Pemberontakan DITII URAIAN MATERI
79
diterima seperti bekas pasukan yang lain seperti KNIL dan PETA tanpa banyak persyaratan dan birokrasi yang menghambatnya. Dan pasukan yang
dipimpinnya masuk ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Pada saat pelantikan tanggal 17 Agustus 1951 dengan pangkat Letnan
Kolonel Kahar Muzakar dengan pengikut-pengikutnya melarikan diri ke hutan. Sebagai puncak dari ketidakpuasan ini maka menghimpun pengikut-
pengikutnya dalam Komando Gerilyawan Sulawesi Selatan KGSS dan menyatakan dukungannya dengan DITII Kartosuwiryo. Melalu oprasi militer
akhirnya pada tanggal 1 Februari 1965 tempat persembunyiannya ditemukan di Sungai Lasolo. Pada tanggal 3 Agustus 1965 dia tertembak dan tewas
sebelum sempat lima meter melangkah.
b DITII Aceh
Secara kronologi, permasalahan di Aceh ini terjadi setelah kemerdekaan RI. Terjadi pertentangan antara kaum ulama Aceh dan kaum bangsawan atau
uleebalang. Kaum ulama Aceh tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh PUSA, pimpinan Daud Beureueh. Pemerintah pusat berusaha
menengahi konflik, dengan memberikan status daerah istimewa dengan gubernur Daud Beureueh. Status daerah istimewa ini setingkat dengan
propinsi. Pada tahun 1950, pemerintah RI melakukan penyederhanaan
administrasi negara, sehingga Daerah Istimewa Aceh diturunkan statusnya dari Daerah Istimewa menjadi sebuah karisidenan, bagian dari Provinsi
Sumatra Utara. Menanggapi kebijakan ini, Daud Beureueh pada tanggal 20 September 1953 mengeluarkan maklumat bahwa Aceh menjadi bagian dari
DITII Kartasuwuryo. Tidak seperti peristiwa DITII yang lain, peristiwa ini dapat diakhiri
dengan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” pada 17-28 Desember 1962 atas peran Komandan Panglima I, Kolonel M. Yasin. Daud Beureueh bersedia
mengakhiri pemberontakan karena Pemerintah Pusat memberikan kembali status politik khusus pada Aceh. Aceh diakui sebagai provinsi yang memiliki
status istimewa dalam bidang agama, adat, dan pendidikan.
c DITII Jawa Tengah
Gerakan DITII juga menyebar ke Jawa TengahTegal, Brebes dan Pekalongan, yang dipimpin oleh Amir Fatah. Setelah bergabung dengan DITII
80
Kartasuwiryo maka Amir Fatah diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa Tengah. Pada bulan Januari 1950 dibentuk Komando Gerakan Banteng Negara
GBN dibawah Letkol Sarbini untuk menghadapi pemberontakan DIII di Jawa Tengah ini. Lelkol Sarbini sebagai komandan GBN berturut-turut diganti Letkol M.
Badrun dan diganti Letkol. Ahmad Yani. Daerah operasinya juga diberi nama sebagai daerah GBN. Kekuatan DITII di GBN ini berhasil dilemahkan melalui
operasi militer, namun kemudian gerakan ini menguat lagi. Penyebabnya di Kebumen muncul pemberontakan oleh Angkatan Umat Islam AUI yang dipimpin
oleh Kyai Moh. Mahfudz Abdulrachman Romo Pusat atau Kiai Sumolanggu yang didukung Batalion 426 di Kedu dan Magelang serta bergabungnya Gerakan
Merapi-Merbabu Complex MMC. Pada akhirnya, pemberontakan ini dapat diredam pada tahun 1957 melalui operasi Banteng Raiders.
d DITII Kalimantan Selatan
Pemberontakan DITII di Kalimantan Selatan dikobarkan Ibnu Hadjar, seorang bekas Letnan Dua TNI. Ia memberontak dan menyatakan gerakannya
sebagai bagian dari DITII Kartosuwiryo. Dengan pasukan yang dinamakannya Kesatuan Rakyat yang Tertindas, Ibnu Hadjar menyerang pos-pos kesatuan
tentara di Kalimantan Selatan dan melakukan tindakan pengacauan pada bulan Oktober 1950. Pemerintah memberi kesempatan kepada Ibnu Hadjar untuk
menghentikan pemberontakannya secara baik-baik. Ia pernah menyerahkan diri dengan pasukannya. Ia diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik
Indonesia. Namun ia melarikan diri dan melanjutkan pemberontakan. Pemerintah RI akhirnya mengambil tindakan tegas. Pada akhir tahun 1959, pasukan
gerombolan Ibnu Hadjar dapat dimusnahkan. Ibnu Hadjar sendiri dapat ditangkap.