Uji Toleransi Lambung Terhadap Fero Sulfat Yang Diberikan dalam Cangkang Kapsul Alginat pada Penderita Anemia Defisiensi Besi

(1)

UJI TOLERANSI LAMBUNG TERHADAP FERO SULFAT YANG DIBERIKAN DALAM CANGKANG KAPSUL ALGINAT PADA PENDERITA

ANEMIA DEFISIENSI BESI

TESIS

Oleh

DWI LESTARI P. 057014003/FM

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

ANEMIA DEFISIENSI BESI

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Farmasi

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DWI LESTARI P. 057014003/FM

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(3)

Judul Tesis : UJI TOLERANSI LAMBUNG TERHADAP FERO SULFAT YANG DIBERIKAN DALAM CANGKANG KAPSUL ALGINAT PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI

Nama Mahasiswa : Dwi Lestari P.

Nomor Pokok : 057014003

Program Studi : Ilmu Farmasi

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt) Ketua

(Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH) (Dr. Edy Suwarso, SU, Apt)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt.

Anggota : 1. Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH 2. Dr. Edy Suwarso, SU, Apt.

3. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. 4. Dr. Karsono, Apt.


(5)

ABSTRAK

Penggunaan sediaan besi oral konvensional dengan FeSO4 umumnya menyebabkan

efek samping pada saluran cerna berupa ketidaknyamanan pada epigastrik, mual, muntah, nyeri ataupun kram pada abdomen, konstipasi, heartburn, dan kadang-kadang juga diare. Penelitian ini dilakukan untuk menilai toleransi lambung penderita anemia defisiensi besi dengan lambung normal (berdasarkan pemeriksaan endoskopi) terhadap fero sulfat yang diberikan dengan memakai cangkang kapsul alginat. Penelitian dilakukan secara acak, tersamar ganda, dan terkendali menggunakan kontrol pembanding fero sulfat yang dimasukkan dalam cangkang kapsul gelatin. Subyek diacak untuk memberikan fero sulfat dalam cangkang kapsul gelatin (13 orang, kelompok kontrol) dan fero sulfat dalam cangkang kapsul alginat (13 orang, kelompok uji). Dosis fero sulfat yang diberikan adalah sebanyak 300 mg (~60 mg Fe) yang diminum sehari satu kali pada saat satu jam sebelum makan selama 4 minggu. Karakteristik awal subyek (usia, kadar Hb dan feritin serum awal) tidak berbeda secara bermakna antara kelompok pembanding dengan kelompok uji. Efek samping pada saluran cerna yang dinilai adalah rasa mual, rasa panas di perut, lambung terasa penuh, muntah, konstipasi, diare, dan perut nyeri. Subyek diwawancara pada hari ke-7, 14, 21, dan 28 setelah minum obat, setelah subyek mengisi kartu harian efek samping, untuk mengklarifikasi efek samping serta menilai kepatuhan subyek. Sebagai data sekunder, pada akhir minggu keempat juga dilihat kadar Hb dan feritin serum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari tujuh efek samping saluran cerna tersebut, mual merupakan keluhan yang paling sering terjadi pada kelompok yang mendapatkan fero sulfat dalam cangkang kapsul gelatin; yang berbeda secara bermakna dengan kelompok yang memperoleh fero sulfat yang dalam cangkang kapsul alginat berdasarkan uji statistik 2 (chi-square). Kepatuhan kelompok kapsul alginat lebih tinggi (94,5%) dibandingkan dengan kelompok kapsul gelatin (83,79%). Peningkatan kadar Hb rata-rata kelompok kapsul gelatin dan alginat berturut-turut adalah 0,46 ± 0,57 g/dL dan 0,51 ± 0,46 g/dL. Peningkatan feritin serum pada kelompok kapsul gelatin adalah 29,28 ± 18,9 μg/L dan kelompok kapsul alginat adalah 16,68 ± 12,95 μg/L. Kedua parameter hematologi ini tidak berbeda secara bermakna pada kedua kelompok berdasarkan uji statistik independent samples t-test. Berdasarkan hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa fero sulfat dengan dosis 300 mg dalam cangkang kapsul alginat dapat ditoleransi oleh penderita anemia defisiensi besi dengan lambung normal, dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan juga memberikan efektivitas terapi yang setara dengan fero sulfat dalam cangkang kapsul gelatin.

Kata kunci : FeSO4, kapsul alginat, toleransi, efek samping saluran cerna, anemia


(6)

The use of conventional oral iron preparations FeSO4, generally may cause

gastrointestinal side-effects such as epigastric discomfort, nausea, vomiting, abdominal pain or cramp, constipation, heartburn and sometimes also diarrhoea. This study was done to evaluate the tolerance of stomach to the FeSO4 that given in

alginate capsule by the patients of iron deficiency anemia with normal stomach (based on endoscopic investigation). FeSO4 was given once a day with a dose 300 mg

(~60 mg Fe) for 4 weeks. This work was done by randomized and double-blind study; and the control of the study was FeSO4 that given in gelatin capsule. This study was

done to 26 patients with iron deficiency anemia that was randomized to receive a daily dose of 300 mg FeSO4 in gelatin capsule (13 women, control group) and

alginate capsule (13 women, tested group). The capsule was taken one hour before breakfast for 4 weeks everyday. The baseline characteristics of subjects (age, hemoglobin, and serum ferritin concentration) were not different significantly between control and tested groups. The side-effects assessed were nausea, heartburn, fully stomach, vomiting, constipation, diarrhoea, and abdominal pain. Subjects were interviewed at the 7th, 14 th, 21th, and 28th days after the patiens filled the daily card of side effects to obtain the clarification of side-effects and to assess degree of compliance. As a secondary data, at the end of study, the hemoglobin and serum ferritin concentrations were determined. This clinical study shown that of those seven side-effects assessed, nausea occured significantly more frequent in the subjects that taken FeSO4 in gelatin capsule; it was different significantly to those subjects that

taken FeSO4 in the alginate capsule, base on 2 (chi-square) test. The compliance

(ratio between observed and recommended capsules intake) was higher in the subjects taken FeSO4 in alginate capsules (94,5%) compare to the subjects taken FeSO4 in the

gelatin capsules (83,79%). The increase of hemoglobin concentration in the patiens taken FeSO4 in gelatin and that taken FeSO4 in alginate capsules were 0,46 ± 0,57

g/dL and 0,51 ± 0,46 g/dL, respectively. The increase of serum ferritin concentration in the patients taken FeSO4 in gelatin and that taken FeSO4 in alginate capsules were

29,28 ± 18,9 μg/L and 16,68 ± 12,95 μg/L, respectively. These two hematologic parameters were not significantly different between two groups, base on independent t-test. In conclusion, FeSO4 in dose 300 mg given in alginate capsule could be

tolerated by the patiens of iron deficiency anemia with normal gaster, give higher compliance, and also give the equivalent therapeutic effect as FeSO4 given in gelatin

capsule.

Key word : FeSO4, alginate capsule, tolerance, gastrointestinal side-effects, iron


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Uji Toleransi Lambung Terhadap Fero Sulfat Yang Diberikan Dalam Cangkang Kapsul Alginat Pada Penderita Anemia Defisiensi Besi”.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa FeSO4 yang diberikan

dalam cangkang kapsul alginat dapat ditoleransi oleh penderita anemia defisiensi besi dengan lambung normal. Dengan penelitian ini diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pengembangan produk antianemia yang tidak menimbulkan efek samping saluran cerna sehingga dapat digunakan secara aman dan nyaman oleh penderita anemia defisiensi besi sehingga dapat meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan untuk kemudian meningkatkan efektivitas pengobatan anemia.

Dengan selesainya tesis ini, penulis haturkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. H. Chairuddin P. Lubis, SpA(K), DTM&H; Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc beserta Ketua Program Studi Magister Farmasi, Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Farmasi.

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, dan Dr. Edy Suwarso, SU, Apt., selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah


(8)

Prof. dr. Lukman Hakim Zain, KGEH, dr. Mabel HM Sihombing, SpPD-KGEH, dr. Leonardo B. Dairi, SpPD-SpPD-KGEH, dr. Sri M. Soetadi, SpPD-SpPD-KGEH, beserta para staf dokter dan paramedis lainnya di Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu dalam memberikan bimbingan dan saran pada peneliti serta membantu dalam pelaksanaan pemeriksaan endoskopi para peserta penelitian.

Para dokter dan staf di Instalasi Patologi Klinik serta Poli Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Nancy Hutagalung dan staf di Puskesmas Simalingkar Medan, Bidan Diana Simanjuntak, Dra. Nurminda Silalahi, MSi, Apt., serta Dra. Isma Pane, MSi, Apt., yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini di lapangan.

DP3M Dirjen Dikti atas bantuan penelitian melalui Hibah Tim Pascasarjana. PT Capsugel Indonesia atas bantuan kapsul gelatin transparan yang diperlukan dalam penelitian ini sebagai pembawa FeSO4 pada kelompok pembanding.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua, suami, anak-anak, beserta keluarga besar, rekan-rekan sejawat, serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini. Penulis berharap bahwa tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2008

Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : DWI LESTARI P.

Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 7 Februari 1975

Alamat : Jl. Jermal VII Gg. Murni 3 No. 11 Medan

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri Teladan 01 Pekanbaru/SDN Tanjung Duren XI Pagi Jakarta : 1981- 1987

2. SMP Negeri 111 Jakarta/SMP Negeri 13 Bandung : 1987 – 1990 3. SMA Negeri 3 Bandung : 1990 – 1993

4. Sarjana Farmasi (S1) Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung : 1993 - 1997

5. Profesi Apoteker, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung : 1998 – 1999

Riwayat Pekerjaan :

1. Store Manager/Apoteker pada outlet Century Healthcare, Jakarta/Bandung : 1999 – 2001


(10)

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... II KATA PENGANTAR ... III RIWAYAT HIDUP... IV DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 13

1.3 Hipotesis... 13

1.4 Tujuan Penelitian ... 13

1.5 Manfaat Penelitian ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 15

2.1 Tinjauan Zat Besi ... 15

2.2 Anemia ... 22

2.3 Anemia Defisiensi Besi... 24

2.4 Pemantauan Terapi Zat Besi ... 30

2.5 Sediaan Zat Besi Oral... 31

2.6 Fero Sulfat... 33

2.7 Saluran Pencernaan ... 38

2.8 Endoskopi... 41

2.9 Mekanisme Perdarahan Di Lambung Yang Disebabkan Oleh Fero Sulfat ... 42


(11)

2.10 Sediaan Zat Besi Tanpa Efek Samping Yang Telah Beredar Di

Perdagangan ... 43

2.11 Penelitian Sediaan Zat Besi Tanpa Efek Samping... 44

2.12 Kapsul Alginat ... 47

2.13 Alginat... 48

BAB III METODOLOGI ... 51

3.1 Alat Dan Bahan ... 51

3.2 Rancangan Penelitian ... 51

3.3 Subyek... 51

3.4 Jumlah Subyek ... 53

3.5 Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan ... 54

3.6 Izin Subyek Penelitian... 54

3.7 Waktu Dan Tempat Penelitian ... 54

3.9 Variabel Penelitian ... 57

3.10 Definisi Operasional... 57

3.11 Data Penelitian ... 58

3.12 Analisis Data ... 59

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 81

5.1 Kesimpulan ... 81

5.2 Saran... 82


(12)

