Munir Fuady, Op Cit, h. 74.

dijalankan oleh franchisee efisien apakah tidak. Franchisor hanya menerima prosentase royalty atas dasar gross sales yang ada. Kondisi yang ada tersebut akan menjadi beban bagi franchisee manakala fee yang diterima franchisor jauh melebihi deviden seandainya dia memegang saham, maka unsure apakah memegang saham atau tidak, tidak relevan lagi. 63 Perlu diketahui bahwa pembebanan fee-fee selain royalty yang harus dibayarkan kepada franchisor, apakah franchisee memperoleh kompensasi selain penggunaan nama dan sistem bisnis, yaitu pemberian technical technical assistance yang kontinu dan terprogram. Selanjutnya kaitannya dengan pajak memang perlu suatu ketentuan yang mengatur bahwa royalty yang dibayarkan kepada franchisor menjadi bebannya sehingga menghindari capital flight tanpa pengenaan pajak. Apalagi pembebanan PPn atas royalty yang dibayarkan kepada franchisor dalam penjelasan pada perjanjian franchise menjadi beban franchisee. Pengawasan atau control Negara Pemerintah atas pengenaan royalty ---------------------------------------

63. Munir Fuady, Op Cit, h. 74.

- 86 - dengan kompensasi technical assistance serta pembebanan seluruh pajak kepada franchisee Franchisor hanya menerima income bersih dari franchisee tanpa terkena pajak harus mendapat perhatian penting. Kondisi semacam ini merupakan tindakan yang merugikan kepentingan franchisee karena semakin mesekipun prosentase fee adalah tetap. Pengawasan yang dapat dilakukan oleh Negara sebenarnya dapat dilakukan melalui antisipasi atas materi pesatnya bisnis franchise yang dijalankan oleh franchisee maka dengan sendirinya keuntungan yang diperoleh principalfranchisor akan besar pula perjanjian franchise yang ada tersebut ketika masuk ke Indonesia. Tentu saja hal tersebut melalui proses pendaftaran pada Departemen Perdagangan dan Perindustrian yang berkompeten dalam masalah bisnis.

1.3. Pemutusan Hubungan Bisnis

Selama ini dalam perjanjian franchise lebih memberikan kewenangan hak untuk pemutusan hubungan oleh franchisor dengan alasan-alasan tertentu. Kewenangan tersebut yang tertuang dalam materi perjanjian franchise dapat dikatakan sebagai suatu dominasi franchisor dalam hubungan franchising. Kewenangan semacam ini harus dibatasi karena dari berbagai kasus sebagaimana disinggung sebelumnya memperhatikan bahwa dengan alasan- alasan bisnis yang lebih menguntungkan maka franchisor akan berdalih untuk melakukan pemutusan hubungan. Pembatasan kewenangan - 87 - bagi franchisor terutama dalam termination clause pada perjanjian franchise. Bagi franchisee pun hendaknya diberikan kewenangan dalam termination caluse dengan kompensasi tertentu, misalnya pengembalian initial investment franchisee maupun asset yang dimilikiatas modal franchise. Demikian pula halnya dengan persoalan klausula governing law pada perjanjian franchise, yang menyangkut choice of law dan choice of forum. Sebagaimana diketahui bahwa pengawasan terhadap materi perjanjian franchise terutama yang menyangkut governing law clause untuk menciptakan perlindungan hukum bagi franchisee dalam hal terjadi sengketa dispute. Penggunaan hukum asing dalam penyelesaian sengketa jika menggunakan arbritase internasional pada prinsipnya tidak menjadi persoalan sepanjang disepakati para pihak. Namun demikian hal yang menyangkut pilihan hukum maka persoalan yang muncul adalah seandainya franchising yang terjadi merupakan PMDN, apakah relevan diterapkan pilihan hukum asing. Hal tersebut mengingat bahwa keberadaan bisnis yang dijalankan ada di wilayah hukumjurisdiksi franchisee. Pengaturan secara tegas oleh Pemerintah tentang keseimbangan kedudukan para pihak dalam materi perjanjian franchise harus menjadi perhatian. Hal ini dalam konteks agar tidak terciptanya monopoli - 88 - bisnis oleh pihak tertentu yang pada akhirnya akan menciptakan market monopoli.

2. Aspek Eksternal