Hasil dan Pembahasan Model Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan Di Pinggiran Kota Metropolitan Jabodetabek

perkembangannya karena sudah ada permukiman sebelumnya dan pengembangan infrastruktur regional. Kecamatan Jati Sampurna dan Kecamatan Gunung Putri memiliki nilai indeks sprawl yang cukup tinggi, hal ini menyatakan bahwa pertumbuhan penutupan lahan terbangun jauh lebih superior dibandingkan dengan pertumbuhan penduduknya. Dengan demikian wilayah ini merupakan pinggiran kota yang masih transisi dan memiliki potensi pengembangan kawasan permukiman dengan ciri utama keberadaan perkembangan perumahan hunian yang masih berkepadatan rendah serta berkembangnya penggunaan lahan kegiatan perkotaan yang cepat disebabkan adanya diversifikasi aktivitas urban serta sudah ada atau sedang direncanakan pengembangan infrastruktur regional. Semakin besar nilai indeks sprawl berarti semakin tinggi kecepatan laju urbanisasi dan tekanan terhadap pembangunan wilayah.

5.3.2 Kesesuaian Penggunaan Lahan Kawasan Permukiman eksisting

dengan Rencana Tata Ruang Analisis kesesuaian antara kondisi penggunaan lahan kawasan permukiman dengan arahan RTRW dilakukan melalui proses overlay antara arahan rencana tata ruang RTRW dari masing-masing setiap wilayah administratif pada wilayah penelitian dengan kondisi tutupan lahan tahun 2010. RTRW yang dipakai adalah RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005 – 2025 Perda No 19 Tahun 2008 untuk arahan pada Kecamatan Gunung Putri, RTRW Kota Bekasi Tahun 2011 – 2031 Perda N0 13 Tahun 2011 untuk arahan pada Kecamatan Jati Sampurna, dan RTRW Kota Depok Tahun 2012 – 2031 saat ini masih dalam proses Perda untuk arahan Kecamatan Tapos dan Kecamatan Cimanggis. Berdasarkan tahapan analisis ini dihasilkan 4 kategori kawasan sebagai berikut: 1. Kawasan penggunaan lahan terbangun tahun 2010 yang sesuai dengan arahan rencana RTRW. 2. Kawasan penggunaan lahan tidak terbangun tahun 2010 yang sesuai dengan arahan rencana RTRW 3. Kawasan penggunaan lahan terbangun tahun 2010 yang tidak sesuai dengan arahan rencana RTRW 4. Kawasan penggunaan lahan tidak terbangun tahun 2010 yang tidak sesuai dengan arahan rencana RTRW Setiap kategori kawasan tersebut memiliki proporsi luasan tertentu seperti disajikan pada Gambar 16 dan Tabel 16. Gambar 16 Peta hasil integrasi penggunaan lahan tahun 2010 dengan RTRW di wilayah penelitian Tabel 16 Kesesuaian tutupan lahan dengan arahan rencana Tutupan Lahan 2010 Wilayah Studi Arahan Rencana Terbangun Tidak Terbangun Jumlah RTRW Kota Depok Terbangun 64,98 7,25 72,23 Tidak terbangun 20,12 7,65 27,77 Jumlah 85,1 14,9 100 RTRW Kab. Bogor Terbangun 63,37 35,92 99,29 Tidak terbangun 0,35 0,36 0,71 Jumlah 63,72 36,28 100 RTRW Kota Bekasi Terbangun 55,58 11,24 66,82 Tidak terbangun 12,58 20,6 33,18 Jumlah 68,16 31,84 100 Hasil integrasi ini menunjukkan bahwa kawasan penggunaan lahan terbangun tahun 2010 yang tidak sesuai dengan arahan RTRW kategori kawasan 3 merupakan kawasan yang telah terjadi penyimpangan inkonsisten karena seharusnya kawasan ini diarahkan sebagai kawasan dengan tutupan lahan tidak terbangun tetapi pada kenyataannya kondisi saat ini merupakan kawasan terbangun permukiman. Kecamatan Cimanggis dan Kecamatan Tapos Depok memiliki proporsi yang cukup tinggi yaitu 20,12 , Kecamatan Jati Sampurna memiliki proporsi sebesar 12,58 , sedangkan Kecamatan Gunung Putri memiliki proporsi yang sangat kecil yaitu 0,35 . Untuk Kecamatan Gunung Putri memiliki proporsi yang sangat kecil karena dalam arahan RTRW Kabupaten Bogor, kecamatan ini memang diarahkan sebagai kawasan pengembangan permukiman hanya dalam arahan RTRW disajikan dalam skala yang kecil sehingga tingkat kedetailan untuk mengidentifikasi arahan kawasan tutupan lahan tidak terbangun menjadi sangat kasar, hal ini sangat berbeda dengan arahan kawasan tutupan lahan tidak terbangun pada kedua RTRW lainnya yang sudah cukup detail. Kategori kawasan dengan tutupan lahan tidak terbangun tetapi diarahkan sebagai kawasan terbangun kategori 4 menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan lahan potensial untuk pengembangan kawasan permukiman di wilayah penelitian. Proporsi yang paling besar untuk kawasan dengan kategori ini adalah sebesar 35,95 berada pada Kecamatan Gunung Putri, sedangkan proporsi sebesar 19,14 berada di wilayah Depok terutama pada Kecamatan Tapos. Kecamatan Jati Sampurna memilliki proporsi yang lebih kecil yaitu sebesar 11,24 . Kawasan termasuk kategori 1 dan 2 merupakan kawasan yang sudah sesuai konsisten dengan arahan rencana tata ruang yang sudah ada