Nomor Judul Halaman

2.1 Distribusi Zat Besi Tubuh ... 17

2.2 Nilai Hematologi Normal (Little, 1999) ... 23

2.3 Kriteria Hematologi untuk Diagnosa Anemia Defisiensi Besi ... 28

2.4 Persentase Besi Elemental ... 32

4.1 Tabel Karakteristik Subyek... 61

4.2 Tabel Proporsi Subyek yang Melaporkan Efek Samping ... 64

4.3 Tabel Persentase Kepatuhan Subyek dengan Berbagai Variabel... 75

4.4 Tabel Data Pemeriksaan Hemoglobin dan Feritin ... 77


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 12

2.1 Absorpsi Zat Besi di Usus... 20

2.2 Kinetika Besi Harian ... 22

2.3 Proses Molekuler Pengikatan dan Pelepasan Besi dari Kom- pleks Transferin-Reseptor Transferin ... 23

2.4 Tahapan Defisiensi Besi... 25

2.5 Sistem Pencernaan Manusia... 39

2.6 Sistem Pencernaan yang Direntangkan ... 39

2.7 Bagian-bagian Lambung Manusia ... 40

2.8 Lapisan Dinding dan Kelenjar Lambung ... 41

2.9 Struktur asam -D-manuronat dan asam g-L-guluronat ... 48

2.10 Model Pengkelatan Ca pada Rantai Guluronat ... 49

3.1 Kapsul FeSO4 300 mg... 55

3.2 Alur Penelitian... .. 56

4.1 Hasil Endoskopi Lambung Subyek Kelompok Gelatin ... 66

4.2 Hasil Endoskopi Lambung Subyek Kelompok Alginat ... 67

4.3 Grafik Skoring Rata-Rata Keluhan Efek Samping Mingguan Selama Pemberian FeSO4 300 mg Pada Kelompok Kapsul Gelatin dan Alginat ... 68


(14)

Nomor Judul Halaman

1 Surat Persetujuan Komite Etik... 89

2 Surat Pernyataan Persetujuan Mengikuti Penelitian... 90

3 Data Karakteristik Subyek ... 91

4 Data Keluhan Efek Samping Subyek Kelompok Kapsul Gelatin... 92

5 Data Keluhan Efek Samping Subyek Kelompok Kapsul Alginat .... 94

6 Hasil Endoskopi Subyek Kelompok Kapsul Gelatin Dan Alginat Sebelum Pemberian FeSO4 300 Mg ... 96

7 Hasil Endoskopi Subyek Kelompok Kapsul Gelatin... 98

8 Hasil Endoskopi Subyek Kelompok Kapsul Alginat... 100

9 Data Kepatuhan... 101

10 Data Pemeriksaan Hb dan Feritin ... 102

11 Hasil Endoskopi Awal Kelompok Alginat – Gastritis... 103

12 Data Keluhan Efek Samping Kelompok Kapsul Alginat-Gastritis .. 105

13 Data Kepatuhan Kelompok Kapsul Alginat - Gastritis ... 107


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anemia adalah suatu keadaan penurunan jumlah sel darah merah (hematokrit) atau kadar hemoglobin (protein pengangkut O2) di dalam sel darah merah di bawah

nilai normal sehingga menyebabkan penurunan kapasitas sel darah merah untuk mengangkut oksigen (Berkow, 1997; Kennedy, et.al., 2007). Dalam hal ini defisiensi

besi merupakan masalah nutrisi yang paling sering terjadi di seluruh dunia dan menjadi penyebab anemia yang paling umum di seluruh dunia; WHO memperkirakan sekitar 30% populasi mengalami anemia defisiensi besi (ADB) termasuk yang disebabkan oleh masalah gastroenterologi (Khusun, et.al., 1999; Little, et.al., 1999;

Beard, 2000; Gasche, et.al., 2004; NIH/ODS, 2005). Tidak seperti halnya dengan

masalah gizi lainnya, anemia cukup sering terjadi baik di negara berkembang maupun industri (FAO, 2006); yang dapat diderita oleh seluruh kelompok umur mulai dari bayi, balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa, dan lanjut usia. Asia Tenggara memiliki prevalensi anemia pada wanita yang paling tinggi di seluruh dunia, dengan 80% dari wanita hamil mengalami anemia (Kennedy, et.al., 2005), sedangkan di

Afrika, anemia dialami oleh 47% wanita hamil, 39% di Amerika Latin, 65% di Mediterania Timur, dan 4% di Pasifik Barat. Di negara industri seperti Eropa dan Amerika Utara, prevalensi anemia defisiensi adalah 1% pada pria dewasa dan 14%


(16)

pada wanita dewasa dengan penyebab utama masalah perdarahan yang berlangsung kronis (menstruasi berat ataupun masalah saluran cerna) (Troost, et.al., 2003). Di

Amerika Serikat, defisiensi besi umum terjadi pada anak-anak usia 1 - 2 tahun yaitu sebesar 7% serta pada remaja putri dan wanita yang mengalami haid (9 - 16%) (NAAC, 2005).

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001, prevalensi anemia defisiensi besi (ADB) pada balita 0 - 5 tahun adalah sekitar 47%, anak usia sekolah dan remaja sekitar 26,5%, dan wanita usia subur (WUS) berkisar 40%. Melihat beberapa hasil survei ini, maka ADB masih merupakan masalah gizi utama pada anak-anak, ibu hamil, dan wanita pada umumnya. Penelitian yang dilakukan PT Merck pada 2004 di tiga kota di Sumatera Utara, yaitu di Medan, Pematang Siantar dan Kisaran dari 9377 orang yang diperiksa darahnya, 33% di antaranya menderita anemia (www.depkes.go.id, 2004). Dengan demikian ADB merupakan masalah kesehatan masyarakat yang tidak hanya nyata oleh karena penyebarannya sangat luas di seluruh dunia, yaitu diperkirakan dialami oleh 2,15 milyar orang di seluruh dunia (Viteri, 1997; Khusun, et.al., 1999), tetapi juga karena konsekuensi kliniknya yang

serius baik pada orang dewasa maupun anak-anak (Kennedy, et.al., 2005). Berbagai

gejala anemia dihasilkan akibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah yaitu seperti mudah lelah, lemah, lesu, muka pucat, kuku mudah pecah, kurang selera makan, nafas pendek, hingga menurunkan ketahanan serta kinerja fisik, sehingga menurunkan kapasitas kerja, juga dapat mempengaruhi fungsi kognitif seperti konsentrasi belajar rendah dan memperlambat daya tangkap pada anak-anak


(17)

3

usia sekolah, remaja putri dan kelompok usia lainnya (Suartika, 1999; Zavaleta, et.al.,

2000; AHFS, 2002). Defisiensi besi selanjutnya dapat menyebabkan kekurangan energi dan depresi sistem kekebalan sehingga meningkatkan resiko terhadap infeksi dan penyakit (Timmcke, 2005). Pada kehamilan, ADB berkaitan dengan meningkatnya resiko kelahiran prematur, mengganggu pertumbuhan janin dalam kandungan, bayi lahir dengan berat badan rendah, dan kematian ibu hamil saat melahirkan (Suartika, 1999; Zavaleta, et.al., 2000).

Oleh karena berbagai konsekuensi klinis di atas maka perlu dilakukan segera intervensi untuk mengatasi kondisi anemia defisiensi besi. Manajemen ADB adalah dengan pemberian sediaan zat besi secara oral sebagai rute pilihan; terutama bila kadar besi tubuh terlalu rendah untuk diatasi hanya dengan perbaikan pola makan yang mengandung zat besi selain juga bahwa fortifikasi makanan kurang praktis bagi kebanyakan negara berkembang (Cook, et.al., 1990). Sedangkan, penggunaan sediaan

parenteral digunakan secara sangat selektif oleh karena harganya yang mahal dan memiliki insidensi yang besar untuk terjadi reaksi yang tak diinginkan seperti reaksi anafilaksis (USPDI, 1989).

Pemberian sediaan besi oral terutama menggunakan bentuk garam-garam fero (fero sulfat, fero fumarat, atau fero glukonat) yang memiliki bioavailabilitas yang lebih baik daripada garam feri oleh karena memiliki kelarutan yang lebih tinggi dan mampu diabsorpsi tubuh 3 kali lebih tinggi daripada garam feri, terutama pada kondisi lambung kosong (USPDI 1989; Gillman, 1996; Troost, et.al., 2003). Garam


(18)

yang relatif lebih murah daripada bentuk garam fero lainnya selain juga memberikan efektivitas dan tolerabilitas yang setara dengan fero fumarat ataupun fero glukonat (Gillman, et.al., 1996; McDiarmid dan Johnson, 2002).

Penggunaan sediaan besi oral terutama dengan FeSO4 secara berulang

umumnya berkaitan dengan tingginya kejadian efek samping pada saluran cerna sehingga masalah ketidak-patuhan terhadap pengobatan menjadi hal biasa yang mengakibatkan penanganan ADB menjadi kurang efektif (Cook, et.al., 1990; Yip,

1996; Harvey, et.al., 1998; Beard, 2000; Hyder, et.al., 2002; Gastearena, et.al., 2003).

Efek samping pada saluran cerna tersebut umumnya berupa ketidaknyamanan pada epigastrik, mual, muntah, nyeri ataupun kram pada abdomen, konstipasi, heartburn,

dan terkadang juga diare (USPDI, 1995; Gillman, 1996; Yip, 1996 Beard, 2000; Zlotkin, et.al., 2001; ASHP, 2002; Makrides, et.al., 2003; Troost, et.al., 2003;

Katzung, 2004; GPAC, 2004). Intoleransi terhadap sediaan besi oral tersebut adalah fungsi dari jumlah zat besi ionik yang terlarut (dose-dependent) pada saluran cerna

bagian atas (Cook, et.al, 1990; Gillman, et.al., 1996, Yip, 1996; ASHP, 2002).

Efek samping pada saluran cerna tersebut kemungkinan adalah karena iritasi langsung terhadap mukosa lambung maupun duodenum, melalui mekanisme kerusakan oksidatif yang diinduksi oleh besi (Beard, 2000; Troost, et.al., 2003;

Gasche, et.al., 2004). Sifat iritasi tersebut terutama terjadi di lambung dan duodenum

proksimal yang memiliki pH rendah yang merupakan kondisi bagi besi fero untuk dapat terlarut dalam konsentrasi tinggi di satu area akibat dilepaskannya secara serentak dari sediaan (USPDI, 1989; Gennaro, 2000). Selanjutnya sediaan besi fero


(19)

5

yang terdapat di saluran cerna tersebut dapat menimbulkan efek samping akibat terjadinya inisiasi dan propagasi radikal bebas hidroksil dengan besi sebagai katalisatornya yang kemudian potensial merusak mukosa saluran cerna melalui mekanisme reaksi kimia Fenton; seperti yang digambarkan sebagai berikut :

[ ]

[

(Harvey, et.al.,1998; Troost, et.al., 2003; Gasche, et.al., 2004).

