Faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas

6. Agresi yang Dipindahkan Baron dan Byrne 2005 menyatakan bahwa agresi yang dipindahkan merupakan agresi terhadap seseorang yang bukan sumber dari provokasi yang kuat; agresi dipindahkan terjadi karena orang yang melakukannya tidak ingin atau tidak dapat melakukan agresi terhadap sumber provokasi. Agresi ini merupakan hasil provokasi yang ia tahan, kemudian sewaktu-waktu ia luapkan pada seseorang yang bukan sumber dari provokasi awal yang kuat. 7. Kekerasan pada Media Baron Byrne 2005 menyatakan bahwa makin banyak film atau program televisi dengan kandungan kekerasan yang ditonton partisipan pada saat kanak-kanak, makin tinggi tingkat agresi mereka ketika remaja atau dewasa. Misalnya, makin tinggi kecenderungan mereka untuk ditangkap atas tuduhan kriminal dengan kekerasan. Selain film, dapat terjadi pula “copycat crimes”, dimana suatu kejahatan yang dilaporkan di media kemudian ditiru oleh orang lain di lokasi yang jauh, memperlihatkan bahwa dampak seperti itu nyata. Dampak lain dari kekerasan pada media ialah timbulnya efek disensitisasi. Setelah individu menonton banyak adegan kekerasan, individu tersebut menjadi acuh pada kesakitan dan penderitaan orang lain; mereka menunjukkan reaksi emosional yang lebih sedikit daripada yang seharusnya terhadap tanda-tanda kekerasan seperti itu. Dan hal ini kemungkinan mengurangi pertahanan mereka sendiri menolak terlibat dalam agresi Baron Byrne, 2005. Menurut Sarwono 2002 dengan beberapa penelitian menyatakan bahwa siaran televisi dapat menjadi penyalur emosi agresi katarsis sehingga orang tidak perlu lagi melampiaskan agresivitasnya kepada orang lain, khususnya jika korban agresi tidak mempunyai kemungkinan untuk secara langsung melampiaskan pembalasannya kepada aggressor sebagimana terungkap dari sebuah penelitian di Jerman Barat. 8. Keterangsangan yang Meningkat Keterangsangan dapat berasal dari sumber-sumber yang bervariasi seperti partisipan dalam permainan kompetitif, jenis olahraga yang keras, serta musik tertentu. Contoh lainnya adalah faktor keterangsangan seksual. Hubungan antara keterangsangan seksual dengan agresi bersifat curvilinear. Keterangsangan seksual ringan mengurangi agresi hingga tingkat yang lebih rendah daripada yang ditunjukkan oleh tidak adanya keterangsangan, sedangkan keterangsangan yang lebih tinggi malah meningkatkan agresi di atas tingkat ketiadaan keterangsangan. Hal ini disebabkan karena materi erotis yang ringan akan memunculkan perasaan-perasaan positif yang menghambat agresi, sedangkan stimulus seksual yang lebih eksplisit akan memunculkan perasaan negatif sehingga meningkatkan agresi Baron Byrne, 2005. 9. Alkohol Dalam beberapa eksperimen, partsisipan yang mengonsumsi alcohol dengan dosis tinggi yang dapat membuat mereka mabuk ditemukan bertindak lebih agresif dan merespon provokasi secara lebih kuat, dibandingkan partsisipan yang tidak mengonsumsi alkohol Baron Bryne, 2005. Kemudian penelitian Bushman dan Cooper 1990 menemukan bahwa ada pengaruh alkohol terhadap tindakan agresif seseorang. Dalam Sarwono 2002 menjelaskan bahwa khusus pada negara-negara maju yang teletak di wilayah-wilayah musim dingin, alcohol bukan merupakan hanya saran penghangat tubuh, melainkan juga sebagai sarana pergaulan. Akan tetapi, pengaruh alkohol dapat memicu agresivitas. Karena itulah dalam kenyataannya bar-bar dan tempat-tempat minum lainnya merupakan tempat yang memiliki angka kekerasan dan agresi sangat tinggi. 10. Kondisi lingkungan Rasa sesak berjejalsuasana yang ramai juga dapat memicu seseorang bertindak agresi. Sarwono 2002 dengan beberapa penelitian menyatakan bahwa di daerah perkotaan yang padat penduduk selalu lebih banyak terjadi kejahatan dan kekerasan serta peningkatan agresivitas di daerah yang sesak berhubungan penurunan perasaan akan kemampuan diri untuk mengendalikan lingkungan sehingga terjadi frustasi. 