Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua PDI Perjuangan
politik diawali dari tingkat DPC, kemudian menjadi pimpinan partai dan menjadi Presiden RI ke-5.
Tahun 1982, keluarga besar Bung Karno pernah membuat konsensus. Intinya diantara seluruh anggota keluarga Bung Karno tidak dibenarkan memihak
salah satu kekuatan politik yang ada. Mereka sepakat akan berdiri diatas semua golongan. Kesepakatan ini dilatarbelakangi oleh trauma politik yang dialami pada
akhir hayat Bung Karno dan dasawarsa awal rezim Orde Baru. Namun, kesepakatan keluarga itu akhirnya “dilanggar” oleh Megawati dan
Guruh Soekarnoputro. Pada tahun 1987, Mega dan Guruh berhasil dirayu Soerjadi, Ketua Umum DPP PDI untuk masuk PDI dan menjadi vote getter pada
pemilu 1987. Kesediaan Megawati untuk masuk kedunia politik PDI karena semua partai politik, termasuk PDI sudah memiliki asas yang sama yaitu
Pancasila.
46
Karier politik Megawati diawali dengan menjadi Ketua DPC PDI Jakarta Pusat. Pada pemilu 1987, Megawati dimunculkan sebagai calon untuk daerah
pemilihan Jawa Tengah. Megawati telah berhasil menarik massa dan mengatrol kursi PDI menjadi 40 kursi pada pemilu 1987 dibandingkan 24 kursi pada pemilu
1982. Keberhasilan Megawati itu tidak hanya berhenti disini saja, pada tahun 1988 Megawati dilantik menjadi anggota DPR bersama suaminya Taufik Kiemas.
Megawati mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah, sedangkan suaminya mewakili daerah pemilihan Sumatra Selatan.
47
46
Ibid, hal. 12
47
Agus Basri dan Nunik Iswardani, op.cit., hal. 18.
Sebagai anggota DPR yang masih relatif baru tidak banyak yang dilakukan oleh Megawati. Hal ini dikarenakan pengalaman politiknya yang relatif masih
sedikit dan belum berpengalaman menjadi pengurus organisasi. Meskipun demikian, ia merasa tidak gamang bila PDI menghendakinya menjadi ketua
umum. Megawati yakin bahwa naluri politiknya sudah ada, ia banyak belajar dari bapaknya, Bung Karno terutama wawasan politik dan kebangsaan.
Walaupun Megawati banyak disebut sebagai orang yang masih “bau kencur” dalam berpolitik, namun karier politiknya terus menanjak. Hal ini
barangkali sebagai akibat adanya harapan dan kebutuhan warga PDI terhadap figur pembaharu, pemersatu dan tokoh yang bersih dari interes kelompok
kepentingan tertentu. Banyak bukti yang menunjukkan adanya keinginan demikian, seperti terlihat melalui respon masyarakat yang selalu menyambut
hangat setiap kehadirannya, mengelu-elukan dan berbagai bentuk simpati terhadap putri Bung Karno.
Dalam perjalanan karier politik Megawati selanjutnya, secara kebetulan namanya mencuat saat terjadi kongres di Medan yang mengalami kemacetan,
dilanjutkan dengan Kongres Luar Biasa KLB di Surabaya. Seperti diketahui, KLB di Surabaya sebagai kelanjutan Kongres di Medan yang mengalami “dead
lock” , juga mengalami hal yang sama sebagaimana terjadi di Medan. Artinya
KLB di Surabaya tidak menelorkan hasil sebagai mana yang diharapkan. KLB ditutup tanpa membawa sebuah keputusan.
Akan tetapi, ada sisi lain dimana sebagian besar peserta KLB menyetujui Megawati menjadi Ketua Umum PDI. Bahkan tatkala dihitung, disaat
diselenggarakan pemandangan umum, 256 cabang dari 305 cabang mendukung Megawati. Sementara itu diakhir penyelenggaraan KLB itu Megawati
mengumumkan dirinya bahwa secara “de facto” ia telah menjadi Ketua Umum PDI.
Meskipun demikian Megawati baru dianggap resmi menjadi Ketua Umum PDI setelah diselenggarakan Musyawarah Nasional Munas di Jakarta. Itupun
setelah melalui proses yang panjang dan penuh liku- liku. Setelah itu, Megawati benar-benar diakui sebagai pucuk pimpinan PDI periode tahun 1993-1998.
48
Secara terbuka Yusuf Meruks dan para pendukungnya menentang kepemimpinan Megawati. Banyak tuduhan-tuduhan ditujukan kepada Megawati.