Selama reaksi kimia Fenton, besi fero mengakatalisis pembentukan radikal hidroksil dengan adanya anion radikal superoksida dan hidrogen peroksida yang merupakan hasil metabolisme normal. Radikal hidroksil yang terbentuk itulah yang bersifat sangat reaktif yang dapat menyebabkan kerusakan pada molekul-molekul biologi di lingkungan sekitarnya, menghasilkan rentetan reaksi yang menyebabkan lipida, protein, dan DNA mengalami kerusakan. Produksi spesies oksigen reaktif (SOR) seperti radikal anion superoksida, radikal hidroksil, dan hidrogen peroksida sebenarnya secara normal akan diimbangi oleh sistem antioksidan tubuh. Namun, produksi SOR yang berlebihan tetap akan menyebabkan terganggunya keseimbangan sistem prooksidan dan antioksidan, sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif pada epitel mukosa. Mekanisme ini telah diteliti oleh Troost, et.al. dalam penelitiannya

tentang kerusakan oksidatif di usus kecil manusia akibat pemakaian zat besi. Dalam penelitiannya tersebut, Troost, et.al. mengukur kadar Thiobarbituric Acid Reactive

Substances (TBARS) sebagai indikator terjadinya peroksidasi lipida mukosa setelah

perfusi larutan salin yang mengandung 80 mg Fe elemental ke dalam usus halus manusia sehat. Larutan salin diberikan dengan kecepatan tertentu sehingga

radikal hidroksil

(di lumen usus)

]

+2H +

• − + + − − + ⎯→⎯→+ OH OH O H O O

e 2 2 e 2 2 e

− + + ⎯ → Fe +e


(20)

menyerupai konsumsi zat besi oral yang terlarut lebih dahulu dalam cairan lambung yang kemudian dilepaskan secara bertahap ke usus halus. Penelitian tersebut menemukan bahwa terjadi peningkatan TBARS secara signifikan (Troost, et.al.,

2003). Dengan demikian, pada penderita yang telah mengalami gangguan saluran cerna dengan kapasitas antioksidan terganggu seperti pada inflammatory bowel

disease ataupun coeliac disease, konsumsi besi oral dapat menyebabkan kerusakan

oksidatif mayor; demikian pula pada penderita kolitis, ataupun gangguan usus lainnya, serta pada ulser lambung (USPDI, 1995; Beard, 2000).

Adanya berbagai efek samping saluran cerna di atas kemudian mengarahkan pada berbagai penelitian untuk menemukan bentuk sediaan besi oral baru yang dapat mengurangi efek samping saluran cerna tanpa kehilangan efektivitasnya.

Selama ini strategi untuk mengurangi efek samping saluran cerna adalah dengan mengkonsumsi sediaan besi setelah makan meskipun akan mengurangi absorpsi besi; terapi besi pada dosis rendah dengan frekuensi lebih sering atau mulai dari dosis lebih rendah lalu ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai dosis yang diinginkan pada penderita yang sulit mentoleransi besi, atau mencoba bentuk sediaan garam besi organik (Yip, 1996; ASHP, 2002; GPAC, 2004); ataupun dengan terapi yang diperpanjang dengan regimen besi oral sehari sekali yang dapat menjadi pilihan terbaik yang diharapkan dapat mencegah kegagalan terapi anemia akibat ketidakpatuhan (Mumtaz, et.al., 2000; Zavaleta, et.al., 2000; Zlotkin, et.al., 2001;


(21)

7

seminggu dua kali sebagai alternatif bagi penderita yang tak dapat mentoleransi efek samping saluran cerna pada regimen sehari sekali (deSouza, et.al., 2004).

Pada perkembangan selanjutnya berbagai sediaan farmasetika pun dirancang untuk meminimalkan konsentrasi puncak zat besi di lumen saluran cerna dengan memperlambat pelarutan obat. Hal ini kemudian memunculkan berbagai jenis formulasi besi yang memodifikasi bentuk sediaan, pelepasan, maupun jenis garam besi yang digunakan. Bentuk sediaan fero sulfat yang baru tersebut umumnya dirancang dapat menunda pelarutan zat besi di saluran cerna yaitu dengan melepaskan besi dengan kecepatan rendah akibat kerja cairan lambung pada pembawa obat sehingga dapat mengurangi bolus load Fe yang masuk ke saluran cerna (Beard,

2000). Memang, kemudian efek samping dapat berkurang secara nyata, kemungkinan oleh karena berkurangnya jumlah besi yang diabsorpsi. Penggunaan sediaan lepas tunda seperti salut enterik yang paling awal dikembangkan telah terbukti memiliki bioavailabilitas yang rendah akibat pelepasan Fe ditunda hingga tidak lagi di daerah absorpsinya yang maksimal selain harga yang lebih mahal (Rudinskas, et.al., 1989;

Walker, et.al., 1989; Delorme, et.al., 1990; Mukhopadhyay, et.al., 2004).

Bentuk sediaan besi khusus yang terbaru dikembangkan adalah FeSO4 yang

dikombinasi dalam gastric delivery system (GDS) yang dapat memperpanjang waktu

retensi besi di lambung. Penelitian Cook, et.al. pada 1990 membuktikan bahwa

sediaan ini memberikan absorpsi yang lebih besar dibandingkan dengan sediaan besi pada dosis yang sama tanpa GDS oleh karena besi dilepaskan secara lebih lambat ke saluran cerna. Pendekatan GDS ini sesuai untuk zat besi yang bersifat larut asam.


(22)

GDS terdiri dari hidroksipropilmetilselulosa, minyak sayur terhidrogenasi,

crospovi-done, selulosa mikrokristal, gom xantan, bubuk talk, Mg-stearat, dan silikon

hidroko-loid yang kemudian ditambahkan FeSO4 ke dalamnya sehingga membentuk matriks

yang dapat menahan FeSO4 terus terapung dalam cairan lambung hingga desintegrasi

berakhir. Daya apung kemudian dipertahankan oleh hidrokoloid yang membentuk lapisan melingkar terhidrasi yang mencegah masuknya air ke inti (Cook, et.al., 1990).

Alternatif lain untuk mengurangi efek samping adalah menggunakan zat besi dalam bentuk garam atau pun kompleks yang berbeda; di antaranya adalah beberapa sediaan yang baru tersedia di beberapa negara yaitu seperti ferric iron polymaltose

complex, ferric trimaltol, atau haeme iron polypeptide. Besi feri diketahui memiliki

sifat pro-oksidan yang kurang potensial namun bersifat kurang larut dan umumnya ketersediaanhayatinya rendah (Harvey, et.al., 1998; Gasche, et.al., 2004). Selain itu

terdapat pula kompleks besi yang terikat pada inti protein yang mana Fe akan dilepaskan secara bertahap dan terus-menerus sebagai besi ion yaitu seperti TM/FMOA (ferrimannitol-ovoalbumin) dan iron protein succinylate sehingga

mencegah efek toksik besi terhadap mukosa saluran cerna (Gastearena, et.al., 2003).

Dengan dilatarbelakangi oleh prevalensi ADB yang cukup tinggi di Indonesia serta akibat klinisnya yang serius, maka suplementasi besi merupakan hal yang cukup penting. Maka dengan pendekatan yang hampir mirip dengan GDS, namun dengan menggunakan jenis bahan baku yang lebih sedikit maka dirancanglah sistem pengantaran zat besi yang diperlambat dengan menggunakan sistem slow-release


(23)

9

menggunakan kapsul alginat yang tahan asam lambung (gastric resistant capsule)

(Bangun, dkk., 2005). Kapsul alginat menggunakan bahan baku natrium alginat yang

raw material-nya cukup berlimpah di Indonesia namun belum banyak dimanfaatkan

untuk tujuan farmasetika terutama sebagai pembawa obat yang dapat mencegah iritasi lambung. Kapsul alginat memiliki sifat tidak pecah di lambung namun hanya mengembang membentuk pori-pori sebagai jalan bagi zat besi untuk keluar dari kapsul secara bertahap sehingga zat besi tidak langsung dilepaskan dalam jumlah besar dalam satu waktu, namun dilepaskan sedikit demi sedikit (Sumaiyah, 2006). Dengan demikian dosis zat besi sebagian besar sudah terlarut di lambung sebelum dilepaskan secara bertahap ke bagian usus untuk dapat diabsorpsi di duodenum dan jejunum atas. Selain itu produksi sediaan kapsul relatif ekonomis, tidak mengandung bahan dari hewan, serta dengan bentuk kapsul dapat dimasukkan sejumlah zat untuk suplementasi multinutrisi ataupun untuk meningkatkan absorpsi.

Alginat merupakan suatu polimer linier dengan sifat dapat membentuk gel yang tersusun dari unit asam -(1→4)-D-manuronat (M) dan asam g-(1→4)-L-guluronat (G) dengan rumus umum (C6H8O)n. Alginat telah digunakan secara luas dalam

berbagai formulasi oral maupun topikal. Pada formulasi controlled release, telah

diteliti pembuatan sediaan mikropartikel indometasin dengan menggunakan sistem koaservat hidrokoloid dari asam alginat-gelatin. Natrium alginat juga telah digunakan dalam sediaan sustained-release oral oleh karena dapat menunda disolusi obat dari


(24)

Penelitian-penelitian tentang alginat yang membuktikan bahwa alginat dapat dimanfaatkan untuk mengurangi iritasi lambung diantaranya adalah penggunaan alginat dalam bentuk dispersi (Shiraisi, 1991), enkapsulasi (Bangun, 2002), kapsul alginat (Sinurat, 2005; Hutabarat, 2006; Susanti, 2006) maupun matriks alginat (Lavinur, 2006) untuk membawa obat-obat NSAID yang terbukti tidak menyebabkan iritasi lambung pada lambung hewan percobaan (kelinci dan tikus). Selain itu juga telah dilakukan beberapa penelitian pendahuluan berkaitan dengan fero sulfat dengan memanfaatkan kapsul alginat. Di antaranya adalah penelitian tentang disolusi fero sulfat dalam kapsul alginat yang memberikan hasil bahwa profil disolusi fero sulfat dari cangkang kapsul alginat adalah lebih lambat daripada dari kapsul gelatin sehingga membuktikan bahwa cangkang kapsul alginat dapat mencegah pelepasan zat besi secara serentak di satu area pada lambung sehingga dapat mencegah terjadinya iritasi lambung (Sagala, 2005). Penelitian lain melaporkan bahwa fero sulfat yang diformulasi dalam cangkang kapsul alginat tidak mengurangi absorpsi fero sulfat di daerah lambung yang dibuktikan dengan terdapatnya korelasi yang erat antara pelepasan FeSO4 secara in-vitro dengan absorpsi FeSO4 secara in-vivo pada kelinci

(Sumaiyah, 2006). Dengan demikian tampak keunggulan kapsul alginat dalam mencegah efek iritasi lambung dari FeSO4 selain juga memberikan bioavailabilitas

sediaan yang baik sehingga dapat memberikan efek terapi yang diharapkan. Pada penelitian praklinis oleh Lisda (2007, belum dipublikasi) tentang disolusi dan efek iritasi lambung terhadap tablet salut film FeSO4 yang direformulasi dalam cangkang


(25)

11

kapsul alginat dan dibandingkan dengan yang dimasukkan dalam cangkang kapsul gelatin maupun tetap pada bentuk tablet salut film, memberikan hasil yang sama.

Maka merupakan hal yang menarik untuk melihat toleransi sediaan fero sulfat yang diberikan dalam bentuk cangkang kapsul alginat tersebut pada manusia sehingga nantinya dapat digunakan pada praktek klinik sehari-hari. Untuk itu peneliti bermaksud untuk mengetahui toleransi lambung pada penderita defisiesi besi/anemia defisiensi besi dengan kondisi lambung normal pada penggunaan sediaan fero sulfat yang diberikan dalam bentuk cangkang kapsul alginat. Secara lebih singkat kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.