5.3.3 Variabel yang Mempengaruhi Pertumbuhan Penutupan Lahan

Kawasan Permukiman Variabel yang diduga mempengaruhi terjadinya perubahan lahan terbangun di wilayah penelitian menurut Kikuchi 1999 secara langsung adalah kependudukan, kegiatan ekonomi, sumberdaya fisik, kebijakan wilayah dan sistem sosial. Berdasarkan hal ini dan juga ketersediaan data di lapangan maka jumlah penduduk, jumlah fasilitas pendidikan SD, SMP, SMA dan PT, fasilitas sosial Rumah sakit, Puskesmas dan Peribadatan, fasilitas ekonomi Industri, pasar, mall dan hotel dianggap merupakan peubah yang mempengaruhi terhadap pertumbuhantutupan lahan terbangun di wilayah penelitian. Data mengenai analisis regresi berganda di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 17. Hasil analisis regresi berganda dan melalui proses tahapan Principal Component Analysis Lampiran 8, didapatkan persamaan sebagai berikut : Y= -126,15 + 0,0209 X 1 + 0,5334 X 2 + 0,0509X 3 + 0,0584X 4 R 2 = 99,8 Tabel 17 Data analisis regresi berganda wilayah penelitian Tahun Y X1 X2 X3 X4 2005 48,76 653.551 241 262 333 2006 51,14 690.042 240 279 350 2007 55,86 724.271 242 307 366 2008 58,21 798.549 243 319 387 2009 62,93 827.925 247 340 402 2010 67,59 877.389 248 356 413 Y : Persentase tutupan lahan terbangun tahun 2005-2010 X 1 : Jumlah penduduk tahun 2005-2010, satuan dalam jiwa X 2 : Jumlah fasilitas ekonomi tahun 2005-2010, satuan dalam unit X 3 : Jumlah fasilitas pendidikan tahun 2005-2010, satuan dalam unit X 4 : Jumlah fasilitas sosial tahun 2005-2010, satuan dalam unit Persamaan ini mampu menggambarkan keragaman dari variable dependent dimana nilai R 2 sebesar 99,8 . Toleransi nilai P : 0,05 dan 0,10 maka semua peubah nyata dan berpengaruh positif terhadap persentase perubahan tutupan lahan terbangun di wilayah penelitian. Variabel jumlah penduduk mempengaruhi penambahan tutupan lahan terbangun dan variabel lain yang berpengaruh cukup tinggi adalah penambahan jumlah fasilitas yang tersedia terutama fasilitas ekonomi sehingga dengan bertambahnya jumlah fasilitas ini maka pertumbuhan tutupan lahan terbangun akan menjadi lebih cepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chapin dan Kaiser 1979 dan hasil penelitian Arifin 1998 yang menunjukkan semakin tinggi sistem pengembangan lahan tingkat urbanisasi dalam hal ini kawasan permukiman maka struktur dan fungsi wilayahkota akan semakin kompleks. Penyebabnya adalah karena semakin beragamnya aktifitas dari penduduk setempat tersebut. Dengan demikian faktor yang mempengaruhi perubahan lahan yang paling tinggi akan merubah struktur penggunaan lahan perkotaan menjadi kompleks.

