Intensitas Kesimpulan dan Rekomendasi.

126 Sumber: Hasil Analisis, 2010 Berdasarkan kemampuan dari setiap wilayah untuk mengakses wilayah‐wilayah lain sebagai wilayah tujuan yang didekati dari nilai Vi, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan Kabupaten Kutai Kertanegara merupakan daerah yang memiliki nilai Vi tinggi pembangkit daya dorong tinggi dan mengindikasikan tingginya peluang untuk mengakses wilayah‐wilayah lain menuju daerah tujuan, khususnya konteks aliran barang, dan penumpang. Sementara untuk melihat wilayah tujuan yang dominan diakses oleh wilayah asal, dan memiliki keunggulan fungsi sebagai pasar dibanding daerah lain, atau wilayah yang memiliki daya tarik tinggi dibanding daerah lain meliputi Kota Balikpapan, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kota Samarinda, dan Kabupaten Kutai Kertanegara.

6.3. Intensitas

Interaksi Daerah Tertinggal dan Perbatasan dengan Daerah Lainnya Berdasarkan hasil analisis model gravitasi diatas, pada bagian ini akan diidentifikasi intensitas interaksi daerah‐daerah tertinggal dan perbatasan di Pulau Kalimantan dengan daerah lainnya. Intensitas interaksi yang kuat dicerminkan dari nilai total Vi dan Vj yang tinggimenonjol dibandingkan wilayah lainnya, yang mengindikasikan adanya interaksi yang intensif khususnya dalam hal pergerakan barang. Dengan adanya interaksi antarwilayah yang intensif, maka daerah tertinggal dan perbatasan tersebut akan memiliki peluang kuat untuk dioptimalkan melalui kerjasama dengan daerah lain untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Intensiotas interaksi kabupaten tertinggal dan perbatasan pada bagian ini diklasifikasikan berdasarkan model potensial dan model persaingan lokasi pasar. Model potensial menggambarkan potensi daerah tertinggal dan perbatasan sebagai pembangkit pergerakan barang dan kemampuannya untuk mengakses wilayah‐wilayah lain sebagai wilayah tujuan. Sedangkan model persaingan lokasi pasar menggambarkan potensi daerah tertinggal dan perbatasan sebagai penarik pergerakan barang dari wilayah lain. Hasil identifikasi diperlihatkan pada Tabel 6.29. Tabel 6.29. Intensitas Interaksi Daerah TertinggalPerbatasan dengan Daerah lainnya di P. Kalimantan Provinsi Intensitas Interaksi Daerah sebagai Pembangkit Pergerakan Barang Intensitas Interaksi Daerah sebagai Penarik Pergerakan Barang Kurang kuat Kuat Kurang kuat Kuat Kalbar Sambas, Kapuas Hulu, Ketapang, Melawi, Sintang • Landak – Bengkayang, KotaKab Pontianak, Singkawang, Sanggau, Sintang • Sanggau – Sekadau, Landak, KabKota Pontianak, Sambas, Sintang • Bengkayang- KabKota Pontianak, Singkawang, Landak, Sambas, Sanggau • Sekadau – KabKota Pontianak, Landak, Sanggau, Sintang Landak, Sambas, Bengkayang, Kapuas Hulu, Ketapang, Singkawang, Melawi, Sekadau, Sintang Sanggau – Sekadau, Landak, Sintang Kalteng Seruyan Tidak ada Seruyan Tidak ada Kalsel Barito Kuala, Hulu Sungai Utara Tidak ada Barito Kuala, Hulu Sungai Utara Tidak ada Kaltim Kutai Barat, Kutai Timur, Malinau, Nunukan Tidak ada Kutai Barat, Malinau, Nunukan Tidak ada Sumber: Hasil Analisis, 2010 127 Di Provinsi Kalimantan Barat terdapat 9 daerah tertinggal yaitu Kabupaten Landak, Sanggau, Bengkayang, Sekadau, Sambas, Kapuas Hulu, Ketapang, Melawi, dan Sintang dimana 5 kabupaten diantaranya berada di kawasan perbatasan Negara yaitu Kabupaten Sanggau, bengkayang, Sambas Kapuas Hulu, dan Sintang. Berdasarkan hasil identifikasi, ternyata 4 kabupaten tertinggal memiliki potensi kuat sebagai pembangkit pergerakan barang, yaitu Kabupaten Landak, Sanggau, Bengkayang, dan Sekadau sehingga dapat dikatakan memiliki kemampuan untuk mengakses dan membanjiri wilayah di sekitarnya dengan barang‐barang yang berasal dari kabupaten tersebut. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis OD, dimana Kabupaten Landak, Sanggau, dan Bengkayang merupakan daerah asal barang di Kalimantan Barat yang memiliki volume distribusi barang antar wilayah diatas rata‐rata provinsi. Sedangkan kabupaten yang kurang kuat sebagai pembangkit pergerakan barang pada umumnya memang memiliki volume distribusi barang antar wilayah dibawah rata—rata provinsi Lihat Tabel 6.14. Adapun wilayah lain dengan potensi cukup kuat sebagai pembangkit pergerakan di Provinsi ini adalah Kota Pontianak PKN, Kabupaten Pontianak PKW, dan Kota Singkawang PKW yang tidak termasuk ke dalam kategori daerah tertinggal. Pola interaksi kabupaten tertinggal yang memiliki kemampuan pembangkit pergerakan barang dengan daerah lain adalah sebagai berikut : • Kabupaten Landak berinteraksi kuat dengan Bengkayang, Kabupaten Pontianak PKW Mempawah, Kota Pontianak PKN, Singkawang PKW, dan Sanggau PKW, Sintang PKW • Sanggau berinteraksi kuat dengan Sekadau, Landak, Kabupaten Pontianak PKW Kota Pontianak PKN, Sambas PKW, dan Sintang PKW • Bengkayang berinteraksi kuat dengan Kabupaten Pontianak PKW Mempawah, Kota Pontianak PKN, Kota Singkawang PKW, Landak Ngabang, Sambas PKW, dan Sanggau PKW • Sekadau berinteraksi kuat dengan Kota Pontianak PKN, Landak, Kabupaten Pontianak PKW, Sanggau PKW dan Sintang PKW. Adapun pola interaksi kabupaten‐kabupaten tertinggal yang tidak memiliki kemampuan kuat sebagai pembangkit pergerakan barang adalah sebagai berikut : • Sambas berinteraksi kuat dengan Bengkayang PKW, Kota Pontianak PKN, Kota Singkawang PKW, Landak Ngabang, Kabupaten Pontianak PKW Mempawah, dan Sanggau PKW • Kapuas Hulu secara umum memiliki interaksi yang lemah dengan seluruh wilayah, namun yang paling menonjol berinteraksi dengan Sintang PKW • Melawi berinteraksi kuat Kota Pontianak PKN, Sanggau PKW, dan Sintang PKW • Sintang berinteraksi kuat dengan Kota Pontianak PKN, Melawi Nangapinoh, Kabupaten Pontianak PKW Mempawah, Sanggau PKW, dan Sekadau. Sedangkan jika ditinjau dari model persaingan lokasi pasar, daerah yang memiliki kemampuan kuat sebagai penarik pergerakan barang di Provinsi Kalimantan Barat adalah Kabupaten Sanggau PKW, Kota Pontianak PKN, dan Kabupaten Pontianak PKW, dimana hanya Sanggau yang termasuk kategori daerah tertinggal. Provinsi Kalimantan Tengah hanya memiliki satu Kabupaten tertinggal yaitu Kabupaten Seruyan. Kabupaten ini tidak memiliki potensi kuat sebagai pembangkit maupun penarik pergerakan barang. Volume pergerakan barang antar wilayah di Kabupaten ini relatif rendah 128 dan berada di bawah rata‐ rata provinsi. Berdasarkan keterkaitan ekonomi, Kabupaten Seruyan memiliki intensitas interaksi yang kuat dengan Kapuas PKW Kuala Kapuas, Kabupaten Kotawaringin Timur PKW Sampit, Kotawaringin Barat PKW Pangkalan Bun, dan Kota Palangkaraya PKN Palangkaraya. Adapun wilayah‐wilayah dengan kemampuan kuat sebagai pembangkit pergerakan barang di provinsi ini adalah Kabupaten Katingan Kasongan, Kota Palangkaraya PKN Palangkaraya, dan Pulang Pisau Pulang Pisau yang tidak termasuk daerah tertinggal. Sedangkan yang memiliki kemampuan kuat sebagai penarik pergerakan barang adalah Kota Palangkaraya PKN, Kabupaten Kapuas PKW Kuala Kapuas, dan Kotawaringan Timur PKW Sampit. Temuan yang cukup menarik di provinsi Kalimantan Tengah adalah adanya daerah dengan interaksi yang minim dengan wilayah sekitarnya, yaitu Lamandau dan Sukamara, namun tidak termasuk ke dalam kategori daerah tertinggal. Dalam hal pergerakan barang, Lamandau hanya terkait dengan 5 kabupaten, sedangkan Sukamara hanya berinteraksi dengan 2 kabupaten. Volume pergerakan barang antar wilayah di kedua kabupaten ini pun sangat minim. Penyebab dari rendahnya interaksi pergerakan barang antar wilayah di kedua kabupaten tersebut lebih disebabkan oleh buruknya dukungan infrastruktur transportasi dari kedua wilayah ke pusat kegiatan lain di provinsi Kalimantan Tengah. Di Provinsi Kalimantan Selatan terdapat dua kabupaten tertinggal yaitu Barito Kuala dan Hulu Sungai Utara. Berdasarkan hasil identifikasi, kedua kabupaten tersebut tidak memiliki potensi kuat sebagai pembangkit maupun sebagai penarik pergerakan barang. Volume pergerakan barang antar wilayah di kedua Kabupaten relatif rendah dan