(26)

ANEMIA DEFISIENSI BESI

(a) prevalensi cukup tinggi (b)konsekuensi klinik merugikan : akibat menurunnya kemampuan eritrosit terutama Hb dalam mengangkut O2

MANAJEMEN ANEMIA

(1) atasi penyebab untuk mencegah kehilangan Fe lebih lanjut, (2) perbaiki kondisi anemia & kembalikan cadangan besi tubuh

FORTIFIKASI MAKANAN - tidak praktis

- tidak efektif untuk kondisi anemia parah

TABLET BESI

KAPSUL (GELATIN) BESI

GARAM FERO (terutama ferro sulfat)

- lebih mudah larut dan diabsorpsi 3 kali lipat daripada garam feri (USPDI, 2000)

- harganya relatif lebih murah daripada bentuk garam fero lainnya (McDiarmid & Johnson, 2002) Efek samping : gangguan saluran cerna terutama iritasi lambung dan duodenum bagian atas

PENANGGULANGAN MASALAH :

FORMULASI SEDIAAN DENGAN PELEPASAN ZAT BESI DIPERLAMBAT DI LAMBUNG (slow release gastric delivery system)

namun tetap mencapai Cmax yang dipersyaratkan di pH lambung sehingga efektivitas >>> dengan efek samping <<<<

UJI TOLERANSI LAMBUNG PADA PENDERITA ADB/DB DENGAN LAMBUNG NORMAL INJEKSI BESI

- penggunaan sangat selektif untuk kondisi tertentu

- mahal

- dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan (anafilaksis) SIRUP/ELIXIR BESI

lebih mahal, menodai gigi, untuk anak

SEDIAAN BESI KONVENSIONAL

- pelepasan zat besi segera/serentak di satu area di lambung

- absorpsi baik di tapak absorpsi besi di duodenum dan jejunum proksimal

- iritasi lambung (+) intoleransi hal yang biasa

- kepatuhan terapi kurang kegagalan terapi

SUPLEMENTASI BESI

SEDIAAN BESI DENGAN PELEPASAN DIMODIFIKASI (Salut enterik, dan lain-lain) -pelepasan zat besi ditunda hingga di usus (pH basa) -iritasi lambung (-)

-absorpsi rendah di tapak absorpsi besi karena pelepasan besi ditunda hingga usus yang kondisinya kurang baik untuk absorpsi besi

SEDIAAN FERO SULFAT DALAM KAPSUL ALGINAT YANG TAHAN ASAM LAMBUNG

ö tidak pecah di lambung namun melalui pori-porinya besi dapat keluar sedikit demi sedikit sebagai bentuk terlarut

ödiabsorpsi di bagian proksimal usus sebagai tempat absorpsi besi yang maksimal. (Catatan : Sumaiyah, 2006 telah melakukan penelitian sediaan ini pada hewan percobaan kelinci)

VARIABEL TERIKAT Keluhan Efek Samping pada saluran cerna, Peningkatan Hb dan feritin serum VARIABEL BEBAS

FeSO4 dalam kapsul gelatin dan alginat


(27)

13

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah fero sulfat yang diberikan dalam cangkang kapsul alginat dapat ditoleransi oleh penderita anemia defisiensi besi/defisiensi besi dengan kondisi lambung normal.

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka hipotesis penelitian ini adalah bahwa sediaan fero sulfat yang diberikan dalam cangkang kapsul alginat dapat ditoleransi oleh penderita anemia defisiensi besi/defisiensi besi dengan kondisi lambung normal.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mencari alternatif bentuk sediaan baru yang aman bagi lambung untuk menangani anemia defisiensi besi.

1.4.2 Tujuan khusus

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa sediaan fero sulfat yang diberikan dalam cangkang kapsul alginat dapat ditoleransi oleh penderita anemia defisiensi besi/defisiensi besi dengan lambung normal.


(28)

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan masukan dalam rangka pengembangan produk sediaan antianemia yang tidak menimbulkan efek samping pada saluran cerna sehingga dapat digunakan secara lebih nyaman dan aman oleh penderita; dan selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan penderita terhadap regimen obat untuk meningkatkan efektivitas terapi anemia defisiensi besi.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Zat Besi

Zat besi merupakan salah satu logam yang penting bagi hampir semua bentuk kehidupan termasuk manusia. Zat besi merupakan unsur yang penting bagi manusia oleh karena memegang peranan dalam banyak proses metabolisme; yaitu sebagai bagian integral dari banyak protein dan enzim. Dalam hal ini zat besi merupakan komponen penting dalam pembentukan hemoglobin normal, yaitu bahwa zat besi harus tersedia dalam jumlah yang memadai agar proses eritropoiesis berlangsung efektif sehingga pengangkutan oksigen oleh darah ke jaringan-jaringan tubuh (terutama otak dan otot) pun berlangsung efektif (Sacher, 2004). Zat besi juga penting bagi pengaturan pertumbuhan dan diferensiasi sel. Adanya defisiensi besi akan membatasi pengantaran oksigen ke sel tubuh sehingga menyebabkan kelelahan, kinerja tubuh yang buruk, dan menurunnya kekebalan tubuh. Namun di lain pihak, zat besi yang berlebihan juga menyebabkan toksisitas bahkan kematian.

Jumlah zat besi pada orang dewasa adalah sekitar 2,5 – 5 g, yang mana dua pertiganya adalah sebagai bagian dari hemoglobin yang mengangkut oksigen. Peran pengangkutan oksigen tersebut juga dilakukan oleh zat besi dalam proses pembentukan mioglobin yaitu molekul hemoglobin yang mirip hemoglobin yang terdapat di dalam sel-sel otot. Mioglobin yang berikatan dengan oksigen inilah yang


(30)

menyebabkan daging dan otot berwarna merah. Selain itu zat besi juga berperan sebagai kofaktor berbagai enzim penting seperti sitokrom, xantin oksidase, katalase dan peroksidase (Tripathi, 2001; AHFS, 2002).

2.1.1 Distribusi zat besi

Zat besi dalam tubuh terdapat dalam bentuk fungsional dan yang berupa simpanan. Besi fungsional ditemukan dalam hemoglobin, mioglobin, enzim hem, kofaktor dan besi transpor. Sedangkan bentuk lainnya tersimpan dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Feritin adalah suatu molekul protein bulat berukuran besar yang terdiri dari sebuah selubung apoferitin dan inti bagian dalam feri oksihidroksida. Jika besi diserap pada saat simpanan feritin tubuh berlebih, maka besi tersebut diendapkan di membran lisosom sebagai suatu kompleks pseudokristalin yang disebut homosiderin (Sacher, 2004). Tempat penyimpanan feritin dan hemosiderin adalah di mukosa usus, hati, limpa, dan sumsum tulang (Ivey, 1986).

Tempat penyimpanan zat besi yang paling penting adalah sel retikuloendotel. Besi parenkim terdapat sebagai gugus prostetik dalam banyak enzim seluler seperti sitokrom, peroksidase, katalase, dan beberapa enzim mitokondria (Tripathi, 2004).

Jumlah total zat besi pada orang dewasa adalah 2,5 – 5 g (rata-rata 3,5 g). Jumlah zat besi pada pria lebih tinggi (50 mg/kgBB) daripada wanita yang hanya 38 mg/kgBB. Distribusi zat besi dalam tubuh dapat dilihat pada Tabel 2.1.


(31)

17

Tabel 2.1 Distribusi Zat Besi Tubuh

Kompartemen Zat Besi (g) Persentase Total

Hemoglobin 2.7 66

Mioglobin 0.2 3

Enzime Hem 0.008 0.1

Enzim Non-hem < 0.0001 ---

Simpanan Intraseluler (Feritin) 1.0 30

Transpor Intraseluler (Transferin) 0.003 0.1

(http://sicklece.bwh.harvard.edu/iron_transport.html)

Hemoglobin merupakan suatu protoporfirin yang pada tiap molekulnya memiliki empat residu hem yang mengandung besi. Hilangnya darah sebanyak 100 mL (~15 g Hb) berarti kehilangan 50 mg besi elemental. Untuk meningkatkan kadar Hb darah sebesar 1 g/dL maka diperlukan sekitar 200 mg Fe (Tripathi, 2004).

2.1.2 Zat besi dalam makanan

Zat besi yang terdapat dalam makanan tersedia dalam dua bentuk, yaitu besi hem dan besi non-hem. Besi hem dapat diabsorpsi lebih baik yaitu hingga 35% daripada besi non-hem yang hanya sekitar 5%. Besi non-hem paling banyak terdapat dalam bentuk feri sehingga perlu direduksi terlebih dahulu ke bentuk fero untuk dapat diabsorpsi (Tripathi, 2004). Besi hem berasal dari hemoglobin sehingga dapat ditemukan di sumber pangan hewani (daging sapi, ikan, ayam, dan hati). Absorpsi besi hem sebagian besar tak tergantung pada makanan lain yang dikonsumsi secara bersamaan. Sedangkan besi non hem merupakan bentuk zat besi utama dalam makanan (berbagai sayuran hijau, buah-buahan, kacang-kacangan, beras, jagung,


(32)

gandum dan kentang); yang absorpsinya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti adanya zat pereduksi seperti asam askorbat (misalnya dari brokoli, stroberi, tomat, bayam, jeruk), yang dapat mereduksi besi feri menjadi fero sehingga mempermudah disolusi zat besi. Meskipun jumlah besi non-hem yang dapat diabsorpsi sangat sedikit, keberadaan daging ataupun asam askorbat dapat meningkatkan absorpsinya hingga 1,5 – 2 kali, tergantung kebutuhan relatif tubuh terhadap besi (Ivey, 1986; NIH/ODS, 2005). Faktor penghambat absorpsi besi adalah tanin (terdapat dalam teh), kalsium, polifenol (dalam kopi, teh herbal, minuman mengandung coklat), fitat (terdapat dalam havermut, kacang, bubuk coklat, ekstrak vanilla, buncis), kalsium dan fosfat (terdapat dalam antasida dan tablet kalsium), yaitu dengan membentuk kompleks dengan besi, serta adanya makanan lain di lambung (NIH/ODS, 2005).

2.1.3 Kebutuhan zat besi tubuh

Untuk mengimbangi kehilangan zat besi per hari, maka kebutuhan pada tiap kelompok usia adalah 0,5 – 1 mg untuk pria dewasa, 1 - 2 mg untuk wanita dewasa yang mengalami menstruasi, 60 μg/kg BB untuk bayi, 25 μg/kg BB untuk anak-anak, dan 3 - 5 mg untuk wanita hamil pada 2 trimester terakhir (Tripathi, 2004).

2.1.4 Absorpsi zat besi

Pola makan normal sehari-hari biasanya mengandung 10 - 20 mg zat besi, yang mana 10 - 20% (~1 mg) dapat diabsorpsi tubuh. Pada kondisi defisiensi, absorpsi besi dapat meningkat hingga 20 - 30% (Ivey, 1986). Sedangkan pada individu yang


(33)

non-19

defisiensi, 3 – 10% besi yang dikonsumsi dapat diabsorpsi (USPDI, 1989). Absorpsi besi terutama terjadi di duodenum dan jejunum proksimal. Dan absorpsi lebih efisien jika besi dikonsumsi dalam bentuk fero pada kondisi lambung kosong. Jika diberikan bersama makanan, jumlah besi yang diabsorpsi berkurang hingga 1/2 - 1/3-nya dibandingkan pada lambung kosong (USPDI, 1989; ASHP, 2002).