5.3.4 Pembahasan

Hasil analisis dinamika pertumbuhan kawasan permukiman lahan terbangun di wilayah penelitian selama kurun waktu 1982-2010 menunjukkan terjadi percepatan pertumbuhan tutupan lahan terbangun yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan model pertumbuhan yang dibangun dan nilai indeks sprawl yang didapat menunjukkan bahwa pertumbuhan lahan terbangun cukup dominan apabila dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya bahwa di daerah pinggiran kota metropolitan sudah menunjukkan gejala pertumbuhan yang cepat dan kompleks dan cenderung tidak terkendali Rustiadi 2000, Winarso dan Kombaitan 2001, Firman 2003, Uguy 2006, Heripoerwanto 2009. Metropolitan Jabodetabek merupakan kawasan yang memiliki peranan strategis dalam pembangunan nasional. Sebagai kawasan fungsional sistem perkotaan mengalami pertumbuhan secara demografis dan fisik, walaupun pertumbuhan penduduk kota di Jakarta sudah mengalami kejenuhan namun wilayah penelitian sebagai kawasan pinggiran metropolitan Jakarta masih terus mengalami percepatan pertumbuhan akibat terjadinya proses suburbanisasi Rustiadi 2007. Pernyataan ini sesuai dengan hasil analisis dinamika perubahan tutupan lahan dan nilai indeks sprawl wilayah penelitian yang menunjukkan bahwa proses suburbanisasi yang terjadi di wilayah penelitian berlangsung dengan kecepatan dan besaran yang cukup tinggi. Pada tahun selanjutnya, berdasarkan kecenderungan pertumbuhan dari model pertumbuhan yang dibangun didapatkan bahwa pertumbuhan masih akan tetap tinggi dan cenderung mengalami pelambatan. Hal ini karena ketersediaan lahan untuk pengembangan permukiman sudah terbatas. Namun demikian pertumbuhan ini masih tetap terjadi akan melampaui daya dukung kawasan sehingga wilayah penelitian cenderung akan menjadi tidak berkelanjutan. Hal ini karena pertambahan penduduk akibat migrasi masuk masih tinggi sehingga permintaan akan kawasan permukiman juga tetap tinggi. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya okupansi pada lahan-lahan yang diperuntukan sebagai lahan terbuka menjadi kawasan permukimanterbangun. Dengan demikian diperlukan suatu pengendalian tata ruang yang ketat dan konsistensi dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah penelitian. Hasil integrasi tutupan lahan eksisting dengan arahan pengembangan dalam rencana tata ruang wilayah RTRW dari masing-masing wilayah administrasi pada wilayah penelitian didapatkan proporsi yang cukup tinggi yaitu rata-rata 12 luas wilayah terbangun yang tidak sesuai inkonsisten dengan arahan RTRW. Keadaan ini menunjukkan telah terjadi pertumbuhan yang tidak terkendali dalam wilayah penelitian. Perkembangan yang tidak terkendali ini mengindikasikan lemahnya pengendalian perkembangan permukiman di wilayah penelitian. Lemahnya pengendalian dalam perkembangan kawasan permukiman menyebabkan terjadinya kemubaziran dalam pemanfaatan ruang Dewi 2010. Penduduk yang hidup dalam konsentrasi-konsentrasi lingkungan kehidupan memerlukan 3 tiga kebutuhan utama Sitorus 2011 yaitu: 1 tempat berlindung dari hujan dan panas, 2 tempat kegiatan usaha untuk mencari nafkah, 3 tempat pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, peribadatan, perbelanjaan, reksreasi dan sebagainya. Peningkatan jumlah penduduk secara langsung akan memberi efek berantai pada kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas. Kecenderungan pertumbuhan penduduk beserta peningkatan kebutuhan-kebutuhan penduduk akan diikuti oleh pertumbuhan lahan terbangun yang tinggi. Hal ini sesuai dengan model persamaan variabel yang berpengaruh terhadap tutupan lahan yang telah dibangun, memperlihatkan bahwa pertumbuhan tutupan lahan terbangun di wilayah penelitian cukup tinggi karena dipengaruhi selain jumlah penduduk juga pertumbuhan fasilitas-fasilitas yang untuk mendukung penduduk tersebut berkegiatan. Menurut Arifin 1998 semakin tinggi tingkat urbanisasi suatu wilayah maka struktur daerah perkotaan akan semakin kompleks. Penyebabnya adalah semakin beragamnya aktivitas dari penduduk tersebut. Dalam hal ini wilayah penelitian sudah mencapai tahapi dimana apabila keadaan ini berlanjut dan tidak terkendali akan menyebabkan terjadinya ketidakberlanjutan pada lingkungan di pinggiran kota metropolitan

