BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu makna semantik sebagai ilmu baru yang berkembang pada tahun 1970-an di dunia linguistik dan semantik di Indonesia baru berkembang
pada tahun 1980-an. Kemampuan mengolah dan memahami pemerian kebahasaan ada pada aspek makna dalam linguistik. Kemampuan suatu bahasa
menjadi bahasa ilmu dapat dipertimbangkan melalui kecendekiaan bahasa antara lain yang dikemukakan oleh pemuka aliran praha Prague school,
kecendekiaan bahasa ditandai oleh 1 kemampuannya dalam membentuk dan menyampaikan pernyataan yang tepat, saksama dan kaya, 2 bentuk
kalimatnya mencerminkan penelitian penalaran yang objektif sehingga relasi strukturnya sama dengan proposisi logika, dan 3 mampu menunjukkan
antarkalimat yang selaras, logis, dan memiliki keutuhan. Dari ketiga syarat tersebut dapat mempertimbangkan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa
Indonesia nusantara dalam memenuhu syarat sebagai ilmu. Semantik berhubungan erat dengan syarat ketiganya, bila dipahami melalui proposisi
logis tepat, selaras dan memiliki keutuhan terutama dibidang acuan baik yang objektif kongkret maupun abstrak.
Dalam kajian semantik terdapat pembahasan mengenai homonimi, homonimi dapat diartikan sebagai nama sama untuk benda atau hal lain,
secara semantik, Verhaar 1978 member definisi homonimi sebagai ungkapan
1
berupa kata, frase atau kalimat yang bentuknya sama dengan ungkapan lain juga brupa kata, frase atau kalimat tetapi maknanya tidak sama.
1
Homonimi adalah relasi makna antar kata yang ditulis sama, tetapi maknanya berbeda. Di dalam kamus kata-kata yang termasuk homonim
muncul sebagai lema entri yang terpisah. Misalnya saja, kata tahu dalam kamus besar bahasa Indonesia muncul sebagai dua lema:
Ta.hu v mengerti sesudah melihat menyaksikan, mengalami Ta.hu n makanan dari kedelai putih yang digiling halus-halus, direbus
dan dicetak. Konsep kehomoniman sebagai pertalian makna antara dua atau lebih
leksem yang sama bentuk merupakan gejala semesta bahasa language universal. Konsekuensi logis munculnya gejala kehomoniman adalah
ketaksaan ujaran atau kalimat yang disampaikan oleh pembicara kepada pendengarlawan bicara. Akibat lebih jauh yang disebabkan oleh munculnya
gejala kehomoniman adalah, di samping ketaksaan ujaran atau kalimat, terjadinya distorsi pesan yang ingin disampaikan.
Pemahaman yang baik terhadap kehomoniman suatu bahasa, khususnya bahasa Arab, dapat menghindari ketaksaan dan distorsi pesan yang
terkandung dalam ujaran atau kalimat. Kajian kehomoniman dalam bahasa Arab masuk pada pokok bahasan Al-mustarak Al-lafzi relasi makna, di
samping kajian kepoliseman.
1
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia Jakarta: Rineka Cipta, 1994 h. 93
Dengan memakai pendekatan teori Lyons 1996 penelitian ini memperoleh formulasi klasifikasi homonimi bahasa Arab yang terdiri atas: i
homonimi mutlak absolute homonymy, dan ii homonimi sebagian partial homonymy. Dalam menganalisis data, penelitian ini memanfaatkan juga
pendekatan analisis komponen atau medan semantik. Homonimi mutlak ditemukan pada semua kelas kata, baik nomina al-
ism, verba fiil, maupun partikel alharf. Homonimi sebagian diperoleh berdasarkan perbedaan lingkungan
gramatikal dari leksem-leksem yang homonimis dan subklasifikasi homonimi sebagian ini terdiri atas I perbedaan infleksi aspektual perfektif -
imperfektif, ii perbedaan derivasi, iii perbedaan kategori gender maskulin - feminin, dan iv perbedaan kategori jumlah tunggal - jamak.