Kemampuan absorpsi besi tiap individu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu oleh tingkat simpanan besi tubuh, jenis besi yang dikonsumsi, serta makanan lain yang dikonsumsi bersamaan dengan zat besi. Absorpsi zat besi meningkat untuk menghadapi peningkatan kebutuhan tubuh akan zat besi seperti pada kehamilan, menyusui, pertumbuhan, dan kondisi defisiensi besi (Tripathi, 2004).

Absorpsi zat besi sebenarnya dapat berlangsung di sepanjang usus, tetapi absorpsinya yang paling utama adalah pada bagian duodenum dan jejunum proksimal (USPDI, 1989) oleh karena kondisi asamnya akan mendorong terbentuknya fero sehingga meningkatkan absorpsi zat besi (Sacher, 2004). Jumlah zat besi tubuh dikendalikan dari tempat absorpsinya tersebut sehingga dapat mencegah masuknya zat besi dalam jumlah yang berlebihan ke dalam tubuh. Secara molekuler absorpsi zat besi di usus dapat digambarkan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.


(34)

Gambar 2.1 Absorpsi Zat Besi di Usus (Andrews, 2005)

Absorpsi zat besi pada mamalia memerlukan proses transpor besi melintasi bagian apikal maupun basolateral membran enterosit duodenum. Besi makanan masuk ke dalam epitel usus melalui transporter brush-border yaitu Divalent Metal

Transporter (DMT1), yang jumlahnya meningkat jika terjadi defisiensi besi, dan

keluar melewati membran basolateral. Bentuk besi yang dapat diabsorpsi adalah bentuk Fe(II); maka Fe(III) harus diubah dahulu oleh duodenal cytochrome b (Dcytb)

sebelum diterima oleh DMT1 pada membran brush-border apikal. Bagian basolateral

kemudian mentransfer besi dengan membutuhkan hephaestin (enzim besi oksidase yang mengandung tembaga) dan protein transpor IREG1. Sebagian zat besi ini tetap berada di dalam sel untuk digunakan di sana atau untuk disimpan dalam feritin. Sedangkan sisanya ditransfer ke sirkulasi oleh feroportin (eksporter besi non-hem).


(35)

21

Besi yang dilepaskan kemudian harus dioksidasi untuk dapat berikatan dengan transferin (Anderson, 2002; Andrews, 2005).

Sedangkan proses absorpsi besi hem, dimediasi oleh HCP1 (Heme Carrier

Protein 1) yang juga terdapat pada membran apikal pada usus proksimal, sebagai

tempat absorpsi besi hem yang utama. Sejumlah hem kemudian dikatabolisme oleh hem oksigenase. Besi anorganik yang kemudian dilepaskan kemungkinan juga mengalami hal yang sama dengan besi non-hem. Keberadaan protein eksporter yaitu Bcrp dan FLVCR, meningkatkan kemungkinan bahwa hem transit di dalam enterosit untuk kemudian diekspor ke serum (Andrews, 2005).

2.1.5 Metabolisme zat besi (pengangkutan, penyimpanan dan ekskresi besi)

Metabolisme besi merupakan siklus kompleks antara penyimpanan, penggunaan, transpor, penghancuran dan penggunaan kembali zat besi oleh tubuh. Pengelolaan besi dalam tubuh adalah proses yang sangat dinamik. Besi diserap di usus; hati mengeluarkan apotransferin ke dalam kandung empedu dan kemudian mengalir ke duodenum. Di usus ini apotransferin terikat pada besi bebas dari makanan membentuk transferin (Wibowo, 2006).

Transferin mengikat besi dalam bentuk feri. Dari sekitar 3 gram total zat besi pada pria dewasa, sekitar 3 mg atau 0,1%-nya bersirkulasi dalam plasma sebagai suatu exchangeable pool (Gambar 2.2). Jumlah ini didaur ulang sepuluh kali setiap harinya

(turnover besi adalah sekitar 30 mg/hari) (Tripathi, 2004). Pada dasarnya secara


(36)

berperan untuk menjadikan zat besi solubel pada kondisi fisiologis, mencegah toksisitas dari radikal besi bebas, dan memfasilitasi transpor besi ke dalam sel.

mioglobi enzim

hemoglobin 2700 mg

Transferin disintesis di hati yang kemudian disekresikan ke dalam plasma (http://sickle.bwh.harvard.edu/iron_transport.html).

Zat besi diangkut ke dalam sel melalui ikatannya dengan transferin ke reseptor spesifik yang terdapat pada membran sel. Proses molekuler pengikatan dan pelepasan zat besi dari kompleks transferin – reseptor transferin dapat dilihat pada Gambar 2.3.

2.2 Anemia

Anemia adalah suatu keadaan terjadinya penurunan jumlah sel darah merah (hematokrit) atau kadar hemoglobin (protein pengangkut O2) di bawah normal untuk

kelompok orang yang bersangkutan sehingga menyebabkan penurunan kapasitas sel darah merah untuk mengangkut oksigen (Berkow, 1997; Kennedy, 2007). Kriteria

1000 mg

makanan 10 mg Fe 24 mg/hari

5 mg/hari

usus

1-2 mg/hari

Besi Transpor (transferin) dalam plasma (turnover 30

mg/hari)

Penyimpanan (feritin)

dikeluarkan melalui kulit,

saluran cerna dan air seni 1-2 besi y rpsi d

ang tidak diabso ikeluarkan melalui tinja

9 mg/hari

Gambar 2.2 Kinetika Besi Harian (http://sickle.bwh.harvard.edu/iron_transport. html, 2007)


(37)

23

WHO untuk diagnosa anemia adalah kadar Hb < 13 g/dL pada pria dewasa dan 12 g/dL pada wanita (Mukhopadhyay, 2002). Nilai normal untuk hematokrit dan hemoglobin bervariasi pada tiap jenis kelamin dan kelompok umur yang dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Gambar 2.3 Proses Molekuler Pengikatan dan Pelepasan Besi dari Kompleks Transferin - Reseptor Transferin (Dhungana, dkk., 2004)

Tabel 2.2 Nilai Hematologi Normal (Little, 1999)

Kelompok usia Hemoglobin Hematokrit (%)

1-3 hari 14.5 - 22.5 g/dL (145 - 225 g/L) 45 - 67

6 bulan – 2 tahun 10.5 - 13.5 g/dL (105 - 135 g/L) 33 - 39

12 - 18 tahun (pria) 13.0 - 16.0 g/dL (130 - 160 g/L) 37 - 49 12 - 18 tahun (wanita) 12.0 - 16.0 g/dL (120 - 160 g/L) 36 - 46

>18 tahun (pria) 13.5 - 17.5 g/dL (135 - 175 g/L) 41 - 53


(38)

2.3 Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh sehingga kebutuhan besi untuk eritropoiesis tidak cukup, ditandai de-ngan gambaran eritrosit hipokrom-mikrositer, kadar besi serum dan saturasi transferin menurun, kapasitas ikat besi total tinggi, dan cadangan besi besi dalam sumsum tulang dan tempat lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali (NAAC, 2005).

2.3.1 Tahapan defisiensi besi

Defisiensi besi berkembang secara bertahap dan biasanya diawali dengan adanya kesetimbangan besi yang negatif, yaitu saat asupan besi tidak dapat meme-nuhi kebutuhan harian zat besi. Kesetimbangan negatif ini pada awalnya akan menipiskan jumlah simpanan besi namun kadar Hb masih tetap normal.

Gambaran jumlah cadangan besi pada tiap tahap perkembangan defisiensi besi dapat dilihat pada Gambar 2.4. Pada tahap awal, mulai terjadi kekurangan zat besi yang bersifat laten; zat besi yang hilang melebihi dari asupan zat besi, sehingga mulai menipiskan cadangan besi di sumsum tulang dan kadar feritin serum pun menurun namun Hct dan Hb masih normal. Selanjutnya besi serum mulai menurun dan dan bertambahnya absorpsi besi ditandai dengan kapasitas pengikatan besi meningkat, tetapi hanya terjadi sedikit sedikit penurunan pada Hct dan Hb. Hilangnya zat besi yang berlanjut terus dan pengambilan besi cadangan tak dapat memenuhi kebutuhan untuk pembentukan eritrosit, maka jumlah eritrosit yang diproduksi menjadi lebih sedikit. Selanjutnya pada akhirnya sintesis hemoglobin menjadi terganggu dan gejala


(39)

25

anemia menjadi lebih jelas; sumsum tulang berusaha mengkompensasi kurangnya zat besi dengan mempercepat pembelahan sel sehingga menghasilkan eritrosit dengan ukuran yang sangat kecil (mikrositik), yang menjadi ciri khas ADB. Pada akhirnya besi jaringan pun mulai hilang yaitu yang berada di hati, kulit maupun otot. Sejalan dengan terus berlanjutnya defisiensi besi maka gejala anemia pun mulai dirasakan semakin memburuk (Berkow, 1997; Wahyuni, 2004; www.virginia.edu, 2006).

Gambar 2.4 Tahapan Defisiensi Besi (www.virginia.edu)

Normal

Penipisan Fe

Anemia defisiensi besi awal Anemia defisiensi besi tahap akhir Anemia defisiensi besi jaringan

sumsum tulang sel darah merah jaringan

2.3.2 Faktor penyebab anemia defisiensi besi

Penyebab anemia defisiensi besi yang paling umum adalah karena pola makan yang tidak memadai terutama kurangnya asupan zat besi yang berasal dari makanan terutama pada masa pertumbuhan yang cepat seperti pada anak-anak, bayi, pubertas, kehamilan (FAO/WHO, 2002), masalah malabsorpsi zat besi serta adanya kehilangan


(40)

darah secara kronis yaitu terutama perdarahan akibat luka peptikum, karsinoma kolon ataupun lambung, konsumsi obat-obatan yang mengiritasi lambung (aspirin, anti-inflamasi non-steroid, steroid, antikanker seperti fluorourasil, mitramisin, dan daktinomisin), adanya infeksi parasit, serta perdarahan pada saluran kemih (terutama pada pria dewasa dan wanita pascamenopause) maupun kondisi menstruasi yang berat (terutama pada wanita usia 15 - 45 tahun) (Ivey, 1986; Gennaro, 2000).

Individu yang mengalami gagal ginjal terutama yang harus didialisis, beresiko tinggi mengalami ADB. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal memproduksi eritropoietin dalam jumlah yang cukup untuk dapat membentuk sel darah merah. Baik zat besi maupun eritropoietin dapat hilang saat dialisis. Oleh karena itu penderita dialisis harus diberi tambahan zat besi dan eritropoietin sintetis untuk mencegah defisiensi besi (NIH/ODS, 2005).

2.3.3 Gejala klinik anemia defisiensi besi

Gejala yang menyertai defisiensi besi tergantung pada kecepatan perkembangan anemia. Pada kasus perdarahan kronik dan lambat, tubuh beradaptasi terhadap peningkatan anemia yang lambat dan penderita dapat mentoleransi kadar Hb yang sangat rendah (Gasche, et.al., 2004; Provan, 2007). Berbagai gejala anemia

dihasilkan akibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah yaitu seperti mudah lelah, lemah, lesu, muka pucat, kuku mudah pecah, kurang selera makan, nafas pendek, hingga menurunkan ketahanan serta kinerja fisik, sehingga menurunkan kapasitas kerja selain juga dapat dapat mempengaruhi fungsi kognitif


(41)

27

seperti konsentrasi belajar rendah dan memperlambat daya tangkap pada anak-anak usia sekolah, remaja putri dan sebagainya (Suartika, 1999; Zavaleta, et.al., 2000;

AHFS, 2002). Defisiensi besi selanjutnya dapat menyebabkan kekurangan energi dan depresi sistem kekebalan sehingga meningkatkan resiko terhadap infeksi dan penyakit (Timmcke, 2005). Pada kehamilan, ADB berkaitan dengan meningkatnya resiko kelahiran prematur, mengganggu pertumbuhan janin dalam kandungan, bayi lahir dengan berat badan rendah, dan kematian ibu hamil saat melahirkan. (Suartika, 1999; Zavaleta, et.al., 2000).

Defisiensi besi kemungkinan juga akan menimbulkan gejala yang khas yaitu pika/geofagia (memakan bahan non-nutrisi seperti sampah dan tanah liat), glositis, dan pecah-pecah pada pinggir mulut (kheilosis) dan di kuku jari sehingga tampak seperti sendok (koilonisia); hal ini terutama terjadi pada defisiensi besi kronik (Berkow, 1997). Pada anemia yang parah, dapat terjadi takikardia dan gagal jantung.

Namun terkadang tidak ada keluhan yang dirasakan bila penderita mengalami anemia defisiensi besi ringan yang akan baru diketahui mengalami anemia bila dibuktikan melalui tes darah yang menunjukkan bahwa kadar hemoglobin (Hb) cukup rendah (< 12 g/dL pada wanita; < 13 g/dL pada pria). Gejala biasanya baru tampak jika anemia berada pada tingkat moderat ataupun parah (Mukhopadhyay, 2002).

2.3.4 Diagnosis anemia defisiensi besi

Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan darah serta sumsum tulang bila perlu. Untuk memudahkan keseragaman


(42)

diagnosis anemia defisiensi besi, WHO menetapkan kriteria seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Kriteria Hematologi untuk Diagnosa Anemia Defisiensi Besi

Parameter Hematologi ADB Normal

Hemoglobin Pria dewasa

wanita dewasa (tak hamil) wanita dewasa (hamil)

< 13 g/dL < 12 g/dL < 11 g/dL

15 g/dL 13 -14 g/dL 12 g/dL

Feritin serum < 12 μg/L 12 – 200 μg/L

Besi Serum < 50 μg% 80 -160 μg%

TIBC (Total Iron Binding Capacity) > 400 μg% 250 – 400 μg%

Saturasi transferin < 15 % 30 – 35 %

MCHC (mean corpuscular haemoglobin

concentration)

< 31 % 32 -35 %

Feritin serum yang rendah merupakan indikator defisiensi besi terbaik oleh karena merupakan parameter pertama yang mengalami penurunan dan lagipula kadar feritin serum mencerminkan status cadangan besi (GPAC, 2004; PSC, 2005).

Rendahnya serum feritin menunjukkan serangan awal defisiensi besi, namun tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi tersebut karena variabilitasnya sangat tinggi. Kadar feritin serum kurang dari 15 μg/L menunjukkan bahwa cadangan besi benar-benar telah deplesi. Jika kadar feritin serum di atas 20 μg/L hingga 30

μg/L menunjukkan bahwa masih ada zat besi di tempat penyimpanan tetapi

kemungkinan tidak akan memadai untuk memenuhi kebutuhan progenitor proliferasi eritrosit (Gasche, 2004; Harper, 2007)


(43)

29

Dalam beberapa kasus, tes monitoring terapi besi dengan dosis dewasa 180 mg Fe/hari dapat diberikan. Peningkatan Hb 10 - 20 g/L dalam 2 – 4 minggu merupakan kriteria diagnostik untuk defisiensi besi (GPAC, 2004).

Jika defisiensi besi telah dipastikan, maka perlu dilakukan penelusuran klinis secara lengkap termasuk adanya kemungkinan sejarah perdarahan gastrointestinal atau adanya malabsorpsi (misal pada penyakit seliak) untuk memastikan penyebab defisiensi besi yang sesungguhnya untuk kemudian diobati.

2.3.5 Manajemen anemia defisiensi besi

Manajemen ADB yang efektif tergantung pada manajemen yang efektif terhadap penyebab mendasar ADB dan terapi dengan zat besi (Provan, 2007). Prinsip terapi anemia adalah berusaha mengatasi penyebab anemia untuk mencegah kehi-langan zat besi lebih lanjut. Sedangkan sebagai tujuan dari terapi ADB adalah untuk mengkoreksi kurangnya massa hemoglobin dan mengembalikan simpanan besi yaitu dengan memberikan sediaan besi kepada semua penderita ADB (Mukhopadhyay, 2002). Respon pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk di dalamnya adalah beratnya defisiensi yang terjadi, adanya penyakit lain yang menyertai, kemampuan penderita untuk menerima dan mengabsorpsi sediaan besi. Terapi yang efektif diikuti oleh meningkatnya produksi sel darah merah (Wibowo, 2006).

Suplementasi besi dipilih jika dengan makanan saja tidak dapat mengembalikan kadar besi ke nilai normal dan ini menjadi penting jika penderita telah mengalami gejala klinik dari ADB. Dalam hal ini terapi penggantian besi secara oral merupakan


(44)

cara utama yang dipilih untuk terapi ADB. Jika penderita tidak memberikan respon terapi yang memadai, tidak dapat mentoleransi sediaan besi oral, adanya masalah malabsorpsi, ataupun karena adanya perdarahan yang berlangsung terus-menerus dengan pemberian sediaan besi oral, maka pemberian melalui rute parenteral dapat dipertimbangkan. Rute intravena merupakan yang lebih disukai karena rute intramuskular memberikan sifat absorpsi yang tak dapat diprediksi serta kemungkinan timbulnya komplikasi lokal (Little, 2002).

2.4 Pemantauan Terapi Zat Besi

Respon terapi dapat dievaluasi dengan mengetahui peningkatan Hb dan hitung retikulosit. Respon positif jika ditemukan kenaikan konsentrasi Hb 0,1 – 0,3 g/dL atau kenaikan Ht 1% pada hari keempat. Retikulosit meningkat dalam 3-5 hari dimulai pengobatan, mencapai puncaknya pada hari ke-7 – 10 (Lubis, 2004). Untuk mencapai nilai Hb yang diharapkan membutuhkan waktu rata-rata 1 – 2 bulan. Sekali kadar Hb mencapai nilai normal, maka terapi besi terus dilanjutkan paling tidak hingga 3 bulan berikutnya untuk mengembalikan cadangan besi (Wibowo, 2006).

Selain pemantauan terhadap efektivitas pengobatan, perlu diperhatikan pula efek samping yang timbul akibat pemakaian sediaan besi oral terutama efek samping pada saluran cerna yang umumnya berupa mual, muntah, nyeri epigastrik, diare, konstipasi, ataupun tinja yang berwarna hitam (ASHP, 2002).


(45)

31

2.5 Sediaan Zat Besi Oral

Sediaan besi oral diindikasikan untuk profilaksis maupun terapi anemia defisiensi besi. Namun sebagai catatan adalah bahwa penyebab defisiensi besi yang sesungguhnya harus selalu ditentukan karena mungkin berkaitan dengan penyakit yang lebih serius (USPDI, 1989).

Sediaan besi oral umumnya mengandung besi non-heme dalam bentuk garam fero; yang umumnya merupakan senyawa fero anorganik dan organik sederhana ataupun senyawa kompleks fero. Garam fero lebih dipilih karena memiliki kelarutan yang lebih tinggi daripada garam feri sehingga lebih mudah diabsorpsi daripada garam feri (ASHP, 2002) yaitu 3 kali lebih tinggi daripada garam feri, terutama pada saat lambung kosong (Goodman dan Gilman, 1996; USPDI 1989). Perbedaan diantara berbagai macam sediaan besi salah satunya adalah dalam hal iritasi lokal dan kerja astringennya; yang biasanya tidak diberikan oleh senyawa kompleks besi. Semua senyawa fero dioksidasi dalam saluran cerna dengan melepaskan radikal hidroksil yang akan menyerang dinding saluran cerna dan menghasilkan berbagai gejala dan ketidaknyamanan pada saluran cerna (Gasche, et.al., 2004).

Sedangkan sebagai obat pilihan utama dalam manajemen ADB adalah sediaan fero sulfat oral. Sediaan alternatif lainnya yang dapat digunakan adalah fero glukonat dan fero fumarat. Ketiga bentuk tersebut dapat diabsorpsi dengan baik dan memiliki efektivitas yang setara jika diberikan dalam dosis Fe elemental yang ekivalen selain juga memberikan efek samping pada saluran cerna yang tidak berbeda secara signifikan jika diberikan pada dosis besi elemental yang setara (McDiarmid dan


(46)

Johnson, 2002; Ibrahim, 2005). Perhitungan dosis sediaan besi harus selalu berdasarkan jumlah besi elementalnya, seperti seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.4 (Little, 1999)

Dalam hal bentuk sediaan, bentuk tablet ataupun kapsul, lebih disukai daripada bentuk cair seperti sirup. Sediaan besi dalam bentuk sirup, yang umumnya ditujukan untuk anak-anak, dapat membuat gigi berwarna kecoklatan (Tripathi, 2004).

Tabel 2.4 Persentase Besi Elemental

Nama Sediaan Besi elemental Jumlah Besi elemental

Fero sulfat 20 % 300 mg 60 mg

Fero sulfat, eksikatus 30 % 200 mg 60 mg

Fero glukonat 12 % 300 mg 35 mg

Fero fumarat 33 % 200 mg 65 mg

Sediaan besi oral paling baik diabsorpsi jika dikonsumsi 30 menit sebelum makan. Secara umum, satu tablet sehari sudah cukup memadai, namun terkadang diperlukan hingga 2 tablet per hari. Oleh karena kemampuan usus untuk mengabsorpsi besi terbatas, maka dosis yang lebih besar akan tidak berguna dan malah tak dapat dicerna dan menyebabkan konstipasi (Berkow, 1997).

Sediaan zat besi oral yang umum digunakan di Indonesia untuk pencegahan maupun terapi defisiensi besi biasanya merupakan sediaan yang mengandung besi dalam bentuk fero sulfat, fero fumarat, dan fero glukonat. Secara khusus, pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah melaksanakan penanggulangan ADB pada ibu hamil di seluruh Indonesia dengan memberikan Tablet Tambah Darah (TTD) yang


(47)

33

mengandung 60 mg Fe elemental dalam bentuk fero sulfat dan 250 μg asam folat dengan aturan pakai sehari satu tablet selama 90 hari berturut-turut selama masa kehamilan. Dengan demikian pemakaian fero sulfat di Indonesia relatif lebih luas.