5.4 Kesimpulan

Pertumbuhan tutupan lahan terbangun kawasan permukiman di wilayah penelitian selama kurun waktu 1982-2010 menunjukkan adanya percepatan dan besaran perubahan yang cukup tinggi dengan nilai indeks sprawl sebesar 7,1. Keadaan ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses suburbanisasi dan fenomena urban sprawl di wilayah penelitian. Penyebaran kawasan permukiman eksisting tidak terkendali, ditunjukkan oleh adanya penyimpangan inkonsisten antara lokasi kawasan permukiman saat ini dengan peruntukan permukiman berdasarkan arahan masing-masing RTRW dimana rata-rata proporsi luas kawasan yang menyimpang di seluruh wilayah penelitian adalah 12 dari luas kawasan permukiman saat ini. Pertambahan persentase tutupan lahan terbangun di wilayah penelitian dari tahun ke tahun tidak hanya dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk tetapi juga dipengaruhi jumlah fasilitas-fasilitas yang mendukung penduduk dalam berkegiatan dengan nilai yang cukup besar dan signifikan. VI STATUS KEBERLANJUTAN KAWASAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN KOTA METROPOLITAN JABODETABEK

6.1 Pendahuluan

Perkembangan kawasan permukiman dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat berupa keuntungan lokasi secara ekonomi akibat posisi geografisnya, ketersediaan fasilitas dan prasarana sosial ekonomi, kondisi sosial ekonomi penduduk, dan potensi sumber daya alam. Faktor eksternal berupa kebijakan pengembangan wilayah dan aksesibilitas ke pusat kegiatan. Perkembangan kawasan permukiman di wilayah penelitian diperlihatkan oleh perkembangan tutupan lahan kawasan terbangun. Pada kurun waktu 20 tahun ini menunjukkan laju tutupan lahan kawasan permukiman di wilayah penelitian meningkat 6,95 per tahun. Berdasarkan hasil analisis Bab V yaitu analisis dinamika pertumbuhan kawasan permukiman bahwa pertumbuhan kawasan permukiman yang terjadi cukup pesat dan adanya penyimpangan lokasi permukiman dari peruntukan yang diarahkan pada RTRW, dimana kondisi ini menunjukkan pertumbuhan kawasan permukiman yang terjadi adalah secara acak, sendiri-sendiri dan terpisah-pisah serta tidak mengacu pada arahan rencana yang ada. Akibatnya wilayah penelitian mengalami pertumbuhan yang tidak terarah dan cenderung tidak terkendali. Perkembangan kawasan permukiman di wilayah penelitian diakibatkan adanya proses suburbanisasi dimana kecenderungannya menunjukkan terjadinya pertumbuhan fisik secara cepat namun tidak teratur dan tidak terencana sehingga menimbulkan ketidakefisienan dan kemubaziran serta cenderung menuju ketidakberlanjutan. Pinggiran kota merupakan daerah yang menarik dibanding perkotaan dan perdesaan Johnson 1984, karena memberikan peluang besar untuk usaha-usaha produktif dan peluang yang paling menyenangkan untuk bertempat tinggal. Hal ini menyebabkan adanya kekuatan yang mendorong pertumbuhan kawasan permukiman di pinggiran kota metropolitan, begitu juga terjadi di wilayah penelitian. Sebagai wilayah potensial pertumbuhan dan peralihan menyebabkan di pinggiran kota terjadi tekanan kegiatan berupa peningkatan fungsi perkotaan dengan munculnya kawasan permukiman sebagai wadah untuk menampung pertambahan penduduk, perkembangan perumahan, industri dan aktivitas komersial yang akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan Soegijoko 2010. Dinamika perkembangan lingkungan di wilayah pinggiran ini menurut Uguy 2006 menunjukkan kecenderungan terjadinya ketidakberlanjutan yang ditunjukkan oleh 1 perubahan penduduk yang sangat cepat tidak diikuti dengan tersedianya berbagai fasilitas pendukung, 2 prasarana jalan yang sangat kurang dalam memenuhi bangkitan lalu lintas dari perumahan-perumahan yang tumbuh menjamur, 3 peningkatan frekwensi banjir dan degradasi lingkungan, dan 4 keseimbangan sosial yang terganggu, serta menurut Hudalah 2010 ditunjukkan oleh struktur institusional yang kompleks dan saling tumpang tindih. Berdasarkan permasalahan tersebut untuk memastikan keberlanjutan kawasan permukiman di masa yang akan datang, perlu menganalisis status keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah studi. Analisis status keberlanjutan kawasan permukiman merupakan masukan bagi pengelolaan kawasan permukiman di masa yang akan datang. Status keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah studi akan dilihat berdasarkan empat dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial, dimensi ekonomi dan dimensi institusi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa saat ini fokus dari pembangunan berkelanjutan adalah kualitas hidup Layard et al. 2001, dimana status keberkelanjutan ini digunakan sebagai alat untuk menjelaskan fenomena dan meningkatkan layanan yang terjadi di berbagai arena kehidupan semisal permukiman, transportasi, desain kota dan manajemen limbah. Alternatif pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis status keberlanjutan kawasan permukiman secara menyeluruh adalah menggunakan metode penilaian cepat multi disiplin multi diciplinary rapid appraisal dengan salah satu teknik penilaiannya adalah Multi Dimensional Scaling MDS menggunakan perangkat lunak Rapfish Fauzi dan Anna 2005. Penilaian dilakukan terhadap berbagai dimensi yang merupakan pilar pembangunan berkelanjutan dalam hal ini meliputi 4 dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial, dimensi ekonomi dan dimensi institusi. Setiap dimensi dalam pengelolaan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah penelitian mempunyai atribut yang merupakan indikator keragaan dan sekaligus indikator keberlanjutan.