berada di bawah rata ‐ rata provinsi. Adapun wilayah yang memiliki kemampuan kuat sebagai pembangkit pergerakan barang di provinsi Kalimantan Selatan adalah Kabupaten Banjar, Kota Banjar, Sulu Hungai selatan, Hulu Sungai Tengah, dan Tapin yang tidak termasuk kategori daerah tertinggal. Pola keterkaitan ekonomi dua kabupaten tertinggal tersebut sebagai daerah asal barang dengan wilayah lain adalah sebagai berikut : - Kabupaten Barito Kuala memiliki interaksi kuat dengan Banjar PKW Martapura, Hulu Sungai Selatan Kandangan, Kota Banjarbaru , Kota Banjarmasin PKN, dan Tapin . - Kabupaten Hulu Sungai Utara memiliki interaksi kuat dengan Balangan Paringin, Hulu Sungai Selatan Kandangan, Hulu Sungai Tengah Barabai, Tabalong Tanjung, dan Tapin Rantau Sedangkan wilayah yang memiliki kemampuan kuat sebagai penarik pergerakan barang di provinsi Kalimantan Selatan adalah Kota Banjar Baru , Kota Banjarmasin PKN, Kabupaten Banjar PKW Martapura, Kabupaten Hulu sungai Selatan Kandangan, dan Hulu Sungai Tengah Kandangan yang seluruhnya tidak termasuk kategori daerah tertinggal. Provinsi Kalimantan Timur memiliki 3 kabupaten tertinggal yang seluruhnya terletak di kawasan perbatasan yaitu Kabupaten Kutai Barat, Malinau, dan Nunukan. Tidak satu pun dari ketiga kabupaten tersebut yang memiliki potensi kuat sebagai pembangkit maupun penarik pergerakan barang. Jika dilihat dari jumlah pergerakan barang antar wilayah, volume pergerakan barang dari Kabupaten Kutai Barat, Malinau, dan Nunukan berada di bawah rata‐rata provinsi. Pola keterkaitan ekonomi tiga kabupaten tertinggal tersebut sebagai daerah asal barang dengan wilayah lain adalah sebagai berikut : - Kutai Barat memiliki interaksi kuat dengan Kota Balikpapan PKN, Kota Samarinda PKN, Kutai Kertanegara, Pasir PKW Tanah Grogot, dan Penajam Paser Utara. 129 - Kabupaten Malinau PKW memiliki interaksi kuat dengan Bulungan PKW Tanjung Selor dan Kota Tarakan PKN. - Kabupaten Nunukan PKW memiliki interaksi kuat dengan Bulungan PKW Tanjung Selor, Kota Tarakan PKN, dan Malinau PKW. Adapun wilayah‐wilayah yang menjadi pembangkit sekaligus penarik pergerakan barang yang menonjol di Provinsi Kalimantan Timur adalah Kota Balikpapan, Samarinda, dan Kutai Kertanegara yang tidak termasuk kategori wilayah tertinggal. Hasil idnetifikasi diatas menunjukkan belum berkembangnya peranan pusat‐pusat kegiatan di kawasan perbatasan negara yang disebabkan oleh karakteristik wilayahnya yang didominasi kawasan hutan, sebagian besar merupakan kawasan lindung dan kawasan konservasi. Karakteristik wilayah tersebut menyebabkan besarnya kendala dalam pengembangan sarana dan prasarana dasar wilayah, khususnya transportasi darat. Hingga saat ini masih terdapat 6 kecamatan di Kabupaten Kutai Barat dan 4 kecamatan di Kabupaten Malinau yang masih relatif terisolasi. Isu Strategis 129 BAB VII. ISU STRATEGIS PEMANFAATAN RUANG DALAM MENDUKUNG PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL Untuk memberikan arah kebijakan ekonomi dalam kaitannya dengan upaya mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan antardaerah di wilayah Kalimantan, sekaligus mendorong upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal dan perbatasan, diperlukan adanya rumusan isu‐isu strategis yang merupakan pokok permasalahan sesuai dengan lingkup pembahasan dari kajian ini. Beberapa aspek penting yang relevan sebagai isu strategis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Belum optimalnya pengembangan sektor unggulan dalam mendukung pertumbuhan

