126
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Berdasarkan kemampuan dari setiap wilayah untuk mengakses wilayah‐wilayah lain sebagai
wilayah tujuan yang didekati dari nilai Vi, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan Kabupaten
Kutai Kertanegara merupakan daerah yang memiliki nilai Vi tinggi pembangkit daya dorong
tinggi dan mengindikasikan tingginya peluang untuk mengakses wilayah‐wilayah lain
menuju daerah tujuan, khususnya konteks aliran barang, dan penumpang.
Sementara untuk melihat wilayah tujuan yang dominan diakses oleh wilayah asal, dan
memiliki keunggulan fungsi sebagai pasar dibanding daerah lain, atau wilayah yang memiliki
daya tarik tinggi dibanding daerah lain meliputi Kota Balikpapan, Kabupaten Penajam Paser
Utara, Kota Samarinda, dan Kabupaten Kutai Kertanegara.
6.3. Intensitas
Interaksi Daerah Tertinggal dan Perbatasan dengan Daerah Lainnya
Berdasarkan hasil analisis model gravitasi diatas, pada bagian ini akan diidentifikasi
intensitas interaksi daerah‐daerah tertinggal dan perbatasan di Pulau Kalimantan dengan
daerah lainnya. Intensitas interaksi yang kuat dicerminkan dari nilai total Vi dan Vj yang
tinggimenonjol dibandingkan wilayah lainnya, yang mengindikasikan adanya interaksi yang
intensif khususnya dalam hal pergerakan barang. Dengan adanya interaksi antarwilayah
yang intensif, maka daerah tertinggal dan perbatasan tersebut akan memiliki peluang kuat
untuk dioptimalkan melalui kerjasama dengan daerah lain untuk meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi. Intensiotas interaksi kabupaten tertinggal dan perbatasan pada
bagian ini diklasifikasikan berdasarkan model potensial dan model persaingan lokasi pasar.
Model potensial menggambarkan potensi daerah tertinggal dan perbatasan sebagai
pembangkit pergerakan barang dan kemampuannya untuk mengakses wilayah‐wilayah lain
sebagai wilayah tujuan. Sedangkan model persaingan lokasi pasar menggambarkan potensi
daerah tertinggal dan perbatasan sebagai penarik pergerakan barang dari wilayah lain. Hasil
identifikasi diperlihatkan pada Tabel 6.29.
Tabel 6.29. Intensitas Interaksi Daerah TertinggalPerbatasan dengan Daerah lainnya di P.
Kalimantan
Provinsi Intensitas Interaksi Daerah sebagai
Pembangkit Pergerakan Barang Intensitas Interaksi Daerah sebagai
Penarik Pergerakan Barang Kurang kuat
Kuat Kurang kuat
Kuat Kalbar
Sambas, Kapuas Hulu, Ketapang, Melawi,
Sintang •
Landak – Bengkayang, KotaKab Pontianak, Singkawang, Sanggau,
Sintang •
Sanggau – Sekadau, Landak, KabKota Pontianak, Sambas, Sintang
•
Bengkayang- KabKota Pontianak, Singkawang, Landak, Sambas,
Sanggau •
Sekadau – KabKota Pontianak, Landak, Sanggau, Sintang
Landak, Sambas, Bengkayang, Kapuas
Hulu, Ketapang, Singkawang,
Melawi, Sekadau, Sintang
Sanggau – Sekadau, Landak, Sintang
Kalteng Seruyan
Tidak ada Seruyan
Tidak ada
Kalsel Barito Kuala, Hulu
Sungai Utara Tidak ada
Barito Kuala, Hulu Sungai Utara
Tidak ada
Kaltim Kutai Barat, Kutai
Timur, Malinau, Nunukan
Tidak ada Kutai Barat,
Malinau, Nunukan Tidak ada
Sumber: Hasil Analisis, 2010
127
Di Provinsi Kalimantan Barat terdapat 9 daerah tertinggal yaitu Kabupaten Landak, Sanggau,
Bengkayang, Sekadau, Sambas, Kapuas Hulu, Ketapang, Melawi, dan Sintang dimana 5
kabupaten diantaranya berada di kawasan perbatasan Negara yaitu Kabupaten Sanggau,
bengkayang, Sambas Kapuas Hulu, dan Sintang. Berdasarkan hasil identifikasi, ternyata 4
kabupaten tertinggal memiliki potensi kuat sebagai pembangkit pergerakan barang, yaitu
Kabupaten Landak, Sanggau, Bengkayang, dan Sekadau sehingga dapat dikatakan memiliki
kemampuan untuk mengakses dan membanjiri wilayah di sekitarnya dengan barang‐barang
yang berasal dari kabupaten tersebut. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis OD, dimana
Kabupaten Landak, Sanggau, dan Bengkayang merupakan daerah asal barang di Kalimantan
Barat yang memiliki volume distribusi barang antar wilayah diatas rata‐rata provinsi.
