43
sebagainya, beserta keluarganya, memperoleh kedudukan yang tinggi di masyarakat dan disegani dalam kehidupan sosial. Kepandaian dalam ilmu juga
dianggap sebagai alasan untuk mendapat kedudukan yang tinggi di masyarakat, dengan demikian golongan orang-orang pandai dan keluarganya, seperti guru,
pegawai negri, pemuka agama, dan lain-lain. Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa stratifikasi
tertinggi orang Yogyakarta adalah lapisan bangsawan dan keturunannya, yakni kraton Yogyakarta.Lapisan sosial keturunan rajabangsawan, orang yang
menjalankan salah satu tugas yang diberikan oleh raja kepadanya,orang yang menjadi pegawai pemerintah kolonial, juga merupakan orang yang dihormati, dan
disegani oleh masyarakat lain di dalam kehidupan sosial.
f. Adat Istiadat Sopan Santun
Adat istiadat dalam pergaulanakan menentukan bagaimana seseorang melakukan hubungan sosial dengan individu lain. Menurut Kuwalat Eawa dalam
Rivai Abu,1978 :23 menyebutkan, dalam kehidupan sehari-hari sikap hormat “kaum muda” terhadap “kaum tua” nampak misalnya bila orangtua sedang
berunding, anak-anak tidak boleh ikut campur; memberikan salam hormat bila lewat di depan muka orangtua yang sedang duduk. Dalam hal ini orang Jawa
melakukan dengan sikap berjalan membungkuk sambil mengucapkan: kula nuwun, nyuwun sewu, dan sebagainya.
Pendapat yang sama dijelaskan menurut Mulyadi, dkk 1990: 60 menjelaskan bahwa adat istiadat Jawa, anak yang muda usianya tidak
diperbolehkan bersikap “nganyur” di hadapan orang tua. Sikap “nganyur”
44
tersebut adalah sikap badan tegak pada waktu berjalan maupun berdiri, ketika orang-orang tua sedang duduk. Jadi orang muda tidak diperbolehkan berjalan
biasa, akan tetapi ia harus memakai aturan, yaitu orang muda harus membungkukkan badan sedikit sebagai tanda hormat kepada orang tua. Mereka
juga mengatakan kata “amit” atau “nyuwun sewu”. Orang muda apabila tidak
melakukan hal tersebut disebut dengan “nganyur”, “tlunyar-tlunyur”, “ora ngerti
suba sito ”, atau dikatakan sebagai anak yang tidak tahu sopan santun.
Sedangkan menurut Suwardi Endraswara 2015: 135 suku Jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan alias
tidak suka langsung-langsung, menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara. Dalam keseharian sikap
andhap asor terhadap yang lebih tua akan lebih diutamakan, terlihat dari penggunaan bahasa Jawa yang memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan
dengan objek yang diajak berbicara. Orang yang lebih muda hendaknya betul- betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap orang yang lebih tua, dalam
bahasa Jawa ngajeni. Menurut Suwardi Endraswara 2015: 135 juga menjelaskan orang Jawa sangat menjunjung tinggi etika, baik secara sikap maupun berbicara,
contohnya pada saat bertamu dan disuguhi, sikap orang Jawa akan menunggu dipersilahkan untuk mencicipi makanan, meskipun sikap ini bertentangan dengan
suasana hati. Contoh tersebut, merupakan sikap segan yang merupakan ciri orang Jawa yang menjunjung tinggi etika dalam kesopanan.
Berdasarkan pernyataan diata dapat disimpulkan bahwa adat istiadat kesopanan di masyarakat Yogyakarta meliputi tata kelakuan yang seharusnya