perekonomian daerah. Kondisi ini dapat ditunjukkan pada beberapa kawasan andalan disetiap provinsi masih termasuk daerah relatif tertinggal, dan beberapa daerah yang telah maju tapi masih tertekan memiliki pertumbuhan ekonomi di bawah rata‐rata provinsi. Kondisi ini juga ditunjukkan oleh terbatasnya sektor‐sektor ekonomi daerah yang memiliki daya saing tinggi kompetitif. Perkembangan ini diantaranya dipengaruhi oleh iklim investasi yang belum kondusif, khususnya pada beberapa komponen yang menjadi tolok ukur iklim investasi. Permasalahan yang dihadapi oleh setiap daerah relatif beragam, diantaranya faktor lemahnya kelembagaan investasi dihadapi oleh Provinsi Kalimantan Selatan, rendahnya kinerja promosi investasi terdapat di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, belum memadainya ketersediaan infrastruktur khususnya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, serta ketidakpastian dalam penyediaan lahan karena masih terjadi konflik antar kehutanan dengan sektor lain yang membutuhkan sumberdaya lahan. Lingkungan berusaha di tingkat provinsi ini menentukan iklim usaha di tingkat lokal maupun di wilayah provinsi secara umum. Kondisi iklim usaha ini terkait dengan factor eksternalitas, economies of scale, regional‐specific, dan peran Pemda untuk fasilitasi kebijakan, koordinasi dan pengendalian aktivitas penanaman modal di wilayah Provinsi. Belum optimalnya pengembangan kawasan andalan, khususnya dapat ditunjukkan dari Kawasan Kapuas Hulu dan Sekitarnya diwilayah Kalimantan Barat , kawasan Kawasan Muarateweh dan sekitarnya di Kalimantan Tengah, Kawasan Kandangan dan Sekitarnya di Kalimantan Selatan, serta Kawasan Tarakan, Tanjung Palas, Nunukan, Pulau Bunyu, Malinau Tatapanbuma dan Sekitarnya di Kalimantan Timur. Sebagian besar daerah pada kawasan ini masih termasuk daerah relatif tertinggal, yaitu memiliki nilai PDRB perkapita dan pertumbuhan PDRB di bawah rata‐rata provinsi masing‐masing. Pada kawasan ini umumnya memiliki keragaman sektor unggulan yang potensial dikembangkan, namun Isu Strategis 130 memiliki kendala rendahnya jumlah sumberdaya manusia, hambatan posisi geografis yang kurang didukung infrastruktur transportasi yang memadai, rendahnya suplai energi listrik, serta masih terbatasnya investasi yang masuk pada kawasan ini. Sementara pada beberapa kawasan andalan terpilih yang diarahkan sebagai KAPET, saat ini masih banyak menghadapi hambatan struktural. Secara garis besar, permasalahan tersebut dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu kebijakan, kelembagaan, lingkungan strategis, dan keterkaitan antarwilayah. Pengembangan KAPET didasarkan atas pendekatan kewilayahan, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan KAPET terfragmentasi ke dalam berbagai institusi di beberapa daerah dengan beberapa tingkat pemerintahan, kebijakan KAPET dapat berhasil dilaksanakan bila seluruh unsur tersebut dapat berjalan sinergis, namun sinergitas antarkebijakan tersebut sulit terwujud, terutama adanya otonomi daerah yang memunculkan persepsi negatif dari pemerintah daerah. Kebijakan insetif fiskal KAPET dinilai masih kurang menarik investor. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 147 Tahun 2000, pengusaha yang melakukan usaha di wilayah KAPET hanya diberi kemudian insetif Pajak Penghasilan, sangat berbeda ketika Keppres 891996 jo 91998 masih berlaku yang memberikan insentif di bidang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pembebasan Pajak Penghasilan, penyusutan danatau amortisasi, dan kompensasi kerugian di bidang Pajak Penghasilan. Begitu pula halnya insentif non fiskal. Kondisi prasarana dan sarana di sebagian besar wilayah KAPET masih terbatas, sehingga menghambat pengembangan industri dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya alam KAPET. Pengurusan perijinan investasi juga dinilai pengusaha masih lama, berbelit, dan lama, karena setelah tahun 2000, kewenangan BP KAPET dalam memberikan izin investasi, dicabut kembali. Selain itu dari sisi kelembagaan, Keppres 1502000, kelembagaan KAPET terdiri dari Badan Pengembangan Bapeng KAPET yang terdiri dari kementerian dan lembaga terkait dan bertugas dalam merumuskan kebijakan dan mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan pembangunan KAPET, serta Badan Pengelola BP KAPET yang terdiri dari Gubernur dan tenaga ahli yang bertugas untuk memberikan pertimbangan teknis pada pemerintah daerah. Permasalahan dimulai dari kapasitas SDM di sebagian BP KAPET yang pada umumnya belum sesuai dengan kebutuhan dalam manajemen wilayah dan pengembangan bisnis. Minimnya anggaran yang diperoleh BP KAPET setiap tahunnya menjadi salah satu penyebab sulitnya merekrut tenaga kerja yang ahli dan berpengalaman, serta untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi SDM‐nya. Minimnya anggaran ini disebabkan kurangnya koordinasi dan dukungan dari Bapeng KAPET dan pemerintah daerah, mengingat berdasarkan ketentuan dalam Keppres 1502000, kewenangan BP KAPET hanya sebatas pemberi pertimbangan teknis kepada pemda dan sebagai fasilitator pengusaha, sehingga dalam implementasi kebijakan KAPET, misalnya pembangunan infrastruktur, sangat bergantung pada Bapeng KAPET dan pemda. Faktor lingkungan turut menghambat perkembangan KAPET seperti lemahnya penerapan kebijakan nasional yang terkait dengan investasi, misalnya Inpres 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan Kepmendagri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PPTSP. Sebagian besar daerah di wilayah KAPET belum memiliki sistem perizinan satu atappintu one stop serviceOSS Isu Strategis 131 yang berguna untuk memudahkan pengusaha dalam memperoleh izin usaha. Kondisi ini diperparah oleh munculnya peraturan‐peraturan daerah yang menerbitkan pajak dan retribusi baru guna peningkatan pendapatan asli daerah PAD. Krisis ekonomi yang berkepanjangan juga berdampak pada penurunan kemampuan pemerintah dalam penyediaan infrastruktur di wilayah KAPET. 2. Belum optimalnya kerjasama antardaerah dalam pengelolaan dan pemasaran produk unggulan. Kondisi ini dibuktikan dengan belum efektifnya pelaksanaan agenda forum Gubernur, belum berjalannya kerjasama antardaerah kabupatenkota melalui pendekatan Regional Management, serta belum berkembangnya kemitraan antara industri besar dengan industri kecil, serta lemahnya keterkaitan aktivitas ekonomi hulu dan hilir, sehingga produk turunan pengolahan sektor unggulan daerah masih sangat terbatas. Lemahnya sistem produksi dan distribusi komoditas antar wilayah yang belum menguntungkan daerah produsen, disebabkan belum berkembangnya industri pengolahan yang berbasis berbasis komoditi unggulan daerah setempat. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya nilai tambah komoditas pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan akibat belum berkembangnya mata rantai industri pengolahan. 3. Tingginya kesenjangan perekonomian antarwilayah di Kalimantan. Kesenjangan pembangunan antarwilayah ini ditunjukan oleh rendahnya kinerja ekonomi antar provinsi. Kinerja ekonomi Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah relatif lebih rendah dibandingkan kinerja ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur. Sementara disparitas antar kabupatenkota dapat ditunjukan dengan tingginya selisih nilai PDRB perkapita tertinggi dan terendah di setiap provinsi. Provinsi Kalimantan Timur, PDRB perkapita tertinggi di Kota Bontang sebesar Rp. 182.336 ribujiwa sementara terrendah sebesar Rp. 9.379 ribujiwa di Kabupaten Malinau. Di Provinsi Kalimantan Tengah dengan perbadingan PDRB perkapita tertinggi di Kabupaten Sukamara sebesar Rp. 14.249 ribujiwa dan PDRB perkapita terrendah di Kabupaten Pulang Pisau sebesar Rp. 5.550 ribujiwa. PDRB perkapita tertinggi di Kalimantan Barat sebesar Rp. 11.475 Ribujiwa di Kota Pontianak, dan terrendah di Kabupaten Melawi sebesar Rp. 3.369 ribujiwa. PDRB perkapita tertinggi di Kalimantan Selatan sebesar Rp. 16.118 Ribujiwa di Kabupaten Kotabaru, dan terrendah di Kabupaten Hulu Sungai Utara sebesar Rp. 3.557 ribujiwa. Sementara daerah relatif tertinggal PDRB perkapita dan pertumbuhan PDRB di bawah rata‐rata provinsi menurut Tipologi Klassen, di Provinsi Kalimantan Barat meliputi Kabupaten Sambas, Landak, Sintang, Malawi, dan Kapuas Hulu, di Provinsi Kalimantan Tengah meliputi Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, Barito Utara, dan Gunung Mas, di Provinsi Kalimantan Selatan meliputi Kabupaten Barito