Sedangkan kabupaten yang kurang kuat sebagai pembangkit pergerakan barang pada
umumnya memang memiliki volume distribusi barang antar wilayah dibawah rata—rata
provinsi Lihat Tabel 6.14. Adapun wilayah lain dengan potensi cukup kuat sebagai
pembangkit pergerakan di Provinsi ini adalah Kota Pontianak PKN, Kabupaten Pontianak
PKW, dan Kota Singkawang PKW yang tidak termasuk ke dalam kategori daerah
tertinggal. Pola interaksi kabupaten tertinggal yang memiliki kemampuan pembangkit
pergerakan barang dengan daerah lain adalah sebagai berikut :
• Kabupaten
Landak berinteraksi kuat dengan Bengkayang, Kabupaten Pontianak PKW
Mempawah, Kota Pontianak PKN, Singkawang PKW, dan Sanggau PKW, Sintang
PKW •
Sanggau berinteraksi kuat dengan Sekadau, Landak, Kabupaten Pontianak PKW
Kota Pontianak PKN, Sambas PKW, dan Sintang PKW
• Bengkayang
berinteraksi kuat dengan Kabupaten Pontianak PKW Mempawah, Kota Pontianak
PKN, Kota Singkawang PKW, Landak Ngabang, Sambas PKW, dan Sanggau
PKW •
Sekadau berinteraksi kuat dengan Kota Pontianak PKN, Landak, Kabupaten
Pontianak PKW, Sanggau PKW dan Sintang PKW.
Adapun pola interaksi kabupaten‐kabupaten tertinggal yang tidak memiliki kemampuan
kuat sebagai pembangkit pergerakan barang adalah sebagai berikut :
• Sambas
berinteraksi kuat dengan Bengkayang PKW, Kota Pontianak PKN, Kota Singkawang
PKW, Landak Ngabang, Kabupaten Pontianak PKW Mempawah, dan
Sanggau PKW •
Kapuas Hulu secara umum memiliki interaksi yang lemah dengan seluruh wilayah,
namun yang paling menonjol berinteraksi dengan Sintang PKW
• Melawi
berinteraksi kuat Kota Pontianak PKN, Sanggau PKW, dan Sintang PKW •
Sintang berinteraksi kuat dengan Kota Pontianak PKN, Melawi Nangapinoh,
Kabupaten Pontianak PKW Mempawah, Sanggau PKW, dan Sekadau.
Sedangkan jika ditinjau dari model persaingan lokasi pasar, daerah yang memiliki
kemampuan kuat sebagai penarik pergerakan barang di Provinsi Kalimantan Barat adalah
Kabupaten Sanggau PKW, Kota Pontianak PKN, dan Kabupaten Pontianak PKW, dimana
hanya Sanggau yang termasuk kategori daerah tertinggal.
Provinsi Kalimantan Tengah hanya memiliki satu Kabupaten tertinggal yaitu Kabupaten
Seruyan. Kabupaten ini tidak memiliki potensi kuat sebagai pembangkit maupun penarik
pergerakan barang. Volume pergerakan barang antar wilayah di Kabupaten ini relatif rendah
128
dan berada di bawah rata‐ rata provinsi. Berdasarkan keterkaitan ekonomi, Kabupaten
Seruyan memiliki intensitas interaksi yang kuat dengan Kapuas PKW Kuala Kapuas,
Kabupaten Kotawaringin Timur PKW Sampit, Kotawaringin Barat PKW Pangkalan Bun,
dan Kota Palangkaraya PKN Palangkaraya. Adapun wilayah‐wilayah dengan kemampuan
kuat sebagai pembangkit pergerakan barang di provinsi ini adalah Kabupaten Katingan
Kasongan, Kota Palangkaraya PKN Palangkaraya, dan Pulang Pisau Pulang Pisau yang
tidak termasuk daerah tertinggal. Sedangkan yang memiliki kemampuan kuat sebagai
penarik pergerakan barang adalah Kota Palangkaraya PKN, Kabupaten Kapuas PKW Kuala
Kapuas, dan Kotawaringan Timur PKW Sampit. Temuan yang cukup menarik di provinsi
Kalimantan Tengah adalah adanya daerah dengan interaksi yang minim dengan wilayah
sekitarnya, yaitu Lamandau dan Sukamara, namun tidak termasuk ke dalam kategori daerah
tertinggal. Dalam hal pergerakan barang, Lamandau hanya terkait dengan 5 kabupaten,
sedangkan Sukamara hanya berinteraksi dengan 2 kabupaten. Volume pergerakan barang
antar wilayah di kedua kabupaten ini pun sangat minim. Penyebab dari rendahnya interaksi
pergerakan barang antar wilayah di kedua kabupaten tersebut lebih disebabkan oleh
buruknya dukungan infrastruktur transportasi dari kedua wilayah ke pusat kegiatan lain di
provinsi Kalimantan Tengah.
