Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong Ikan

62

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1. Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong

Pola penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong dalam kurun waktu 40 tahun telah mengalami perubahan yang cukup signifikan, hal ini ditunjukan oleh berubahnya daerah muara gembong yang mayoritas tanaman hutan mangrove menjadi lahan tambak. Sebagai daerah yang berada dipesisir Teluk Jakarta, yang dulunya difungsikan sebagai daerah konservasi, sekarang telah beralih fungsi sebagai sumber perikanan darat untuk daerah Jakarta, Bekasi dan sekitarnya. Hal ini terbukti dengan telah beralih fungsinya lahan mangrove menjadi tambak. Luas tambak di Kecamatan Muara Gembong hingga tahun 2000 telah mencapai 8 917 hektar atau telah mencapai 66.97 dari luas total lahan di kecamatan tersebut sedangkan luas lahan mangrove tidak sampai 5 dari luas total lahan. Perubahan hutan mangrove cukup besar terjadi pada awal tahun 80-an, dimana terjadinya ekpor udang besar-besar akibat tingginya harga udang dipasaran international, dampak yang ditimbulkan adalah tidak terkendalinya konversi hutan mangrove menjadi tambak, hal ini berkaitan dengan nilai lahan Lend Rent tingginya konversi lahan mangrove berhubungan dengan nilai kualitasnya Ricardian rent dimana nilai lahan dari lahan mangrove lebih rendah nilai ekonomi tambak Ricardo ,1975 . Kecamatan Muara Gembong merupakan kecamatan yang memiliki tingkat pertubuhan penduduk paling tinggi di Kabupaten Bekasi. Akibat dari pertumbuhan penduduk ini mengakibatkan meningkatnya permintaaan lahan akan pemukiman. Sedangkan sarana dan prasarana pemukiman didaerah ini sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan penduduk bermukim didaerah yang tidak layak huni, seperti di sepadan sungai dan daerah rawa. Sedangkan sarana dan prasarana pemukiman seperti air minum belum ada, hal ini mengakibatkan kebutuhan akan air minum mereka harus membawa dari Jakarta. 63

V.2. Produktivitas Maksimal

Menurut Ress dalam Fauzi 2004 dalam pengukuran sumber daya dapat diperbaharui Flow dapat diukur dengan beberapa cara, salah satu pengukuran dilakukan dengan kapasitas daya dukung, pengukuran kapasitas ini didasari oleh pemikiran bahwa kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Dimana Pertumbuhan yang terus menerus akan menimbulkan kompetisi terhadap ruang sampai daya dukung lingkungan tidak mampu lagi mendukung pertumbuhan. Analisis Produktivitas maksimal yang dihasilkan dari lahan dalam kurun waktu tertentu dapat dijadikan sebagai pengukuran sumber daya. Hal ini berhubungan dengan kapasitas kemampuan lahan untuk menghasilkan suatu produksi tergantung dengan faktor yang berhubungan dengan kondisi kemampuan lahan internal seperti sifat fisik dan kimia yang dikandung yang mempengaruhi terhadap tingkat kesuburan, dan faktor luar seperti pemupukan, curah hujan, dan lainnya, faktor-faktor tersebut mempengaruhi terhadap produksi yang dihasilkan dalam suatu penggunaan lahan. Dengan demikian maka produktivitas maksimal yang dapat dihasilkan oleh lahan dengan semua faktor yang mempengaruhinya, merupakan produksi optimal dalam penggunaan lahan.

V.2.1. Produktivitas Maksimal Untuk Lahan Tambak

Penggunaan tambak di Kecamatan Muara Gembong dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2000 luas penggunaan lahan tambak mengalami peningkatan seluas 3 283 hektar, yaitu dari 5 631 hektar tahun 1990 menjadi 8 914 hektar tahun 2000. Penggunaan tambak pada umumnya dimanfaatkan untuk tambak udang yang mencapai rata-rata 88.37 dari total luas tambak. Apabila dibandingkan dengan luas panen menunjukkan penurunan persentase luas panen yaitu 96 tahun 1990 menjadi 79 tahun 1999 turun 20. Penurunan luas panen ini berkaitan dengan adanya penurunan produktivitas udang yang dihasilkan. Penggunaan lahan tambak tahun 1990 seluas 5 631 hektar dengan diperoleh hasil dari per hektar lahan tambak yaitu sebesar 1.3 ton. Sedangkan pada tahun 2000 luas penggunaan lahan tambak meningkat menjadi 8 914 hektar dengan diperoleh hasil tambak sebesar 1.2 ton. Hal ini menggambarkan bahwa meskipun luas penggunaan lahan tambak dari tahun ke tahun selalu mengalami 64 peningkatan namun hasil tambak tidak memberikan produksi yang maksimal, hal ini dikarenakan lahan tambak tersebut hanya dijadikan sebagai komoditi, dimana nilai lahan lent rent akan berbeda apa bila dikonversi dari hutan mangrove menjadi tambak. Tabel 7. Produktivitas Lahan Tambak udang tahun 1990 sampai tahun 2000 di Kecamatan Muara Gembong Tahun Penggunaan lahan Tambak ha Luas Panen Udang ha Produktivitas tonha 1990 5 631 5 406 96 1.3 1991 6 543 6 150 94 1.5 1992 6 955 6 398 92 1.6 1993 7 503 7 203 96 1.3 1994 7 782 7 203 93 1.9 1995 8 285 6 959 84 1.5 1996 8 704 7 659 88 1.4 1997 8 823 7 147 81 1.2 1998 8 867 7 094 80 1.2 1999 8 876 7 012 79 1.2 2000 8 914 7 933 89 1.2 Sumber : DKP 2000, BPS 2000. Dari tabel di atas menunjukan pula bahwa produktivitas tambak untuk budidaya udang tertinggi pada tahun 1994 mencapai 1.9 ton per hektar dengan produksi sebesar 13 686 ton dan tidak pernah mencapai atau mendekati produktivitas tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa pada jangka panjang apabila tidak ada perbaikan sistim pengelolaan tambak untuk budidaya udang misalnya dengan peningkatan kualitas air, pemberantasan hama dan penyakit maka pengusahaan tambak udang tidak akan efisien lagi berarti pengelolaan tambak tidak akan sustainable . Menurut Fauzi 2004 Untuk itu perluasan lahan tambak udang di Kecamatan Muara Gembong tidak efektif, sehingga perlu dilakukan peningkatan hasil produksi tanpa perluasan penggunaan lahan tambak peningkatan intensifikasi tambak. 65 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 h e k ta r 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 to n h e k ta r penggunaan lahan tambak udang ha Produktivitas tonha Gambar 6. Produktivitas maksimal Untuk Lahan Tambak Udang dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Penggunaan lahan tambak untuk budidaya Bandeng hanya sebesar 10 dari total luas tambak, namun pada musim panas setelah panen Udang masyarakat melakukan pembudidayaan Bandeng mencapai 40 dari luas tambak. Budidaya Bandeng pada musim panas dilakukan untuk mengantisipasi kekosongan penggunaan tambak sampai pada saat pembudidayaan udang pada musim budidaya berikutnya. Alternative ini dikarenakan udang sangat sensitive pada peningkatan suhu air pada musim panas yang berdampak pada peningkatan salinitas air. Dengan demikian bandeng merupakan alternative pemanfaatan lahan tambak, setelah panen udang dan dapat meningkatkan income bagi masyarakat. 66 Tabel 8. Produktivitas Lahan Tambak Bandeng dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Tahun Penggunaan Lahan Tambak ha Luas Panen Bandeng ha Produktivitas Tonha 1990 5 631 1 689 96 1.8 1991 6 543 1 387 94 1.7 1992 6 955 1 864 92 1.7 1993 7 503 2 341 96 1.6 1994 7 782 2 366 93 1.8 1995 8 285 2 320 84 1.9 1996 8 704 2 263 88 1.8 1997 8 823 1 976 81 1.5 1998 8 867 2 128 80 1.7 1999 8 876 2 840 79 1.6 2000 8 914 2 853 89 1.6 Sumber : DKP 2000, BPS 2000. Berdasarkan data pada tabel di atas ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan tambak untuk Bandeng mengalami peningkatan, namun tetap berada pada kisaran 40 dari total penggunaan tambak, sebab penggunaan lebih difokuskan untuk Udang. Bila dikaitkan antara luas panen dengan produksi tambak bandeng menunjukkan bahwa seiring dengan adanya peningkatan luas panen terjadi peningkatan produksi yaitu dari pada tahun 1990 sebesar 3 041 ton per hektar menjadi 4 564 ton per hektar pada tahun 2000. Meskipun dengan peningkatan luas tambak budidaya bandeng namun tidak diiringi dengan peningkatan hasil produksi, bahkan mengalami penurunan. Produktivitas tertinggi dicapai pada tahun 1995 yaitu sebesar 1.9 ton per hektar dengan produksi sebesar 4 407 ribu ton, namun pada tahun 2000 produktivitas ini mencapai angka terendah yaitu sebesar 1.6 ton per hektar. Kondisi ini menggambarkan bahwa penggunaan tambak untuk budidaya bandeng tidak jauh berbeda dengan untuk budidaya udang, sehingga budidaya tambak bandeng untuk jangka panjang apabila tidak ada peningkatan intensifikasi misalnya dengan peningkatan kualitas air, pemberantasan hama dan penyakit maka pengusahaan tambak budidaya bandeng akan merugi. 67 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 h e k ta r 0.5 1 1.5 2 to n h e k ta r Penggunaan Lahan Tambak Bandeng ha Produktivitas tonha Gambar 7. Produktivitas maksimal Untuk Lahan Tambak Bandeng

