biologi secara berturut-turut 34.17-49.96 dan 455.17-4032.50.

Sehubungan dengan masih sangat terbatasnya informasi tentang P. acutidens, maka perlu dilakukan kajian ekobiologi kerang sepetang pada ekosistem mangrove dengan berbagai kondisi. Karakter biologi kerang sepetang yang dikaji meliputi biologi populasi dan biologi reproduksi. Selanjutnya informasi ini dapat digunakan dalam konservasi dan rehabilitasi dalam upaya peningkatan populasi kerang sepetang, khususnya di pesisir Kota Dumai.

1.2 Perumusan Masalah

Penurunan populasi kerang Pharella acutidens di ekosistem mangrove pesisir Dumai Barat diperkirakan terkait dengan degradasi lingkungan mangrove akibat penebangan dan konversi hutan mangrove oleh masyarakat dan penurunan kualitas lingkungan mangrove karena masukan limbah dari industri, perkotaan dan pelabuhan yang semakin meningkat. Selain itu eksploitasi kerang sepetang secara intensif juga diperkirakan turut menyebabkan menurunnya populasi kerang sepetang di pesisir Dumai.

Menurut Nasution (1994) kerapatan mangrove di pesisir Dumai rata-rata 3.135 phn/ha, sedangkan Hamidy (2002) mendapatkan di lokasi yang sama 2.823 phn/ha. Menurut Prianto et al. (2006), kerapatan mangrove di pesisir Kota Dumai pada 2003 berkisar antara 1.741-2.742 phn/ha. Riau Pos (2009) memuat tentang rusaknya hutan mangrove di Dumai akibat pembukaan lahan industri di sepanjang pesisir. Penurunan kualitas lingkungan mangrove karena limbah industri dan aktivitas pelabuhan, diperkirakan juga berperan dalam penurunan populasi kerang sepetang ini.


(27)

Pengambilan kerang sepetang secara terus menerus tanpa memperhatikan ukuran yang diambil dan cara pengambilan yang mengaduk-aduk substrat, diperkirakan juga menjadi faktor menurunnya populasi kerang sepetang di pesisir Dumai Barat. Upaya peningkatan populasi kerang sepetang yang telah dilakukan di ekosistem mangrove pesisir Dumai Barat sejauh ini belum menunjukkan hasil yang nyata.

Upaya konservasi dan rehabilitasi dalam rangka meningkatkan populasi kerang sepetang memerlukan informasi yang memadai, terutama mengenai aspek ekobiologi kerang sepetang. Saat ini informasi tentang hal tersebut masih sangat terbatas. Penelitian yang sudah dilakukan belum mengkaji secara lebih mendalam dan menyeluruh. Untuk itu perlu dilakukan kajian tentang habitat kerang sepetang serta karakter biologi populasi dan biologi reproduksinya.

1.3 Pendekatan Pemecahan Masalah

Untuk mendapatkan informasi tentang ekobiologi kerang sepetang P.acutidens

yang belum terungkap sebelumnya, perlu dilakukan beberapa pendekatan. Data tentang ekobiologi kerang sepetang diperoleh dengan melakukan pengamatan, pengukuran dan pengambilan sampel. Untuk itu dilakukan analisis parameter biofisik kimia pada habitat kerang yang terdapat di kawasan hutan mangrove, meliputi parameter fisika-kimia perairan (air dan sedimen) dan parameter biologi, yaitu struktur komunitas vegetasi mangrove dan plankton. Analisis isi lambung dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran apa jenis makanan sepetang. Untuk itu dilakukan pengambilan sampel pada kawasan intertidal hutan mangrove Dumai yang mencakup zona bawah, tengah dan atas.

Informasi tentang kelimpahan sepetang diperlukan untuk menentukan sebaran spasial-temporal kerang. Untuk mendapatkan kelimpahan kerang sepetang secara spasial dilakukan pengambilan sampel kerang dengan menggunakan metode petak dalam jalur (garis berpetak), tegak lurus dengan garis pantai, mulai ditemukan vegetasi mangrove sampai mangrove terakhir, mencakup zona atas, tengah dan bawah. Sebaran temporal diperoleh melalui pengamatan dan pengambilan sampel setiap bulan selama setahun.


(28)

Data ukuran panjang, lebar, tebal dan berat dibutuhkan untuk menentukan morfometrik, hubungan panjang berat, dan parameter pertumbuhan populasi kerang sepetang. Data berat daging (berat kering dan berat kering bebas abu) dan berat cangkang kering, diperlukan untuk mendapatkan indeks kondisi kerang sepetang. Melalui analisis data kelimpahan sampel kerang yang diperoleh pada setiap stasiun secara teratur selama satu tahun diketahui pola distribusi spasial sepetang. Data kelimpahan kerang sepetang yang diperoleh, bila dipisahkan atas beberapa frekuensi panjang untuk mendapatkan parameter pertumbuhan kerang sepetang.

Melalui pembedahan atau pembukaan cangkang dan pengamatan gonad kerang sepetang setiap bulan dapat dikumpulkan data tentang biologi reproduksi kerang yang mencakup, seksualitas, nisbah kelamin, tahap perkembangan gonad (histologis), fekunditas dan diamater telur/oosit. Melalui pengamatan selama satu tahun, diketahui ukuran kerang mulai dapat dibedakan jenis kelamin, waktu kerang matang gonad dan memijah, dan potensi reproduksi.

Selanjutnya akan didapatkan informasi parameter biofisik kimia lingkungan mangrove, karakter biologi populasi dan reproduksi kerang sepetang yang sangat diperlukan dalam konservasi dan rehabilitasi dalam rangka meningkatkan populasi kerang sepetang. Diagram pendekatan pemecahan masalah penelitian ekobiologi kerang P.acutidens dapat dilihat pada Gambar 1.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeterminasi karakter biologi populasi kerang sepetang (P. acutidens) di ekosistem mangrove Dumai.

