Kontroversi Penyusunan Terjemah Al-Qur’an H.B. Jassin
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ia sempat mempelajari bahasa Arab. Di sana Jassin juga mempelajari terjemahan-terjemahan Al-Qur’an,
naskah-naskah lama dari ar-raniri dan hamzah fansuri, yang beripa tulisan arab melayu beserta kutipan-kutipan bahasa arabnya dan mempelajari cara
menerjemahkan lewat kamus. Persoalan yang dihadapi jassin, harus diakui bahwa umat islam
sepenuhnya belum mempercayai kredibilitas dan komitmen keislamannya. Umat masih sangsi, bagaimana orang tidak bisa bahasa arab, tidak kenal
dengan dunia pesantren, dan mengaku pernah merasa sebal mendengar khotbah-khotbah istilah jassin waktu ia “teriak-teriak” di masjid bisa
menerjemahkan Al-Qur’an, sedangkan tradisi islam hadits mengajarkan “jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, kehancuranlah
akibatnya”. H. Oemar Bakry yang dikenal sebagai sahabat dekat H.B. Jassin
dengan gencar menyampaikan kritiknya dengan mengemukakan apa yang disebutnya sebagai “syarat-syarat mutlak” dalam menerjemahkan Al-
Qur’an, seperti penerjemhan harus menguasai bahasa arab sedalam- dalamnya nahwu. Sharaf, ma’ani, balaghah dan sebagainya. Ia harus
berpengatahuan luas dalam soal-soal keislaman, bahkan disebutnya pula seolah-olah seseorang yang ingin menerjemahkan Al-Qur’an harus
berprestasi dalam buku-buku keagamaan. Artinya seseorang harus memilki latar belakang kedudukan sebagai ulama bila ia mau memasuki
dunia penerjemahan Al-Qur’an. Islam tidak pernah melimpahkan hak
monopoli kepada golongan ulama sebagai satu-satunya kata dalam mengupas isi kitab suci Al-Qur’an atau sumber-sumber ilmu keislaman
lainmnya. Tradisi pelimpahan hak-hak istimewa privilege kepada golongan ulama itu bila ditelusuri tidak akan tersua jejaknya pada sumber-
sumber tradisi Islam. Maka dari itu tidak mesti harus seorang ulama untuk sekedar menerjemahkan Al-Qur’an.
Lemparan kritikan yang lebih berat lagi disampaikan oleh dewan da’wah islamiyah indonesia DDII dan ikatan masjin Indonesia IKMI
mengusulkan penyetopan terjemah Al-Qur’an ini, dengan alas an seorang penerjemah harus menguasai bahasa arab Tabahhur yang menjadi bahasa
Al-Qur’an dan haruslah mendalami ilmu-ilmu agama Ta’ammuq supaya dalam penerjemahan itu terhindar dari hal-hal yang bertentangan dengan
salah satu hukum islam.