V.2.2. Produktivitas Maksimal Untuk Lahan Sawah

Penggunaan lahan sawah di Kecamatan Muara Gembong dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2000 mengalami penurunan. Penurunan penggunaan lahan sawah ini terjadi akibat adanya konversi lahan sawah kepada penggunaan lainnya. Produktivitas hasil per hektar sawah juga mengalami penurunan. Hal ini dapat dibandingkan antara tahun 1990 dengan tahun 2000, yaitu pada tahun 1990 penggunaan lahan sawah seluas 2 730 hektar diperoleh hasil per hektar sawah sebesar 5.50 ton. Sedangkan pada tahun 2000 luas penggunaan sawah sebesar 2 090 hektar, namun hanya diperoleh hasil sebesar 4.57 ton. Hal ini menggambarkan bahwa penggunaan sawah maupun produktivitas yang diperoleh dari lahan sawah mengalami penurunan. Dari Tabel di bawah menunjukkan bahwa Luas panen dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2000 selalu berada pada kondisi dibawah luas penggunaannya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah, masih banyak yang belum ditanami lahan sawah ditelantarkan. Penelantaran lahan sawah ini pada saat krisis moneter menunjukkan peningkatan yang semakin tinggi bahkan luas penanamanpanen hanya mencapai kisaran 39 sampai 48 lebih dari separoh lahan sawah ditelantarkan. 68 Tabel 9 . Produktivitas Lahan Sawah dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Tahun Penggunaan Lahan Sawah ha Luas Panen Sawah ha Produktivitas Tonha 1990 2 730 1 790 66 5.50 1991 2 597 1 734 67 5.49 1992 2 291 1 743 76 4.56 1993 2 192 1 652 75 5.85 1994 2 059 1 645 80 5.43 1995 1 862 1 555 84 5.58 1996 1 995 1 413 71 5.28 1997 2 128 950 45 3.44 1998 2 261 878 39 3.64 1999 2 128 1 023 48 4.64 2000 2 090 1 256 60 4.57 Sumber : Deptan 2000, BPS 2000. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat krisis moneter penelantaran lahan sawah ini berhubungan dengan modal input yang terbatas seperti biaya tenaga kerja, biaya pemupukan, biaya pengolahan, sehingga banyak lahan sawah yang ditelantarkan. Tapi pada dasarnya produktivitas lahan di Muara Gembong cukup tinggi yang dapat dilihat pada tahun 1993 dengan luas penggunaan lahan sawah sebesar 2 192 hektar, luas panen sebesar 1 652 hektar dan hasil produksi yang diperoleh sebesar 5.85 ton per hektar 69 500 1000 1500 2000 2500 3000 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 h e k ta r 10 20 30 40 50 60 70 to n h e k ta r Land Use Sawah ha Produktivitas Tonha Gambar 8. Produktivitas maksimal untuk lahan sawah dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong

V.2.3. Produktivitas Maksimal Untuk Lahan Tegalan

Penggunaan lahan tegalan untuk Jagung di Kecamatan Muara Gembong sebagaimana ditunjukkan pada table dibawah ini dari tahun 1990 sampai tahun 2000 berkisar antara 17 hektar sampai 27 hektar atau berkisar antara 3.5 sampai 6.97 dari total luas tegalan. Luas panen jagung pada tahun 1995 merupakan luas tertinggi yaitu 27 hektar dan pada tahun 1992 dan tahun 1993 merupakan luas terrendah yaitu seluas 17 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa penanaman jagung di Kecamatan Muara Gembong adalah berfluktuatif. Meskipun luas panen tertinggi untuk tanaman jagung mencapai 27 hektar pada tahun 1995, namun apabila kita bandingkan dengan hasil produksi panen tertinggi, justru dicapai pada tahun 1994 yaitu mencapai 5.7 ton per hektar, dan terendah adalah 3.4 ton per hektar pada tahun 1992 dan 1993. 70 Tabel 10. Produktivitas Tanaman Jagung dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Tahun Penggunaan Lahan Tegalan ha Luas Panen Jagung ha Produktivitas Tonha 1990 529 20 3.78 2.0 1991 505 19 3.76 2.1 1992 476 17 3.57 2.0 1993 465 17 3.66 2.0 1994 459 23 5.01 2.5 1995 445 27 6.07 1.7 1996 439 23 5.24 1.7 1997 426 23 5.40 1.8 1998 419 21 5.01 1.7 1999 412 21 5.10 1.9 2000 405 20 4.94 2.0 Sumber : BPS 2000, Deptan 2000 Timbulnya perbedaan produktivitas ini disebabkan karena adanya perbedaan varietas dari bibit yang ditanam yang memberikan perbedaan terhadap hasil, juga disebabkan sistem pembudidayaan yang belum optimal dijalankan, sehingga budi daya tanaman jagung kebanyakan merupakan tanaman yang dikonsumsi sendiri dengan penanamannya pada sela-sela tanaman lainnya, dan kurangnya pemeliharaan. Namun apabila dilihat produktivitas tertinggi yang mencapai 2.5 ton per hektar, menunjukkan bahwa pembudidayaan tanaman Jagung di Kecamatan Muara Gembong pada dasarnya cukup potensial dikembangkan. 100 200 300 400 500 600 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 h e k ta r 10 20 30 40 50 60 to n h e k ta r Penggunaan Lahan Jagung Produktivitas Gambar 9. Produktivitas maksimal Untuk Lahan Tegalan Tanaman Jagung dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong 71 Penggunaan lahan tegalan untuk budidaya Ubikayu menunjukkan penurunan luas panen dari tahun 1990 hingga tahun 2000 yaitu dari 36 hektar tahun 1990 tinggal 17 hektar tahun 2000, bahkan pada tahun 1996 penanaman ubi kayu hanya mencapai 10 hektar. Kondisi ini menunjukkan bahwa tanaman ubikayu sama dengan tanaman jagung, dilihat dari tanaman ubikayu merupakan tanaman sela dan pada umumnya untuk di konsumsi sendiri sehingga pemeliharaan kurang diperhatikan. Tabel 11. Produktivitas Ubikayu dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Tahun Penggunaan lahan Tegalan ha Luas Panen Ubikayu ha Produktivitas Tonha 1990 529 36 6.8 12.4 1991 505 35 6.9 12.4 1992 476 33 6.9 12.4 1993 465 33 7.1 14.5 1994 459 20 4.4 14.5 1995 445 17 3.8 12.7 1996 439 10 2.3 14.5 1997 426 15 3.5 13.0 1998 419 14 3.3 13.2 1999 412 17 4.1 13.2 2000 405 17 4.2 13.0 Sumber : BPS 2000, Deptan 2000 Pada dasarnya tanaman ubikayu yang dibudidayakan perlu dilakukan intensifikasi seperti penyiangan dan pemupukan agar mencapai produktivitas yang tinggi, berdasarkan pada tabel bahwa produktivitas yang tertinggi yang mencapai 14.5 ton per hektar dengan luas panen 33 hektar pada tahun 1993. 72 100 200 300 400 500 600 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 h e k ta r 110 115 120 125 130 135 140 145 150 to n h e k ta r penggunaan lahan ubi kayu ha Produktivitas Tonha Gambar 10. Produktivitas maksimal Untuk Lahan Tegalan Tanaman Ubikayu dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Berdasarkan uraian di atas, pembudidayaan penggunaan lahan tegalan baik untuk tanaman Jagung, maupun untuk Ubikayu belum mencapai optimum. Sehingga hasil produksi yang didapatkan tidak mencapai kemampuan produktivitas nya. Kondisi ini sebenarnya merugikan masyarakat yang melakukan pembudidayaan, karena sistem pengolahan yang sangat minimal sehingga produksi yang didapatkan jauh dari optimalnya.