Di Provinsi Kalimantan Selatan terdapat dua kabupaten tertinggal yaitu Barito Kuala dan
Hulu Sungai Utara. Berdasarkan hasil identifikasi, kedua kabupaten tersebut tidak memiliki
potensi kuat sebagai pembangkit maupun sebagai penarik pergerakan barang. Volume
pergerakan barang antar wilayah di kedua Kabupaten relatif rendah dan berada di bawah
rata ‐ rata provinsi. Adapun wilayah yang memiliki kemampuan kuat sebagai pembangkit
pergerakan barang di provinsi Kalimantan Selatan adalah Kabupaten Banjar, Kota Banjar,
Sulu Hungai selatan, Hulu Sungai Tengah, dan Tapin yang tidak termasuk kategori daerah
tertinggal. Pola keterkaitan ekonomi dua kabupaten tertinggal tersebut sebagai daerah asal
barang dengan wilayah lain adalah sebagai berikut :
- Kabupaten
Barito Kuala memiliki interaksi kuat dengan Banjar PKW Martapura, Hulu Sungai
Selatan Kandangan, Kota Banjarbaru , Kota Banjarmasin PKN, dan Tapin . -
Kabupaten Hulu Sungai Utara memiliki interaksi kuat dengan Balangan Paringin, Hulu
Sungai Selatan Kandangan, Hulu Sungai Tengah Barabai, Tabalong Tanjung, dan
Tapin Rantau
Sedangkan wilayah yang memiliki kemampuan kuat sebagai penarik pergerakan barang di
provinsi Kalimantan Selatan adalah Kota Banjar Baru , Kota Banjarmasin PKN, Kabupaten
Banjar PKW Martapura, Kabupaten Hulu sungai Selatan Kandangan, dan Hulu Sungai
Tengah Kandangan yang seluruhnya tidak termasuk kategori daerah tertinggal.
Provinsi Kalimantan Timur memiliki 3 kabupaten tertinggal yang seluruhnya terletak di
kawasan perbatasan yaitu Kabupaten Kutai Barat, Malinau, dan Nunukan. Tidak satu pun
dari ketiga kabupaten tersebut yang memiliki potensi kuat sebagai pembangkit maupun
penarik pergerakan barang. Jika dilihat dari jumlah pergerakan barang antar wilayah,
volume pergerakan barang dari Kabupaten Kutai Barat, Malinau, dan Nunukan berada di
bawah rata‐rata provinsi. Pola keterkaitan ekonomi tiga kabupaten tertinggal tersebut
sebagai daerah asal barang dengan wilayah lain adalah sebagai berikut :
- Kutai
Barat memiliki interaksi kuat dengan Kota Balikpapan PKN, Kota Samarinda PKN, Kutai
Kertanegara, Pasir PKW Tanah Grogot, dan Penajam Paser Utara.
129
- Kabupaten
Malinau PKW memiliki interaksi kuat dengan Bulungan PKW Tanjung Selor dan
Kota Tarakan PKN. -
Kabupaten Nunukan PKW memiliki interaksi kuat dengan Bulungan PKW Tanjung Selor,
Kota Tarakan PKN, dan Malinau PKW.
Adapun wilayah‐wilayah yang menjadi pembangkit sekaligus penarik pergerakan barang
yang menonjol di Provinsi Kalimantan Timur adalah Kota Balikpapan, Samarinda, dan Kutai
Kertanegara yang tidak termasuk kategori wilayah tertinggal.
Hasil idnetifikasi diatas menunjukkan belum berkembangnya peranan pusat‐pusat kegiatan
di kawasan perbatasan negara yang disebabkan oleh karakteristik wilayahnya yang
didominasi kawasan hutan, sebagian besar merupakan kawasan lindung dan kawasan
konservasi. Karakteristik wilayah tersebut menyebabkan besarnya kendala dalam
pengembangan sarana dan prasarana dasar wilayah, khususnya transportasi darat. Hingga
saat ini masih terdapat 6 kecamatan di Kabupaten Kutai Barat dan 4 kecamatan di
Kabupaten Malinau yang masih relatif terisolasi.
Isu Strategis
129
BAB VII.
