diundangkannya menjadi perda tetapi pada kenyataannya RTRW ini belum dapat dioperasionalkan dengan baik terutama dalam pengendaliaan tata ruang
disebabkan ketidaktersediaan rencana rinci dan peraturan zonasi.
Gambar 20 Indeks status keberlanjutan dan atribut pengungkit dimensi institusi Hasil analisis pengungkit terhadap 8 atribut dimensi institusi menghasilkan
5 atribut dengan nilai RMS yang menonjol yaitu: kerjasama antar pemerintah daerah, ketersediaan RTRW, ketersediaan rencana rinci, ketersediaan peraturan
zonasi dan penerapan sanksi Gambar 20. Atribut ini merupakan atribut sensitif
44.15
GOOD BAD
UP
DOWN -60
-40 -20
20 40
60
20 40
60 80
100 120
Indeks keberlanjutan dimensi institusi
Real Fisheries References
Anchors
5.89 2.53
1.48 9.82
7.8 6.57
5.26 1.36
2 4
6 8
10 12
Kerja sama antar pemerintah daerah Koordinasi di bidang lingkungan hidup
Koordinasi penyediaan sarana dan Ketersediaan RTRW
Ketersediaan rencana rinci Ketersediaan peraturan zonasi
Penerapan sanksi penyelenggaraan tata Ketersediaan mekanisme perizinan
Perubahan Root Means Square RMS
Atribut pengungkit dimensi institusi
bagi keberlanjutan dimensi institusi di wilayah penelitian karena akan berkaitan terhadap pengaturan dan pengendalian pengembangan kawasan permukiman di
wilayah penelitian.
6.3.5 Pembahasan
Analisis multidimensi terhadap status keberlanjutan wilayah penelitian untuk pengembangan kawasan permukiman menunjukkan nilai indeks keberlanjutan
sebesar 41,46 artinya keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di wilayah penelitian adalah termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan. Keadaan
ini sesuai dengan penelitian Uguy 2006 dan Hudalah 2010 bahwa perkembangan kawasan permukiman di pinggiran kota metropolitan menunjukkan
kecenderungan terjadinya ketidakberlanjutan. Ketidakberlanjutan di wilayah penelitian ini ditunjukkan oleh 1 pertumbuhan penduduk dan kawasan
permukiman yang sangat cepat tidak diikuti dengan tersedianya berbagai fasilitas pendukung, 2 prasarana jalan yang sangat kurang dalam memenuhi bangkitan
lalu lintas dari perumahan-perumahan yang tumbuh menjamur, 3 peningkatan frekwensi banjir dan degradasi lingkungan, serta 4 struktur institusional yang
kompleks dan saling tumpang tindih dimana keempat keadaan ini mencakup dimensi ekologi dan institusi yang menjadikan kedua dimensi ini di wilayah
penelitian menjadi kurang berkelanjutan. Status kurang berkelanjutan di wilayah penelitian disebabkan oleh
rendahnya nilai indeks keberlanjutan dari 4 dimensi yang dinilai. Dimensi dengan nilai indeks status keberlanjutan yang rendah adalah dimensi ekologi dan dimensi
institusi. Dimensi dengan nilai indeks status keberlanjutan cukup adalah dimensi ekonomi dan dimensi sosial. Oleh karena itu, ditinjau secara multi dimensi status
keberlanjutan wilayah penelitian menjadi kurang berkelanjutan. Status keberlanjutan untuk dimensi ekonomi dan dimensi sosial adalah
cukup berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson 1984 bahwa diantara wilayah perkotaan, perdesaan dan pinggiran kota ternyata pinggiran kota
memberikan peluang paling besar untuk kegiatan dan usaha produktif serta peluang yang menyenangkan untuk bertempat tinggal, sehingga menjadikan
kawasan permukiman di pinggiran kota memiliki kesempatan berkembang yang
lebih baik dari sisi dimensi ekonomi juga sosial. Diagram layang status keberlanjutan disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21 Diagram layang-layang status keberlanjutan Analisis terhadap 38 atribut yang berasal dari keempat dimensi ekologi,
ekonomi, sosial dan institusi menghasilkan 16 atribut yang berperan sebagai faktor pengungkit yang berada di setiap dimensi secara parsial Tabel 19.