V.3. Efisiensi Penggunaan Lahan

Efisiensi di dalam penggunaan lahan akan memberikan suatu manfaat didalam penggunaan lahan secara berkelanjutan. Di dalam ekploitasi sumberdaya yang terbarukan seperti penggunaan lahan, perikanan dan sebagainya dengan efisiensi yang baik akan memberikan tingkat keberlanjutan sumberdaya yang panjang. Metode Data Envelope Analisis DEA merupakan salah satu alat analisis Efisiensi, penggunaan lahan akan efisien apa bila out put mendekati satu. Berdasarkan penggunaan lahan penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong, efisiensi penggunaan lahan pada kurun waktu 10 tahun terlihat dari analisis sebagai berikut. 73

V.3.1. Efisiensi penggunaan lahan sawah

Hasil analisis efisiensi dengan menggunakan Data Envelope Analysis DEA untuk lahan sawah pada gambar diatas terlihat bahwa, produktivitas yang paling efisien terjadi pada tahun 1993 dan tahun 1995. Sedangkan produktivitas lahan sawah yang paling tidak efisien terjadi pada tahun 1997. Peningkatan efisiensi yang tajam disebabkan karena adanya faktor-faktor yang dapat meningkatkan produktivitas lahan sawah seperti penggunaan lahan yang sesuai, luas panen yang meningkat dan produksi padi yang tinggi sehingga secara agregat terjadi juga peningkatan terhadap output. Pada kondisi ekspansi digambarkan mulai tahun 1992 dan mencapai puncak pada tahun 1993 maka akan terjadi kontraksi produktivitas dari lahan sawah, tetapi pada tahun 1994 terjadi ekspansi kembali sehingga diperlihatkan dengan adanya penurunan tingkat efisiensi. Ketika ekspansi kembali terjadi, efisiensi kembali meningkat pada tahun 1995 dan hal ini akan terjadi berulang-ulang secara alami pada produktivitas lahan sawah. Kondisi tersebut juga mengindikasikan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan penurunan efisiensi harus dikendalikan. Faktor-faktor seperti adanya konversi lahan sawah yang menyebabkan penurunan terhadap lahan sawah harus segera dihentikan sehingga mungkin akan membantu meningkatkan efisiensi produktivitas lahan sawah. 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Gambar 11. Efisiensi frontier Penggunaan lahan sawah dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong N il ai Ef is ie n si 74

V.3.2. Efisiensi penggunaan Lahan Tambak

Muara Gembong merupakan kecamatan yang memberikan kontribusi terbesar untuk perikanan darat di Kabupaten Bekasi, penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong pada tahun 2000 mencapai 65 dari total luas lahan di Kecamatan Muara Gembong. Di Kecamatan Muara Gembong penggunaan lahan ini dimanfaatkan untuk perikanan darat Aquaculture, dalam kurun waktu 10 tahun penggunaan lahan effisiensi frontier berada pada tahun 1994, hal ini dapat dilihat dari analisa efisiensi yang menunjukkan produktivitas hampir mendekati 1, hal ini membuktikan bahwa penggunaan lahan maksimal terjadi pada penggunaan lahan dengan luas 7 782 hektar. 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Gambar 12. Efisiensi frontier penggunaan lahan Tambak Udang dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Berdasarkan pada Gambar 12, Efisiensi frontier terjadi pada tahun 1994, sementara produktivitas lahan tambak yang paling tidak efisien terjadi mulai tahun 1997 sampai dengan tahun 2000. Peningkatan efisiensi yang tajam disebabkan karena adanya faktor-faktor yang dapat meningkatkan produktivitas lahan tambak seperti penggunaan lahan yang sesuai, luas panen yang meningkat dan produksi hasil tambak yang tinggi sehingga secara agregat terjadi juga peningkatan terhadap output. Pada kondisi ekspansi digambarkan mulai tahun 1993 dan mencapai puncak pada tahun 1994 maka hal ini mengakibatkan terjadinya kontraksi produktivits dari lahan tambak. Namun mulai tahun 1997 N ila i E fi s ie n s i 75 sampai dengan tahun 2000 terjadi ekspansi kembali sehingga diperlihatkan dengan adanya penurunan tingkat efisiensi produktivitas lahan tambak bahkan selama empat tahun terakhir tidak terlihat adanya peningkatan efisiensi. Faktor- faktor tersebut seperti kurang optimalnya petani tambak mengelola lahan tambaknya dan adanya penyakit yang menyerang hasil tambak mereka sehingga menyebabkan penurunan terhadap produktivitas lahan tambak. Hal ini harus segera ditanggulangi sehingga mungkin akan membantu meningkatkan efisiensi produktivitas lahan tambak dengan cara adanya perhatian dan kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan lahan tambak. 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Gambar 13 Efisiensi frontier penggunan lahan Tambak Bandeng dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong

V.3.3. Efisiensi penggunaan Lahan Tegalan

Dari gambar grafik analisis dengan menggunakan DEA penggunaan lahan untuk jagung selama 10 tahun, menunjukkan bahwa pada dasarnya efisiensi penggunaannya masih sangat kurang. Efisiensi tertinggi dicapai pada tahun 1994, sementara pada tahun-tahun lainnya efisiensi ini bahkan tidak mencapai 0.8. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya lahan tegalan kurang dilakukan pemeliharaan karena hanya merupakan tanaman sela yang ditujukan untuk konsumsi sendiri. Tanaman jagung merupakan tanaman yang dapat tumbuh dan berproduksi meskipun dengan pembudidayaannya kurang insentif, sehingga bagi masyarakat Muara Gembong penanaman jagung yang hanya ditujukan lebih N ila i E fi s ie n s i 76 kepada konsumsi sendiri, kurang berkeinginan untuk melakukan perawatan yang lebih baik. 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Gambar 14. Efisiensi frontier penggunaan Lahan Tegalan Tanaman Jagung dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Berdasarkan hasil analisis dengan DEA sebagaimana ditujukan pada gambar di bawah ini menunjukkan bahwa tanaman ubikayu mencapai efisiensinya pada tahun 1993, 1994, dan 1996. Meskipun pada tahun lainnya tidak mencapai efisiensi, namun berkisar pada skala 0.9 yang artinya mendekati efisiensi. Tidak jauh berbeda dengan pembudidayaan tanaman jagung pada lahan tegalan, tanaman ubi kayu pada dasarnya juga merupakan tanaman yang ditanam lebih kepada untuk konsumsi sendiri, dan kebanyakan dibudidayakan sebagai tanaman pagar hidup bagi masyarakat. Sifat tanaman Ubikayu yang sangat mudah untuk tumbuh dan berproduksi meskipun tanpa pernah dilakukan pemeliharannya, membuat masyarakat tidak terdorong melakukan peningkatan intensifikasinya, seperti dengan melakukan penyiangan dan pemupukan. Hal ini juga dipicu dari harga jual yang sangat rendah, ditambah dengan sistem pembudidayaan dengan luasan yang kecil-kecil sebatas pagar tanaman hidup. N ila i E fi s ie n s i 77 0.75 0.8 0.85 0.9 0.95 1 1.05 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Gambar 15. Efisiensi Frontier Lahan tegalan Tanaman Ubikayu dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong

V.3.4. Efisiensi penggunaan Lahan Pemukiman

Dari gambar grafik analisis dengan menggunakan DEA penggunaan lahan untuk rumah efisien terjadi pada tahun 1990 dan pada tahun-tahun sebelumnya penggunaan lahan untuk rumah adalah semakin tidak efisien karena semakin jauh dari Gambar 20, Kurang efisiennya penggunaan lahan untuk pemukiman disebabkan oleh banyaknya lahan pemukiman yang tidak dimanfaatkan sebagai wilayah terbangun, serta terbatasnya sarana dan prasarana lingkungan yang dibutuhkan untuk pemukiman, seperti ketersediaan air bersih, listrik, drainase, dan jalan lingkungan. Namun dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk pada daerah ini, mengakibatkan permintaan akan rumah semakin tinggi, sehingga pembangunan rumah banyak dilakukan pada sepanjang pinggiran daerah aliran sungai yang mengalir serta pada hutan mangrove. Pembangunan perumahan ini dilakukan dengan menebang pohon mangrove dan melakukan penggurukan pinggiran sungai yang memungkinkan karena tingginya sedimentasi pada sungai ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa melakukan pembangunan perumahan rumah untuk masa- masa yang akan datang pada dasarnya adalah semakin tidak akan efisien sehingga perlu dicegah. N ila i E fi s ie n s i 78 0.950 0.955 0.960 0.965 0.970 0.975 0.980 0.985 0.990 0.995 1.000 1.005 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Gambar 16. Efisiensi frontier penggunaan lahan untuk pemukiman dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong

V.3.5. Efisiensi pengelolaan Lahan Mangrove

Berdasarkan pada gambar efisiensi frontier dengan menggunakan DEA terhadap penggunaan lahan mangrove terdapat pada gambar 17, menunjukkan bahwa meskipun efisiensi tertinggi dicapai pada tahun 1994 yang menghasilkan nilai 1, namun pada dasarnya dari tahun 1990 hingga tahun 2000 terjadi peningkatan efisiensi penggunaan lahan mangrove. Berdasarkan kecendrungannya ini menujukkan, bahwa pada jangka panjang penggunaan lahan mangrove dapat lebih efisiensi. Berdasarkan kondisi ini maka penggunaan lahan mangrove di Kecamatan Muara Gembong lebih baik dari pada penggunaan lahan lainnya, sehingga konversi lahan mangrove kepada penggunaan lainnya yang tidak efisien perlu dibatasi.Efisiensi lahan mangrove di daerah ini dilihat dari kerapatan hutan mangrove yang berkurang. N ila i E fi s ie n s i 79 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Gambar 17. Efisiensi frontier pengelolaan lahan mangrove dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong

V.4. Analisis Kesesuaiaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong

Pengembangan usaha pertanian di wilayah pesisir merupakan salah satu bagian dari kebijaksanaan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Namun demikian, pembukaan lahan pertanian di wilayah pesisir harus dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek perlindungan lingkungan sehingga tidak akan menimbulkan masalah-masalah lingkungan seperti menurunnya produktitivitas perikanan, pencemaran perairan, perubahan siklus aliran air, dan meningkatnya laju sedimentasi. Salah satu masalah utama yang potensial timbul dari kegiatan pertanian di wilayah pesisir adalah menurunnya kualitas air perairan pesisir. Penurunan kualitas air sebagian besar disebabkan oleh masuknya bahan-bahan beracun seperti pestisida, insektisida dan fungisida. Selain itu dapat juga disebabkan oleh masuknya unsur hara yang berlebihan ke dalam perairan tersebut bersama bahan- bahan tererosi. Kegiatan-kegiatan konstruksi yang berkaitan dengan usaha pertanian seperti pembuatan saluran irigasi, drainase, dan penebangan hutan akan menganggu pola pembuatan aliran alami daerah tersebut. Gangguan ini antara lain meliputi aspek kualitas, volume dan debit air. Pengurangan debit air sungai bagi keperluan irigasi dapat mengubah salinitas dan pola sirkulasi air di perairan pesisir N ila i E fi s ie n s i 80 seperti wilayah estuaria. Berkurangnya debit air sungai mengakibatkan jangkauan instrusi garam semakin jauh ke hulu sungai. Hal ini akan mengakibatkan perubahan selain pada ekosistem daratan di sekitar perairan tersebut sebagai akibat instrusi air laut pada air tanah. Analisis kesesuaian lahan di Kecamatan Muara Gembong dilihat dari beberapa klasifikasi, yang terdiri dari sifat fisik lahan, iklim dan lingkungan. Untuk klasifikasi iklim dilihat secara keseluruhan karena data diambil dari satu stasiun yang dekat dengan Kecamatan Muara Gembong, sedangkan untuk sifat fisik tanah dikumpulkan dari hasil analisisi Balitbang pertanian dan evaluasi survey kelapangan data primer untuk analisis lingkungan dilihat dari survey lapangan. Untuk hasil analisis dapat dilihat dalam analisa berikut.

V.4.1. Analisis Kesesuaiaan Lahan Untuk Tambak

Hasil analisis kesesuaiaan lahan untuk tambak ternyata daerah yang memiliki pantai, di Kecamatan Muara Gembong daerah yang memiliki daerah yang Sangat sesuai yaitu desa pantai bhakti, desa pantai bahagia dan desa pantai sederhana, sedangkan desa harapan jaya sebahagian wilayahnya memiliki klasifikasi cukup sesuai, Keberadaan klasifikasi sesuai didaerah Muara Gembong ini dikarenakan wilayah ini memiliki klasifikasi tanah yang cocok seperti kelerengan, tekstur, iklim, jenis, tanah yang cocok untuk tambak. Sedangkan untuk kualitas air yang sangat menetukan dalam usaha tambak Muara Gembong memiliki kondisi Kedalaman pirit, oksigen terlarut, salinitas, kecerahan, pH air baik bagi tambak Daerah yang sesuai untuk klasifikasi tanah di Muara Gembong memiliki kemiringan lahan 0–1 , tektur liat, iklim seperti curah hujan dan bulan kering melebihi 2 500 mm pertahun sedangkan untuk kualitas air, suhu air memilliki 24 sampai 30 °C dengan Oksigen terlarut berkisar antara 6 sampai 7 sedangkan kecerahan sampai 30 cm dan salinitas 12 sampai 20. Sedangkan untuk usaha tambak hanya terdapat di desa Mekar dan sebahagian didesa Harapan Jaya, kondisi ini disebabkan karena jumlah oksigen terlarut, salinitas yang rendah, dan jarak dari pantai juga mementukan dalam penilaiaan klasifikasi ini. 81 Tabel 12. Kesesuaian Lahan untuk Lahan Tambak di kecamatan Muara Gembong Lokasi S1 S2 S3 N1 N2 Jumlah Desa Pantai Harapan Jaya 1 849 1 479 320 370 3 698 Desa Pantai Mekar 2 249 2 249 Desa Pantai Sederhana 948 271 135 1 354 Desa Pantai Bakti 2 826 2 826 Desa Bahagia 3 171 3 171 Total 11 043 1 750 329 505 13 298 Berdasarkan luas lahan diatas menunjukkan bahwa Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia memiliki tingkat kesesuaian lahan untuk lahan tambak yang cukup tinggi hal ini ditunjukkan dengan seluruh luas lahan Desa Pantai Mekar Desa, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia secara keseluruhan sangat sesuai untuk lahan tambak. Desa yang terluas yang memiliki kesesuaian lahan untuk lahan tambak adalah Desa Bahagia, dimana luas lahannya mencapai 3 171 hektar dan desa yang memiliki tingkat kesesuaian lahan untuk lahan tambak yang rendah yaitu Desa Pantai Harapan Jaya, hal ini ditunjukkan dengan luas lahan yang tidak sesuai untuk lahan tambak yang dimiliki oleh Desa Pantai Harapan Jaya, yaitu mencapai seluas 370 hektar. Secara global kelima desa, yaitu Desa Pantai Harapan Jaya, Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia memiliki kesesuaian lahan dengan klasifikasi sangat sesuai untuk tambak, tetapi masing- masing memiliki tingkatan yang berbeda. Hal ini ditunjukkan dengan persentase kesesuaian lahan untuk tambak pada masing-masing daerah berbeda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 18 berikut. 82 83 Penggunaan lahan tambak lebih banyak dimanfaatkan sebagai budidaya udang dan bandeng. Dengan adanya peningkatan nilai udang di pasaran international pada tahun 1980, lahan mangrove banyak dikonversi masyarakat menjadi tambak. Peningkatan luas lahan tambak yang cukup signifikan sangat mempengaruhi perekonomian masyarakat di Kecamatan tersebut, berdasarkan data BPS Kecamatan Muara Gembong peningkatan disektor perikanan budidaya selama kurun waktu 10 tahun itu mencapai 29 dari total PDRB di Kecamatan Muara Gembong