2. Mendeterminasi karakter biologi reproduksi kerang sepetang (P. acutidens) di ekosistem mangrove Dumai

3. Menelaah hubungan antara karakter biologi (populasi dan reproduksi) kerang sepetang (P. acutidens) dan karakteristik biofisik kimia lingkungan ekosistem mangrove di ekosistem mangrove Dumai.


(29)

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam upaya konservasi dan rehabilitasi dalam rangka meningkatkan populasi kerang sepetang (P.acutidens) di ekosistem mangrove Dumai.

1.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah karakter biologi populasi dan biologi reproduksi kerang sepetang (P. acutidens) terkait dengan karakteristik biofisik kimia ekosistem mangrove.

1.6 Kebaruan (Novelty)

1. Jenis kelamin kerang sepetang dapat ditentukan secara mikroskopis setelah berukuran panjang ± 35 mm. Secara makroskopis jenis kelamin dapat ditentukan setelah berukuran lebih dari ukuran tersebut dan sudah matang gonad (ripe) dengan warna gonad betina putih - krem, jantan berwarna kecoklatan. Secara histologis diketahui kerang sepetang bersifat dioecious, bukan hermaprodit.

2. Karakter biologi kerang sepetang berupa indeks kematangan gonad dan fekunditas mempunyai hubungan yang positif dengan jenis dan kerapatan mangrove Rhizophora, fraksi lumpur dan bahan organik sedimen yang tinggi.


(30)

Kerang Sepetang (Pharella acutidens) Eksploitasi Degradasi Lingkungan

Penurunan Populasi Kerang Sepetang

Upaya pengelolaan (Konservasi dan Rehabilitasi)

Ekosistem Mangrove dan Populasi Sepetang Populasi Sepetang Lestari

Parameter Biofisikkimia Lingkungan Mangrove :

• Struktur Komunitas Mangrove

• Jenis dan Kelimpahan Plankton

• Curah Hujan dan Pasang Surut

Kualitas Air dan Sedimen

Biologi Populasi Sepetang :

• Kelimpahan

• Distribusi

• Pola Pertumbuhan

• Koefisien Pertumbuhan

• Indek Kondisi

Biologi Reproduksi Sepetang :

• Nisbah kelamin

• Indek Kematangan Gonad

• Tahap Perkembangan Gonad

• Fekunditas • Diameter Telur •

Kajian Ekobiologi Kerang Sepetang

Ekosistem Mangrove


(31)

(32)

2.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Kota Dumai yang merupakan lokasi penelitian berada pada posisi 1o34’25” - 1o44’08” LU dan 101o22’03” - 101o29’05” BT. Wilayahnya berupa daratan rendah dengan ketinggian 0 - 4 meter dari permukaan laut. Daerah ini pada umumnya mengalami dua musim setiap tahunnya, yaitu musim hujan pada bulan Nopember - April dan musim kemarau Mei - Oktober. Kota Dumai berbatasan dengan Selat Rupat di sebelah utara, sebelah timur dengan Kabupaten Bengkalis, sebelah barat dengan Kabupaten Rokan Hilir dan sebelah selatan dengan Kecamatan Mandau (Kab. Bengkalis) (Badan Pusat Statistik Kota Dumai, 2007).

Perairan Kota Dumai yang berada di Selat Rupat termasuk kawasan dengan lalu lintas laut yang ramai. Wilayah ini terlindungi oleh keberadaan Pulau Rupat dan pulau-pulau kecil lainnya yang menyebabkan kondisi perairan relatif tenang. Perairan ini memiliki kedalaman mencapai 30 meter. Kondisi ini sangat mendukung bagi lalu lintas kapal dan kegiatan kepelabuhan. Tipe pasang di perairan Kota Dumai adalah pasang semi-diurnal, terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari semalam dengan tinggi antara pasang yang satu berbeda dengan yang lainnya. Pasang surut berperanan menciptakan kelancaran arus transportasi pelayaran terutama di muara sungai yang mengalami sedimentasi yang cukup tinggi (Bappeko Dumai 2002).

Aktivitas kepelabuhanan banyak terdapat di kawasan pesisir Kota Dumai. Pelabuhan yang dikategorikan relatif besar dan beraktivitas relatif tinggi antara lain pelabuhan PT. Pelabuhan Indonesia I Cabang Dumai, PT. Pertamina UP II, PT. Chevron Pasifik Indonesia, PT. Kawasan Industri Dumai, PT. Sari Dumai Sejati, PT. Semen Padang, dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Umumnya kawasan pantai selain dikonversi menjadi kawasan pelabuhan juga sebagai kawasan industri. Kawasan industri yang berada di wilayah pesisir Kota Dumai antara lain Kawasan Industri Pelintung seluas 5.840 ha, Kawasan Industri Lubuk Gaung seluas 2.150 ha dan Kawasan Industri Pangkalan Sesai seluas 300 ha (Peraturan Daerah Kota Dumai Nomor 11 tahun 2002).


(33)

Hutan mangrove di Kota Dumai diperkirakan seluas 2.125 ha, meliputi wilayah pesisir pantai Kecamatan Medang Kampai dengan luas yang telah banyak berkurang dan tingkat kerapatannya telah menurun, di Kecamatan Dumai Barat, yaitu di Kelurahan Pangkalan Sesai dan Kelurahan Purnama, dan Kecamatan Sungai Sembilan dengan sebaran yang paling tinggi, walaupun saat ini telah banyak mengalami penurunan (Dinasnakkanla Kota Dumai 2008).

2.2 Ekosistem Mangrove

Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Avicenniaceae (Avicennia), Sonneraticeae (Sonneratia), dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen 2002). Issfad (2009) mencatat sebanyak 15 jenis mangrove di ekosistem mangrove sekitar muara Sungai Dumai, meliputi Avicenia alba, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflora, Ceriop tagal, Gymnanthera paludosa, Heritiera littoralis, Lumnitzera littorea, Lumnitzera racemosa, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Scyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia alba, Sonneratia ovata, Xylocarpus granatum.

Mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir; daerah tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove; menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 ‰) hingga asin (mencapai 38 ‰) (Bengen 2002). Ada tujuh persyaratan utama yang diperlukan untuk pertumbuhan mangrove dengan baik, yaitu, 1) suhu udara dengan fluktuasi musim tidak lebih dari 5 oC, 2) arus laut yang tidak terlalu keras, 3) tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak kuat, 4) topografi pantai


(34)

yang datar/landai, 5) keberadaan air laut, 6) fluktuasi pasang surut yang cukup besar dan 7) keberadaan lumpur dan tanah vulkanik (Chapman 1975b diacu dalam Kusmana 1996).

Fungsi biologi ekosistem mangrove adalah sebagai daerah asuhan bagi larva dan individu muda, tempat mencari makan, tempat bertelur, serta habitat alami berbagai jenis biota yang beberapa di antaranya memiliki nilai komersil. Daun-daun mangrove yang berjatuhan dan berakumulasi pada sedimen mangrove sebagai “leaf litter” (lapisan dan sisa-sisa daun), mendukung komunitas organisme detrital yang besar jumlahnya. Organisme ini bertindak sebagai pengurai daun-daun dan mengubahnya menjadi energi yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah moluska, krustase, kepiting, ikan, reptilia laut, mamalia serta burung (Dahuri 1996).

Bagian tumbuhan mangrove yang gugur, seperti daun, bunga, buah, cabang dan ranting dikenal sebagai guguran serasah (litterfall), penting sebagai sumber detritus bahan organik yang menyokong rantai makanan di laut. Serasah mangrove merupakan sumber hara bagi daerah muara dan sungai (Odum & Heald 1974).

Nybakken (1992) menyatakan bahwa kelompok hewan lautan yang dominan dalam hutan bakau adalah moluska, udang-udangan tertentu dan beberapa ikan khas. Moluska diwakili oleh sejumlah siput, suatu kelompok yang umumnya hidup pada akar dan pohon bakau (Littorinidae) dan lainnya pada lumpur di dasar akar mencakup sejumlah pemakan detritus (Ellobiidae dan Potamididae). Kelompok kedua adalah dari moluska, termasuk bivalva.

Tomascik et al. (1997) menyatakan bivalvia di hutan mangrove Indonesia hanya diwakili oleh sedikit spesies. Bivalvia yang terdapat di tanah hutan mangrove harus dapat mentoleransi periode yang panjang dari suhu yang tinggi dan oksigen yang rendah dan sebagai akibatnya hanya sedikit grup yang dapat beradaptasi terhadap kondisi ini. Bivalvia menjadi komponen bentik yang dominan di batas menghadap ke laut dari hutan mangrove yang seringkali ditandai oleh intertidal dengan hamparan lumpur yang luas. Kebanyakan bivalvia hutan mangrove ditemukan pada hamparan lumpur bagian ke laut yang merupakan sumber makanan penting bagi wader dan berbagai burung air.


(35)

2.3 Plankton

Plankton merupakan salah satu komponen utama dalam sistem mata rantai makanan (food chain) dan jaring makanan (food web). Plankton ini menjadi pakan bagi sejumlah konsumer dalam sistem mata rantai makanan dan jaring makanan. Keberadaan plankton sangat mempengaruhi kehidupan di perairan karena memegang peranan penting sebagai makanan bagi berbagai organisme laut. Plankton ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu fitoplankton (plankton tumbuhan) dan plankton hewani (zooplankton) (Fachrul 2007). Fungsi fitoplankton di perairan selain sebagai makanan bagi zooplankton juga makanan bagi berbagai jenis ikan serta larva biota yang masih muda, mengubah zat anorganik menjadi organik dan mengoksigenasi air (Wardiatno diacu dalam Fachrul 2007).

2.4 Faktor-faktor Lingkungan

Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa bivalvia yang berada di sedimen hutan mangrove dapat mentoleransi dalam periode yang panjang suhu yang tinggi dan oksigen yang rendah, dan sebagai hasilnya hanya sedikit grup yang dapat beradaptasi terhadap kondisi ini. Bivalva menjadi komponen bentik yang dominan pada bagian ke arah laut dari hutan mangrove yang dicirikan oleh hamparan lumpur intertidal (mud flat intertidal) yang luas.

Beberapa kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi organisme penghuni daerah pasang surut diantaranya adalah suhu, salinitas, kekeringan, oksigen terlarut, dan pH. Suhu sangat besar pengaruhnya pada kehidupan moluska yang hidup beriklim empat, tetapi di perairan tropis pengaruh suhu tidak begitu tampak nyata, karena fluktuasi suhu tidak besar. Jenis-jenis moluska yang hidup di perairan estuari mempunyai toleransi besar terhadap fluktuasi suhu yang besar (Kastoro, 1992). Morton (1985) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan kerang Anadara adalah elevasi, substrat, salinitas, suhu dan oksigen terlarut. Hewan akuatik dipengaruh variabel abiotik (seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut dan substrat) dan variabel biotik (seperti, makanan, predasi dan kompetisi) (Sahin et al. 2006). Trisyani et al. (2007) mendapatkan suhu perairan yang merupakan habitat kerang lorjuk (Solen vaginalis) di perairan pantai timur Surabaya sebesar 28-30 oC.


(36)

Salinitas perairan pesisir sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi 2003). Dwiono (2003) menyatakan bahwa kemampuan mentoleransi salinitas dan temperatur Geloina expansa lebih sempit dibandingkan G. erosa. Kebanyakan moluska yang hidup di daerah estuari akan mengalami tekanan atau stress jika salinitas terlalu rendah (Wells dan Lens 1977 diacu dalam Russel-Hunter 1983).

Derajat keasaman (pH) perairan merupakan parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme. Setiap organisme mempunyai pH optimal, pH optimal untuk kehidupan moluska adalah 6.5-7.5 (Russel-Hunter 1983). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH 7.0-8.5 (Effendi 2003).