Tabel 19 Faktor pengungkit tiap dimensi keberlanjutan di wilayah penelitian
No Dimensi
Keberlanjutan Atribut
Faktor Pengungkit Nilai
RMS I
Dimensi Ekologi 1. Kepadatan penduduk
3,67 2. Laju pertumbuhan lahan terbangun
3,98 3. Kondisi Drainase dan sanitasi lingkungan
3,62 4. Kondisi lalu lintas kemacetan
3,63 5. Pengelolaan persampahan
3,87 II
Dimensi Sosial 6. Tingkat pelayanan kesehatan
4,78 7. Tingkat pelayanan pendidikan
4,94 8. Tingkat pelayanan fasilitas sosial
4,69 III
Dimensi Ekonomi 9. Ketersediaan angkutan umum
5,84 10. Akses ke pusat kegiatan
6,44 11. Luas lahan dapat dikembangkan utk permukiman
4,61 IV
Dimensi Institusi 12. Kerjasama antar pemerintah daerah
5,83 13. Ketersediaan RTRW
9,82 14. Ketersediaan rencana rinci
7,80 15. Ketersediaan peraturan zonasi
6,57 16. Penerapan sanksi dalam pelanggaran tata ruang
5,26 20
40 60
80 Ekologi
Sosial
Ekonomi Institusi
Faktor pengungkit ini berasal dari dimensi ekologi sebanyak 5 atribut, dimensi ekonomi sebanyak 3 atribut, dimensi sosial sebanyak 3 atribut dan
dimensi institusi sebanyak 5 atribut. Sebagai faktor pengungkit maka atribut- atribut ini berperan besar dan berpengaruh sensitifbesar terhadap peningkatan
atau penurunan nilai indeks keberlanjutan di wilayah penelitian. Untuk meningkatkan status keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah penelitian
maka ke-16 atribut tersebut perlu diintervensi. Dari 16 atribut sensitif tersebut, 3 atribut perlu dikurangi atau dikendalikan intensitas perkembangannya, 5 atribut
perlu ditingkatkan intensitas kegiatannya, 3 atribut harus segera dibuat dan 5 atribut perlu dikendalikan dan direncanakan perkembangannya secara baik.
Gambar 22 Atribut pengungkit sensitif Atribut
yang perlu
dikurangi atau
dikendalikan intensitas
perkembangannya atau intensitas kegiatannya adalah laju perkembangan lahan terbangun, Kepadatan penduduk dan luas lahan yang dapat dikembangkan untuk
permukiman. Hasil analisis dinamika pertumbuhan kawasan permukiman di
wilayah penelitian Bab V menunjukkan bahwa perkembangan kawasan permukiman cepat dan pada saat ini di wilayah penelitian sudah sampai pada
3.67 3.98
3.62 3.63
3.87 4.78
4.94 4.69
5.84 6.44
4.61 5.83
9.82 7.8
6.57 5.26
Kepadatan penduduk Laju pertumbuhan lahan terbangun
Kondisi Drainase dan sanitasi lingkungan Kondisi lalu lintas kemacetan
Pengelolaan persampahan Tingkat pelayanan kesehatan
Tingkat pelayanan pendidikan Tingkat pelayanan fasilitas sosial
Ketersediaan angkutan umum Akses ke pusat kegiatan
Luas lahan dapat dikembangkan utk… Kerjasama antar pemerintah daerah
Ketersediaan RTRW Ketersediaan rencana rinci
Ketersediaan peraturan zonasi Penerapan sanksi dalam pelanggaran tata…
Perubahan Root Means Square RMS A
tr ib
u tt
P e
n g
u n
g k
it
tahap lanjut yaitu percepatan pertumbuhan yang tinggi dengan kepadatan tinggi dan mengkonsumsi lahan cukup luas. Kondisi pertumbuhan ini cenderung tidak
terkendali karena saat ini proporsi luasan lahan yang terbangun yang tidak sesuai dengan arahan rencana yang ada inkonsisten di wilayah penelitian menunjukkan
nilai yang tinggi yaitu 12 . Peningkatan status keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah penelitian dapat dilakukan dengan mengendalikan dan
mengurangi intensitas perkembangan ketiga atribut ini sesuai arahan rencana tata ruang yang ada.