V.4.2. Analisis Kesesuaiaan Lahan Untuk Mangrove

Mangrove merupakan nama dari sebuah komunitas tumbuhan yang mempunyai kemampuan tumbuh di daerah pesisir, di Indonesia mangrove sering disebut sebagai tanaman bakau atau tanaman pasang surut. Tanaman ini banyak tumbuh didaerah pesisir yang terdiri dari beberapa jenis, seperti Rhizopora sp, api- api dan banyak jenis lainnya. Di daerah pesisir, mangrove membentuk suatu koloni menjadi hutan yang didalamnya telah membentuk suatu ekosistem. Hutan mangrove merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat banyak terdapat di Indonesia, menurut data statistik pada tahun 1983 luas mangrove di Indonesia mencapai 5 209 543 hektar, selama kurun waktu 10 tahun hutan mangrove telah mengalami penyusutan sampai 2 496 185 hektar, pada dasarnya mangrove mempunyai manfaat ganda baik dari aspek ekologis maupun dari aspek sosial ekonomi, dari kedua manfaat ini telah terbentuk suatu sistem alami dimana aktifitas ini telah membuat suatu ketergantungan bagi kehidupan manusia. Ekosistem alami ini dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan sosial ekonomi manusia, seperti ikan, udang sebagai komoditi ekonomi dan sumber protein hewani bagi masyarakat sedangkan kayu mangrove dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi masyarakat. Permasalahan utama tentang pengaruh dan tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutang mangrove menjadi areal budidaya perairan. Di Kecamatan Muara Gembong yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah pembukaan tambak- tambak untuk budidaya udang dan bandeng. Kegiatan ini memberikan kontribusi terbesar dalam pengrusakan ekosistem mangrove. Dalam situasi seperti ini habitat 84 dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Selama kurun waktu 10 tahun, dari tahun 1990 sampai 2000 luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak seluas 2 012 hektar dari total luas yang ada, dari luas mangrove pada tahun 1990 seluas 2 dari total luas lahan, luas mangrove sekarang hanya tinggal 398 hektar dari luas total kecamatan, melihat kondisi mangrove sudah pasti ekosistem mangrove yang ada di Muara Gembong terganggu. Tabel 13 Kesesuaian Lahan untuk Mangrove di kecamatan Muara Gembong Lokasi S1 S2 S3 N1 N2 Jumlah Desa Pantai Harapan Jaya 1 342 1 231 230 895 3 698 Desa Pantai Mekar 995 1 254 2 249 Desa Pantai Sederhana 1 354 1 354 Desa Pantai Bakti 2 826 2 826 Desa Bahagia 3 171 3 171 Total 9 688 2 485 230 895 13 298 Berdasarkan hasil analisis di atas, kesesuaian lahan untuk Mangrove Desa Pantai Harapan Jaya memiliki luas lahan terluas dibandingkan dengan Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia. Luas lahan yang dimiliki oleh Desa Pantai Harapan Jaya, yaitu seluas 3 698 hektar atau 28 persen, pembagian luas kesesuaian lahan untuk mangrove di kecamatan Muara Gembong, yaitu 9 688 hektar memiliki kesesuaian sangat sesuai untuk mangrove dan 2 485 hektar memiliki kesesuaian cukup sesuai untuk mangrove. Untuk Desa Pantai Sederhana seluruh luas lahanya memiliki kesesuain sangat sesuai untuk mangrove, dimana luas lahan Desa Pantai Sederhana seluas 13 540 hektar. Desa Pantai Sederhana merupakan desa yang memiliki lahan tersempit dibandingkan dengan empat desa yang lainnya. Dari kelima desa, Desa Pantai Harapan dan Desa Bahagia memiliki kriteria sangat sesuai dan sesuai untuk Mangrove. Hal ini ditunjukan dengan presentase lahan untuk mangrove mencapai 90 artinya hamper secara keseluruhan mempunyai pontensi sangat sesuai untuk mangrove. 85 86 Desa Sederhana merupakan desa yang memiliki luas lahan terluas yang sangat sesuai untuk kesesuaian lahan mangrove dibandingkan dengan empat desa yang lainnya. Sedangkan desa Pantai Mekar merupakan desa yang memiliki luas lahan yang kurang memiliki kesesuain lahan untuk Mangrove, hal ini ditunjukkan dengan persentase lahan untuk mangrove hanya sebesar 20 dan persentase lahan yang sesuai untuk mangrove mencapai sebesar 80 . Pada dasarnya kelima desa tersebut memiliki tingkat kesesuaian lahan untuk Mangrove, tetapi tingkat kesesuaian lahan diantara kelima desa Desa Pantai Harapan Jaya, Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia tersebut memiliki tingkatan persentase yang berbeda-beda. Mengkaji jenis kegiatan yang diperkirakan menimbulkan perubahan ekosisitem hutan mangrove menjadi ekosistem non mangrove dapat didekati dari macam dampak potensialnya. Jenis kegiatan yang menimbulkan penurunan luas hutan mangrove : 1. Konservasi hutan mangrove menjadi lahan pertanianperikanan Konservasi hutan mangrove menjadi lahan perikanan diperkirakan sekitar 268 743 hektar, dengan daerah yang cukup laus terdapat di Pulau Jawa, Aceh dan Sulawesi Selatan. Sedangkan konservasi hutan mangrove menjadi lahan pertanian perkebunan kelapa sawit telah terjadi di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, dimana tidak kurang 3 000 hektar hutan mangrove dengan status Suaka Margasatawa dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Dampak langsung kegiatan konservasi hutan mangrove menjadi lahan pertanianperikanan adalah hilangnya biomass hutan mangrove dan habitat organisme yang menggantungkan sebagian atau seluruh hidupnya pada ekosistem mangrove, interusi garam, erosi garis pantai dan seterusnya. 2. Pembuatan sampah padat Pembuatan sampah padat banyak terjadi di kota-kota besar, seperti Kota Jakarta. Dampak dari kegiatan ini adalah kemungkinan terlapisnya pneumatofora akar nafaslentisel yang mengakibatkan kematian pohon- pohon mangrove. Di samping itu dampak dari kegiatan ini adalah menurunkan kualitas subtrat tempat tumbuh tumbuhan mangrove, 87 mengganggu proses regenerasi alami serta pertumbuhan vegetasi mangrove, dan pada akhirnya akan mendorong terjadinya kematian tumbuhan mangrove. 3. Pencemaran tumpahan minyak Kematian tumbuhan mangrove terjadi akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. Kondisi ini sulait diatasi dalam jangka waktu singkat, baik dengan regenerasi alami maupun penanaman kembali. Dampak lain dari pencemaran minyak adalah menurunnya kualitas habitat organisme biota perairan, satwaliar. 4. Penambangan dan ekstraksi mineral Penambanngan pasir di laut yang tidak mengindahkan aturan dan kondisi ekosistem mangrove, seringkali mendorong terjadinya abrasi pantai atau pemunduran garis pantai. Demikian pula penambangan timah yang membuang limbahnya ke pantai, dapat menyebabkan kematian pohon- pohon mangrove akibat tertutupnya akar nafas. 5. Pengendapan sedimen yang tinggi Laju pendapatan sedimen yang tinggi akibat aktivitas budidaya pertanian di daerah hulu DAS Citanduy, DAS Cimeneng telah mendorong terjadinya pendangkalan yang cepat dikawasan ekosisitem hutan mangrove Segara Anakan-Cilacap. Dampak lanjutan dari kondisi tersebut adalah perubahan komposisi jenis vegetasi, dan menurunnya wilayah yang terkena pasangurut, serta masyarakat secara perlahan telah merubah ekosistem mangrove menjadi lahan budidaya pertanian. 6. Penebangan hutan Penebangan hutan mangrove dengan mengikuti pedoman sistem silvikultur, direncanakan dengan cermat dan dilaksanakan dengan ketat, diyakini dapat menurunkan dampak negatif yang akan timbul. Penebangan hutan mangrove yang seringkali menimbulkan dampak berupa penurunan kuantitas dan kualitas hutan mangarove adalah penebangan liar. Kasus penebangan liar sampai saat ini masih berlangsung. Penebangan liar dilakukan oleh masyarakat untuk keperluan kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan tiang pancang. 88 Di samping dipengaruhi jenis kegiatan, penurunan kualitas dan kuantitas mangrove di Indonesia juga dipengaruhi oleh kebijakan dan koordinasi yang masih lemah, persepsi masyarakat yang kurang mendukung kelestarian mangrove, kondisi sosial ekonomi masyarakat pantai . Berdasarkan analisis kesesuian untuk mangrove dapat dilihat pada gambar berikut ini.