Oksigen merupakan salah satu gas terlarut yang memegang peranan penting untuk menunjang kehidupan organisme dalam proses respirasi dan metabolisme sel. Kandungan oksigen terlarut optimum untuk moluska berkisar antara 4.1-6.6 ppm. A granosa tunduk terhadap tekanan oksigen yang rendah di habitat alami (Bayne 1973 diacu dalam Broom 1985). Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/l mengakibatkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik

Nitrat dan fosfat di perairan merupakan senyawa mikronutrien pengontrol produktivitas primer di lapisan permukaan daerah eufotik. Nitrat adalah hasil akhir dari proses oksidasi nitrogen. Plankton yang menjadi makanan bagi hewan penyaring seperti bivalvia akan dipengaruhi oleh konsentrasi nitrat dan fosfat di perairan. Pada umumnya fosfat di perairan alami tidak lebih dari 0.1 mg/l. Apabila kandungan fosfat cukup tinggi maka akan terjadi eutrofikasi (Goldman & Horne 1983). Ortofosfat (PO4-P) terlarut merupakan fosfor dalam bentuk

anorganik yang dapat langsung dimanfaatkan dan mudah diserap oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya (Lind 1979).

Triatmodjo (1999) menyatakan bahwa pasang surut merupakan salah satu parameter penting dalam sirkulasi aliran air di estuari. Arus pasang surut mempengaruhi pergeseran salinitas dan kekeruhan di sepanjang estuari, yang bergerak ke arah hulu pada waktu pasang dan ke hilir waktu surut. Dwiono (2003) mengemukakan bahwa kegiatan makan kerang yang hidup di daerah pasang surut


(37)

akan dipengaruhi oleh gerakan pasang surut. Selama air pasang, kerang akan secara aktif menyaring makanan yang melayang dalam air, sedangkan selama air surut kegiatan pengambulan makanan akan sangat menurun bahkan mungkin akan terhenti sama sekali.

Sedimen di ekosistem mangrove adalah lumpur dan pasir berlumpur (Bengen 2002). Vermeij (1974) diacu dalam Morton (1983) mencatat bahwa tanah mangrove sangat asam dan menunjukkan bahwa dalam jumlah persentase yang besar dari moluska mangrove mengalami resorpsi. Well dan Slack-Smith (1981) diacu dalam Morton (1983) menyatakan bahwa sedikit bivalvia yang membenamkan diri dalam hutan mangrove. Hal ini terkait sedimen yang mungkin terlalu halus untuk moluska membenamkan diri. Menurut Budiman (1991), moluska dari kelas bivalvia banyak ditemukan pada substrat dengan kandungan liat rendah dan pasir yang sedang.

Seluruh spesies Anadara yang mempunyai nilai ekonomis penting membenamkan diri dalam substrat lunak. Anadara granosa dapat ditemukan pada substrat lumpur berpasir tetapi paling tinggi populasinya ditemukan pada lumpur lunak intertidal berbatasan dengan hutan mangrove (Pathansali 1966 diacu dalam Broom 1985). Kandungan air dari lumpur tempat ditemukan populasi alami A. granosa adalah 55-65% (Broom 1985).

2.5 Sistematika dan Morfologi Kerang Sepetang

Bivalvia yang termasuk ke dalam filum moluska terbagi ke dalam lima subklas, yaitu subklas Palaeotaxodonta, Palaeoheterodonta, Pteriomorpha, Anomalodesmata dan Heterodonta. Heterodonta memiliki superfamili Solenacea (Arnold 1989).

Sistematika kerang sepetang (Pharella acutidens) menurut Carpenter dan Niem (1998) adalah sebagai berikut.

Phylum : Moluska

Klas : Bivalvia Subklas : Heterodonta

Ordo : Veneroida

Superfamili : Solenacea

Famili : Solenidae (Cultellidae) Genus : Pharella


(38)

Tanjung (2005) mengelompokkan kerang Pharella acutidens ini ke dalam famili Pharidae. P. acutidens mempunyai cangkang yang sangat tipis dan memanjang, kira-kira lima kali lebarnya. Umbo yang rendah terletak di belakang anterior, sepertiga dari panjang cangkang, hinge dengan sedikitnya dua gigi cardinal tiap cangkup. P. acutidens mempunyai periostrakum coklat terang sampai kehijauan, sedangkan P. javanica mempunyai cangkang agak tipis dan memanjang, empat kali lebar ; periostrakum kecoklatan, sering gelap bagian tengah cangkang. Pharella acutidens dapat mencapai ukuran maksimum 8 cm dan pada umumnya berukuran 6 cm (Carpenter & Niem 1998). Sementara Tanjung (2005) mendapatkan ukuran P. acutidens ini mencapai lebih dari 9 cm. Morfologi kerang sepetang (P. acutidens) seperti pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Kerang sepetang (Pharella acutidens) (Sumber : Dokumentasi penulis)

2.6 Biologi Populasi Bivalvia

Morfometrik adalah bentuk-bentuk luar dari bagian-bagian tubuh tertentu yang dijadikan dasar untuk membandingkan, seperti lebar, panjang dan lainnya. Morfometrik ini merupakan salah satu cara yang digunakan dalam membedakan subpopulasi (Effendie 1979). Panjang dan berat merupakan dua komponen dasar dalam biologi spesies pada tingkat individu dan populasi. Informasi hubungan panjang berat penting untuk manajemen dan perkiraan yang tepat dalam perikanan (Park & Oh 2002).

Gimin et al. (2004) menyatakan bahwa panjang, tinggi, lebar dan volume cangkang menunjukkan korelasi yang kuat dengan berat. Hubungan allometrik antara panjang cangkang, lebar atau volume terhadap berat hidup dapat digunakan


(39)

untuk memonitoring pertumbuhan Polymesoda erosa pada populasi alami. Park dan Oh (2002), mendapatkan pola pertumbuhan isometrik dari hubungan panjang berat untuk delapan spesies kerang dari 12 spesies kerang yang dianalisis, sementara spesies Solen strictus menunjukkan pola allometrik negatif (nilai b 2.55 ± 0.08). Widowati et al. (2005) memperoleh pola pertumbuhan allometrik positif antara panjang dan tinggi cangkang terhadap berat total (r2= 0.9437-0.9578) dan pola pertumbuhan allometrik negatif antara lebar terhadap berat total (r2= 0.9585) pada kerang totok (Polymesoda erosa) yang hidup di daerah hutan bakau Segara Anakan Cilacap. Mzighani (2005) memperoleh pertumbuhan Anadara antiquata dengan laju yang sama pada semua dimensi, yang merupakan pertumbuhan isometrik. Natan (2008) mendapatkan pola pertumbuhan kerang lumpur (Anodontia edentula) adalah allometrik positif (nilai b lebih besar dari 3).

