Aspek Internal BAMBANG TJATUR ISWANTO

peraturan tentang franchise secara khusus, mencakup aspek internal danaspek eksternal.

1. Aspek Internal

Aspek Internal ini dimaksud terutama menyangkut eksistensi perjanjian franchise yang eksistensi perjanjian franchise yang ada baik dalam hal pendaftaran registration, kewajiban untuk terbuka disclose bisnis franchisor kepada franchisee, jangka waktu, royalti maupun persoalan pemutusan hubungan termination. Sebagaimana praktek franchise yang ada selama ini Sebelum dikeluarkannya PP No.16 tahun 1997, dilakukan secara di bawah tangan dann tidak adanya pengawasan atas perjanjian franchise sebagai suatu bentuk perjanjian lisensi, pengawasan atas materi kontrak akan dapat dilakukan ketika draft perjanjian franchise diregristrasikan , mengingat franchise sebagai suatu lisensi yang ada selama ini merupakan bentuk PMDN. Namun dalam pasal 3 ayat 1 dan pasal 7 ayat 1 PP No.16 tahun 1997 telah mewajibkan keterbukaan bagi franchisor dan kewajiban pendaftaran bagi franchisee dalam hubungan franchising di antara mereka. - 83 - Ketentuan untuk mendaftarkan registration tersebut dimaksudkan sebagai pengawasan atas materi perjanjian franchise agar memuat ketentuan- ketentuan yang secara keseluruhan tidak melanggar batas-batas kebebasan berkontrak serta mengontrol atas materi perjanjian yang tidak memberikan keseimbangan hak dan kewajiban. Hal yang cukup penting pula adalah adanya kesempatan bagi franchisee untuk melakukan bargaining terhadap materi perjanjian yang akan dibuat, akan tetapi dalam konteks pra perjanjian setidak- tidaknya harus ada ketentuan yang secara tegas mengatur keharusan bagi franchisor untuk terbuka memberikan informasi bisa dikatakan sebagai prospektus kepada franchisee. 62 Selanjutnya ada 3 hal pokok yang harus menjadi perhatian dalam perjanjian franchise perlunya campur tangan negarapemerintah di dalamnya, yaitu jangka waktu perjnjian franchise, royalti dan pemutusan hubungan bisnis termination.

1.1. Jangka waktu

Berkaitan dengan jangka waktu yang umumnya diterapkan dalam perjanjian franchise tidak begitu lama, hanya berkisar antara 2 sampai dengan 5 tahun. Meskipun dimungkinkan untuk perpanjangan, namun dengan jangka waktu yang relatif pendek tersebut seandainya terjadi pengakhiran perjanjian maka franchisee akan rugi karena investasi ----------------------------------- 62. Negara-negara bagian di Amerika Serikat menhendaki franchisor secara langsung membuka informasi tentang bisnisnya anatara lain menyangkut latar belakang karyawan franchisor, pimpinan dan prinsipal lainnya, kewajiban pembayaran fee-fee oleh franchisee, pengawasan dan bantuan yang diberikan kepada franchisee serta program - 84 - franchise, franchise fee, royalty serta fee-fee lainnya sangat besar dikeluarkan belum mendapatkan kompensasi keuntungan dari bisnis yang dijalankan. Pemberian jangka waktu yang relative cukup panjang seperti investasi asing PMA maksimal 10 tahun memberi kesempatan bagi franchisee untuk mengatur strategi bisnis dan memperoleh transfer teknologi atau know how dari franchisor, meskipun demikian tidak adanya pengalihan saham. Penentuan jangka waktu yang diciptakan franchiseor secara singkat tersebut memang perlu ditinjau agar jangan merugikan franchisee dan dapat tercipta transfer teknologi. Terhadap franchisor asing dengan jangka waktu yang singkat akan sulit dilakukan pengawasan terhadap franchisee local karena jarak yang jauh. Jadi campur tangan Negara dalam hal pengaturan jangka waktu dalam perjanjian franchise tidak terlepas bahwa franchise asing yang masuk ke Indonesia bisa benar-benar memberikan kesempatan bagi perkembangan ekonomi perusahaan local franchisee terhadap kompetisi bisnis yang ada dan memberi kesempatan agar transfer teknologiKnow How benar-benar dapat disalurkan. ----------------------------------- …….Continued…….. pelatihan, prospek penjualan tahun berikutnya, serta pengakhiran hubungan. Robert W Emerson, Op. Cit, h. 1510. - 85 - 1.2. Royalti Sebagaimana analisis terhadap royalty dalam perjanjian franchise yang didasarkan pada gross sales pada prinsipnya menguntungkan pihak franchisor karena nilainya lebih pasti. Pertimbangan penggunaan gross sales tersebut pada prinsipnya tidak mempertimbangkan apakah bisnis franchise yang dijalankan oleh franchisee efisien apakah tidak. Franchisor hanya menerima prosentase royalty atas dasar gross sales yang ada. Kondisi yang ada tersebut akan menjadi beban bagi franchisee manakala fee yang diterima franchisor jauh melebihi deviden seandainya dia memegang saham, maka unsure apakah memegang saham atau tidak, tidak relevan lagi. 63 Perlu diketahui bahwa pembebanan fee-fee selain royalty yang harus dibayarkan kepada franchisor, apakah franchisee memperoleh kompensasi selain penggunaan nama dan sistem bisnis, yaitu pemberian technical technical assistance yang kontinu dan terprogram. Selanjutnya kaitannya dengan pajak memang perlu suatu ketentuan yang mengatur bahwa royalty yang dibayarkan kepada franchisor menjadi bebannya sehingga menghindari capital flight tanpa pengenaan pajak. Apalagi pembebanan PPn atas royalty yang dibayarkan kepada franchisor dalam penjelasan pada perjanjian franchise menjadi beban franchisee. Pengawasan atau control Negara Pemerintah atas pengenaan royalty ---------------------------------------

63. Munir Fuady, Op Cit, h. 74.