6.2 Metode Analisis

6.2.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam analisis status keberlanjutan kawasan permukiman eksisting di wilayah penelitian adalah data primer dan data sekunder yang terkait dengan 4 empat dimensi pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial dan dimensi institusi. Data sekunder berupa permasalahan kawasan permukiman di daerah pinggiran kota dan kebijakan-kebijakan terkait. Sumber data primer terdiri atas observasi lapangan, wawancara dan diskusi dengan pejabat dan pakar terkait. Data sekunder berupa dokumen baik soft copy maupun hard copy dan peta. Sumber data sekunder terdiri dari instansi-instansi terkait, perpustakaan dan media elektronik.

6.2.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dan observasi lapangan di wilayah penelitian. Wawancara dilakukan terhadap pejabat pemerintah daerah melalui diskusi dan wawancara dengan masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman yang ada dalam wilayah penelitian. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui kunjungan ke instansi terkait, telaah dokumen dan literatur serta mengunduh dari media elektronik.

6.2.3 Dimensi dan Atribut Keberlanjutan

Bertitik tolak dari tujuan pengelolaan kawasan permukiman yang berkelanjutan yaitu mengurangi penurunan kualitas lingkungan akibat pertumbuhan kawasan permukiman yang cepat dan tidak terkendali serta meningkatkan daya guna kawasan secara berkelanjutan, maka dilakukan analisis terhadap berbagai dimensi keberlanjutan. Dimensi yang dianggap relevan meliputi 4 empat dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, sosial budaya, ekonomi dan institusi. Keberlanjutan dimensi ekologi adalah stabilitas global untuk seluruh ekosistem, khususnya sistem fisik dan biologi Perring 1991. Dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan permukiman, keberlanjutan ekologi adalah memberikan kelayakhunian kawasan sebagai kawasan permukiman dengan tidak melakukan eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya alam, konservasi lahan dan air, serta tidak terjadi pembuangan limbah atau polusi yang melebihi kapasitas asimilasi lingkungan. Berdasarkan ini maka atribut dimensi ekologi untuk status keberlanjutan pengelolaan kawasan permukiman di wilayah penelitian adalah tingkat kepadatan penduduk, tingkat kepadatan bangunan, luasan lahan terbangun, laju pertumbuhan lahan terbangun, kualitas lingkungan hidup meliputi: kondisi drainase, kondisi sanitasi lingkungan, ketersediaan air bersih, persampahan, ruang terbuka hijau dan kondisi jaringan aksesibilitas. Keberlanjutan dimensi sosial adalah terjaganya stabilitas sistem sosial dan budaya Perring 1991. Oleh karena itu, dalam pengelolaan kawasan permukiman di wilayah penelitian harus memperhatikan keberlanjutan perikehidupan masyarakatnya, mereduksi konflik yang merusak sistem sosial dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perbaikan serta pemeliharaan lingkungan. Berdasarkan hal ini maka atribut yang relevan dianalisis untuk mengetahui status keberlanjutan dimensi sosial di kawasan permukiman wilayah studi adalah pertumbuhan penduduk, pelayanan fasilitas dasar kesehatan, pendidikan dan sosial, keamanan dan konflik sosial serta partsipasi masyarakat. Keberlanjutan dimensi ekonomi adalah arus