ISU STRATEGIS PEMANFAATAN RUANG
DALAM MENDUKUNG PERTUMBUHAN
EKONOMI DAN PERCEPATAN
PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
Untuk memberikan arah kebijakan ekonomi dalam kaitannya dengan upaya mendorong laju
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan antardaerah di wilayah Kalimantan,
sekaligus mendorong upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal dan perbatasan,
diperlukan adanya rumusan isu‐isu strategis yang merupakan pokok permasalahan sesuai
dengan lingkup pembahasan dari kajian ini. Beberapa aspek penting yang relevan sebagai isu
strategis tersebut adalah sebagai berikut:
1. Belum optimalnya pengembangan sektor unggulan dalam mendukung pertumbuhan
perekonomian daerah. Kondisi ini dapat ditunjukkan pada beberapa kawasan andalan
disetiap provinsi masih termasuk daerah relatif tertinggal, dan beberapa daerah yang telah
maju tapi masih tertekan memiliki pertumbuhan ekonomi di bawah rata‐rata provinsi.
Kondisi ini juga ditunjukkan oleh terbatasnya sektor‐sektor ekonomi daerah yang memiliki
daya saing tinggi kompetitif. Perkembangan ini diantaranya dipengaruhi oleh iklim
investasi yang belum kondusif, khususnya pada beberapa komponen yang menjadi tolok
ukur iklim investasi. Permasalahan yang dihadapi oleh setiap daerah relatif beragam,
diantaranya faktor lemahnya kelembagaan investasi dihadapi oleh Provinsi Kalimantan
Selatan, rendahnya kinerja promosi investasi terdapat di Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur, belum memadainya ketersediaan infrastruktur khususnya di Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Barat, serta ketidakpastian dalam penyediaan lahan karena masih
terjadi konflik antar kehutanan dengan sektor lain yang membutuhkan sumberdaya lahan.
Lingkungan berusaha di tingkat provinsi ini menentukan iklim usaha di tingkat lokal maupun
di wilayah provinsi secara umum. Kondisi iklim usaha ini terkait dengan factor eksternalitas,
economies of scale, regional‐specific, dan peran Pemda untuk fasilitasi kebijakan, koordinasi
dan pengendalian aktivitas penanaman modal di wilayah Provinsi.
Belum optimalnya pengembangan kawasan andalan, khususnya dapat ditunjukkan dari
Kawasan Kapuas Hulu dan Sekitarnya diwilayah Kalimantan Barat , kawasan Kawasan
Muarateweh dan sekitarnya di Kalimantan Tengah, Kawasan Kandangan dan Sekitarnya di
Kalimantan
Selatan, serta Kawasan Tarakan, Tanjung Palas, Nunukan, Pulau Bunyu, Malinau
Tatapanbuma dan Sekitarnya di Kalimantan Timur. Sebagian besar daerah pada
kawasan ini masih termasuk daerah relatif tertinggal, yaitu memiliki nilai PDRB perkapita
dan pertumbuhan PDRB di bawah rata‐rata provinsi masing‐masing. Pada kawasan ini
umumnya memiliki keragaman sektor unggulan yang potensial dikembangkan, namun
Isu Strategis
130
memiliki kendala rendahnya jumlah sumberdaya manusia, hambatan posisi geografis yang
kurang didukung infrastruktur transportasi yang memadai, rendahnya suplai energi listrik,
serta masih terbatasnya investasi yang masuk pada kawasan ini.
Sementara pada beberapa kawasan andalan terpilih yang diarahkan sebagai KAPET, saat ini
masih banyak menghadapi hambatan struktural. Secara garis besar, permasalahan tersebut
dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu kebijakan, kelembagaan, lingkungan strategis,
dan keterkaitan antarwilayah. Pengembangan KAPET didasarkan atas pendekatan
kewilayahan, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan KAPET terfragmentasi ke dalam
berbagai institusi di beberapa daerah dengan beberapa tingkat pemerintahan, kebijakan
KAPET dapat berhasil dilaksanakan bila seluruh unsur tersebut dapat berjalan sinergis,
namun sinergitas antarkebijakan tersebut sulit terwujud, terutama adanya otonomi daerah
yang memunculkan persepsi negatif dari pemerintah daerah. Kebijakan insetif fiskal KAPET
dinilai masih kurang menarik investor. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 147 Tahun
2000, pengusaha yang melakukan usaha di wilayah KAPET hanya diberi kemudian insetif
Pajak Penghasilan, sangat berbeda ketika Keppres 891996 jo 91998 masih berlaku yang
memberikan insentif di bidang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, pembebasan Pajak Penghasilan, penyusutan danatau amortisasi, dan kompensasi
kerugian di bidang Pajak Penghasilan. Begitu pula halnya insentif non fiskal. Kondisi
prasarana dan sarana di sebagian besar wilayah KAPET masih terbatas, sehingga
menghambat pengembangan industri dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya alam
KAPET. Pengurusan perijinan investasi juga dinilai pengusaha masih lama, berbelit, dan
lama, karena setelah tahun 2000, kewenangan BP KAPET dalam memberikan izin investasi,
dicabut kembali.
