Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

permanen. Pengaruh yang lain adalah terhadap ekonomi lahan seperti harga, sewa dan kegiatan jual beli lahan.

2.2 Kota dan Perkembangan Kota

Kota pada umumnya berawal dari suatu kawasan permukiman kecil yang secara spasial mempunyai lokasi yang strategis bagi kegiatan perdagangan Sandy 1978 dalam Sujarto 2005. Seiring dengan berjalannya waktu, kota mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertambahan penduduk, perubahan kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta interaksi dengan kota-kota lain dan daerah sekitarnya. Secara fisik perkembangan suatu kota dapat dicirikan dari penduduknya yang semakin bertambah padat, bangunan yang semakin rapat dan wilayah terbangun terutama kawasan permukiman yang cenderung semakin luas, serta semakin lengkapnya fasilitas kota yang mendukung kegiatan sosial ekonomi kota. Budihardjo et al. 1993 menyatakan bahwa kota sebagai bagian integral dari suatu lingkungan terutama di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire yaitu perkembangan tanpa dilandasi perencanaan kota yang menyeluruh dan terpadu. Kota-kota tersebut tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam kurun waktu yang singkat. Berdasarkan jumlah penduduk di perkotaan, maka dapat diklasifikasikan kota-kota di Indonesi menjadi 4 empat kategori yaitu Yunus, 2000: 1. Kota metropolitan dengan jumlah penduduk 1.000.000 jiwa 2. Kota besar dengan jumlah penduduk 500.000 – 1.000.000 jiwa 3. Kota sedang dengan jumlah penduduk 100.000 – 500.000 jiwa 4. Kota kecil dengan jumlah penduduk 100.000 jiwa Kota metropolitan adalah wilayah perkotaan yang merupakan perwujudan perkembangan alamiah dari suatu kawasan permukiman yang berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah yang membesar dengan karakteristik dan persoalan yang spesifik Angotti 1993. Metropolitan di dunia terbentuk karena adanya aglomerasi ekonomi yang menyebabkan dominasi ekonomi kota terhadap daerah pinggiran. Daerah pinggiran kota urban fringe sebagai wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota telah menjadi perhatian banyak ahli di berbagai bidang ilmu seperti geografi, sosial dan perkotaan sejak tahun 1930 saat pertama kali istilah urban fringe dikemukakan dalam literatur. Besarnya perhatian tersebut terutama tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses perkembangan kota yaitu ekspansi fisik kota ke wilayah pinggiran yang berakibat pada perubahan di wilayah pinggiran kota seperti perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi. Menurut Friedman 1967 dalam teori wilayah intinya bahwa di sekitar daerah inti terdapat daerah pinggiran Gambar 2. Perkembangan daerah inti dipandang sebagai proses inovasi yang diskontinu tetapi komulatif yang berasal dari sejumlah pusat-pusat pertumbuhan yang terletak pada titik-titik interaksi yang memiliki potensi tertinggi. Pembangunan inovatif cenderung menyebar keluar dari pusat-pusat wilayah inti ke daerah-daerah yang lebih rendah yang mempunyai potensi interaksi yang baik. Gambar 2 Daerah inti dan daerah pinggiran Sumber: Friedman 1967 Proses dimana daerah inti mengkonsolidasikan dominasinya terhadap daerah pinggiran dilakukan melalui pengaruh-pengaruh umpan balik. Menurut Hansen 1972 dalam Rahardjo 2004 pengaruh tersebut dapat berupa: Daerah Inti Daerah Pinggiran Daerah Pinggiran a. Pengaruh dominasi, yaitu dengan cara melemahkan perekonomian di daerah pinggiran sebagai akibat dari mengalirnya SDASDM dan modal ke daerah inti. b. Pengaruh informasi, yaitu peningkatan dalam interaksi potensial yang dapat menunjang pembangunan inovatif. c. Pengaruh psikologis, penciptaan kondisi yang memicu terjadinya kegiatan inovatif yang lebih nyata. d. Pengaruh mata rantai, yaitu kecenderungan inovasi-inovasi yang ada untuk menghasilkan inovasi yang lain. e. Pengaruh produksi, yaitu penciptaan struktur balas jasa yang menarik untuk menghasilkan interaksi yang lebih inovatif. Mc Gee 1991 menyatakan bahwa proses perkembangan kota-kota di Asia dan Indonesia terutama di Pulau Jawa ditandai adanya restrukturisasi internal kota-kota besarnya. Proses perkembangan kota-kota tersebut menyebabkan terbentuknya kota besar dan kota metropolitan yang akan membentuk wilayah mega urban dimana diawali dengan adanya dua kota yang terhubungkan oleh jalur transportasi yang efektif, diikuti wilayah koridor kedua kota besar berkembang yang pada akhirnya mewujudkan kesatuan perkotaan yang luas Gambar 3. Wilayah yang paling mungkin menjadi mega urban adalah wilayah-wilayah antara dua kota besar dengan waktu tempuh kurang dari 3 - 4 jam dan wilayah pertanian berkepadatan tinggi yang berdekatan dengan kota besar. Model struktur ruang wilayah mega-urban di Asia adalah sebagai berikut : a. Kota besar dan kota metropolitan : mendominasi kegiatan ekonomi pada wilayah tersebut yang terdiri dari satu atau dua kota yang sangat besar b. Wilayah pinggiran kota: mengelilingi kota besar dengan ciri terjadi penglaju harian untuk mencapai pusat kota, yang jaraknya berkisar hingga 30 kilometer dari pusat kota c. Desakota: terdapat kegiatan campuran antara pertanian dan non- pertanian, yang biasanya terdapat di sepanjang koridor antara dua kota besar, yang dicirikan dengan populasi penduduk padat dan bermata pencaharian petani padi sawah d. Desa dengan kepadatan penduduk tinggi, dengan basis perekonomiannya pada pertanian padi sawah; dan e. Desa dengan kepadatan penduduk rendah, yang tersebar di luar keempat wilayah yang telah disebutkan di atas. Gambar 3 Struktur Ruang Mega Urban Sumber: Mc Gee 1991