2
Objek utama dari homonimi adalah teks. Ketika berhadapan dengan teks, maka kita akan menemukan dua unsur pembangun, yaitu penulis dan
pembaca. Ketika kita menerjemahkan suatu teks, maka pada tataran ini kita juga melakukan kegiatan menfsirkan makna.
Homonim merupakan salah satu objek kajian dalam Al-Qur’an.
3
Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak hanya berisi mengenai kumpulan ayat-ayat yang tertulis dengan bahasa Arab, tetapi juga telah menjadi pedoman hidup
umat Islam. Agar menjadi pegangan hidup, umat perlu menafsirkan Al-Qur’an
2
http:google.com selasa 15 juni 2010
3
Beberapa tahun terakhir Al-Qur’an telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa atas bantuan rabithah al alam al Islami dan dar al ifta wa al irsyad yang bermarkas di Saudi Arabia.
Mujamma’ khadim al haramain al syarifain al malik fahd untuk pencetakkan mushaf, telah mencetak terjemahan Al-Qur’an dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Perancis, Turki, Urdu,
China, Hausa, dan Indonesia. Departemen agama, Al-Qur’an dan terjemahannya semarang: PT. Karya Toha Putra, 1990 h. 30
agar senantiasa dapat mengaplikasikan dirinya di dalam kehidupan. Hal ini tanpa terkecuali dalam ayat teologis yang berkaitan dengan kata kufr.
Permasalahan mengenai kufr memang selalu menjadi salah satu titik poin yang sangat sensitif di kalangan umat muslim, khususnya masalah akidah.
Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan lantaran salah menempatkan makna kufr. Kata kufr atau yang identik dengan ‘kafir’
seringkali diartikan sebagai keluar dari Islam murtad. Memang benar kufr merupakan lawan dari iman. Hanya saja apakah setiap kata kufr selalu
bermakna keluar dari Islam murtad itulah yang menjadi persoalan. Secara harfiah kufr berarti tertutup, terhalang, dan terhapus. Namun, kata ini menjadi
istilah khusus dalam perbincangan masalah akidah, yang menjadi lawan dari iman.
Sebagai contoh dalam Q.S. Al-Maidah ayat 44:
⌦ ☺
☺
⌧
☺ ⌧
☺
44. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang menerangi, yang dengan kitab itu
diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka,
disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia,
tetapi takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Q.S. Al-Maidah ayat 44
Contoh lain dalam surat Ibrahim ayat 7
⌧ ⌧ ⌧
⌧
7. Dan ingatlah juga, tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat
kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. Q.S. Al-maidah ayat 7
Dari dua contoh ayat di atas terdapat perbedaan makna, mengenai surat Al-Maidah ayat 44 kata ‘kafir’ apakah ditujukan kepada kaum muslimin atau
kepada orang-orang ‘kafir’. Dalam tafsir Adhwa’ul Bayan diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, ayat tersebut ditujukan kepada kaum muslimin, maksud
kekufuran didalamnya adalah kekufuran yang bukan berarti kekafiran, dan
bukan yang berarti keluar dari agama, diriwayatkan pula dari ibnu abbas, mengenai ayat ini, dia berkata: bukan kekufuran seperti yang kalian
katakanakira. Abi Hatim dan Al Hakim meriwayatkan dirinya. Al Hakim mengatakan, shahih sesuai dengan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, tapi
keduanya tidak menukilnya. Demikian kutipan dari Ibnu Katsir. Sama halnya dengan tafsir Al-Misbah karangan Quraish Shihab, dalam
