Sistem kekerabatan Budaya Masyarakat Yogyakarta

44 tersebut adalah sikap badan tegak pada waktu berjalan maupun berdiri, ketika orang-orang tua sedang duduk. Jadi orang muda tidak diperbolehkan berjalan biasa, akan tetapi ia harus memakai aturan, yaitu orang muda harus membungkukkan badan sedikit sebagai tanda hormat kepada orang tua. Mereka juga mengatakan kata “amit” atau “nyuwun sewu”. Orang muda apabila tidak melakukan hal tersebut disebut dengan “nganyur”, “tlunyar-tlunyur”, “ora ngerti suba sito ”, atau dikatakan sebagai anak yang tidak tahu sopan santun. Sedangkan menurut Suwardi Endraswara 2015: 135 suku Jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung-langsung, menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara. Dalam keseharian sikap andhap asor terhadap yang lebih tua akan lebih diutamakan, terlihat dari penggunaan bahasa Jawa yang memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan objek yang diajak berbicara. Orang yang lebih muda hendaknya betul- betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap orang yang lebih tua, dalam bahasa Jawa ngajeni. Menurut Suwardi Endraswara 2015: 135 juga menjelaskan orang Jawa sangat menjunjung tinggi etika, baik secara sikap maupun berbicara, contohnya pada saat bertamu dan disuguhi, sikap orang Jawa akan menunggu dipersilahkan untuk mencicipi makanan, meskipun sikap ini bertentangan dengan suasana hati. Contoh tersebut, merupakan sikap segan yang merupakan ciri orang Jawa yang menjunjung tinggi etika dalam kesopanan. Berdasarkan pernyataan diata dapat disimpulkan bahwa adat istiadat kesopanan di masyarakat Yogyakarta meliputi tata kelakuan yang seharusnya 45 dilakukan dalam hubungan sosial dengan masyarakat Yogyakarta, seperti sikap menghargai orang yang lebih tua dengan menggunakan bahasa ngajeni, sikap berjalan membungkuk sambil mengucapkan: kula nuwun, nyuwun sewu, pada saat berjalan di depan orang yang lebih tua, dan lain-lain.

g. Sistem Religi

Agama Islam berkembang baik di Yogyakarta, hal ini terbukti dari banyaknya bangunan-bangunan khusus untuk tempat beribadat orang-orang yang beragama Islam. Namun tidak semua orang beribadat menurut agama Islam, akan tetapi sesuai dengan kriteria kepercayaannya, ada yang di sebut dengan Islam Santri dan Islam Kejawen. Menurut Koentjaraningrat 2010:344 menyebutkan, “golongan Islam Santri dan Islam Kejawen sebenarnya adalah orang-orang yang percaya kepada ajaran agama Islam, akan tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama Islam itu. Di daerah kota maupun pedesaan orang santri menjadi mayoritas, sedangkan di lain daerah orang kejawenlah yang dominan. ” Sedangkan Koentjaraningrat 2010:347 menjelaskan, “orang golongan Islam kejawen meskipun tidak menjalankan salat, atau puasa, serta tidak bercita- cita naik haji, tetapi tetap percaya kepada ajaran keimanan Islam. Tuhan mereka disebut Gusti Allah dan Nabi Muhammad adalah Kangjeng Nabi. Kecuali itu, orang kejawen tidak terhindar dari kewajiban berzakat, orang kejawen juga mempercayai adanya takdir sehingga bersikap nerima dengan kehendak Gusti Allah. ” Menurut Koentjaraningrat 2010:347 menyebutkan “Orang Kejawen percaya dengan kekuatan yang melebihi segala kekuatan yang dikenal dengan 46 kesakten, kemudian arwah atau ruh leluhur, dan makhluk-makhluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, serta jin dan lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan masing-masing makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman, ataupun keslamatan, tetapi sebaliknya bisa juga menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan, bahkan kematian. Maka bilamana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan tersebut, ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta, misalnya dengan berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan makanan tertentu, berselamatan, bersaji ”. Di daerah Yogyakarta, seperti halnya di daerah Jawa pada umumnya, penduduknya mempunyai kepercayaan yang bersifat animistis dan dinamistis, untuk menentukan kepercayaan animisme dan dinamisme ini dapat kita lihat dari kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta. Menurut Rivai Abu 1978:26 menyebutkan bahwasanya penduduk Yogyakarta masih percaya akan adanya roh atau arwah orang yang meninggal dunia yang disebut dengan leluhur. Kadang- kadang mereka menganggap makhluk halus menempati alam sekitar tempat tinggal manusia misalnya salah satu bagian rumah mereka, pepohonan besar, hutan rimba, dan sebagainya.Bahkan untuk melakukan hubungan dengan leluhur maupun makhluk halus tersebut,biasanya masyarakat Jawa melakukan perantara dengan individu yang disebut dengan dhukun. Disamping kepercayaan animistis, masyarakat Yogyakarta juga mengenal kepercayaan dinamistis. Menurut Rivai Abu 1978:26 menyebutkan kepercayaan tentang adanya anggapan, bahwa