Kuala, Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Utara, di Provinsi Kalimantan Timur meliputi Kabupaten Penajam Paser Utara, Malinau, Bulongan dan Tarakan. Kondisi kesenjangan wilayah di Kalimantan antara tahun 2004 dan 2008 menunjukan kecenderungan semakin meningkat, hal ini diperlihatkan dengan nilai Theil indeks tahun 2008 lebih tinggi dibandingkan tahun 2004, yaitu tahun 2004 sebesar 0,18 dan tahun 2008 sebesar 0,94. Sektor migas berkontribusi sebesar 16,42 persen terhadap kesenjangan total di wilayah Kalimantan. Kesenjangan di Wilayah Kalimantan lebih diakibatkan oleh adanya kesenjangan antar provinsi dibandingkan kesenjangan dalam provinsi, dimana kesenjangan antar provinsi between provinces inequality menyumbang rata‐rata 71,05 persen terhadap Isu Strategis 132 kesenjangan total, dan sector migas memberikan kontribusi sebesar 29,55 persen terhadap kesenjangan antarprovinsi. Sedang kesenjangan dalam provinsi within provinces inequality menyumbang sebesar 28,94 persen.Kesenjangan dalam provinsi berarti kesenjangan pendapatan antar kabupatenkota dalam masing‐masing provinsi. Wilayah yang berkontribusi besar terhadap kesenjangan antar dan dalam provinsi adalah Provinsi Kalimantan Timur. Fakta lain terjadinya kesenjangan pembangunan tersebut juga dapat digambarkan dengan penyebaran daerah tertinggal di wilayah Kalimantan, khususnya di sebagian besar kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat. Ketertinggalan tersebut secara umum disebabkan oleh terbatasnya prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi masyarakat dan rendahnya aksesibilitas yang menghubungkan dengan pusat‐pusat pertumbuhan di wilayah Kalimantan, belum optimalnya pemanfaatan transportasi lautsungai untuk aksesibilitas daerah tertinggal dan pealaman, terbatasnya kemampuan sumberdaya manusia di perdesaan dalam pemanfaatan potensi sumberdaya unggulan lokal, terbatasnya kemampuan masyarakat di perdesaan dalam pengembanga usaha ekonomi, sulitnya akses terhadap permodalan dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pembangunan daerah perdesaan dan daerah tertinggal. 4. Belum memadainya kualitas dan ketersediaan dukungan sistem transportasi darat, udara, laut dalam mendukung interaksi antarwilayah. Kondisi ini berimplikasi pada rendahnya kerjasama antarwilayah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi masing‐masing wilayah. Hal ini ditunjukan oleh terbatasnya sistem jaringan jalan darat dan tingginya persentase kondisi jalan rusak ringan dan rusak berat pada jalan negara, jalan provinsi dan jalan kabupaten yang menghubungkan pusat‐pusat pertumbuhan antar wilayah di Kalimantan yang disebabkan oleh terbatasnya anggaran untuk perbaikan dan pembangunan jalan. Faktor lain adalah adanya hambatan geografis dimana wilayah Kalimantan terdiri dari daerah perbukitan dan daerah bergambut pasang surut dan tingginya kerusakan sungai dan terancamnya transportasi airsungai yang menunjang akses daerah pedalaman dan terpencil. Kerusakan sungai ini disebabkan oleh tingginnya aktivitas perubahan penggunaan lahan yang berakibat terhadap tingginya sedimentasi dan pencemaran, dan belum optimalnya penataan sempadan sungai yang menyebabkan penyempitan badan sungai. Rendahnya dukungan inrastruktur transportasi diantaranya dapat ditunjukkan dari rendahnya pergerakan barang sebagai daerah asal maupun tujuan, diantaranya di Kabupaten Kapuas Hulu dan kabupaten Melawi di Kalimantan Barat, Kabupaten Sukamara dan Lamandau di Kalimantan Tengah, Kabupaten Tanah Bumbu, Tapin dan Balangan di Kalimantan Selatan, serta Kabupaten Malinau dan Kutai Barat di Kalimantan Timur. Belum terbangunnya interkoneksi antarwilayah dengan didukung multi moda daratsungai sejalan dengan kondisi geografis wilayah Kalimantan. Dengan kondisi jaringan infrastruktur seperti itu, keterkaitan antardaerah dan antara sentra produksi di perdesaan dan pusat‐ pusat pertumbuhan di perkotaan menjadi kurang optimal. Di sisi lain, jalur transportasi sungai yang secara tradisional diandalkan seringkali mengalami pasang surut di daerah hulu yang mengakibatkan semakin terbatasnya aksesibilitas desa‐desa di pedalaman. 