ayat tersebut dapat dipahami dalam arti kecaman yang amat keras tarhadap mereka yang menetapkan hukum bertentangan dengan hukum-hukum Allah,
tetapi ini oleh mayoritas ulama, seperti tulis Muhammad Sayyid Tanthawi – Mufti Mesir dan pemimpin tertinggi al-Azhar Mesir, dalam tafsirnya adalah
bagi yang melecehkan hukum allah dan yang mengingkarinya. Demikian juga pendapat sahabat nabi Ibn Abbas. Memang satu kekufuran dapat berbeda
dengan kekufuran yang lain. Kufurnya seorang muslim, kezaliman, dan kefasikannya tidak sama dengan kekufuran, kezaliman dan kefasikan non
muslim. Kekufuran seorang muslim bisa diartikan pengingkaran nikmat. Demikian pendapat Atha’ salah seorang ulama yang hidup pada masa sahabat
Nabi Muhammad saw. Syekh Hasanain Makhluf, yang juga pernah menjabat mufti mesir,
menulis tentang penggalan ayat ayat ini dan menyatakan bahwa, pakar-pakar tafsir berbeda pendapat tentang ayat ini dan kedua ayat serupa sesudah ayat
ini. Ayat pertama ayat 44 ditujukan kepada orang-orang muslim, yang kedua ayat 45 ditujukan kepada orang-orang Yahudi, dan ayat ketiga ayat 47
kepada prang-orang Nasrani. Selanjutnya ia menulis: sifat ‘kafir’ bila
disandangkan kepada orang yang beriman, maka ia dipahami dalam arti kecaman yang amat keras, bukan dalam arti kekufuran yang menjadikan
seseorang keluar dari agama. Di sisi lain jika non muslim dinilai fasiq atau zalim, maka maksudnya adalah pelampauan batas dalam kekufuran.
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang Yahudi, karena Allah SWT telah menyebutkan
sebelumnya kepada mereka “merubah perkataan-perkataan dari tempat- tempatnya”, dan mereka mengatakan “jika kamu diberikan yang ini”, yakni
hukum yang telah dirubah yang selain hukum Allah, “maka terimalah dan jika kamu tidak diberikan yang ini”, yakni yang telah dirubah, tapi kamu
diberikan hukum Allah yang sebenarnya “maka hati-hatilah”. Mereka memerintahkan agar berhati-hati terhadap hukum Allah yang mereka tahu itu
adalah kebenaran. Maka ini menunjukkan bahwa perkataan tersebut ditujukan kepada
mereka. Diantara mereka yang mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada ahli kitab, sebagaimana yang ditunjukkan ayat tersebut adalah Al
Barra’bin’Azib, Hudzaifah bin Al Yaman, Ibnu Abbas, Abu Mijlaz, Abu Raja’Al Utharidi, Ikrimah Ubaidillah bin Abdullah, Al Hasan Al Basri dan
yang lainnya. Menarik sekali untuk dilihat bahwa masing-masing penerjemah
mempunyai pemahaman tersendiri terhadap teks. Perbedaan itu bisa saja dapat terjadi, karena lingkungan, latar belakang, pendidikan, dan sebagainya.
Kesemuanya itu turut memberikan corak tersendiri dalam pemahaman akan suatu entitas.
Di dalam Al-Qur’an kata kufr dengan berbagai bentuk perubahannya, diungkapkan sebanyak 525 kali. Dari sekian banyak bentuk kata kufr, penulis
hanya mengelompokkan menjadi enam bentuk. Masing-masing bentuk kata memiliki makna yang berbeda. Berikut adalah beberapa kelompok bentuk kufr
dalam Al-Qur’an:
ﺮﻔآ -
ﺮﻔﻜ -
ﺮ ﻔﻜﺗ
kaffara – yukaffiru – takfir
ةر ﺎﻔآ kaffaarah رﻮ ﺎآ kaafuur
ﺮﻔآ -
ﺮﻔﻜ -
ﺮﻔآ
kafara – yakfuru – kufr
ةﺮﻔﻜﻟا -
رﺎﻔآ -
نوﺮ ﺎآ
al kafarah – kuffar – kaafiruun
رﺎﻔآ -
رﻮﻔآ
kaffaar – kafuur
Atas dasar tersebut, penulis menulis skripsi yang berjudul ANALISIS HOMONIMI TERHADAP KATA KUFUR DALAM AL-QUR’AN
STUDI KOMPARATIF TERJEMAHAN H.B. JASSIN DAN MAHMUD YUNUS
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah