Gambaran subjek dalam Teknik Pengumpulan Data

248 Subjek 1 : Ibu SN berusia 66 tahun. Data yang didapatkan selama penelitian yaitu subjek memiliki 2 anak, salah satu anaknya merantau keluar pulau yaitu ke Kalimantan untuk bekerja. Suami telah meninggal dunia kurang lebih 6 tahun yang karena sakit. Pekerjaan keseharian subjek yaitu petani. Subjek memiliki riwayat penyakit diabetes dan darah tinggi. Subjek pernah harus mengalami perawatan intensif karena merasa tubuhnya lumpuh dibagian sebelah kiri. Dikarenakan hal tersebut, subjek tidak dapat bekerja seperti kesehariannya hingga 3 hari. Subjek merasa dirinya berjuang seorang diri dalam kehidupannya tanpa dukungan dari siapapun sehingga pernah merasa putus asa. Subjek merasa kurang semangat karena diusianya yang sudah memasuki usia lansia, subjek harus bekerja untuk terus bertahan hidup dan harus mengalami sakit hingga tidak dapat beraktivitas. Subjek merasa kesepian kalau tidak memiliki teman untuk menjalani keseharian selain istri dari anaknya karena anaknya sibuk bekerja. Subjek menyatakan bahwa pasrah untuk menjalani kehidupannya yang saat ini hingga tutup usia. Sedangkan data yang didapatkan dari subjek selanjutnya yaitu Ibu MR berusia 74 tahun. Data yang didapatkan selama penelitian yaitu subjek tinggal berjauhan dengan tetangga lainnya. Subjek tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara lancar. Subjek hidup sendirian selama kurang lebih 30 tahun. Suami saubjek meninggal dunia karena bunuh diri dengan alasan stress terhadap tekanan kehidupan. Subjek pernah merasa terpuruk karena kehilangan sosok pendamping hidup hingga membuat dirinya sangat tertutup dengan orang disekitarnya. Subjek terbiasa hidup sendiri hingga memelihara seekor kucing dan menjadikannya teman hidup sejak suami meninggal dunia. Aktivitas keseharian subjek yaitu bekerja sebagai pencari rumput untuk kambing. Subjek pernah sakit parah namun tidak mau tetangga mengetahui keadaannya. Subjek hingga saat ini masih teringat dengan kisah hidup suaminya sehingga masih sering merasa sedih dan kesepian. Subjek menyatakan memiliki ketakutan pada kematian karena kejadian yang menimpa suaminya dahulu. Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat beberapa hal yang dibahas diantaranya yaitu : bagi orang tua yang mengalami gejala-gejala emptynest syndrome biasanya perilaku yang terlihat yaitu terlihat murung, tidak memiliki semangat untuk melanjutkan aktivitas, selalu merasa kesepian karena hidup sendiri dan terpisah dari orang yang disayangi, selalu merasa sedih karena merasa tidak memiliki siapa pun dalam hidupnya, pasrah dengan keadaan hidup saat ini serta memiliki beberapa pemikiran buruk yang membuat diri menjadi cemas. Menindak lanjuti data yang diperoleh, adapun tanda dan gejala sindrom sarang kosong menurut Dewi 2007 yaitu: Yogyakarta, 30 November 2016 249 a. Ibu meneteskan airmata atau menangis tersedu-sedu, bila teringat anaknya. b. Sering termenung menatap tempat tidur yang kosong. c. Menaruh pakaian anaknya di bawah bantalnya. e. Diam-diam menciumi pakaian putra atau putrinya. Selanjutnya adapun dampak dari adanya emptynest syndrome bagi orang tua baik wanita maupun laki-laki yaitu Kesedihan yang dialami usia lanjut dapat terus berlanjut, sering menangis sendirian karena merasa bahwa hidupnya tidak berguna lagi setelah anaknya tidak serumah. Muncul keinginan untuk menyendiri, menjauhi pergaulan, dan tidak ingin bekerja lagi. Ini berarti sindrom sarang kosong yang telah mengakibatkan depresi. Dalam keadaan ini perlu ditangani secara serius, dengan meminta nasihat orang tua atau seseorang yang dapat dipercaya untuk memberi nasihat. Biasanya keadaan makin parah, bila bersamaan waktunya dengan saat memasuki menopause.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi

emptynest syndrome Menurut Maramis 2006 hal-hal yang dapat menjadi faktor presipitasi atau pencetus terjadinya sindrom sarang kosong adalah: a. Kehilangan masa menjadi ibu Ketika anak mulai meninggalkan rumah, seorang ibu harus menghadapi penyesuaian kahidupan yang biasa disebut dengan periode sarang kosong. Sindrom sarang kosong ini sangat terasa bagi ibu rumah tangga karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan di rumah dan selalu berinteraksi dengan anak-anak. Penyesuaian awal yang harus dilakukan adalah penyesuaian terhadap keluarga yang dalam hal ini berarti pasangan hidup atau suami, dan secara otomatis menyebabkan harus dilakukannya perubahan peran Rahmah, 2006. b. Hubungan dengan pasangan Keberadaan pasangan sangat berpengaruh dalam mencapai keseimbangan diri seorang ibu setelah kepergian anak, karena orientasi peran dalam hidup kembali berpusatkan pada pasangan. Selain itu, keberadaan pasangan juga mampu mereduksi kesedihan dan rasa sepi pada diri seorang ibu. Untuk ibu yang sudah tidak didampingi pasangan, cenderung mengorientasikan diri pada kegiatan diluar rumah dengan melibatkan diri pada kesibukan dan keramaian di luar rumah, seorang ibu mendapatkan kompnsasi atas rasa kehilangannya terhadap anak-anak. Kemudian bersamaan dengan berjalannya waktu sebagai pemicu munculnya kebiasaan, seorang ibu akan keluar dari sindrom sarang kosong Rahmah, 2006. 250 c. Harga diri usia lanjut Sindrom sarang kosong muncul sebagai gejala yang banyak melanda kaum ibu, terutama di negara barat, yang hubungan kekerabatan keluarga hampir tidak ada. Di luar negeri yang dinamakan keluarga, hanya ayah, ibu, dan anak-anak. Sehingga, bila anak-anak pergi meningalkan rumah, terasa sekali adanya kekosongan. Apalagi bila suami telah meninggal dunia, atau terpaksa hidup sendiri karena perceraian. Hal ini berbeda dengan di Indonesia yang nilai kekerabatan keluarga masih menyertakan kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu, keponakan, dan saudara deket lainnya. d. Ikatan dengan anak yang terlalu erat. Ikatan antara ibu dengan anak atau orang tua dengan anak yang kuat dapat memperburk keadaan. Peran orang tua sewaktu anak masih tinggal bersama dapat dilakukan secara langsung dan peran orang tua berangsur-angsur mulai tidak dapat dilakukan setelah anak pergi, apalagi jika jarak tempat tinggalnya jauh atau luar kota. d. Faktor sosial dan kultural Sindrom sarang kosong lebih jarang dijumpai di zaman modern terutama pada keluarga extended family dan lanjut usia yang tinggal sediri, jika dibandingkan dengan nuclear family atau keluarga inti. Di banyak budaya seperti Afrika, India, Timur Tengah, dan Asia, usia lanjut dipandang sebagai orang yang terhormat dan dihargai, dan anak-anak mereka bertanggung jawab untuk merawat mereka tetapi saat ini nilai-nilai tersebut sering kali sudah berubah.

3. Upaya Penanggulangan

Emptynest Syndrome Upaya pencegahan dan penanggulangan emptynest syndrome menurut Witmer 2007 yaitu: a. Lakukan sesuatu yang bermanfaat Menjadi sukarelawan, mengambil suatu kelas les, menemukan suatu kegemaran baru akan dapat memanfaatkan waktu luang sehari-hari secara baik. Gunakan waktu ekstra secara konstruktif dan menghindari kegiatan rutinitas yang membosankan. b. Ambil suatu perjalanan, dan lakukan bulan madu bersama pasangan Nyalakan kembali romantis atau rasa cinta dengan pasangan kembali melalui perjalanan ke sebuah tempat, membicarakan tentang masa depan, dan membuat perencanaan. Pikirkan tentang kemungkinan bulan madu kedua yang akan memulai kembali masa- masaindah bersama pasangan. c. Memanfaatkan waktu luang Memenfaatkan waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat seperti mengecet rumah dan perabotan dengan warna yang segar. Cat segar, beberapa rak atau perabot baru akan