2.6 Fero Sulfat

2.6.1 Tinjauan kimia (DepKes RI, 1995)

Nama Kimia : Besi(2+)sulfat (1:1) heptahidrat Rumus Molekul : FeSO4.7H2O

Berat Molekul : 278,01

Pemerian : Hablur, atau granul berwarna biru kehijauan, pucat, tidak berbau dan rasa seperti garam. Merekah di udara kering. Segera teroksidasi dalam udara lembab membentuk besi(III) sulfat berwarna kuning kecoklatan.

pH : lebih kurang 3,7

Kelarutan : mudah larut dalam air, tidak larut dalam etanol, sangat mudah larut dalam air mendidih

Stabilitas : pada udara lembab, fero sulfat dengan cepat dioksidasi dan menjadi feri sulfat berwarna kuning kecoklatan yang tidak semestinya digunakan sebagai obat. Kecepatan oksidasi akan dipercepat bila terdapat alkali atau terpapar cahaya (ASHP, 2002).

Ikatan protein besi adalah sangat tinggi (90% atau lebih) yaitu terbagi dalam ikatannya dengan hemoglobin (tinggi), mioglobin, enzim dan transferin (rendah), serta pada feritin dan hemosiderin juga rendah. Sedangkan untuk mekanisme eliminasi, tidak ada sistem fisiologi untuk mengeliminasi besi. Besi dapat


(48)

terakumulasi dalam tubuh menjadi jumlah toksik. Namun, sejumlah kecil besi akan hilang dari tubuh melalui kulit yang terkelupas, pernafasan, ASI (0,5 – 1 mg per hari), darah haid, dan urin. Kehilangan darah per hari pada pria dan wanita pascamenopause adalah 1 mg, dan pada wanita pre-menopause sehat 1,5 mg (USPDI, 1989).

2.6.2 Farmakologi

Zat besi merupakan komponen penting dalam pembentukan hemoglobin; jumlah yang cukup diperlukan untuk eritropoiesis, kapasitas pengangkutan oksigen yang efektif, serta produksi mioglobin. Zat besi juga merupakan kofaktor dari beberapa enzim yang penting dalam metabolisme, termasuk sitokrom yang terlibat dalam pengangkutan elektron (USPDI, 1989; www.drugs.com; ASHP, 2002).

2.6.3 Cara pemberian

Sediaan besi oral umumnya harus diberikan di antara waktu makan (misal 30 menit – 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan) untuk absorpsi besi yang maksimal. Tetapi untuk meminimalkan efek samping pada saluran cerna dapat dikonsumsi dengan makanan. Pada penderita yang sulit mentoleransi sediaan besi oral dapat dicoba untuk diberikan dalam dosis kecil dengan frekuensi pemberian lebih sering pada awalnya lalu dosis ditingkatkan secara bertahap atau dengan mengganti dengan bentuk sediaan besi lainnya (ASHP, 2002)


(49)

35

2.6.4 Dosis terapi dan pencegahan

Dosis terapi yang umum untuk dewasa adalah 50 – 100 mg besi elemental tiga kali sehari. Dosis yang lebih kecil (60 – 120 mg Fe per hari) juga direkomendasikan terutama untuk meminimalkan intoleransi saluran cerna. Pemberian dosis kecil ini kemungkinan akan diikuti dengan kecepatan pengembalian zat besi yang lambat dan bertahap (Katzung, 2004).

WHO menyarankan suplementasi 60 mg Fe/hari bersama 250 μg asam folat pada wanita hamil. Dosis remaja dan dewasa (untuk pencegahan pada wanita serta terapi untuk pria dan wanita adalah 60 mg Fe/hari jika anemia ringan. Dosis digandakan pada anemia sedang/parah (Viteri, 1997; Beard, 2000).

Dengan pemberian dosis terapi yang biasa, maka gejala yang berkaitan dengan defisiensi besi akan membaik dalam beberapa hari, retikulosis puncak terjadi dalam 5 hingga 10 hari dan kadar Hb meningkat dalam 2 - 4 minggu. Produksi Hb biasanya meningkat dengan kecepatan 0,1 – 0,2 g/dL per hari; kadar Hb normal akan dicapai dalam 2 bulan; kecuali bila perdarahan masih terus berlangsung. Pada anemia parah, terapi dapat berlangsung paling tidak sampai 6 bulan. Jika respon yang diharapkan tidak tercapai dalam 3 minggu, maka harus ditinjau kembali adanya ketidakpatuhan, perdarahan yang terus berlangsung, adanya faktor komplikasi lain, atau diagnosa yang tak tepat (ASHP, 2002).


(50)

2.6.5 Efek samping

Efek samping biasanya dapat muncul pada dosis terapi dan hal ini berkaitan dengan jumlah kandungan besi elemental dan kerentanan tiap individu terhadap efek samping yang berbeda satu sama lain. Masalah yang paling sering dikeluhkan pada penggunaan sediaan oral fero sulfat adalah gangguan saluran cerna terutama akibat iritasi pada lambung dan duodenum bagian atas yang memiliki pH rendah sehingga dapat memperparah luka peptik, enteritis lokal, kolitis ulseratif, dan gangguan saluran cerna lainnya seperti nyeri abdomen ataupun lambung, kram, yang kadang perlu perhatian medis sehingga mengurangi kepatuhan penderita terhadap regimen obat yang dapat mengakibatkan berkurangnya efektivitas pengobatan (Cook, 1990; Gennaro, 2000).

Efek samping lain yang mungkin timbul yang biasanya tidak terlalu memerlukan perhatian medis kecuali bila efek samping berlanjut terus dan mengganggu (biasanya efek samping akan segera berlalu sepanjang pengobatan oleh karena tubuh mulai beradaptasi terhadap pemberian suplemen besi) adalah konstipasi (diduga akibat kerja astringen dari besi) yang lebih umum dialami daripada diare (kemungkinan karena kerja iritan besi pada saluran cerna), mual dan/atau nyeri epigastrik yang dialami oleh sekitar 5-20% penderita (ASHP, 2002). Namun diduga pula bahwa terjadinya konstipasi ataupun diare adalah akibat perubahan pada flora usus normal (Tripathi, 2004). Namun efek samping biasanya akan berkurang dalam beberapa hari (ASHP, 2002). Tinja pun biasanya menjadi berwarna hijau gelap atau


(51)

37

hitam saat penderita mengkonsumsi sediaan besi oral. Hal ini disebabkan oleh adanya zat besi yang tidak diabsorpsi dan hal ini bukanlah sesuatu yang membahayakan.

Namun, pada kasus yang jarang, tinja yang berwarna hitam dengan konsistensi yang lengket dapat saja terjadi akibat adanya perdarahan di saluran cerna yang gejalanya disertai dengan adanya garis-garis merah pada tinja, kram, nyeri hebat, atau nyeri yang tajam di daerah abdomen ataupun lambung. Bila hal ini yang terjadi, maka harus segera diperiksa dokter untuk mengevaluasi penyebab pastinya (USPDI, 1995).

2.6.6 Kontraindikasi

Sediaan besi dikontraindikasikan pada hemokromatosis, anemia hemolitik, dan yang diketahui hipersensitif terhadap besi (ASHP, 2002).

2.6.7 Interaksi Obat

Obat-obat yang dapat menurunkan efek sediaan besi adalah tetrasiklin, antasida, susu, sediaan kalsium, kopi, telur, obat-obat yang mengandung karbonat, bikarbonat, oksalat, atau fosfat; teh, sereal (mengandung asam fitat) karena menghambat absorpsi besi, simetidin (menurunkan produksi asam lambung), dimerkaprol (kemungkinan membentuk kompleks toksik), kloramfenikol dapat memperlambat respon terhadap sediaan besi, fluorokinolon (absorpsi fluorokinolon menurun karena terbentuk kelat), suplemen Zn (dosis besar besi menurunkan absorpsi Zn). Sedangkan obat yang dapat meningkatkan efek besi adalah asam askorbat yang diberikan bersamaan dengan besi akan meningkatkan absorpsi besi.


(52)

2.6.8 Over dosis/keracunan

Gejala keracunan besi meliputi iritasi saluran cerna, erosi mukosa saluran cerna, gangguan hati dan ginjal, koma, hematemesis, dan asidosis. Overdosis besi yang parah dapat diatasi dengan pemberian deferoksamin yang diberikan secara intravena. Dosis toksik besi adalah di atas 35 mg/kgBB.

2.6.9 Formulasi

Fero sulfat heptahidrat mengandung lebih kurang 20% besi elemental. Sedangkan fero sulfat eksikatus menyediakan lebih kurang 30% besi elemental. Fero sulfat umumnya diformulasi dalam kapsul atau tablet salut untuk melindunginya dari udara dan kelembaban. Garam fero sulfat terkadang juga dicampur dengan glukosa atau laktosa untuk melindunginya dari oksidasi (Gennaro, 2000).

2.7 Saluran Pencernaan

Saluran pencernaan (jalur gastrointestinal/alimentary tract) terdiri dari mulut,

esofagus, lambung, duodenum, usus halus, usus besar (meliputi kolon dan rektum), dan anus. Selain itu terdapat organ-organ lain yang terlibat dalam pencernaan makanan (accessory organs) yaitu kelenjar ludah di mulut, hati, pankreas, dan

kelenjar empedu. Organ-organ ini bersama saluran pencernaan membentuk sistem pencernaan. Gambar sistem pencernaan dapat dilihat pada Gambar 2.5 dan 2.6.


(53)

39

hati

Gambar 2.5 Sistem Pencernaan Manusia


(54)

Lambung merupakan organ muskular yang berbentuk menyerupai huruf J yang berfungsi menerima dan mencampur makanan dari esofagus dengan cairan lambung dan mendorong makanan ke usus kecil. Makanan memasuki lambung dari esofagus dengan melewati otot berbentuk cincin yang disebut sfingter yang dapat membuka dan menutup sehingga berfungsi mencegah makanan kembali ke esofagus.

Lambung terletak persis di bawah diafragma. Lambung terdiri dari empat bagian yaitu daerah kardia, fundus, badan lambung dan pilorus. Kardia merupakan daerah sempit dekat dengan esofagus. Fundus merupakan bagian yang menggelembung ke atas. Badan lambung merupakan bagian utama lambung. Pilorus merupakan bagian yang berbentuk saluran yang berfungsi sebagai katup antara lambung dan usus kecil. Gambar bagian lambung dan lapisan dinding lambung berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan 2.8.

Gambar 2.7 Bagian-bagian Lambung Manusia

Sel-sel yang melapisi lambung mensekresikan tiga komponen penting, yaitu mukus, HCl, dan prekursor pepsin. Mukus yang dihasilkan oleh sel mukus


(55)

41

menyelaputi sel-sel yang melapisi lambung sebagai perlindungan terhadap kerusakan oleh enzim dan asam. Rusaknya lapisan mukus misalnya oleh infeksi Helicobacter

pylori atau karena aspirin, dapat menyebabkan kerusakan yang mengarah pada ulser

lambung. Asam klorida yang dihasilkan oleh sel parietal menyediakan lingkungan asam yang dibutuhkan pepsin untuk menguraikan protein, serta sebagai penghalang masuknya infeksi bakteri. Sekresi asam lambung distimulasi oleh impuls saraf, gastrin (hormon yang dilepaskan lambung), dan histamin. Sedangkan chief cell yang

ditemukan di bagian paling dalam dari kelenjar lambung menghasilkan enzim pencernaan pepsinogen yang kemudian diubah menjadi pepsin (Berkow, 1997).