2.3. Urban Sprawl, Sub-urbanisasi dan Dinamika Pinggiran Kota

Urban sprawl, menurut Staley 1998 adalah proses perembetan kenampakan fisik perkotaan ke arah luar kota dalam hal ini adalah pinggiran kota. Donochel dalam Yunus 2000, menyatakan bahwa urban sprawl adalah sebagai suatu pertumbuhan dari wilayah perkotaan yang menuju suatu proses tipe pembangunan penggunaan lahan yang beragam di daerah pinggiran kota. Kelly 2001 berpendapat bahwa urban sprawl adalah suatu tipikal karakteristik yang ditunjukan oleh pemanfaatan lahan yang tidak perlu, pemecahan daerah terbuka open space, adanya celah yang lebar antara pembangunan dan penampilan yang menyebar, pemisahan penggunaan wilayah, dan adanya kesenjangan antara public space dengan community center. Dengan terjadinya urban sprawl menyebabkan adanya dinamika penggunaan lahan yang cukup Jalan Kota Besar Daerah Pinggiran Desa Kota Desa kepadatan tinggi Desa kepadatan rendah Kota kecil tinggi dan cepat, baik volume maupun frekuensinya sehingga akan memberikan kondisi yang merugikan dan buruk diwilayah pinggiran kota tersebut. Proses gejala urban sprawl yang tidak terkontrol akan menimbulkan pengaruh negatif pada fungsi kota secara keseluruhan dan daerah-daerah sekitarnya. Untuk itu diperlukan upaya pengaturan gejala urban sprawl sedini mungkin. Secara garis besar ada tiga macam tipe urban sprawl yaitu: a. Perembetan konsentris Concentric Development Tipe ini merupakan jenis perembetan areal perkotaan yang paling lambat. Perembetan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota Gambar 4. Berhubung sifat perembetannya yang merata disemua bagian luar kota yang sudah ada, maka tahap berikutnya akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang relatif kompak. Peranan transportasi terhadap perembetan ini tidak begitu besar. Gambar 4 Urban Sprawl tipe Concentric Development b. Perembetan Memanjang Ribbon Development Tipe ini menunjukan ketidakmerataan perembetan areal kekotaan disemua bagian sisi-sisi luar dan pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari radial dari pusat kota Gambar 5. Gambar 5 Urban Sprawl tipe Ribbon Development