Mariani et al. (2002) menyatakan bahwa perbedaan pola pertumbuhan ini diduga disebabkan oleh perbedaan strategi hidup dan kondisi lingkungan. Bachok dan Tsuchiya (2007) memperoleh hubungan yang signifikan dan korelasi yang kuat antara panjang cangkang dengan berat basah dan berat kering pada Psammotaea elongata dan Quidnipagus palatum. Panjang maksimum yang tercatat selama sampling untuk spesies P. elongata dan Quidnipagus palatum adalah 80.1 mm dan 54.9 mm secara berturut-turut.

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran, dapat panjang atau berat dalam waktu tertentu. Untuk itu dalam menghitung pertumbuhan diperlukan data panjang atau berat dan umur atau waktu. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan makanan yang tersedia, suhu, oksigen, faktor kualitas air, dan umur. Secara sederhana pertumbuhan adalah perubahan ukuran, dapat panjang atau berat dalam waktu tertentu. Untuk menghitung pertumbuhan diperlukan data panjang atau berat dan umur atau waktu (Effendie 1979). Seed (1976) diacu dalam Kastoro (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat diartikan sebagai pertambahan panjang, berat atau volume. Pada moluska, bagian yang menonjol adalah cangkangnya, maka yang dimaksud dengan pertumbuhan disini adalah pertambahan panjang cangkangnya. Kerang oyster betina tumbuh lebih cepat


(40)

dibandingkan yang jantan (Asif, 1979; Kayombo & Mainoya, 1987 diacu dalam Mzighani 2005).

Parameter pertumbuhan berdasarkan fungsi pertumbuhan Von Bertalanffy dari kerang Tellina foliacea adalah L = 7.70 mm, K = 1.200 per tahun dan t0 =

0.9 tahun (Negar et al. 2008). Parameter pertumbuhan von Bertalanffy K dan L dari Anadara tuberculosa adalah 0.14 per tahun dan 63.15 mm secara berturut-turut (Pirlot & Wolff 2006), sementara Natan (2009) mendapatkan parameter pertumbuhan kerang lumpur tropis Anodonda edentula, meliputi panjang asimtot (L ) jantan, betina dan gabungan 65.63 mm, 70.88 mm dan 70.58 mm, dan nilai koefisien pertumbuhan (K) kerang jantan, betina dan gabungan berturut-turut 1.3, 1.5, dan 1.5 per tahun.

Indeks kondisi bivalvia menunjukkan adanya variasi musiman dan sangat dipengaruhi oleh suhu air, makanan yang cukup dan siklus perkembangan gamet (Seed & Suchanek 1992; Karayucel & Karayucel 1999 diacu dalam Yildiz 2006). Perubahan musiman kondisi mussel (Mytilus galloprovinsialis L. 1819) merupakan resultan dari interaksi yang kompleks berbagai faktor, meliputi makanan, suhu, salinitas, aktivitas metabolisme dari mussel, terutama sekali proses pertumbuhan dan reproduksi (Hickman dan Illingworth 1980 diacu dalam Yildiz et al. 2006). Yildiz et al. (2006) mendapatkan indeks kondisi Mytilus galloprovinsialis L. 1819 tertinggi pada bulan Mei, yaitu 17.23 ± 0.89% dan terendah pada bulan Juli, yaitu 8.09 ± 0.91%. Sahin et al. (2006) memperoleh nilai indeks kondisi tertinggi kerang Anadara inaequivalvis pada bulan Mei (11.27 ± 0.667) dan terendah pada Agustus (4.68 ± 0.240).

2.7 Biologi Reproduksi Bivalvia

Sistem reproduksi pada bivalvia bervariasi, bergantung pada spesiesnya. Berdasarkan pemisahan alat kelamin maka sistem reproduksi bivalvia dikelompokkan atau dua macam, yaitu : 1) Gonochorist atau dioecious, yaitu alat kelamin jantan dan betina terpisah pada individu yang berbeda dan 2) Hermaphrodites (hermaprodit), yaitu alat kelamin jantan dan betina terdapat pada individu yang sama. Anatomi dari kedua sistem reproduksi ini berbeda, ada yang berhubungan dan berdekatan dengan ginjal ada juga yang terpisah. Dari anatomi


(41)

terlihat ada yang mempunyai gonoduct yang sama untuk jantan dan betina, tetapi ada juga yang terpisah (Mackie 1984).

Pelecypoda umumnya dioecious, mempunyai sepasang gonad yang terletak berdampingan dengan usus, kopulasi tidak terjadi. Pada protobranchia, gonoduct bermuara dalam ginjal, telur serta sperma dikeluarkan melalui nephridiopore. Pada lamellabranchia, gonoduct bermuara dalam rongga suprabranchia. Beberapa jenis pelecypoda bersifat hermaprodit, menghasilkan telur dan sperma pada bagian yang berbeda dalam gonad yang sama dan mempunyai gonoduct yang sama. Keadaan ini terdapat pada Tridacnidae, Pectinidae, Teredinidae, Sphaeriiadae air tawar. Gonad pada Pectin terbagi dua, di bagian ventral terdapat ovari dan bagian dorsal terdapat testes. Ostrea edulis dan Crassostrea virginica bersifat hermafrodit protandri. O. edulis dapat berubah kembali dari betina menjadi jantan. Pembuahan umumnya eksternal, gamet dikeluarkan melalui sifon ekshalant. Faktor yang mempengaruhi pemijahan antara lain adalah suhu, pasang surut dan zat yang dihasilkan oleh gamet dari lawan jenisnya. Pembuahan eksternal, merupakan kekhasan pelecypoda laut, menghasilkan larva trochopore, kemudian menjadi larva veliger yang berenang bebas sebagai meroplankton. Veligernya mempunyai dua keping cangkang. Masa hidup larva veliger sebagai plankton bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa bulan tergantung spesiesnya, sebelum turun ke substrat. Metamorfosa dicirikan oleh lepasnya velum dengan tiba-tiba, untuk kemudian menjadi kerang muda (Suwignyo et al. 2005). Daur hidup bivalvia seperti pada Gambar 3 berikut.