Selain itu dari sisi kelembagaan, Keppres 1502000, kelembagaan KAPET terdiri dari Badan
Pengembangan Bapeng KAPET yang terdiri dari kementerian dan lembaga terkait dan
bertugas dalam merumuskan kebijakan dan mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan
pembangunan KAPET, serta Badan Pengelola BP KAPET yang terdiri dari Gubernur dan
tenaga ahli yang bertugas untuk memberikan pertimbangan teknis pada pemerintah
daerah. Permasalahan dimulai dari kapasitas SDM di sebagian BP KAPET yang pada
umumnya belum sesuai dengan kebutuhan dalam manajemen wilayah dan pengembangan
bisnis. Minimnya anggaran yang diperoleh BP KAPET setiap tahunnya menjadi salah satu
penyebab sulitnya merekrut tenaga kerja yang ahli dan berpengalaman, serta untuk
mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi SDM‐nya. Minimnya anggaran ini disebabkan
kurangnya koordinasi dan dukungan dari Bapeng KAPET dan pemerintah daerah, mengingat
berdasarkan ketentuan dalam Keppres 1502000, kewenangan BP KAPET hanya sebatas
pemberi pertimbangan teknis kepada pemda dan sebagai fasilitator pengusaha, sehingga
dalam implementasi kebijakan KAPET, misalnya pembangunan infrastruktur, sangat
bergantung pada Bapeng KAPET dan pemda.
Faktor lingkungan turut menghambat perkembangan KAPET seperti lemahnya penerapan
kebijakan nasional yang terkait dengan investasi, misalnya Inpres 3 Tahun 2006 tentang
Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan Kepmendagri No. 24 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu PPTSP. Sebagian besar daerah
di wilayah KAPET belum memiliki sistem perizinan satu atappintu one stop serviceOSS
Isu Strategis
131
yang berguna untuk memudahkan pengusaha dalam memperoleh izin usaha. Kondisi ini
diperparah oleh munculnya peraturan‐peraturan daerah yang menerbitkan pajak dan
retribusi baru guna peningkatan pendapatan asli daerah PAD. Krisis ekonomi yang
berkepanjangan juga berdampak pada penurunan kemampuan pemerintah dalam
penyediaan
infrastruktur di wilayah KAPET.
2.
Belum optimalnya kerjasama antardaerah dalam pengelolaan dan pemasaran produk
unggulan.
Kondisi ini dibuktikan dengan belum efektifnya pelaksanaan agenda forum Gubernur,
belum berjalannya kerjasama antardaerah kabupatenkota melalui pendekatan Regional
Management, serta belum berkembangnya kemitraan antara industri besar dengan
industri kecil, serta lemahnya keterkaitan aktivitas ekonomi hulu dan hilir, sehingga produk
turunan pengolahan sektor unggulan daerah masih sangat terbatas. Lemahnya
sistem produksi dan distribusi komoditas antar wilayah yang belum menguntungkan
daerah produsen, disebabkan belum berkembangnya industri pengolahan yang
berbasis berbasis komoditi unggulan daerah setempat. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya
nilai tambah komoditas pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan akibat
belum berkembangnya mata rantai industri pengolahan.
3.
Tingginya kesenjangan perekonomian antarwilayah di Kalimantan. Kesenjangan
pembangunan antarwilayah ini ditunjukan oleh rendahnya kinerja ekonomi antar provinsi.
Kinerja ekonomi Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah
relatif lebih rendah dibandingkan kinerja ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur. Sementara
disparitas antar kabupatenkota dapat ditunjukan dengan tingginya selisih nilai PDRB
perkapita tertinggi dan terendah di setiap provinsi. Provinsi Kalimantan Timur, PDRB
perkapita tertinggi di Kota Bontang sebesar Rp. 182.336 ribujiwa sementara terrendah
sebesar Rp. 9.379 ribujiwa di Kabupaten Malinau. Di Provinsi Kalimantan Tengah dengan
perbadingan PDRB perkapita tertinggi di Kabupaten Sukamara sebesar Rp. 14.249 ribujiwa
dan PDRB perkapita terrendah di Kabupaten Pulang Pisau sebesar Rp. 5.550 ribujiwa. PDRB
perkapita tertinggi di Kalimantan Barat sebesar Rp. 11.475 Ribujiwa di Kota Pontianak, dan
terrendah di Kabupaten Melawi sebesar Rp. 3.369 ribujiwa. PDRB perkapita tertinggi di
Kalimantan Selatan sebesar Rp. 16.118 Ribujiwa di Kabupaten Kotabaru, dan terrendah di
Kabupaten Hulu Sungai Utara sebesar Rp. 3.557 ribujiwa. Sementara daerah relatif
tertinggal PDRB perkapita dan pertumbuhan PDRB di bawah rata‐rata provinsi menurut
Tipologi Klassen, di Provinsi Kalimantan Barat meliputi Kabupaten Sambas, Landak, Sintang,
Malawi, dan Kapuas Hulu, di Provinsi Kalimantan Tengah meliputi Kabupaten Kapuas,
Pulang Pisau, Barito Utara, dan Gunung Mas, di Provinsi Kalimantan Selatan meliputi
Kabupaten Barito Kuala, Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Utara, di Provinsi Kalimantan
Timur meliputi Kabupaten Penajam Paser Utara, Malinau, Bulongan dan Tarakan.