Hal ini telah menunjukkan betapa kuatnya arus untuk menyingkirkan Megawati baik berasal dari kalangan internal maupun eksternal partai. Meskipun ujian ini
berhasil dilalui, persoalan tidak berhenti sampai disini saja. Aneka persoalan baru pun bermunculan baik dari internal maupun eksternal partai. Bahkan Intervensi
pemerintah dalam setiap konflik internal PDI biasanya tidak bisa menguraikan kusutnya persoalan malah ikut memperkeruh suasana dan menyebabkan
konsolidasi partai semakin rapuh. Puncak penyingkiran Megawati terjadi ketika sejumlah koleganya di DPP
PDI yang dikoordinir Fatimah Achmad menyelenggarakan “Kongres” PDI di Medan pada tanggal 20-23 Juni 1996. Kongres yang didukung pemerintah dan
ABRI itu menetapkan duet Soerjadi dan Butu R Hutapea. Dengan diselenggarakannya kongres Medan tersebut, pemerintah membuat pernyataan
48
Ahmad Bahar, op.cit., hal. 37.
resmi bahwa kepemimpinan PDI yang diakui adalah yang memenuhi legalitas. Artinya pemerintah hanya mengakui kepemimpinan Soerjadi yang dianggap legal
dan tidak mengakui kepemimpinan Megawati.
49
Sejak saat itu terjadi dualisme kepemimpinan PDI, kepemimpinan Soerjadi yang menggantung keatas dan
kepemimpinan Megawati yang tetap didukung arus bawah. Terjadinya dualisme kepemimpinan ini semakin meningkatkan eskalasi konflik dalam kandang
banteng. Konflik tidak hanya terjadi ditataran elite partai tetapi juga merambah ke massa bawah antara kedua pendukung kubu tersebut.
Sebagai titik klimaks konflik PDI tersebut adalah terjadinya insiden Sabtu kelabu, tanggal 27 Juli 1996. Pada saat itu ratusan orang yang mengenakan atribut
pendukung Kongres Medan menyerbu kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat yang dikuasai oleh kubu Megawati. Hingga akhirnya Megawati tergusur
dari kepemimpinan legal PDI. Meskipun demikian, hal ini tidak meredupkan pamor politik wanita pendiam ini. Bahkan, insiden berdarah itu menjadi blessing
in disguise berkah bagi karier politik Megawati.
Wanita pendiam dan lemah ini menjelma menjadi wanita yang tegar dan kokoh melawan kekuasaan represif. Sebagai bukti perlawanan terhadap
pemerintah yaitu ketika pemerintah akan menggelar pemilu 1997, Megawati menyatakan tidak akan menggunakan hak politiknya alias golput dalam pemilu
1997. Pernyataan Megawati itu memiliki implikasi politik yang luas, khususnya
bagi PDI Soerjadi. Terjadi penggembosan besar-besaran terhadap PDI Soerjadi.
49
Sumarno, op.cit., hal. 23.
Bahkan banyak para pendukung PDI mengalihkan suaranya ke PPP yang berlambang bintang sehingga saat itu terbentuk aliansi Mega-Bintang.
Penderitaan politik Megawati semakin surut seiring surutnya kekuasaan Orde Baru dari pentas politik Indonesia. Setelah Soeharto dilengserkan oleh
gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa, mega kelabu yang menggelayuti langit politik Megawati semakin sirna. Pemerintahan yang dijalankan oleh
Presiden BJ.Habibie juga membuka kran politik selebar- lebarnya bagi senua komponen masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasi
ideologisnya. Inilah momentum bagi Megawati, keruntuhan Orde Baru dirasakan sebagai kemenangan besar bagi pendukung Megawati. Konsolidasi dan solidaritas
emosional dikalangan pendukungnya yang terbangun selama dibawah tekanan Orde Baru, sangat bermakna bagi Megawati untuk tampil sebagai pimpinan partai
yang didukung oleh basis massa yang riil. Hal ini tampak ketika diselenggarakan Kongres V PDI di Bali, pada tanggal 8-10 Oktober 1998. Kongres PDI Saat itu
menyerupai sebagai festival atau pesta kemenangan pendukung Megawati. Salah satu keputusan terpenting kongres adalah ditetapkannya Megawati Soekarnoputri
sebagai calon Presiden RI yang harus diperjuangkan dalam pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR 1999. Meskipun pada akhir nya Megawati Soekarnoputri
hanya mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid periode tahun 1999-2001.