Lima 5 buah atribut yang perlu ditingkatkan intensitas kegiatannya karena saat ini sudah ada akan tetapi perkembangannya masih terbatas adalah:
kapasitas drainase dan kondisi sanitasi lingkungan, pengelolaan persampahan, tingkat pelayanan kesehatan, tingkat pelayanan pendidikan dan tingkat pelayanan
fasilitas sosial. Kondisi ke lima atribut saat ini di wilayah penelitian berdasarkan pengamatan langsung di wilayah penelitian dan persepsi masyarakat menunjukan
kecenderungan menurun hal ini karena keterbatasan tingkat pelayanan dari pemerintah dan pesatnya pertumbuhan penduduk serta semakin meluasnya
kawasan permukiman yang harus dilayani sehingga terjadi ketidakseimbangan. Agar status keberlanjutan wilayah penelitian meningkat maka kelima atribut ini
harus ditingkatkan intensitas kegiatannya. Atribut yang harus segera disiapkan dan dibuat karena saat ini belum
tersedia dan sangat diperlukan untuk mengendalikan perkembangan kawasan permukiman di wilayah penelitian adalah kerjasama antar pemerintah daerah yang
berbatasan, rencana rinci dan peraturan zonasi. Rencana rinci sebagai pedoman implementasi arahan tata ruang yang lebih detail sangat diperlukan, tetapi saat ini
di wilayah penelitian belum tersedia rencana rinci ini. Peraturan zonasi sebagai alat pengendalian dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah penelitian
belum tersedia, mengingat pertumbuhan kawasan permukiman yang cepat dan tidak terkendali maka ketersediaan peraturan zonasi ini sangat diperlukan. Kerja
sama antar pemerintah daerah dimaksudkan untuk memperkuat koordinasi dan konsistensi dalam implementasi tata ruang, mengingat wilayah penelitian meliputi
beberapa wilayah administrasi. Saat ini kerjasama antar pemerintah daerah hanya dalam bentuk rapat koordinasi saja sehingga sepertinya belum sepenuhnya
diinginkan. Kerjasama ini memerlukan kesiapan diantara pemerintah daerah yang berbatasan dan dukungan dari pemerintah pusat. Ketiga atribut ini sangat
diperlukan segera untuk mengendalikan pertumbuhan di wilayah penelitian, dengan demikian keberadaannya dapat meningkatkan status keberlanjutan
kawasan permukiman di wilayah penelitian. Atribut yang perlu dikendalikan dalam pelaksanaan kegiatannya dan juga
harus direncanakan perkembangannya dengan baik dan konsisten adalah ketersediaan angkutan umum, akses ke pusat kegiatan utama, kemacetan lalu
lintas, ketersediaan RTRW dan penerapan sanksi dalam pelanggaran tata ruang. Atribut ketersediaan angkutan umum, kondisi lalu lintas kemacetan dan akses ke
pusat kegiatan utama merupakan atribut yang menambah daya tarik dari kawasan permukiman di wilayah penelitian sehingga dalam perkembangannya harus
dipersiapkan secara hati-hati karena apabila dibiarkan terselenggara tanpa ada arahan yang baik akan menyebabkan perkembangan kegiatan dan pertumbuhan
kawasan permukiman yang tidak terarah dan tidak terkendali sehingga terjadi penurunan daya tarik kawasan permukiman. Kondisi ini akan menurunkan status
keberlanjutan wilayah penelitian. Atribut ketersediaan RTRW dan penerapan sanksi dalam penyelenggaraannya juga harus direncanakan dan dilaksanakan
secara hati-hati. Saat ini RTRW Kabupaten Bogor dan RTRW Kota Bekasi sudah diperdakan sedangkan RTRW Kota Depok masih dalam proses. Selanjutnya
penerapan sanksi harus dilaksanakan pada kenyataannya saat ini kegiatan ini belum konsisten dilaksanakan hal ini terlihat masih banyaknya kejadian
pelanggaran-pelanggaran dalam pembangunan yang tidak sesuai dengan peraturan tata ruang.
Tingkat kesalahan dalam menggunakan teknik MDS pada Rap-
Urbanfringesett relatif kecil Tabel 20. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan yang relatif kecil antara analisis Rap-Urbanfringesett menggunakan MDS dengan
teknik Monte Carlo pada tingkat kepercayaan 95 . Analisis status keberlanjutan kawasan penelitian dengan menggunakan
Rap-urbanfringesett dinilai cukup akurat Tabel 21. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Stress yang lebih kecil dari 0,25 dan nilai R
2
mendekati 1 Kavanagh dan Pitcher 2004.