11. Attachment orang tua Penelitian dalam journal of Youth and Adolescence 2000 menunjukkan bahwa attachment pada orang tua secara signifikan berhubungan dengan usia, depresi, dan agresi. Remaja yang tingkat attachment orang tua tinggi akan menunjukkan tingat agresi dan depresi yang rendah begitu pun sebaliknya Laible, Carlo Raffaelli, 1999. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Gallarin Arbiol 2012 menyatakan bahwa faktor yang mampengaruhi agresivitas pada remaja adalah parenting practices, praktek pengasuhan dan attachment kelekatan orang tua. Dari hasil penelitiannya hanya attachment pada ayah yang signifikan terhadap agresivitas remaja. 12. Pengaruh kelompok dan teman sebaya Penelitian White, Gallup dan Gallup 2010 mengemukakan bahwa korban dari agresi teman sebaya tersebar luas pada anak-anak dan remaja antara 11 dan 16 tahun. Nansel, et. al. dalam White, Gallup dan Gallup, 2010 menunjukkan bahwa dalam The multi-national Health Behavior in School Aged Children tidak kurang dari 9 dan sebanyak 54 dari anak usia sekolah dari 25 negara yang diteliti terlibat dalam tindakan agresif terhadap teman sebaya dan menjadi korban oleh teman sebayanya. Journal of Youth and Adolescence 2000 menunjukkan bahwa Attachment teman sebaya secara signifikan berhubungan dengan simpati, English efficacy, depresi dan agresi. Remaja yang tinggi attachment teman sebaya akan tinggi tingkat simpati dan English efficacy yang tingkat yang rendah pada depresi dan agresi. Sarwono 2002 menyatakan bahwa gejala terpengaruh oleh kelompok terdapat pada pelajar SMA yang saling berkelahi di Jakarta dengan alasan membela teman. Inti dari agresivitas antarpelajar di Jakarta yaitu identitas kelompok yang sangat kuat yang menyebabkan timbul sikap negatif dan mengeksklusifkan kelompok lain. 13. Perbedaan Gender Umumnya pria cenderung melakukan tindakan agresi secara langsung ditujukan kepada targetnya, seperti memaki, mendorong, berteriak, dan lain sebagainya. Sedangkan wanita cenderung melakukan agresi secara tidak langsung, seperti bergunjing masalah orang lain. Tindakan ini memungkinkan individu menutupi identitasnya dari target yang dituju. Sehingga, target tidak dapat mengetahui siapa pelakunya Baron Byrne, 2005. Penelitian serupa juga dijelaskan Sarwono 2002 yang menyatakan bahwa pria yang maskulin pada umumnya lebih agresif daripada wanita yang feminisim. Tentunya gejala ini ada hubungannya dengan faktor kebudayaan yaitu pada umumnya wanita diharapkan oleh norma masyarakat untuk lebih mengekang agresivitasnya. Namun, ada pergeseran peran jenis kelamin yang pada gilirannya juga akan meningkatkan agresivitasnya pada wanita. Contohnya dalam kehidupan sehari-hari, agresivitas wanita kita saksikan misalnya pada pengemudi kendaraan pribadi wanita di Jakarta yang berani menantang pengemudi Metro Mini pria yang menyerempet mobilnya. Makin banyak wanita menjadi anggota ABRI dan polisi, atau makin banyaknya wanita yang terlibat dalam berbagai jenis olahraga agresif balap mobil, sepak bola, karate, pencak silat atau gulat. Dari beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas yang telah dijelaskan, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan faktor kepribadian dan attachment sebagai variabel independen. Hal ini dilakukan karena kepribadian diprediksi dapat mengetahui bagaimana tingkat agresivitas yang dialami oleh para remaja yang melakukan tawuran atau tidak. Kemudian attachment kelekatan dengan orang tua dianggap dapat mempengaruhi agresivitas karena seorang anak pertama kali meniru perilaku orang tuanya dan membutuhkan dukungan serta arahan dari orang tua untuk melakukan sesuatu hal yang positif.