V.4.3. Analisis Kesesuaiaan Lahan Untuk Pemukiman

Jenis rumah yang terdapat di Kecamatan Muara Gembong banyak dalam bentuk semi permanen, dimana perumahan ini banyak terdapat di daerah yang memiliki lahan yang tidak tergenang air, sedangkan untuk lahan yang berada di pesisir lebih banyak berbentuk pemukiman sederhana, hal ini disebabkan oleh hak kepemilikan lahan, karena lahan yang terdapat di daerah Muara Gembong lebih banyak dimiliki oleh perhutani, akibatnya kurang minat masyarakat untuk merubah jenis rumah mereka menjadi permanen, faktor lain disebabkan oleh tingginya harga bahan baku seperti semen, kayu dan lain-lain. Fasilitas infrastruktur untuk pemukiman di beberapa desa belum ada, seperti air minum, sarana kesehatan dan sebagainya. Akibatnya fasilitas yang belum memadai ini mengakibatkan beberapa desa tidak layak huni sehingga tidak cocok untuk pemukiman. Untuk penggunaan lahan pemukiman sarana dan prasarana merupakan sesuatu hal yang sangat fital, karena untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga diperlukan sarana dan prasaran, seperti air minum, jalan, kesehatan dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan pada beberapa desa kesesuaian lahan untuk pemukiman tidak cocok, ketidak cocokan bukan berarti tempat tersebut tidak bisa di huni tetapi untuk masuk pada klasifikasi sesuai kebutuhan sarana dan prasarana ini perlu dilengkapi. 89 Tabel 14. Kesesuaian Lahan untuk Lahan Pemukiman di kecamatan Muara Gembong Lokasi Baik Sedang Buruk Jumlah Desa Pantai Harapan Jaya 430 1 789 1 479 3 698 Desa Pantai Mekar 1 574 675 2 249 Desa Pantai Sederhana 135 1 219 1 354 Desa Pantai Bakti 1 130 1 696 2 826 Desa Bahagia 317 2 854 3 171 Total 5 376 7 922 13 298 Berdasarkan kesesuaian lahan untuk lahan pemukiman, Desa Pantai Harapan Jaya merupakan desa terluas dengan luasnya sebesar 3 698 ha, pembagian luas lahan Desa Pantai Harapan Jaya, yaitu 430 hektar klasifikasi lahan baik dan 1 789 hektar Sedang untuk lahan pemukiman serta 1 479 hektar Buruk untuk lahan pemukiman. Secara global dari kelima desa, yaitu Desa Pantai Harapan Jaya, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia tidak satupun desa yang memiliki kriteria Baik untuk kesesuaian lahan pemukiman, hal ini ditunjukkan dengan lahan dengan klasifikasi baik tidak ada sama sekali. Berdasarkan kesesuaian lahan untuk pemukiman menunjukkan Desa Pantai Harapan Jaya merupakan desa yang memiliki tingkat kesesuaian lahan sedang paling luas untuk pemukiman dibandingkan dengan Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia. Evaluasi lahan untuk daerah pemukiman mencakup penilaiaan kesesuaian lahan untuk gedung septic tanck, jalan, tempat pembuangan sampahpenimbunan sampah. Pemukiman merupakan tempat dimana sejumlah penduduk tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari. Penentuan kelas suatu lahan untuk tempat tinggal didasarakn pada kemampuan lahan sebagi penopang pondasi. Sifat lahan yang berpengaruh adalah daya dukung tanah, sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap biaya penggalian dan konstruksi. Sifat-sifat lahan seperti kerapatan, tata air, bahaya banjir, pladtisitas, tekstur dan potensi mengembang dan mengerutnya tanah berpengaruh terhadap daya dukung tanah. Sedangakan biaya penggalian tanah pondasi dipengaruhi oleh tata air tanah, lereng, kedalaman tanah sampai hamparan batuan dan keadaaan batu dipermukaan. 90 Tanah-tanah bertekstur liat yang banyak mengandung liat akan menyerap banyak air sehingga mempunyai nilai batas cair tinggi. Nilai batas cair berhubungan erat dengan compressibility tanah penurunan volume tanah oleh bebantegangan yang diberikan pada tanah tersebut. Semakin tinggi nilai batas cair maka nilai compressibility semakin besar. Daya dukung tanah bertekstur pasir dan kerikil untuk pondasi lebih besar daripada tanah bertekstur liat karena tanah bertekstur liat menyerap air lebih banyak sehingga menjadi lunak. Pengerutan dari tanah yang banyak mengandung liat telah banyak menyebabkan kerusakan pada pondasi bangunan yang ringan. Untuk menghindari adanya kerusakan bangunan yang disebabkan oleh pengerutan tanah, hendaknya pondasi dibangun lebih dalam dimana proses pengerutan tanah tidak terjadi atau sampai kedalaman batuan. Penentuan kelas suatu tanah untuk lapangan drainase didasarkan pada kemampuan tanah menyerap aliran dari septic tank. Sifat-sifat tanah yang berpengaruh pada kemampuan tanah menyerap aliran dari septic tank adalah permeabilitas tanah, tinggi muka air tanah, dalamnya tanah sampai kehamparan batuanbahan induklapisan kedap air, perkolasi tanah, bahaya banjir, lereng dan keadaan batu di permukaaan. Tanah bertekstur sangat kasar pasir berlempung, pasir, dan kerikil merupakan bahan penyaring relatif buruk, dan mungkin akan menimbulkan pencemaran terhadap sumber air tanah bila digunakan sebagia lapangan drainase. Tanah akan berfungsi baik sebagai drainase septic tank bila tinggi muka air tanah 120 cm lebih dalam dari saluran, dan akan berfungsi kurang baik bila tinggi muka air tanah kurang dari 60 cm dari. Berdasarkan persentase kesesuaian lahan untuk pemukiman tidak ada satu desa pun yang memiliki kriteria sangat sesuai untuk lahan untuk pemukiman. Sebagian besar luas lahan Desa Pantai Mekar, memiliki kesesuaian lahan untuk pemukiman yang cukup luas, hal ini ditunjukkan dengan nilai kesesuaian lahan untuk pemukiman mencapai 70 . Desa Pantai Sederhana dan Desa Bahagia merupakan desa yang memiliki tingkat kesesuaian lahan untuk pemukiman cukup kecil dibandingkan dengan ketiga desa lainnya, hal ini ditujukkan dengan persentase lahan yang tidak sesuai. Pemukiman kedua desa tersebut mencapai 90 dan persentase lahan yang sesuai untuk kesesuaian lahan untuk pemukiman hanya mencapai 10 . 91 92 Ketentuan pengadaan prasarana lingkungan perumahan mencakup aspek teknis dan non teknis. Aspek teknis antara lain standard lingkungan perumahan, ketentuan teknis mengenai prasarana dan pola keterkaitan antara sistim lingkungan denagn sistim kota. Sedang aspek non teknis mencakup ketentuan hubungan antara pemerintah daerah, pengembanng dan pemukim tentang hak dam kewajiban dalam pengadaan dan pemeliharaaan prasarana lingkungan. Secara umum, prasarana lingkungan dikenal sebagai utilities dan amenties, atau dalam khasanah perencanaan di Indonesia dikenal sebagai wisma, marga, suka dan penyempurna. Lebih spesifik lagi, jenis-jenis tersebut adalah fasilitas sosial, sistem jarinagn sirkulasi, drainasi dan kesehatan lingkungan. Ketentuan besaran fasilitas secara umum diturunkan dari kebutuhan penduduk atas fasilitas tersebut. Secara normatif standard kebutuhan diukur persatuan jumlah penduduk tetentu, sesuai denagn kebutuhannya. Disamping besaran penduduk, dapat pula diturunkan dari jumlah unit rumah yang dilayani, satuan luas atau satuan wilayah administratif yang dilayani. Secara umum di Indonesia digunakan standard Cipta Karya, yang tercantum dalam standar perumahan sederhana tidak bertingkat. Standard tersebut merupakan penyempurnaan dari standard Soefaat. Sedang penempatan fasilitas, dapat dilihat dari dari dua aspek, yaitu atas dasar ketentuan yang bersifat hirakis struktural terhadap sistim yang lebih besar dan jarak tempuh. Kedudukan fasilitas dalam sistim prasarana yang lebih luas keterkaitan struktural, seperti jenjang fasilitas kesehatan, pendidikan dan rekreasi. Jarak minimal atau area pelayanan minimal utuk satu jenis pelayanan, yang diukur atas dasar jarak tempuh dengan jalan kaki atau angkutan lingkungan. Penempatan fasilitas dapat pula ditentukan oleh tujuan tertentu, misalnya untuk pemerataan pencapaian dan efisiensi, fasilitas diletakkan dan dikumpulkan di pusat lingkungan di pusat lingkungan central place theory. Tetapi dapat pula diletakkan pada garis singgung komunitas yang berbeda, dengan tujuan untuk menyatukan 2 komunitas yang berbeda. Di samping ketentuan yang berkaitan dengan jenis dan besaran, standard teknis juga mengatur mengenai persyaratan teknis minimal untuk setiap jenis fasilitas, seperti dimensikapasitas minimal, daya dukung dan tingkat layanan. 93 Kebutuhan fasilitas lingkungan, selain didekati dengan standard perencanaan yang baku, dapat pula didekati dengan kebutuhan setempatrelatif,untuk tujuan tertentu. Biasanya klasifikasi tingkat layanan yang disediakan berada diatas standard baku, seperti penyediaan amenties, kemudahan sirkulasi. Tujuan dari penyediaan fasilitas yang berlebih tersebut berhubungan dengan tujuan tertentu, terutama untuk menciptakan lingkungan perumahan yang bercitra tertentu, sebagai bagian dari strategi bisnis para pengembang. Ketentuan mengenai hubungan sistim lingkungan dengan sistim wilayah yang melingkupinya antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut : a. Hubungan struktural yang menerus dan compatible, antara sistim lingkungan dengan sistim wilayah. b. Hubungan struktural yang menerus dan compatible, antara sistim lingkungan dengan sistim lingkungan tetangga. c. Jika antara sistim lingkungan dengan sistim wilayah atau lingkungan tetangga belum memungkinkan, sistim dalam lingkungan tersebut harus : - Mampu memenuhi kebutuhan sendiri, tanpa mengakibatkan dampak negatif bagi lingkungan sekitar. - Menyiapkan “joint” sambungan yang compatible dengan sistim lain yang akan datang, baik sistim wilayah maupun sistim lingkungan tetangga. d. Rencana struktur prasarana wilayah memberikan arahan yang jelas mengenai bagaimana dan dimana terjadi hubungan dengan sistem lingkungan. Kegiatan pembangunan perumahan dilakukan oleh banyak aktor, tetapi dalam skala besar, yang dominan adalah hubungan antara Pemerintah daerah sebagai pengelola wilayah dan pengembang sebagai pembangun. Masalah koordinasi dalam penyediaan prasarana ini menjadi rawan pada kasus pembangunan perumahan skala besar. Pada umumnya, pembangunan perumahan skala besar akan membutuhkan penyediaan prasarana yang juga besar volumenya, yang membutuhkan inletoutlet yang besar pula. Untuk kawasan perumahan yang dibangun diluar built up area, sistim wilayah belum ada, sedang untuk yang didalam built up area, sistim yang ada tidak mencukupi. Perangkat yang efektif 94 untuk berlangsungnya proses koordinasi adalah arahan kebijakan pembangunan kota yang mencakup : a. Kebijakan yang bersifat insentif dan disinsentif b. Rencana struktur ruang yang disepakati sebagai pedomen arah pengembangan kota, khususnya untuk prasarana kota. c. Distribusi tanggung jawab penanganan prasarana lingkungan, yang membagi secar adil tanggung jawab penanganan prasarana lingkungan.