(42)

Sastry (1979) diacu dalam Calow (1983) menyatakan bahwa kebanyakan bivalvia bersifat gonochoristic. Selanjutnya digambarkannya hubungan antara tipe perkembangan, kecepatan perkembangan dan ukuran telur dari bivalvia : 1) planktotrofik (yang dominan) berhubungan dengan periode perkembangan berupa plankton yang panjang (>3 bulan) dan produksi jumlah telur yang banyak (>103) dengan ukuran yang kecil (diameter <100 µm); 2) lesitotrofik, berhubungan dengan masa hidup pelagik yang pendek (<3 bulan) dan produksi jumlah telur yang berukuran besar hanya sedikit (<103), kuning telur (diameter 150-200 µm) ; 3) perkembangan bentik secara langsung berhubungan dengan telur yang besar (diameter > 100 µm) dieramkan dalam marsupium dari ctenidia.

Gonad yang mengatur sistem reproduksi terletak dekat permukaan tubuh di antara ventrikula sebelah atas dan epitel sebelah luar. Gonad yang telah matang memiliki jaringan-jaringan canalis genitalis yang halus dan terlihat di permukaan karena pada saat itu permukaannya menjadi tipis. Semakin mendekati ductus (saluran ova atau sperma) yang lebar, diameter canalis semakin membesar. Organ seks betina adalah ovari sedangkan jantan adalah testis. Produksi kelenjer kelamin disalurkan keluar melalui saluran-saluran kelamin. Penentuan jenis kelamin sulit ditentukan secara eksternal maupun internal, sebab gonad jantan dan betina mempunyai warna yang sama yaitu krem (Cahn 1949 diacu dalam Natan 2008).

Gametogenesis dimulai secara singkat setelah pertumbuhan dan pematangan gonad. Pematangan gamet di bawah kontrol beberapa faktor eksogenous (meliputi suhu, periode matahari, kedalaman, faktor mekanik, kelimpahan dan tersedianya makanan, intensitas cahaya) dan faktor endogenous (meliputi genetik, hormonal) (Mackie 1984).

Gonad betina Anadara yang matang berwarna oranye terang, sementara yang jantan berwarna putih. Empat tahapan yang ditetapkan yakni developing atau maturing (pematangan), mature (matang), partially spent (dikeluarkan sebagian) dan spent (dikeluarkan), yang disebutkan sebagai tingkat I - IV. Spesimen yang jenis kelaminnya tidak dapat ditentukan, ditempatkan pada tingkat I (Mzighani 2005).

Ferreira et al. (2006) menemukan gonad Crassostrea rhizophorae dalam tiga tahap, yaitu tahap awal pembentukan gamet (stages early gametogenesis),


(43)

tahap pertumbuhan (growth) dan tahap pematangan (maturation). Pada tahap early gametogenesis folikel mempunyai diameter rata-rata 180.29 ± 41.91 µm dan ditutupi oleh tisu konekting dalam jumlah besar. Lumen folikel berisikan oosit previtellogenic rata-rata dengan diameter 18.66 ± 6.85 µm dan beberapa oosit vitellogenic. Pada tahap growth ditandai oleh sejumlah kecil tisu konekting interfolikuler. Diameter folikel berukuran rata-rata 218.02 ± 43.19 µm. Oosit previtellogenic sedikit ditemukan dan didominasi oosit vitellogenic. Diameter oosit rata-rata berukuran 25.92 ± 9.94 µm. Beberapa oosit yang matang ditandai oleh lumen folikel yang bebas juga ditemukan. Pada tahap maturation, oosit ditandai oleh jumlah kecil tisu konekting dengan dinding folikel yang tipis. Folikel rata-rata berukuran 298.16 ± 99.24 µm, beberapa oosit vitellogenik dan sejumlah besar oosit yang matang berukuran rata-rata 35.27 ± 9.94 µm. Disebutkan terakhir ditandai oleh bentuk bulat, volume yang besar, nucleus yang besar dan nucleus sedikit tranparan.

Tahap perkembangan gonad Anadara inaequivalvis betina menurut Sahin et al. (2006) : tahap resting, gonad dan area interfolikel penuh ditutupi oleh tisu konektif, tahap developing (immature), diameter folikel-folikel meningkat dan terisi oosit, tahap maturing (mature), folikel-folikel terisi dengan oosit yang sepenuhnya matang, tahap spent (spawn), folikel-folikel mulai kehilangan strukturnya, tahap full spent, folike-folikel mengecil, tisu konektif terbentuk kembali, dan oosit dalam folikel-folikel diserap. Tahap perkembangan gonad Anadara inaequivalvis jantan adalah : tahap resting, area gonad secara penuh ditutupi oleh tisu konekting, tahap beginning (primordial), tahap pembentukan folikel dalam tisu konekting dan tahap membawa spermatozoid secara intensif dalam folikel, tahap developing (immature), gerombolan spermatozoid terbentuk dan tisu konekting berkurang, tahap maturing (mature), tisu konekting interfolikel menghilang dan folikel mencapai ukuran maksimum, tahap spent (spawn), dinding folikel menipis, struktur mulai tak berbentuk dan jumlah spermatozoa meningkat, tahap full spent, destruksi terjadi secara sempurna, dinding folikel dan volume gonad dengan cepat ditutupi oleh tisu konekting.

