Kota dan Perkembangan Kota

tinggi dan cepat, baik volume maupun frekuensinya sehingga akan memberikan kondisi yang merugikan dan buruk diwilayah pinggiran kota tersebut. Proses gejala urban sprawl yang tidak terkontrol akan menimbulkan pengaruh negatif pada fungsi kota secara keseluruhan dan daerah-daerah sekitarnya. Untuk itu diperlukan upaya pengaturan gejala urban sprawl sedini mungkin. Secara garis besar ada tiga macam tipe urban sprawl yaitu: a. Perembetan konsentris Concentric Development Tipe ini merupakan jenis perembetan areal perkotaan yang paling lambat. Perembetan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota Gambar 4. Berhubung sifat perembetannya yang merata disemua bagian luar kota yang sudah ada, maka tahap berikutnya akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang relatif kompak. Peranan transportasi terhadap perembetan ini tidak begitu besar. Gambar 4 Urban Sprawl tipe Concentric Development b. Perembetan Memanjang Ribbon Development Tipe ini menunjukan ketidakmerataan perembetan areal kekotaan disemua bagian sisi-sisi luar dan pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari radial dari pusat kota Gambar 5. Gambar 5 Urban Sprawl tipe Ribbon Development c. Perembetan Meloncat Leap Frog Development Tipe perkembangan ini oleh kebanyakan pakar lingkungan dianggap paling merugikan, tidak efisien dalam arti ekonomi, tidak mempunyai nilai estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan perkotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian Gambar 6. Gambar 6 Urban sprawl tipe leap frog development Lahan merupakan sumberdaya, wadah dan faktor produksi strategis bagi pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Hampir semua sektor pembangunan fisik kota membutuhkan lahan. Sejalan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan dan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan meningkat, sementara ketersediaan dan luas lahan tetap. Walaupun kriteria lahan yang diperlukan untuk setiap sektor berbeda, namun pada kenyataannya masih sering terjadi benturan kepentingan dan alih fungsi lahan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arifin 1998 bahwa semakin tinggi tingkat urbanisasi suatu daerah, struktur daerah perkotaan semakin kompleks. Penyebabnya adalah karena semakin beragamnya aktivitas dari masyarakat di daerah tersebut. Pembentukan dan perubahan lahan di wilayah pinggiran kota diakibatkan oleh adanya proses sub-urbanisasi dimana kecenderungannya menunjukan terjadinya pertumbuhan fisik secara cepat namum tidak teratur dan tidak terencana sehingga menimbulkan ketidakefisienan dan kemubaziran fenomena urban sprawl. Sub-urbanisasi diartikan sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru dan juga kawasan-kawasan industri di wilayah pinggiran perkotaan terutama sebagai akibat perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat-tempat bermukim untuk kegiatan industri Rustiadi dan Panuju 1999. Sub-urbanisasi juga merupakan suatu proses pertumbuhan wilayah pinggiran yang secara sistematis lebih cepat dibandingkan dengan pusat kotanya, dan adanya gaya hidup yang mempengaruhi sehari-hari sebagai commuter penglaju untuk bekerja di kota Rustiadi dan Panuju 1999. Proses suburbanisasi di banyak negara-negara dunia ketiga dalam hal ini termasuk Indonesia banyak dipandang sebagai suatu pengulangan proses yang sudah lama berlangsung di negara-negara industri maju di Eropa dan Amerika. Namun yang mencengangkan adalah proses yang terjadi di Indonesia berlangsung dengan akselerasi dan magnitude yang sangat tinggi Rustiadi 2000. Menurut Todaro 1981 hal ini terjadi karena adanya suatu keadaan tidak mampunya kota-kota menyediakan fasilitas pelayanan pokok dan kesempatan kerja yang memadai untuk penduduk yang bertambah pesat. Dalam dua dekade mendatang, diperkirakan 200 juta orang akan tinggal di wilayah pinggiran perkotaan metropolitan Asia Timur, dimana jumlah ini merupakan sekitar 40 dari total populasi metropolitan Webster 2002. Suburbanisasi menciptakan peluang dan tantangan baru bagi perencanaan dan pertumbuhan metropolitan. Menurut Lin 2001 bahwa suburbanisasi dapat menciptakan kegiatan ekonomi baru, menarik tenaga kerja sehingga memberikan kontribusi besar untuk pembangunan daerah. Chapin dan Kaiser 1979 menyatakan bahwa struktur ruang kota sangat berkaitan dengan 3 tiga sistem yaitu: 1 sistem kegiatan; 2 sistem pengembangan lahan, dan 3 sistem lingkungan. Sistem kegiatan berkaitan dengan cara manusia dan kelembagaannya mengatur urusannya sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya dan saling berinteraksi dalam waktu dan ruang. Sistem pengembangan lahan berfokus pada proses pengubahan ruang dan penyesuaiannya untuk kebutuhan manusia dalam menampung kegiatan yangada dalam susunan sistem kegiatan, dan sistem lingkungan berkaitan dengan kondisi biotik dan abiotik yang dibangkitkan oleh proses alamiah, yang berfokus pada kehidupan tumbuhan dan hewan serta proses-proses dasar yang berkaitan dengan air, udara, dan mineral. Ketiga sistem ini menjadi dasar penyusunan penggunaan lahan dan penjelasan terbentuknya pemanfaatan lahan. Perubahan penggunaan dan penutupan lahan merupakan gejala normal sesuai dengan proses perkembangan dan pengembangan kota. Terdapat dua tipe dasar pengembangan kota yaitu: pertumbuhan dan transformasi Doxiadis1968. Pertumbuhan mencakup semua jenis penggunaan lahan, termasuk didalamnya jenis penggunaan yang sama sekali baru dan perluasan penggunaan lahan, sedangkan transformasi adalah perubahan menerus pada bagian-bagian pemanfaatan lahan di perkotaan dan perdesaan untuk meningkatkan nilai dan tingkat efisiensi bagi penggunanya. Transformasi adalah proses pengembangan yang lebih dominan dibandingkan dengan perluasan dimana perluasannya hanya terjadi satu kali, sementara transformasi dapat terjadi berulangkali. Berdasarkan Undang Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Johnson 1984 menyatakan bahwa diatara kawasan perkotaan, perdesaan dan pinggiran perkotaan, pinggiran perkotaan memberikan peluang paling besar untuk usaha produktif dan peluang yang paling menyenangkan untuk bertempat tinggal. Wilayah pinggiran kota merupakan suatu wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota yang berada dalam proses transisi dari kawasan pedesaan menjadi perkotaan Johnson 1984. Menurut McGee 1991 wilayah pinggiran kota memiliki karakteristik suatu daerah yang tidak dapat digolongkan sebagai kota atau desa,umumnya terletak disepanjang koridor antara pusat kota besar. Koridor tersebut berlokasi di sepanjang jalur-jalur transportasi utama. Tipe penggunaan tanah di pinggiran kota ini sebagai daerah peralihan menunjukkan bentuk-bentuk campuran pertanian dan non pertanian. Bourne 1995 cenderung mendefinisikan sebagai kawasan baru disekeliling kawasan perkotaan yang tengah berevolusi dan mengalami transisi.Wilayah pinggiran perkotaan didefinisikan sebagai wilayah sekitar perkotaan yang secara ekologis dan sosio- ekonomi terintegrasi ke kota inti mereka Simon. et al. 2004 yang berfungsi sebagai transisi zone antar perkotaan dan perdesaan ditandai dengan adanya arus sumber daya alam, barang dan orang dari dan ke kota secara intensif.