5. Krisis energi listrik dan belum optimalnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam untuk pengembangan energi listrik Kalimantan. Hal ini ditunjukan oleh belum optimalnya Isu Strategis 133 pemanfaatan potensi sumberdaya alam tambang batu bara untuk pengembangan energi listrik di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan belum optimalnya pengembangan sumber energi alternatif terbarukan di wilayah Kalimantan Selatan, yang selanjutnya disebabkan masih rendahnya investasi, rendahnya dukungan teknologi serta belum optimalnya kerjasama dengan lembaga penelitian seperti perguruan tinggi dalam pengembangan energi alternative. 6. Kesenjangan pembangunan wilayah di kawasan perbatasan negara dengan negara tetangga Malaysia. Adanya kesenjangan kesejahteraan antara masyarakat di daerah perbatasan Kalimantan dengan Malaysia disebabkan oleh rendahnya akses terhadap pelayanan dasar, terbatasnya ketersediaan sarana prasarana wilayah, dan belum optimalnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam sebagai produk unggulan lokal. Permasalahan yang mendasar dalam pengembangan kawasan perbatasan negara di Kalimantan Timur adalah karakteristik wilayahnya yang didominasi kawasan hutan, sebagian besar merupakan kawasan lindung dan kawasan konservasi yaitu hutan Lindung seluas 79,026 Ha, dan Taman Nasional TN Kayan Mentarang seluas 225.800 Ha. Kawasan perbatasan juga didominasi oleh Kawasan Budidaya Kehutanan seluas 54.354 Ha dan Kawasan Budidaya Non Kehutanan seluas 55.780 Ha. Kondisi ini menyebabkan kendala dalam pengembangan sarana dan prasarana dasar wilayah di kawasan perbatasan, kecuali pada sebagian kawasan di Kabupaten Nunukan. Hingga saat ini belum ada solusi yang memuaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perbatasan yang bermukim di dalam kawasan hutan yang berstatus kawasan lindung dan konservasi, terutama terkait dengan persoalan aksesibilitas wilayah. Sesuai hasil analisis, beberapa wilayah kabupaten yang terletak di kawasan perbatasan negara antara lain Kabupaten Nunukan, Malinau, dan Kutai Barat belum dapat diakses secara mudah melalui jalan darat dan hanya dapat dijangkau oleh moda transportasi sungai atau udara. Hingga saat ini masih terdapat 6 kecamatan di Kabupaten Kutai Barat, 2 kecamatan di Kabupaten Nunukan, dan 4 kecamatan di Kabupaten Malinau yang terisolasi dari pusat kegiatan di Pulau Kalimantan. Pemanfaatan ruang kawasan perbatasan di Provinsi Kalimantan Barat lebih dinamis dibandingkan provinsi Kalimantan Timur. Sebesar 40 persen kawasan perbatasan 960,487 Ha dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan karena statusnya merupakan kawasan budidaya, sementara 60 persen lainnya 1,411,866 Ha merupakan kawasan lindung. Hanya kecamatan‐kecamatan perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu yang memiliki kawasan lindung lebih dominan daripada kawasan budidaya. Permasalahan mendasar pengembangan kawasan perbatasan di Kalimantan Barat adalah perwujudan struktur ruang perbatasan yang belum optimal yang ditandai dengan belum berfungsinya sebagian besar kota ‐kota Pusat Kegiatan Strategis Nasional PKSN sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi perdagangan dengan negara tetangga, kecuali pada PKSN Entikong yang telah dikembangkan sebagai Pos Lintas Batas Internasional sejak tahun 1991. Selain itu, aksesibilitas menuju PKSN dan antar PKSN masih lemah karena kondisi infrastruktur jalan yang buruk atau bahkan belum tersedia. 