Nisbah kelamin merupakan perbandingan antara jumlah jantan dan betina pada suatu lokasi. Nisbah kelamin kerang A. antiquata secara keseluruhan


(44)

berbeda secara signifikan dengan 1 : 1, yaitu dengan rasio betina jantan 1.33 : 1. Rasio betina dan jantan meningkat pada ukuran cangkang di atas 41 mm (Mzighani (2005). Menurut Sahin et al. (2006), nisbah kelamin Anadara inaequivalvis dari sampel yang dikumpulkan tiap bulan berdasarkan slide histologis adalah 1.04 : 1, yang artinya tidak berbeda nyata.

Fekunditas adalah jumlah telur yang terdapat dalam ovari pada gonad mendekati matang gonad (Effendie 1979). Nickerson (1975) diacu dalam Lassuy dan Simons (1989) menperkirakan fekunditas Pacific razor clam, Siliqua patula dari pantai Alaska berkisar antara 300 000 untuk ukuran panjang 40 mm sampai 118.5 juta telur untuk ukuran panjuang 180 mm. Rata-rata fekunditas Anadara adalah 1 652 000 ± 562 000 telur per betina, dengan jumlah telur matang berkisar antara 549 001 pada A. antiquata kecil ukuran panjang 22.67 mm sampai 5 756 211 pada A. antiquata besar ukuran panjang 69.01 mm. Jumlah besar telur, sekitar 6 juta telur per betina, diproduksi A. antiquata sangat penting, karena hasil fertilisasi eksternal banyak yang hilang karena predasi, polusi dan faktor lingkungan lainnya. Fekunditas meningkat dengan bertambahnya panjang cangkang kerang A. antiquata (Mzighani 2005). Fekunditas abalone Haliotis rubra L berkisar antara 1.09 sampai 7.5 juta telur untuk betina ukuran panjang 12-14.5 cm dan berat 115-487 g. Fekunditas mempunyai hubungan yang linier dengan ukuran panjang dan berat abalon (Haliotis rubra) (Litaay & De Silva 2003).


(45)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ekosistem mangrove pesisir Kota Dumai Propinsi Riau. Penelitian ini dilaksanakan selama satu tahun, mulai bulan November 2010 sampai Oktober 2011, meliputi pengamatan, pengukuran, pengambilan sampel di lapangan dan analisis di laboratorium. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Laut, Laboratorium Kualitas Air, Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Layanan Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau dan Laboratorium Kesehatan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sampel kerang sepetang

(Pharella acutidens), sampel air, sampel sedimen, sampel plankton, vegetasi

mangrove, yang diambil dari lokasi penelitian, akuades dan beberapa bahan kimia lainnya yang diperlukan dalam analisis sampel. Alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian ekobiologi kerang sepetang (P. acutidens) seperti pada Tabel 1.

3.3 Prosedur Pengumpulan Data 3.3.1 Penentuan Stasiun Penelitian

Kondisi hutan mangrove di pesisir Dumai Barat telah banyak mengalami kerusakan berupa penebangan dan pengurangan luasan akibat alih fungsi oleh manusia serta terabrasi oleh gelombang. Penentuan stasiun pengamatan dan pengambilan sampel kerang sepetang didasarkan pada kondisi ekosistem mangrove yang berbeda, yaitu zona alami dan pemanfaatan. Stasiun 1 (Stasiun SM : Sungai Mesjid, 01o 42’ 48.7” LU dan 101o 23’ 19.3” BT) merupakan lokasi yang berada di Kelurahan Purnama di sekitar kawasan Stasiun Kelautan Dumai (muara Sungai Mesjid), ± 8 km dari pusat kota. Kondisi hutan mangrovenya relatif terjaga dari gangguan masyarakat (alami). Stasiun 2 (Stasiun PP : Pantai Purnama, 01o 42’ 41.3”


(46)

LU dan 101o 23’ 36.7” BT), berada di pantai Kelurahan Purnama dengan jarak ± 5 km dari pusat kota, dengan kondisi vegetasi mangrove paling banyak mendapat gangguan oleh masyarakat dibandingkan dua stasiun lainnya karena terbuka bagi masyarakat dan milik masyarakat (pemanfaatan). Stasiun 3 (Stasiun SD : Sungai Dumai, 01o 41’ 16.6” LU dan 101o25’ 57.6” BT), berada di Kelurahan Pangkalan Sesai (muara Sungai Dumai) dengan jarak ± 0.7 km dari pusat kota, berada di kawasan PT. Pelabuhan Indonesia Cabang Dumai dengan kondisi mangrove sebagian relatif terjaga dari gangguan manyarakat (Gambar 4). Pada setiap stasiun terdiri dari tiga substasiun, dengan jarak ± 50 m, yang dinyatakan sebagai SM (SM1, SM2, SM3), PP (PP1, PP2, PP3) dan SD (SD1, SD2, SD3).

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ekobiologi kerang sepetang

(Pharellaacutidens)

No Parameter Alat Bahan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Struktur komunitas mangrove Kualitas air (suhu, salinitas,

pH, pasut, DO, NO3, PO4)

Fraksi dan bahan organik sedimen

Plankton

Distribusi dan kelimpahan kerang

Morfometrik dan pertumbuhan

Analisis jenis makanan Nisbah kelamin

Tahap perkembangan gonad

Fekunditas dan diameter

telur/oosit

Meteran, tali, hand tally counter, lembaran data

Termometer, refraktometer,

pH meter,soil tester, DO meter, spectrometer,

Sediment core, ayakan, oven, furnace, timbang-an, cawan porselen

Plankton net, botol sampel, mikroskop, dll.