V.4.4. Analisa Kesesuaiaan Lahan untuk Sawah

Dari hasil survey lapangan dan informasi data sekunder dari Balitbang pertanian Pusat penelitian tanah bogor terlihat bahwa kondisi sifat fisik tanah untuk penggunaan lahan sawah menunjukkan 5 klas kesesuaian lahan yang terdiri dari kelas sesuai, cukup sesuai dan tidak sesuai. Klasifikasi pemanfaatan lahan untuk sawah dinilai berdasarkan beberapa kriteria antara lain ketersediaan air, temperatur retensi akar, kegaraman , toksisitas, ketersediaan hara, kemudahan pengolahan, terrainpotensi mekanisasi, tingkat bahaya erosi dan bahaya banjir. Dari kriteria diatas untuk ketersediaan air yang dilihat dari curah hujan, bulan kering di Kecamatan Muara Gembong didapat nilai cukup sesuai karena jumlah curah hujan 3 bulan sampai 4 bulan, sedangkan curah hujan pertahun di Kecamatan Muara Gembong mencapai 1 839 mm per tahun yang masuk klasifikasi sesuai untuk lahan sawah, sedangkan temperatur terdiri klasifikasi cukup sesuai dengan tempertaur 27.1 ºC. Sedangkan klasifikasi tanah berdasarkan sifat fisik tanah, dapat dilihat dari retensi akar yang menyangkut kemampuan akar dalam menyerap unsur hara, terlihat wilayah yang memiliki kondisi yang cukup baik terlihat desa Pantai bhakti dan sebagian di Pantai Mekar didaerah ini juga kondisi tanah didalam pengolahan cukup baik, dan kandungan garam yang masih rendah. Sementara di beberapa desa yang memiliki pantai kondisi lahannya kurang baik. 95 Tabel 15. Luas Lahan untuk Lahan Sawah Lokasi S1 S2 S3 N1 N2 Jumlah Desa Pantai Harapan Jaya 1 109 1 109 2 589 3 698 Desa Pantai Mekar 675 675 1 574 2 249 Desa Pantai Sederhana 271 271 1 083 1 354 Desa Pantai Bakti 1 130 1 130 1 696 2 826 Desa Bahagia 634 634 2 537 3 171 Total 3 820 3 820 9 479 13 298 Tabel 15 di atas menunjukkan bahwa dari lima desa Desa Pantai Harapan Jaya Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia tidak ada satu desapun yang memiliki lahan yang sesuai untuk kesesuaian lahan sebagai lahan sawah. Desa Pantai Harapan Jaya memiliki luas lahan untuk lahan sawah yang paling luas dibandingkan dengan Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia. Dimana luas lahan yang dimiliki Desa Pantai Harapan Jaya, seluas 3 698 ha, dengan pembagian lahan sebagai berikut lahan yang cukup sesuai untuk digunakan sebagai lahan sawah seluas 3 820 ha dan yang tidak sesuai pada saat ini, yaitu seluas 9 479 hektar. Desa Pantai Harapan Jaya juga merupakan desa yang paling luas memiliki lahan yang sesuai untuk digunakan sebagai lahan sawah dibandingkan dengan Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia. Selain itu juga Desa Pantai Harapan Jaya juga merupakan desa yang paling luas yang memiliki lahan yang tidak sesuai digunakan sebagai lahan sawah. Desa Pantai Sederhana merupakan desa yang paling tidak luas untuk digunakan sebagai lahan sawah, desa tersebut hanya memiliki luas lahan 1 354 hektar atau 10 dari total luas Kecamatan Muara Gembong, dimana 271 hektar cukup sesuai digunakan untuk lahan sawah dan 1 083 hektar tidak sesuai digunakan atau dimanfaatkan untuk lahan sawah. Berdasarkan peta di bawah ini dapat dilihat penempatan secara spasial dalam klasifikasi penggunaan lahan untuk padi sawah di Kecamatan Muara Gembong. 96 97 Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah dataran rendah, pada awalnya menurut hasil wawancara masyarakat yang bertempat tinggal di kecamatan muara gembong berasal dari Cilacap, dengan profesi sebagai buruh tani, oleh karena itu pada awal kedatangan mereka lebih cendrung menjadikan lahan perhutani sebagai lahan pertanian.