7. Tingginya degradasi sumberdaya hutan dan lahan berdampak pada kerusakan ekosistem alam, hilangnya keanekaragaman hayati dan tingginya daerah rawan banjir dan longsor di daerah hilir. Hal ini ditunjukan oleh cukup tingginya laju konversi lahan hutan ke Isu Strategis 134 penggunaan lahan pertanian khususnya di provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang disebabkan belum optimalmya pengawasan dan penegakan hukum bagi para pelaku peramah hutan, pertambangan liar, tumpang tindih kebijakan antar sektor dalam pemanfaatan ruang, dan belum jelasnya pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah. Tingginya angka kebakaran hutan dan lahan gambut khususnya di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan, hal ini disebabkan oleh aktivitas pembukaan lahan dengan cara pembalakan liar yang tidak terkendali, dan belum optimalnya pengawasan dan penegakan hukum. Tinginya kerusakan Daerah Aliran Sungai DAS di provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan disebabkan belum optimalnya pemanfaatan lahan kritis untuk kegiatan ekonomi dan belum optimalnya kerjasama antar pemerintah daerah dalam pengelolaan DAS. Maraknya aktivitas penebangan liar illegal logging hutan khususnya di provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dan aktivitas pertambangan liar illegal mining di Kalimantan Selatan, hal ini disebabkan belum optimalnya pengawasan dan penegakan hukum bagi para pelaku penebangan liar dan pertambangan liar. 8. Belum tuntasnya permasalahan penataan ruang di wilayah kalimantan. Dalam bidang penataan ruang yang menjadi permasalahan adalah bagaimana melakukan sinkronisasi perencanaan terutama untuk mengatasi dampak dari berbagai bentuk pengembangan struktur dan pola pemanfaatan ruang. Misalnya bagaimana merehabilitasi kawasan‐ kawasan lindung pada saat infrastruktur jalan juga akan dibangun secara besar‐besaran. Seperti diketahui pembangunan akses jalan seringkali menimbulkan dampak berupa kerusakan lingkungan. Selanjutnya bagaimana merehabilitsi lahan dan hutan jika akan dibangun industri‐industri pengolahan yang membutuhkan input berbasis sumber daya lahan dan hutan. Dengan demikian yang menjadi kata kunci adalah bagaimana tahapan dari setiap bentuk pengembangan struktur dan pola pemanfaatan ruang akan diimplementasikan dan bagaimana pengendalian pemanfaatan ruang dapat berjalan secara efektif. Konflik masalah tata ruang ini misalnya dihadapi oleh Pemerintah provinsi Kalimantan Selatan berkaitan dengan titik koordinat wilayah batas kawasan kehutanan dengan wilayah peruntukan lainnya, batas titik koordinasi peta antara kementerian kehutanan dengan peta 13 wilayah kabupatenkota di Kalimantan Selatan yang masih belum ada kesepakatan. Hal ini sudah dibahas di BKPRN Bakosurtanal, PU dan Bappenas, kehutanan, dll, dan ditindaklanjuti dengan menyurati Menteri Kehutanan berkaitan dengan adanya perbedaan tersebut. Namun hingga saat ini belum ada penyelesaiannya, sehingga berimplikasi kepada proses perijinan investasi. Adanya perbedaan referensi dalam penggunaan Peta pemanfaatan ruang, berimplikasi pada perbedaan status kawasan dengan kondisi eksisting di lapangan. Misalnya kawasan permukiman, perkebunan dan industri yang nyata di lapangan telah berkembang, ternyata berada pada kawasan lindung berdasarkan peta referensi yang digunakan kementerian Kahutanan. Permasalahan lain dalam bidang penataan ruang adalah bagaimana kelembagaan pengendalian pemanfaatan ruang dapat bekerja efektif apabila sektor yang menguasai ruang di Wilayah Kalimantan terutama Departemen Kehutanan dan Deparatemen Pertambangan dan Energi tidak dilibatkan dalam pengawasan pemanfaatan ruang. Bahkan Isu Strategis 135 belum terjadi kesepakatan antara departemen sektoral dengan pemerintah daerah dalam hal status lahan. Apabila masalah konflik kelembagaan ini masih terjadi maka RTRW Wilayah Kalimantan akan mengalami hambatan signifikan dalam implementasinya. Isu ‐isu dan permasalahan mengenai tata ruang adalah i Kebijakan rehabilitasi lingkungan berbarengan dengan kebijakan untuk membangun infrastruktur jalan dan industri pengolahan berbasis sumber daya alam yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan. ii Belum adanya kesepakatan antara Pemda dan depatemen sektoral Departemen Kehutanan dan Departemen Pertambangan Energi dalam perencanaan pemanfaatan ruang. Kesimpulan dan Rekomendasi