Kriteria-Kriteria Penyesuaian Diri Kajian Tentang Adaptasi penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri

35 berkembang secara berabad serta sudah menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat tertentu. Menurut Koentjaraningrat dalam Munandar Sulaeman, 2012:37 menjelaskan bahwa, “kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi budi atau akal; dan ada kalanya juga ditafsirkan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk “budi-daya” yang berarti daya dari budi, yaitu cipta, karsa, rasa. Dengan demikian budaya merupakan akal budi yang merupakan pemikiran dari cipta, karsa, dan rasa sekelompok masyarakat tertentu. ” Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara dalam Supartono W, 2004:31, “kebudayaan berarti buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupan guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. ” Adapun ahli antropologi memberikan definisi tentang kebudayaan secara sitematis dan ilmiah adalah E.B.Tylor dalam buku yang berjudul “Primitive culture”, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat Djoko Widagdho 2008:19. Hal ini dijabarkan menurut Ernest L.Schusky dan T.Patrick Culbert 1967:35, “Culture is that complex whole which includes knowledge,belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society” 36 Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya merupakan suatu pemikiran, akal budi yang menghasilkan adat istiadat dan kebiasaan baru pada sekelompok masyarakat tertentu guna mewujudkan keselarasan hidup dengan keselamatan dan kebahagiaan sehingga menciptakan kehidupan yang tertib dan damai. Pengertian budaya tersebut bersifat esensialis, karena pemahaman yang diberikan bersifat tetap dan merupakan pemahaman yang diperoleh dari pemahaman sejarah yang tertuang dalam nilai dan norma yang bersifat tetap.

2. Budaya Masyarakat Yogyakarta

Mahasiswa pendatang bimbingan dan konseling melakukan akulturasi psikologis dengan budaya yogyakarta. Penting bagi mahasiswa pendatang untuk memahami karakteristik orang Yogyakarta, sperti yang diungkapkan oleh Franz Magnis dan Suseno SJ 1985:11 menyatakan bahwa yang disebut orang Jawa yaitu orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa.Sedangkan menurut Ryan L.Rachim dan H.Fuad Nashori 2007:31 menyebutkan orang Jawa yaitu penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa orang Jawa yaitu orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa dan merupakan penduduk bagian dan timur pulau Jawa. Budaya Yogyakarta memiliki karakteristik yang khas dari setiap unsur- unsur budayanya, pemahaman mengenai karakteristik tersebut dapat membantu mahasiswa pendatang dalam menyesuaikan diri dengan budaya Yogyakarta. 37 Berikut ini karakteristik budaya Yogyakarta yang esensialis, dan perlu dipahami oleh mahasiswa pendatang yang berasal dari daerah lain :

a. Bahasa

Di dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Yogyakarta menggunakan bahasa Jawa dengan memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau sedang dibicarakan. Menurut Koentjaraningrat 2010: 330 bahasa Jawa ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya atau lebih rendah derajat atau status sosialnya. Sebaliknya, bahasa Jawa krama dipergunakan untuk bicara dengan orang yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebayadalam umur maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya. Sedangkan menurut Gatut Murniatmo 1976-1977:32 menyebutkan bahasa Jawa yang lebih tinggi dari pada bahasa Jawa Ngoko dan Kromo ialah Kromo Inggil. Bahasa ini digunakan dalam pembicaraan antara seseorang dengan orang yang dianggap terhormat atau lebih dihormati, misalnya: rakyat dengan Raja. Ia juga menambahkan bahwa bahasa yang digunakan di dalam pergaulan hidup sehari- hari di Daerah Istimewa Yogyakarta, mengenal adanya bahasa khusus yang hanya digunakan di dalam lingkungan Kraton Yogyakarta, yaitu disebut dengan Bahasa Kraton atau bahasa Bagongan. Bahasa bagongan dipergunakan oleh para bangsawan kraton, apabila sedang berbicara dengan para abdi dalem punggowo,pelayan, atau kepada siapa saja meskipun pangkatnya lebih rendah. Oleh sebab itu bahasa bangongan ini tidak menunjukan adanya perbedaan status, tidak seperti bahasa Jawa yang di gunakan pada pergaulan sehari-hari. Contohnya, 38 kata honggoh merupakan bahasa bagongan yang dalam bahasa kromo yakni hinggih dan diartikan ya. Bahasa yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari disebut bahasa Jawa, yang terbagi atas beberapa tingkatan. Penggunaan tingkatan bahasa disesuaikan dengan lapisan masyarakat yang ada di daerah Yogyakarta. Menurut Rivai Abu 1978:27, menyatakan secara garis besar, tingkatan bahasa Jawa dibagi atas dua, yaitu : 1. Basa ngoko yang digunakan oleh orang-orang yang mempunyai tingkat sosial yang sama di dalam masyarakat. 2. Basa krama, yang digunakan untuk menunjukkan sikap hormat dari orang yang berbeda status atau orang muda terhadap orang tua yang harus dihormati. Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan di Yogyakarta yakni bahasa Jawa, dengan terbagi menjadi beberapa tingkatan yakni bahasa ngoko, dan bahasa karma, tingkatan tersebut dipergunakan dengan memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau sedang dibicarakan.

b. Makanan

Perbedaan selera pada makanan atau masakan sering dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Makanan merupakan suatu kekayaan budaya suku bangsa. Kecenderungan masyarakat yogyakarta yang mempunyai selera dalam kriteria masakan yang manis menjadi ciri khas tersendiri dalam jenis kuliner di yogyakarta. Ciri khas rasa yang manis dapat tercermin dari jenis masakan Yogyakarta. Menurut Teri Siswana, 2016 menyebutkan bahwa Yogyakarta dikenal sebagai