V.4.5. Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Tegalan

Kondisi daerah di Muara Gembong ini berdasarkan data statistik Muara Gembong pada tahun 1990 luas lahan tegalan berdasarkan data statistik 529 hektar pada tahun 1992 terjadi perubahan yang cukup signifikan dimana luas lahan berubah menjadi 476 hektar, melihat kondisi yang cukup tinggi ini, pada tahun 1990 lahan tegalan telah dikonversi menjadi tambak, perubahan ini disebabkan oleh mulai bergairahnya pertanian tambak, walaupun jenis tambak konvensional. Tabel 16 Kesesuaian Lahan untuk Tegalan Lokasi S1 S2 S3 N1 N2 Jumlah Desa Pantai Harapan Jaya 1 849 1849 3 698 Desa Pantai Mekar 1 349 900 2 249 Desa Pantai Sederhana 1354 1 354 Desa Pantai Bakti 848 1978 2 826 Desa Bahagia 951 2219 3 171 Total 4 998 8300 13 298 Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa Desa Pantai Harapan Jaya memiliki luas lahan yang terluas untuk penggunaan lahan tegalan., dibanding dengan Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia, dimana luas lahan yang dimiliki oleh Desa Pantai Harapan Jaya tersebut adalah seluas 36 986 hektar atau 27 dari total luas lahan Kecamatan Muara Gembong. Klasifikasi kesesuiaan lahan untuk tegalan yang terdapat di Kecamatan Muara Gembong dengan klasifikasi sesuai di Desa Pantai Harapan Jaya seluas 185 hektar atau 5 dari total luas desa Pantai Harapan Jaya, sedangkan klasifikasi cukup sesuai untuk tegalan, seluas 1 849 hektar atau 50 dari total luas lahan Sedangkan desa Pantai Harapan Jaya klasifikasi cukup sesuai untuk tegalan sebesar 1 664 hektar atau 45 dari total luas lahan. 98 99 Selain itu juga berdasarkan kesesuaian lahan untuk tegalan, dapat ditentukan bahwa desa yang memiliki luas lahan tersempit, yaitu Desa Pantai Sederhana, dimana klasifikasi sesuai untuk tegalan di desa tersebut hanya seluas 54 hektar atau 4 dari luas total desa pantai sederhana. Desa Bahagia merupakan desa yang memiliki lahan yang sangat potensial untuk digunakan sebagai lahan tegalan, hal ini terlihat dari luas lahan yang sangat sesuai untuk tegalan terdapat di Desa Bahagia, dimana luas lahan yang sangat sesuai untuk tegalan mencapai seluas 190 hektar. Desa yang paling tidak memiliki kesesuaian lahan untuk tegalan adalah Desa bahagia, karena desa tersebut memiliki luas lahan yang paling tinggi untuk kriteria yang tidak sesuai untuk kesesuain lahan tegalan, dimana luas lahannya mencapai seluas 2 029 hektar.

V.5. Analisa Total Economic Value TEV

V.5.1. Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove

Di dalam perhitungan total economic value, untuk penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong, telah terdefenisi dari fungsi dari masing-masing penggunaan lahan dikecamatan tersebut, untuk lahan mangrove memiliki manfaat langsung direct value dari manfaat kayu mangrove yang dipergunakan untuk kontruksi bangunan, sedangkan manfaat lain masyarakat setempat memanfaatkan kayu mangrove sebagai bahan baku arang, dan sumber perikanan udang dan kepiting. Sedangkan manfaat tidak langsung Indirect value berfungsi sebagai penahan aberasi pantai dan sumber hara bagi biomass yang hidup pada ekosistem mangrove. Untuk non use value terdapat dari kandungan biodiversiti keanekaragaman hayati dari hutan mangrove. Nilai hutan mangrove berdasarkan perhitungan total economic value menurut masyarakat setempat memiliki valuasi Dari pemanfaatan langsung direct value, pemanfaatan tidak langsung Indirect value dan Option value. Pemanfaatan langsung dari hutan mangrove berdasarkan hasil survey yang dilakukan di daerah penelitian ini, meliputi manfaat langsung dari produksi kayu mangrove yang dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai bahan bangunan atau pembuatan podasi untuk rumah mereka, manfaat lain dari hutan ini dimanfaatkan oleh masyarakat setempat juga sebagai bahan baku arang kayu, dan sumber lain 100 Dari pendapatan kekayaan potensi hutan mangrove adalah sebagai area penangkapan ikan bagi masayarakat setempat, sedangkan untuk biaya tidak langsung fungsi hutan mangrove di kecamatan ini, berfungsi sebagai penahan aberasi pantai , dan manfaat lain. Dari hutan ini juga sebagai penyedia unsur hara bagi perikanan tambak yang banyak terdapat didaerah ini. Sedangkan nilai pilihan atau option value. Manfaat hutan mangrove lebih terlihat dari jumlah biodiversity, atau keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya.

1. Manfaat Langsung Direct Use value a. Kayu Mangrove

Dari hasil analisis ekonomi dari pemanfaatan kayu mangrove menunjukkan bahwa perhitungan kayu mangrove yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai bahan bangunan, dimanfaatkan untuk perumahan dan dijual sebagai bahan bangunan untuk pemukiman. Perhitungan penggunaan kayu mangrove, diukur berdasarkan jumlah tegakan mangrove per ha yang terdapat pada Kecamatan Muara Gembong yang berkisar 500 batang dengan total dari volume pohon per hektar berkisar 0.94 meter kubik per hektar per tahun, untuk kayu mangrove dijual di Muara Gembong berkisar Rp 75 000,- per meter kubik

b. Ikan

Daerah di Muara Gembong sebelum tahun 1990 dikenal masyarakat nelayan dengan tempat sumber udang dan ikan, oleh karena itu daerah disepanjang Muara Gembong sebagai daerah tangkapan untuk ikan-ikan yang nantinya dibawa ke Cilincing pada umumnya daerah disekitar hutan mangrove sering digunakan nelayan sebagai daerah tangkapan ikan, udang dan kepiting, mereka menjual hasil tangkapan mereka ke Cilincing. Selama dua periode waktu penelitian tahun 1990 sampai 2000 jumlah tangkapanan ikan, kepiting dan udang terus menurun, berdasarkan hasil wawancara dari masyarakat. Walaupun harga undang cukup tinggi di pasarana, tetapi ditingkat petani harga udang hanya Rp 3 000,- per kg sedangkan untuk ikan Rp 1 250 per kg, dan kepiting Rp 2 500,- per kg, harga ini didapt dari data pelelangan ikan yang ada di Muara Gembong. 101

2. Manfaat tidak Langsung Indirec Use Value a. Pencegah Aberasi

Di Kecamatan Muara Gembong Manfaat tidak langsung hutan mangrove juga berfungsi sebagai pencegah erosi, dengan menggunakan metode benefit tranfer, dengan membuat tanggul di mana dapat dinilai dari upah tenaga kerja untuk 1 hektar tanggul sebesar Rp 300 000,-

b. Penyedia Unsur hara