maksimum pendapatan yang dapat diciptakan dari aset modal yang minimal dengan manfaat optimal Maler 1991. Berkaitan dengan hal ini maka dalam pengelolaan kawasan permukiman harus dapat memberikan nilai tambah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas kehidupan masyarakat. Berdasakan hal ini maka atribut yang relevan dianalisis untuk mengetahui status keberlanjutan dimensi ekonomi adalah proporsi penduduk miskin, penduduk di sektor pertanian dan jasa, ketersediaan angkutan umum, akses ke pusat kegiatan, luas lahan yang dapat dikembangkan untuk permukiman, ketersediaan jaringan infrastruktur, PAD dan nilai ekonomi lahan. Keberlanjutan dimensi institusi adalah keadaan tertentu dari sistem institusional untuk mendukung pembangunan berkelanjutan Spangenberg 2006. Berkaitan dengan hal ini maka dimensi institusi meliputi aspek peraturan perundangan dan administrasi pengendalian yang dapat meningkatkan keberlanjutan pengelolaan permukiman. Berdasarkan hal ini maka atribut yang relevan dianalisis untuk mengetahui status keberlanjutan dimensi institusi adalah kerjasama antar pemerintah daerah, koordinasi dalam pengelolaan kawasan, ketersediaan rencana tata ruang, pelaksanaan dan pengendalian tata ruang. Penyusunan atribut dimensi dan penilaian terhadap atribut-atribut pada setiap dimensi dilakukan berdasarkan studi literatur, kondisi lapangan saat ini dan konsultasi pakar dimana secara keseluruhan terdapat 38 atribut yang terdiri atas 10 atribut dimensi ekologi, 10 atribut dimensi sosial, 9 atribut dimensi ekonomi dan 8 atribut dimensi institusi Tabel 18 dan Lampiran 10.

6.2.4 Metode dan Tahapan Analisis

Analisis status keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah penelitian dilakukan dengan metode Multi Dimensional Scaling MDS dengan menggunakan perangkat lunak Rapfish Rapid appraisal for fisheries yang dikembangkan oleh Rapfish Group Fisheries Center University of British Columbia, Kanada Fauzi dan Anna 2005. Teknik MDS yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil modifikasi dari rapfish yang diberi nama Rapid Appraisal Urban Fringe Settlement Rap-urbanfringesett. Selanjutnya analisis yang menyertai MDS adalah analisis ketidakpastian montecarlo dan analisis sensitivitas leverage. Analisis Montecarlo merupakan analisis untuk menduga pengaruh galat error acak dalam proses analisis yang dilakukan pada selang kepercayaan 95 . Hasil analisis disebut indeks Montecarlo. Apabila perbedaan antara indeks Montecarlo dengan indeks MDS kecil mengindikasikan bahwa 1 kesalahan pembuatan skor dalam setiap atribut relatif kecil, 2 variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil, 3 proses analisis stabil, dan 4 kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari. Tahapan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Memeriksa berbagai atribut pada setiap dimensi melalui kajian pustaka, wawancara dan pengamatan lapangan. b. Membuat skoring sesuai atribut dan acuan yang dipakai berdasarkan atas hasil kajian pustaka, data yang tersedia dan ketentuan rentang skor dengan teknik MDS untuk menentukan posisi relatif terhadap ordinasi good dan bad. Dalam penelitian ini rentang skor dipilih antara 0 – 3, skor 0 adalah buruk bad dan 3 adalah baik good, seperti disajikan pada Lampiran 10.