Meteran, tali, kuadrat,

ayakan, sekop, label dan kantong plastik

Kaliper, timbangan digital, pisau, napan plastik

Pisau, mikroskop, cawan

petri dll

Pisau, nampan plastik,

mikroskop binokuler, dll Pisau, nampan plastik,

timbangan, mikroskop

compound bermikrometer,

kaca objek

Mikroskop, mikrometer

okuler, cawan petri

Vegetasi mangrove Air sampel

Sedimen, H2O2

Air sampel

plankton, lugol Individu kerang sepetang Kerang sepetang

jaring pemagar

kerang

Saluran

pencer-naan sepetang Kerang sepetang

Gonad betina,

akuades, formalin

4% & 10% , bahan kimia lainnya

Telur (gonad)


(47)

2

5


(1)

123

Lampiran 17 Grafik hubungan panjang berat kerang sepetang dari ekosistem mangrove pesisir Dumai menurut stasiun dan jenis

kelamin

14 8


(2)

Lampiran 18 Kurva pertumbuhan kerang P. acutidens hasil analisis program FISAT. L∞

(mm)= 91.03 (SM), 88.10 (PP), 84.42 (SD) dan K (per tahun) =0.60 (SM),

0.40 (PP), 0.50 (SD)


(3)

123 Lampiran 19 Nilai Index Electivity (Indek pilihan) plankton sebagai makanan Pharella acutidens

No Takson IE IE IE IE IE IE IE IE IE Jumlah Rerata Sdev Keterangan

Bacillariophyceae 0.07 0.08 0.07 0.09 0.08 0.08 0.11 0.11 0.11 0.78 0.09 0.02 Disukai 1 Biddulphia 0.23 0.36 0.00 0.84 0.40 0.00 0.00 0.00 0.00 1.83 0.20 0.29 Disukai 2 Coscinodiscus 0.00 0.00 0.00 0.00 0.65 0.00 0.00 0.37 0.39 1.41 0.16 0.25 Disukai 3 Cyclotella 0.44 0.30 0.47 0.39 0.00 0.78 0.00 0.64 0.16 3.18 0.35 0.27 Disukai 4 Diatoma 0.03 0.44 -0.14 -0.22 0.22 0.33 0.07 -0.46 0.21 0.48 0.05 0.29 Disukai 5 Fragilaria -0.31 0.08 0.07 0.37 0.22 -0.15 0.14 0.16 0.07 0.64 0.07 0.20 Disukai 6 Gyrosigma 0.00 0.65 0.13 0.18 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.96 0.11 0.21 Disukai 7 Navicula 0.39 0.00 -0.01 -0.10 -0.20 0.31 0.45 0.17 -0.34 0.67 0.07 0.27 Disukai 8 Nitzschia 0.62 0.51 0.64 0.00 0.00 0.19 0.85 0.80 0.55 4.16 0.46 0.32 Disukai 9 Planktoniella 0.17 0.00 0.00 -0.02 0.02 0.00 0.28 0.00 0.21 0.66 0.07 0.11 Disukai 10 Pleurosigma -0.48 0.22 0.21 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.46 -0.45 -0.96 -0.11 0.28 Tdk disukai 11 Thalassiothrix 0.52 0.00 0.75 0.18 0.81 0.00 0.00 0.00 0.79 3.04 0.34 0.37 Disukai

Cyanophyceae -0.34 -0.47 -0.31 -0.64 -0.47 -0.49 0.00 0.00 0.00 -2.72 -0.30 0.25 Tdk disukai 12 Merismopedia -0.22 -0.03 0.00 -0.27 0.00 -0.06 0.00 0.00 0.00 -0.58 -0.06 0.11 Tdk disukai 13 Trichodesmium -0.31 0.00 0.10 0.00 -0.12 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.33 -0.04 0.12 Tdk disukai


(4)

Lampiran 20Jenis kelamin kerang sepetang berdasarkan kelas ukuran panjang (mm)

Kelas Ukuran

(mm)

Jenis Kelamin

Belum dapat

dibedakan

Betina

Jantan

8.5-16.1

10

0

0

16.16-23.7

56

0

0

23.8-31.4

47

0

0

31.5-39.1

45

11

13

39.2-46.7

0

33

34

46.8-54.4

0

48

36

54.5-62.0

0

85

84

62.2-69.7

0

117

95

69.8-77.4

0

76

66

77.5-85

0

39

33

85.14-92.7

0

3

6


(5)

Lampiran 21. Hasil Analisis Faktorial Koresponden kerang sepetang berdasarkan karakter biologi

Stasiun IK IKG Fek DT

SM1 8.47 9.56 4.147 40.0

SM2 8.40 9.60 4.109 39.6

SM3 8.36 9.65 4.035 39.5

PP1 8.34 9.01 3.998 37.9

PP2 8.30 9.11 3.907 37.7

PP3 8.25 9.16 3.916 38.0

SD1 8.23 8.88 3.740 37.4

SD2 8.24 8.80 3.727 37.3

SD3 8.23 8.92 3.638 37.2

F1 F2 F3

SM1 -1.066 -0.216 -1.693

SM2 -1.265 0.236 0.156

SM3 -1.231 1.324 0.362

PP1 0.142 -2.106 0.107

PP2 0.166 -0.707 1.866

PP3 -0.218 -0.191 0.541

SD1 1.016 0.249 -0.623

SD2 1.300 -0.074 -1.217

SD3 1.382 1.466 0.548

F1 F2 F3

SM1 0.804 0.011 0.185

SM2 0.987 0.012 0.001

SM3 0.715 0.279 0.006

PP1 0.013 0.986 0.001

PP2 0.054 0.328 0.618

PP3 0.549 0.143 0.309

SD1 0.948 0.019 0.033

SD2 0.925 0.001 0.074

SD3 0.718 0.272 0.010

F1 F2 F3

IK 0.017 -0.004 0.003

IKG -0.007 0.005 0.004

Fek -0.016 -0.015 0.001


(6)

Lampiran 21 Lanjutan

F1 F2 F3

IK 2.115 -0.806 1.030

IKG -0.922 1.152 1.823

Fek -1.937 -3.204 0.496

DT -0.040 0.226 -0.712

F1 F2 F3

IK 0.934 0.046 0.020

IKG 0.531 0.280 0.189

Fek 0.518 0.478 0.003