Kondisi kesenjangan wilayah di Kalimantan antara tahun 2004 dan 2008 menunjukan
kecenderungan semakin meningkat, hal ini diperlihatkan dengan nilai Theil indeks tahun
2008 lebih tinggi dibandingkan tahun 2004, yaitu tahun 2004 sebesar 0,18 dan tahun 2008
sebesar 0,94. Sektor migas berkontribusi sebesar 16,42 persen terhadap kesenjangan total
di wilayah Kalimantan. Kesenjangan di Wilayah Kalimantan lebih diakibatkan oleh adanya
kesenjangan antar provinsi dibandingkan kesenjangan dalam provinsi, dimana kesenjangan
antar provinsi between provinces inequality menyumbang rata‐rata 71,05 persen terhadap
Isu Strategis
132
kesenjangan total, dan sector migas memberikan kontribusi sebesar 29,55 persen terhadap
kesenjangan antarprovinsi. Sedang kesenjangan dalam provinsi within provinces
inequality menyumbang sebesar 28,94 persen.Kesenjangan dalam provinsi berarti
kesenjangan pendapatan antar kabupatenkota dalam masing‐masing provinsi. Wilayah
yang berkontribusi besar terhadap kesenjangan antar dan dalam provinsi adalah Provinsi
Kalimantan Timur.
Fakta lain terjadinya kesenjangan pembangunan tersebut juga dapat digambarkan dengan
penyebaran daerah tertinggal di wilayah Kalimantan, khususnya di sebagian besar
kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat. Ketertinggalan tersebut secara umum disebabkan
oleh terbatasnya prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi masyarakat dan
rendahnya aksesibilitas yang menghubungkan dengan pusat‐pusat pertumbuhan di wilayah
Kalimantan, belum optimalnya pemanfaatan transportasi lautsungai untuk aksesibilitas
daerah tertinggal dan pealaman, terbatasnya kemampuan sumberdaya manusia di
perdesaan dalam pemanfaatan potensi sumberdaya unggulan lokal, terbatasnya
kemampuan masyarakat di perdesaan dalam pengembanga usaha ekonomi, sulitnya akses
terhadap permodalan dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pembangunan daerah
perdesaan dan daerah tertinggal.
4.
Belum memadainya kualitas dan ketersediaan dukungan sistem transportasi darat, udara,
laut dalam mendukung interaksi antarwilayah. Kondisi ini berimplikasi pada rendahnya
kerjasama antarwilayah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi masing‐masing
wilayah. Hal ini ditunjukan oleh terbatasnya sistem jaringan jalan darat dan tingginya
persentase kondisi jalan rusak ringan dan rusak berat pada jalan negara, jalan provinsi dan
jalan kabupaten yang menghubungkan pusat‐pusat pertumbuhan antar wilayah di
Kalimantan yang disebabkan oleh terbatasnya anggaran untuk perbaikan dan pembangunan
jalan. Faktor lain adalah adanya hambatan geografis dimana wilayah Kalimantan terdiri dari
daerah perbukitan dan daerah bergambut pasang surut dan tingginya kerusakan sungai
dan terancamnya transportasi airsungai yang menunjang akses daerah pedalaman dan
terpencil. Kerusakan sungai ini disebabkan oleh tingginnya aktivitas perubahan penggunaan
lahan yang berakibat terhadap tingginya sedimentasi dan pencemaran, dan belum
optimalnya penataan sempadan sungai yang menyebabkan penyempitan badan sungai.
Rendahnya dukungan inrastruktur transportasi diantaranya dapat ditunjukkan dari
rendahnya pergerakan barang sebagai daerah asal maupun tujuan, diantaranya di
Kabupaten Kapuas Hulu dan kabupaten Melawi di Kalimantan Barat, Kabupaten Sukamara
dan Lamandau di Kalimantan Tengah, Kabupaten Tanah Bumbu, Tapin dan Balangan di
Kalimantan Selatan, serta Kabupaten Malinau dan Kutai Barat di Kalimantan Timur.