Tabel 20 Nilai indeks keberlanjutan menggunakan MDS dan Monte Carlo Indeks Keberlanjutan
Dimensi keberlanjutan MDS
Monte Carlo Perbedaan
Ekologi 32.97
33.45 0.48
Ekonomi 54.00
53.18 0.82
Sosial 64.30
62.98 1.32
Institusi 44.15
43.84 0.31
Multi Dimensi 41.46
41.17 0.29
Tabel 21 Nilai Stress dan koefisien determinasi R
2
Dimensi Parameter
Ekologi Ekonomi
Sosial Institusi Multi
Stress 0.13
0.13 0.14
0.14 0.13
R
2
0.95 0.94
0.95 0.95
0.94 Iterasi
2 2
2 2
2
6.4 Kesimpulan
Status keberlanjutan wilayah penelitian saat ini adalah kurang berkelanjutan. Dimensi ekologi dan dimensi institusi menunjukkan status kurang berkelanjutan
sedangkan dimensi ekonomi dan dimensi sosial menunjukkan status cukup berkelanjutan. Dalam rangka meningkatkan status keberlanjutan wilayah
penelitian sebagai kawasan pengembangan permukiman terdapat 16 atribut yang merupakan atribut pengungkit dan perlu dilakukan intervensi. Intervensi terhadap
atribut-atribut tersebut dapat dilakukan melalui pengurangan dan pengendalian intensitas perkembangannya atau intensitas kegiatannya, peningkatan intensitas
kegiatan mengingat saat ini kegiatan tersebut sudah ada hanya masih sangat terbatas dan apabila tidak ditingkatkan akan dengan cepat berpengaruh buruk
terhadap keberlanjutan kawasan, pengendalian dalam pelaksanaan kegiatannya dan harus direncanakan perkembangannya secara hati-hati serta konsisten,
terakhir atribut yang harus dibuat segera untuk mendukung intervensi yang dilakukan sebelumnya.
VII ANALISIS PENGELOLAAN KAWASAN PERMUKIMAN
DI PINGGIRAN KOTA METROPOLITAN JABODETABEK
7.1 Pendahuluan
Pertumbuhan kawasan permukiman yang terjadi secara cepat dan acak di wilayah pinggiran metropolitan Jabodetabek disebabkan oleh faktor yang secara
umum terdiri dari faktor pendorong dan faktor penarik Firman 2003. Disamping itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah lemahnya pengendalian pemerintah
terhadap tata ruang Poerwanto 2006. Pertumbuhan kawasan permukiman ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah yang menyebabkan lemahnya
institusi penataan ruang yang tidak terlepas dari lemahnya kapasitas kontrol para pemegang otoritas kebijakan tata ruang sehingga koordinasi antar sektor dan kerja
sama antar wilayah tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, padahal wilayah penelitian merupakan kawasan yang paling dinamis dan tumbuh pesat
serta multi administratif. Hasil analisis pada Bab VI yaitu analisis status keberlanjutan kawasan
permukiman di wilayah penelitian menyimpulkan bahwa status keberlanjutan di wilayah penelitian berdasarkan dimensi institusi termasuk dalam kategori kurang
berkelanjutan. Berdasarkan analisis ini juga didapatkan bahwa atribut yang
menjadi faktor pengungkit untuk meningkatkan status keberlanjutan dimensi institusi di wilayah penelitian adalah : ketersediaan RTRW, ketersediaan rencana
rinci, ketersediaan peraturan zonasi, kerjasama antar pemerintah daerah dan penerapan sanksi dalam pelanggaran tata ruang. Kondisi status keberlanjutan
dimensi institusi di wilayah penelitian kurang berkelanjutan dipicu karena pertumbuhan kawasan permukiman di wilayah penelitian yang cepat dan dinamis
sesuai dengan hasil analisis Bab V, dimana dinamika pertumbuhan ini tidak disertai dengan keberadaan arahan pengembangan tata ruang berupa rencana rinci
dan pengendalian yang memadai dari pemerintah. Keterbatasan kemampuan pemerintah menyebabkan pelaksanaan arahan
perencanaan dan pengendalian tata ruang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Kenyataannya menurut Hudalah 2010 wilayah pinggiran kota metropolitan
merupakan zona transisi yang diatur oleh struktur institusional yang kompleks dan
saling tumpang tindih dengan otonomi, visi, gaya pemerintahan dan kapasitas yang masing-masing berbeda. Selain itu, beberapa tugas perencanaan dibagi
dengan pemerintah diatasnya yang bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan antar masalah perencanaan lokal. Kondisi ini memungkinkan insiatif swasta dan
lokal tidak terkoordinasi sehingga fragmentasi institusional di wilayah pinggiran kota menjadi meningkat. Keadaan di wilayah pinggiran yang seperti ini
menyebabkan mendapat sebutan sebagai wilayah pinggiran yang tidak bertuanno m
