Bahasa Budaya Masyarakat Yogyakarta

41 mengenai istilah keluarga Jawa sangat penting karena sangat berhubungan dengan bagaimana tata krama maupun aturan yang harus dilakukan dalam berinteraksi sosial. Sedangkan menurut Mulyadi, dkk 1990: 31 beberapa istilah kekerabatan vertical yang banyak digunakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari misalnya untuk orang tua laki-laki menggunakan istilah bapak bagi penduduk muda, dan sebagian menggunakan istilah ramak bagi penduduk tua. Begitu juga untuk menyebut orang tua perempuan menggunakan istilah mbok ibu bagi penduduk muda, sedangkan sebagian menggunakan istilah biyung bagi penduduk tua.Untuk menyebut anak-anak digunakan le untuk laki-laki, nok untuk perempuan, istilah kekerabatan untuk kakek laki-laki adalah mak-tuwa atau mbah kakung dan untuk nenek perempuan adalah mbok tuwa, atau mbah putri, sedangkan untuk cucu digunakan putu atau wayah. Disamping itu masih ada istilah-istilah kekerabatan horizontal dari setiap angkatan atau generasi tertentu. Istilah untuk saudara sekandung yang lebih tua dari ego yaitu kang kakang mas kangmas untuk laki-laki, dan yu mbakyu untuk perempuan, sedangkan terhadap saudara kandung yang lebih muda umumnya hanya disebut namanya saja. Istilah untuk saudara kandung orang tua :uwa jaler pak dhe untuk laki-laki lebih tua, sedangkan uwa estri mbok dhe untuk perempuan lebih tua, pak cilik sebutan untuk laki-laki lebih muda, dan mbok cilik sebutan untuk perempuan yang lebih muda. Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa system kekerabatan di Yogyakarta , yang masih merupaka orang Jawa yakni system 42 kekerabatan bilateral, yang memperhitungkan garis keturunan baik dari orang laki-laki maupun dari orang perempuan, serta mempunyai berbagai macam istilah kekerabatan yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.

e. Stratifikasi Sosial

Bicara mengenai sosial dan budaya di daerah Yogyakarta, sebagai daerah yang masih menerapkan unsur-unsur budaya, dikenal pula adanya pelapisan penduduk yang berdasarkan atas keanggotaan kaum kerabat kepala masyarakat. Menurut Rivai Abu 1978:24 mengatakan berdasarkan keanggotaan kerabat, penduduk yang ada di dalam masyarakat Yogyakarta dapat dibagi atas: 1.Golongan kaum bangsawanpiyayi dan 2.Golongan rakyat biasa, yaitu diantara mereka yang ada diluar keanggotaan kerabat rajabangsawan. Diantara mereka termasuk golongan piyayi seperti disebut diatas: 1.Mereka yang benar-benar keturunan rajabangsawan; 2.Mereka yang menjalankan salah satu tugas yang diberikan oleh raja kepadanya, dan 3.Mereka yang menjadi pegawai pemerintah kolonial, seperti pamong praja, kepala dalam salah satu kantor, guru, dan sebagainya.Pelapisan sosial diatas, nampak jelas bagi penduduk masyarakat Yogyakarta yang bertempat tinggal di wilayah perkotaan, terutama mereka yang tinggal di sekitar kraton. Biasanya hubungan antara golongan yang ada ditentukan menurut adat yang berlaku. Pendapat yang sama dijelaskan oleh Mulyadi, dkk 1990: 32 yakni lapisan bangsawan dan keturunannya dianggap menduduki status tertinggi, sehingga oleh anggota lapisan lain selalu dihormati diajeni, dan merupakan orientasi dalam kehidupan masyarakat. Pemegang kekuasaan seperti lurah, dukuh, dan