Gambar 2.8 Lapisan Dinding dan Kelenjar Lambung

2.8 Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi adalah pemeriksaan penunjang dengan menggunakan alat endoskop untuk mendiagnosis kelainan organ di dalam tubuh antara lain di


(56)

sa-luran cerna, rongga mulut, rongga abdomen, dan lain-lain. Gastroskopi adalah peme-riksaan endoskopi untuk mendiagnosis kelainan di lambung (Kolopaking, 2001).

Endoskop adalah suatu alat yang digunakan untuk memeriksa organ dalam tubuh manusia secara visual dengan cara mengintip dengan alat tersebut atau langsung melihat pada layar monitor sehingga kelainan pada organ tersebut dapat dilihat dengan jelas. Endoskop dapat dimasukkan ke dalam tubuh melaui mulut

(upper endoscopy) ataupun rektum (lower endoscopy). Endoskop merupakan selang

panjang dengan sistem optik pada bagian ujungnya. Gambaran mukosa yang didapat, diteruskan ke bagian okuler melalui serabut serat optik, Cahayapun disalurkan dari sumber cahaya ke bagian distal endoskopi melalui serabut optik. Endoskopis menggunakan monitor TV untuk melihat gambaran yang ditangkap oleh alat endoskop (www.pinehurstmedical.com/.../endoscopy.htm).

2.9 Mekanisme Perdarahan di Lambung yang Disebabkan Oleh Fero Sulfat

Penggunaan zat besi secara berulang dalam jangka waktu lama dapat menim-bulkan efek samping terutama pada saluran cerna. Hal ini disebabkan oleh efek toksik langsung besi pada epitel glandular pada gastroduodenum (Gastearena, et.al., 2003).

Garam fero sulfat yang larut dalam larutan yang asam dapat mengiritasi lambung oleh karena dilepaskannya zat besi secara serentak pada satu tempat sehingga menyebabkan tingginya konsentrasi zat besi di daerah tersebut (USPDI, 1989) sehingga bersifat toksik pada lambung dengan mekanisme kerusakan oksidatif yang diinduksi oleh sediaan besi secara in-vivo pada usus kecil manusia yang


(57)

43

kemudian diteliti oleh Troost et.al pada 2003. Zat besi dapat menginduksi stres

oksi-datif pada usus karena perannya sebagai katalisator dalam reaksi kimia Fenton

(Fenton chemistry). Selama reaksi kimia Fenton, besi fero mengakatalisis

pembentukan radikal hidroksil dengan adanya anion radikal superoksida dan hidrogen peroksida yang sebenarnya adalah hasil metabolisme normal. Radikal hidroksil yang terbentuk itulah yang bersifat sangat reaktif yang menyebabkan kerusakan pada molekul-molekul biologi di lingkungan sekitarnya, menghasilkan rentetan reaksi yang kemudian lipida, protein, dan DNA dapat mengalami kerusakan (Troost, et.al., 2003).

Selain itu disebutkan pula bahwa fero sulfat bersifat astringen sehingga dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna terutama konstipasi (Gennaro, 2000; Tripathi, 2004) yang lebih umum dialami daripada diare (kemungkinan karena kerja iritan besi pada saluran cerna). Namun diduga pula bahwa terjadinya konstipasi ataupun diare adalah akibat perubahan pada flora usus normal (Tripathi, 2004).

2.10 Sediaan Zat Besi Tanpa Efek Samping Yang Telah Beredar di Perdagangan

Beberapa sediaan zat besi dirancang untuk dapat melepaskan zat besi secara perlahan selama sediaan melewati usus sehingga jumlah besi di lumen usus pada tiap waktu lebih kecil. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi efek samping di saluran cerna. Beberapa sediaan telah beredar dengan karakteristik tersebut, diantaranya adalah dalam bentuk sediaan salut enterik dan extended-release.


(1)

b. perlakuan * mual level 2 minggu 2

Crosstab

Count

12

1

13

13

0

13

25

1

26

gelatin

alginat

perlakuan

Total

non level2

level2

mualevel22

Total

Chi-Square Tests

1,040

b

1

,308

,000

1

1,000

1,426

1

,232

1,000

,500

1,000

1

,317

26

Pearson Chi-Square

Continuity Correction

a

Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test

Linear-by-Linear

Association

N of Valid Cases

Value

df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Computed only for a 2x2 table

a.

2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is

,50.

b.

c. perlakuan * mual level 2 minggu 3

d. perlakuan * mual level 2 minggu 4

Crosstab

Count

13

13

13

13

26

26

gelatin

alginat

perlakuan

Total

non level2

mualevel23

Total

Chi-Square Tests

.

a

26

Pearson Chi-Square

N of Valid Cases

Value

No statistics are computed

because mualevel23 is a constant.

a.

Crosstab

Count

13

13

13

13

26

26

gelatin

alginat

perlakuan

Total

non level2

mualevel24

Total

Chi-Square Tests

.

a

26

Pearson Chi-Square

N of Valid Cases

Value

No statistics are computed

because mualevel24 is a constant.

a.


(2)

115

2.5 Analisis Statistika Mual Level 2 Kelompok Gelatin Antar Minggu 1, 2, 3, 4

Paired Samples Statistics

,46 13 ,519 ,144

,08 13 ,277 ,077

,08 13 ,277 ,077

,00 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

,46 13 ,519 ,144

,00 13 ,000 ,000

,46 13 ,519 ,144

,00 13 ,000 ,000

,08 13 ,277 ,077

,00 13 ,000 ,000

mualevel21 mualevel22 Pair 1 mualevel22 mualevel23 Pair 2 mualevel23 mualevel24 Pair 3 mualevel21 mualevel23 Pair 4 mualevel21 mualevel24 Pair 5 mualevel22 mualevel24 Pair 6

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

The correlation and t cannot be computed because the standard error of the difference is 0.

a.

Paired Samples Correlations

13

,312

,300

13

.

.

13

.

.

13

.

.

13

.

.

mualevel21 & mualevel22

Pair 1

mualevel22 & mualevel23

Pair 2

mualevel21 & mualevel23

Pair 4

mualevel21 & mualevel24

Pair 5

mualevel22 & mualevel24

Pair 6

N

Correlation

Sig.

Paired Samples Test

,385 ,506 ,140 ,079 ,691 2,739 12 ,018

,077 ,277 ,077 -,091 ,245 1,000 12 ,337

,462 ,519 ,144 ,148 ,775 3,207 12 ,008

,462 ,519 ,144 ,148 ,775 3,207 12 ,008

,077 ,277 ,077 -,091 ,245 1,000 12 ,337

mualevel21 - mualevel22 Pair 1

mualevel22 - mualevel23 Pair 2

mualevel21 - mualevel23 Pair 4

mualevel21 - mualevel24 Pair 5

mualevel22 - mualevel24 Pair 6

Mean Std. Deviation Std. Error

Mean Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

2.6 Analisis Statistika Mual Level 2 Kelompok Alginat Antar Minggu 1,2,3, 4

Warnings

The Paired Samples Correlations table is not produced. The Paired Samples Test table is not produced.


(3)

Paired Samples Statistics

,00a 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

,00a 13 ,000 ,000

mualevel21 mualevel22 Pair

1

mualevel22 mualevel23 Pair

2

mualevel23 mualevel24 Pair

3

mualevel21 mualevel23 Pair

4

mualevel21 mualevel24 Pair

5

mualevel22 mualevel24 Pair

6

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

The correlation and t cannot be computed because the standard error of the difference is 0.

a.

3.

Data Hematologi (Hb dan Ferritin)

a. Sebelum dan Sesudah Pemberian FeSO

4

300 mg dalam Cangkang Kapsul

Gelatin dan Alginat

Paired Samples Statistics

Mean

N

Std. Deviation

Std. Error

Mean

HbGelatin1

11,9846

13

2,09199

,58021

Pair 1

HbGelatin2

12,4462

13

1,83740

,50960

HbAlginat1

11,6031

13

2,26209

,62739

Pair 2

HbAlginat2

12,1162

13

2,26438

,62803

FeritinGelatin1

20,2908

13

8,99204

2,49394

Pair 3

FeritinGelatin2

49,5754

13

22,57429

6,26098

FeritinAlginat1

16,4992

13

9,86962

2,73734

Pair 4

FeritinAlginat2

33,1792

13

21,07069

5,84396

Paired Samples Correlations

N

Correlation

Sig.

Pair 1

HbGelatin1 & HbGelatin2

13

,966

,000

Pair 2

HbAlginat1 & HbAlginat2

13

,979

,000

Pair 3

FeritinGelatin1 &

FeritinGelatin2

13

,575

,040

Pair 4

FeritinAlginat1 &


(4)

117

Paired Samples Test

b. Peningkatan Hb dan Feritin Antarkelompok Kapsul Gelatin dan Alginat

Group Statistics

13 ,4615 ,57233 ,15874

13 ,5131 ,46363 ,12859

13 29,2846 18,89910 5,24167 13 16,6800 12,94728 3,59093 Perlakuan

gelatin alginat gelatin alginat PeningkatanHb

PeningkatanFeritin

N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

-,46154 ,57233 ,15874 -,80740 -,11568 -2,908 12 ,013

-,51308 ,46363 ,12859 -,79325 -,23291 -3,990 12 ,002

-29,28462 18,89910 5,24167 -40,70523 -17,86400 -5,587 12 ,000 -16,68000 12,94728 3,59093 -24,50396 -8,85604 -4,645 12 ,001 HbGelatin1 - HbGelatin2

Pair 1

HbAlginat1 - HbAlginat2 Pair 2

FeritinGelatin1 -FeritinGelatin2 Pair 3

FeritinAlginat1 -FeritinAlginat2 Pair 4

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Independent Samples Test

,002 ,966 -,252 24 ,803 -,05154 ,20428 -,47316 ,37008

-,252 23,009 ,803 -,05154 ,20428 -,47413 ,37105 3,299 ,082 1,984 24 ,059 12,60462 6,35373 -,50883 25,71807 1,984 21,231 ,060 12,60462 6,35373 -,59995 25,80918 Equal variances

assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed PeningkatanHb

PeningkatanFeritin

F Sig.

Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper 95% Confidence Interval of the

Difference t-test for Equality of Means


(5)

h

Nama

Minggu 1

Minggu 2

Minggu 3

1

2

3

4

5

6

7

1

2

3

4

5

6

7

1

2

3

4

5

6

7

1

2

Jum

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

Sum

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

Tin

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

Kam

1

1

1

0

1

1

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

1

1

1

1

Sur

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

Jmh

1

1

1

1

0

0

1

1

1

1

1

1

1

1

1

0

1

0

1

0

1

1

1

Srk

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

Rhn

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

Srn

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

kepatu

Keterangan : 0 = tidak minum obat, 1 = minum obat

Kriteria Kepatuhan : > 90% = patuh; < 90% = tidak patuh


(6)

h

AT - GASTRITIS

Minggu 4

Jumlah Obat

Diminum

% Kepatuhan

3

4

5

6

7

1

1

0

1

1

25

89.29

1

1

1

1

1

28

100.00

0

1

1

1

1

25

89.29

1

1

1

1

1

25

89.29

1

1

1

1

1

28

100.00

1

1

1

1

1

23

82.14

1

1

1

1

1

28

100.00

1

1

1

1

1

28

100.00

1

1

1

1

1

28

100.00