an’s land of the periphery Zetter dan White 2002. Oleh karena itu, untuk mengetahui permasalahan tentang keberlanjutan
dimensi institusi yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan permukiman di wilayah penelitian
maka perlu dilakukan analisis
terhadap pelaksanaan
pengelolaan kawasan permukiman yang meliputi peran serta stakeholder, kendala-kendala yang ada, perubahan yang diharapkan serta program-program
yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pengelolaannya. Salah
satu metode yang dapat dipakai untuk analisis ini adalah dengan teknik ISM Interpretative Structural Modelling dimana dilakukan proses
pengkajian kelompok melalui model struktural yang dihasilkan guna memotret perihal yang komplek dari suatu sistem melalui pola yang dirancang secara
seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat Eriyatno 2003. Metode ini cukup efektif untuk menstrukturkan issue-issue yang kompleks karena dapat
digunakan untuk mendefinisikan dan memperjelas persoalan, menilai dampak dan mengidentifikasi hubungan antar kebijakan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi struktur yang berkaitan dengan program pengelolaan kawasan
permukiman di wilayah penelitian. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan analisis penjenjangan struktur dalam program pengelolaan kawasan permukiman
tersebut yang dibagi menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen. Empat elemen terpilih untuk dianalisis
yaitu stakeholder yang terlibat yang terlibat dalam pengelolaan kawasan permukiman, kendala yang dihadapi, perubahan yang diharapkan dan
kegiatanprogram yang dibutuhkan untuk pengelolaan kawasan permukiman.
7.2 Metode Analisis Pengelolaan Kawasan Permukiman
7.2.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam analisis ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah responden yang merupakan pakar dengan
kriteria memiliki wawasan pengetahuan tentang perkembangan perkotaan dan pengelolaan kawasan permukiman, pendidikan minimum S2 yang terkait dengan
pengetahuan yang dibutuhkan penataan ruang, kelembagaan, lingkungan, ekonomi dan sosial, berprofesi sebagai peneliti, pengajar, praktisi dan
pemerintahan. Pakar ditentukan secara purposive sebanyak 10 orang responden. Sumber data sekunder merupakan instansi terkait seperti Bappeda Kabupaten
Bogor, Bappeda Kota Bekasi dan Bappeda Kota Depok, perpustakaan dan media elektronik.
7.2.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner Lampiran 11 untuk menggali pendapat pakar tentang
kinerja institusi terhadap pengelolaan kawasan permukiman di wilayah penelitian. Pengumpulan data sekunder berupa dokumen dilakukan dengan telaah dokumen,
literatur dan kunjungan ke instansi terkait serta mengunduh dari media elektronik.
7.2.3 Analisis
Dalam pelaksanaan penelitian terpilih empat elemen untuk dianalisis menggunakan metode ISM. Selanjutnya masing-masing keempat elemen tersebut
dijabarkan menjadi beberapa sub elemen dimana akan distrukturkan hubungannya untuk mengetahui kondisi pengelolaan kawasan permukiman di wilayah pinggiran
kota metropolitan Jabodetabek yaitu : 1. Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan kawasan permukiman
2. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan permukiman 3. Perubahan yang diharapkan dari pengelolaan kawasan permukiman
4. Aktivitasprogram yang dibutuhkan untuk mendukung pengelolaan kawasan permukiman
Pengelolaan kawasan permukiman akan melibatkan berbagai stakeholder baik lingkup lokal maupun regional, tetapi dalam pengelolaannya akan mengalami
kendala hal ini terlihat dari perkembangan kawasan permukiman di wilayah penelitian yang tidak terkendali. Untuk menghadapi berbagai kendala tersebut
dalam pengelolaan diperlukan programkegiatan yang akan dipakai sebagai alat menghilangkan dan mengendalikan kendala-kendala tersebut. Selanjutnya untuk
mencapai pengelolaan kawasan permukiman yang berkelanjutan diperlukan kegiatanprogram yang diharapkan yang dapat merubah kondisi pengelolaan
kawasan permukiman saat ini. Elemen dan sub elemen tersebut selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan elemen kunci dan faktor penggerak yang menjadi
keberhasilan pengelolaan kawasan permukiman di wilayah penelitian.