Belum terbangunnya interkoneksi antarwilayah dengan didukung multi moda daratsungai
sejalan dengan kondisi geografis wilayah Kalimantan. Dengan kondisi jaringan infrastruktur
seperti itu, keterkaitan antardaerah dan antara sentra produksi di perdesaan dan pusat‐
pusat pertumbuhan di perkotaan menjadi kurang optimal. Di sisi lain, jalur transportasi
sungai yang secara tradisional diandalkan seringkali mengalami pasang surut di daerah hulu
yang mengakibatkan semakin terbatasnya aksesibilitas desa‐desa di pedalaman.
5.
Krisis energi listrik dan belum optimalnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam untuk
pengembangan energi listrik Kalimantan. Hal ini ditunjukan oleh belum optimalnya
Isu Strategis
133
pemanfaatan potensi sumberdaya alam tambang batu bara untuk pengembangan energi
listrik di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan belum
optimalnya pengembangan sumber energi alternatif terbarukan di wilayah Kalimantan
Selatan, yang selanjutnya disebabkan masih rendahnya investasi, rendahnya dukungan
teknologi serta belum optimalnya kerjasama dengan lembaga penelitian seperti perguruan
tinggi dalam pengembangan energi alternative.
6.
Kesenjangan pembangunan wilayah di kawasan perbatasan negara dengan negara
tetangga Malaysia. Adanya kesenjangan kesejahteraan antara masyarakat di daerah
perbatasan Kalimantan dengan Malaysia disebabkan oleh rendahnya akses terhadap
pelayanan dasar, terbatasnya ketersediaan sarana prasarana wilayah, dan belum
optimalnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam sebagai produk unggulan lokal.
Permasalahan yang mendasar dalam pengembangan kawasan perbatasan negara di
Kalimantan Timur adalah karakteristik wilayahnya yang didominasi kawasan hutan, sebagian
besar merupakan kawasan lindung dan kawasan konservasi yaitu hutan Lindung seluas
79,026 Ha, dan Taman Nasional TN Kayan Mentarang seluas 225.800 Ha. Kawasan
perbatasan juga didominasi oleh Kawasan Budidaya Kehutanan seluas 54.354 Ha dan
Kawasan Budidaya Non Kehutanan seluas 55.780 Ha. Kondisi ini menyebabkan kendala
dalam pengembangan sarana dan prasarana dasar wilayah di kawasan perbatasan, kecuali
pada sebagian kawasan di Kabupaten Nunukan. Hingga saat ini belum ada solusi yang
memuaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perbatasan yang bermukim di
dalam kawasan hutan yang berstatus kawasan lindung dan konservasi, terutama terkait
dengan persoalan aksesibilitas wilayah. Sesuai hasil analisis, beberapa wilayah kabupaten
yang terletak di kawasan perbatasan negara antara lain Kabupaten Nunukan, Malinau, dan
Kutai Barat belum dapat diakses secara mudah melalui jalan darat dan hanya dapat
dijangkau oleh moda transportasi sungai atau udara. Hingga saat ini masih terdapat 6
kecamatan di Kabupaten Kutai Barat, 2 kecamatan di Kabupaten Nunukan, dan 4 kecamatan
di Kabupaten Malinau yang terisolasi dari pusat kegiatan di Pulau Kalimantan.
Pemanfaatan ruang kawasan perbatasan di Provinsi Kalimantan Barat lebih dinamis
dibandingkan provinsi Kalimantan Timur. Sebesar 40 persen kawasan perbatasan 960,487
Ha dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan karena statusnya merupakan
kawasan budidaya, sementara 60 persen lainnya 1,411,866 Ha merupakan kawasan
lindung. Hanya kecamatan‐kecamatan perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu yang memiliki
kawasan lindung lebih dominan daripada kawasan budidaya. Permasalahan mendasar
pengembangan kawasan perbatasan di Kalimantan Barat adalah perwujudan struktur ruang
perbatasan yang belum optimal yang ditandai dengan belum berfungsinya sebagian besar
kota ‐kota Pusat Kegiatan Strategis Nasional PKSN sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi
perdagangan dengan negara tetangga, kecuali pada PKSN Entikong yang telah
dikembangkan sebagai Pos Lintas Batas Internasional sejak tahun 1991. Selain itu,
aksesibilitas menuju PKSN dan antar PKSN masih lemah karena kondisi infrastruktur jalan
yang buruk atau bahkan belum tersedia.
7.
Tingginya degradasi sumberdaya hutan dan lahan berdampak pada kerusakan ekosistem
alam, hilangnya keanekaragaman hayati dan tingginya daerah rawan banjir dan longsor di
daerah hilir. Hal ini ditunjukan oleh cukup tingginya laju konversi lahan hutan ke
Isu Strategis
134
penggunaan lahan pertanian khususnya di provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur
dan Kalimantan Selatan yang disebabkan belum optimalmya pengawasan dan penegakan
hukum bagi para pelaku peramah hutan, pertambangan liar, tumpang tindih kebijakan antar
sektor dalam pemanfaatan ruang, dan belum jelasnya pembagian wewenang antara
pemerintah pusat dan daerah. Tingginya angka kebakaran hutan dan lahan gambut
khususnya di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan, hal ini
disebabkan oleh aktivitas pembukaan lahan dengan cara pembalakan liar yang tidak
terkendali, dan belum optimalnya pengawasan dan penegakan hukum. Tinginya kerusakan
Daerah Aliran Sungai DAS di provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Selatan disebabkan belum optimalnya pemanfaatan lahan kritis untuk kegiatan ekonomi
dan belum optimalnya kerjasama antar pemerintah daerah dalam pengelolaan DAS.
Maraknya aktivitas penebangan liar illegal logging hutan khususnya di provinsi Kalimantan
Timur dan Kalimantan Barat dan aktivitas pertambangan liar illegal mining di Kalimantan
Selatan, hal ini disebabkan belum optimalnya pengawasan dan penegakan hukum bagi para
pelaku penebangan liar dan pertambangan liar.
8.
Belum tuntasnya permasalahan penataan ruang di wilayah kalimantan. Dalam bidang
penataan ruang yang menjadi permasalahan adalah bagaimana melakukan sinkronisasi
perencanaan terutama untuk mengatasi dampak dari berbagai bentuk pengembangan
struktur dan pola pemanfaatan ruang. Misalnya bagaimana merehabilitasi kawasan‐
kawasan lindung pada saat infrastruktur jalan juga akan dibangun secara besar‐besaran.
Seperti diketahui pembangunan akses jalan seringkali menimbulkan dampak berupa
kerusakan lingkungan. Selanjutnya bagaimana merehabilitsi lahan dan hutan jika akan
dibangun industri‐industri pengolahan yang membutuhkan input berbasis sumber daya
lahan dan hutan. Dengan demikian yang menjadi kata kunci adalah bagaimana tahapan dari
setiap bentuk pengembangan struktur dan pola pemanfaatan ruang akan
diimplementasikan dan bagaimana pengendalian pemanfaatan ruang dapat berjalan secara
efektif. Konflik
masalah tata ruang ini misalnya dihadapi oleh Pemerintah provinsi Kalimantan Selatan
berkaitan dengan titik koordinat wilayah batas kawasan kehutanan dengan wilayah peruntukan
lainnya, batas titik koordinasi peta antara kementerian kehutanan dengan peta 13
wilayah kabupatenkota di Kalimantan Selatan yang masih belum ada kesepakatan. Hal ini
sudah dibahas di BKPRN Bakosurtanal, PU dan Bappenas, kehutanan, dll, dan ditindaklanjuti
dengan menyurati Menteri Kehutanan berkaitan dengan adanya perbedaan tersebut.
Namun hingga saat ini belum ada penyelesaiannya, sehingga berimplikasi kepada proses
perijinan investasi. Adanya perbedaan referensi dalam penggunaan Peta pemanfaatan
ruang, berimplikasi pada perbedaan status kawasan dengan kondisi eksisting di
lapangan. Misalnya kawasan permukiman, perkebunan dan industri yang nyata di lapangan
telah berkembang, ternyata berada pada kawasan lindung berdasarkan peta referensi
yang digunakan kementerian Kahutanan. Permasalahan
lain dalam bidang penataan ruang adalah bagaimana kelembagaan pengendalian
pemanfaatan ruang dapat bekerja efektif apabila sektor yang menguasai ruang
di Wilayah Kalimantan terutama Departemen Kehutanan dan Deparatemen Pertambangan
dan Energi tidak dilibatkan dalam pengawasan pemanfaatan ruang. Bahkan
Isu Strategis
135
belum terjadi kesepakatan antara departemen sektoral dengan pemerintah daerah dalam
hal status lahan. Apabila masalah konflik kelembagaan ini masih terjadi maka RTRW
Wilayah Kalimantan akan mengalami hambatan signifikan dalam implementasinya.
Isu ‐isu dan permasalahan mengenai tata ruang adalah i Kebijakan rehabilitasi lingkungan
berbarengan dengan kebijakan untuk membangun infrastruktur jalan dan industri
pengolahan berbasis sumber daya alam yang berpotensi menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan dan. ii Belum adanya kesepakatan antara Pemda dan depatemen
sektoral Departemen Kehutanan dan Departemen Pertambangan Energi dalam
perencanaan pemanfaatan ruang.
Kesimpulan dan Rekomendasi