7.2.4 Tahapan Analisis
Analisis ini menggunakan metode Interpretative Structural Modelling
ISM. Metode ini cukup efektif untuk menangani sekaligus menstrukturkan issue issue yang kompleks seperti kondisi pengelolaan kawasan permukiman di
pinggiran kota wilayah metropolitan. Metode ISM dibagi dalam dua bagian yaitu penyusunan hirarki dan klasifikasi sub elemen Eriyatno dan Sofyar 2006.
Prinsip dasar metodologi adalah identifikasi dari struktur didalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara
efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Metodologi dari teknik ISM terdiri dari penyusunan hirarkie dan klasifikasi sub elemen.
Secara garis besar tahapan metode ISM adalah sebagai berikut : 1.
Penguraian setiap elemen menjadi beberapa sub elemen. 2.
Penetapan hubungan konstekstual antar sub-elemen pada setiap elemen yang menunjukkan perbandingan berpasangan adatidak ada hubungan
konstektual digunakan pendapat pakar. 3.
Penyusunan Structural Self Interaction Matrix SSIM menggunakan simbol V,A,X dan O Eriyatno dan Sofyar 2006. Simbol tersebut adalah :
V adalah eij = 1 dan eji = 0 A adalah eij = 0 dan eji = 1
X adalah eij = 1 dan eji = 1
O adalah eij – 0 dan eji = 0 Dimana simbol 1 artinya ada hubungan kontekstual antara sub elemen i dan
j, simbol 0 artinya tidak ada hubungan kontekstual antara sub elemen i dan j. 4.
Pembuatan tabel Reachability Matrix RM, mengganti simbol V, A, X dan O dengan bilangan 1 atau 0.
5. Melakukan perhitungan berdasarkan aturan transivity dimana matrik SSIM
dikoreksi sampai terjadi matrik tertutup. 6.
Melakukan level sub elemen pada setiap elemen menurut jenjang vertikal maupun horisontal.
7. Penyusunan matriks Driver Power Dependence DPD untuk setiap sub
elemen. Klasifikasi elemen dibagi menjadi empat yaitu: a. Kuadran I : Tidak berkaitan Autonomous terdiri dari sub elemen yang
mempunyai nilai driver power DP ≤ 0,5 X dan nilai dependence D ≤ 0,5 X. Dimana X adalah jumlah sub elemen pada setiap elemen. Sub
elemen yang
berada pada
kuadran I
umumnya tidak
berkaitanhubungannya kecil dengan sistem. b. Kuadran II : Tidak bebas Dependent terdiri dari sub elemen yang
mempunyai nilai driver power DP ≤ 0,5 X dan nilai dependence D ≥ 0,5 X. Dimana X adalah jumlah sub elemen pada setiap elemen. Sub
elemen yang berada pada kuadran II ini merupakan sub elemen yang tergantung pada elemen di kuadran III.
c. Kuadran III : Pengait Linkage terdiri dari sub elemen yang mempunyai nilai driver power DP ≥ 0,5 X dan nilai dependence D ≥
0,5 X. Dimana X adalah jumlah sub elemen pada setiap elemen. Sub elemen yang masuk pada kuadran III ini perlu dikaji secara hati-hati,
karena setiap tindakan pada satu sub elemen akan berpengaruh pada sub elemen lain yang berada pada kuadran II dan IV.
d. Kuadran IV : Penggerak Independent terdiri dari sub elemen yang mempunyai nilai driver power DP ≥ 0,5 X dan nilai dependence D ≤
0,5 X. Dimana X adalah jumlah sub elemen pada setiap elemen.