2.2 Kepribadian

personality 2.2.1 Definisi kepribadian Definisi kepribadian menurut Allport dalam Hall, Linzey Campbell, 1997 adalah organisasi atau susunan yang dinamis dari system psikofisik dalam diri individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik khas terhadap lingkungannya. Sedangkan Pervin, Cervone dan John 2010 mengungkapkan bahwa kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Larsen Buss 2002 kepribadian adalah himpunan sifat-sifat psikologis dan mekanisme dalam diri individu yang terorganisir dan relatif bertahan serta mempengaruhi interaksi dan adaptasi terhadap lingkungan termasuk intrapsikis, fisik, dan lingkungan sosial. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian menurut peneliti adalah karakteristik di dalam diri individu yang relatif menetap dan bertahan, sehingga mempengaruhi penyesuaian dirinya dalam lingkungan. Kepribadian memiliki beberapa trait, salah satu trait kepribadian yang populer adalah kepribadian big five. Feist Feist 2009 menyatakan bahwa big five dikembangkan oleh Costa McCrae dari H. Eysenk. Hasil pengembangan yang dilakukan oleh Costa McCrae menghasilkan lima trait kepribadian. faktor. Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion, neuroticism, openness to experience, agreeableness, dan concientioueness. Model ini kemudian menjadi suatu teori, yang dapat memprediksi perilaku dan menjelaskan perilaku Feist Feist, 2010. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian big five merupakan pendekatan psikologi yang memiliki lima trait kepribadian extraversion, neuroticism, openness to experience, agreeableness, dan concientioueness yang digunakan untuk menganalisis kepribadian seseorang.

2.2.2 Dimensi Kepribadian

Definisi kepribadian menurut masing-masing ahli berbeda-beda tetapi kepribadian yang populer adalah the big five personality. Dimensi-dimensi kepribadian menurut Costa dan McCrae dalam Feis Feist, 2010 adalah sebagai berikut : 1. Extraversion Menyatakan bahwa individu yang memili skor tinggi pada dimensi ini cenderung penuh kasih sayang, suka bergabung menjadi anggota kelompok, banyak bicara, menyukai kesenangan, aktif, dan selalu bersemangat. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah pada dimensi ini cenderung tidak ramah dengan orang lain, suka menyendiri, pendiam, apa adanya, pasif, dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar. 2. Neuroticism Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini akan cenderung gelisahcemas, temperamental, sentimentil, emosional, dan rentan terhadap kritikan orang lain. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah cenderung tenang, bangga dengan diri sendiri, terkadang temperamental, menyenangkan, tidak emosional, dan sabar. 3. Openness to experience Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini O cenderung imajinatif, kreatif, inovatif, selalu ingin tahu, menyukai sesuatu yang berbeda, dan bebas. Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah cenderung tidak kreatif, konventional, menyukai sesuatu yang menetap, tidak peduli, dan konservatif. 4. Agreebleness Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini A akan cenderung berhati lembut, mudah percaya, dermawan, ramah, toleransi, bersahabat dan baik hati. Sebaliknya individu dengan skor rendah akan cenderung kejam, curiga, pelit, bersifat antagonis, kritis, dan mudah marah. 5. Conscientiousness Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi cenderung teliti, pekerja keras, teratur, disiplin, ambisius, dan gigih. Sedangkan pada individu yang memiliki skor rendah cenderung ceroboh, malas, tidak teratur, suka terlambat, dan tidak memiliki tujuan yang pasti.

2.2.3 Pengukuran Kepribadian

John dan Srivastava 1999 membahas bahwa ada berbagai alat ukur yang dikembangkan untuk mengukur big five personality, diantaranya: 1. NEO-PI-R yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae pada tahun 1992, NEO-PI-R adalah sebuah alat ukur yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae dengan cara menggunakan kuesioner yang dirancang untuk mengukur big five traits. Mereka membedakan masing-masing dari kelima dimensi kepribadian tersebut. 2. Big five Inventory BFI yang dibuat oleh John, Donahue, dan Kentle 1991. BFI sering digunakan dalam penelitian-penelitian dimana waktu subjek terbatas dan format item yang singkat memberi lebih banyak konnteks dibandingkan item tunggal Golberg sekaligus lebih sederhana dibandingkan format kalimat yang digunakan dalam kuesioner NEO. Skala berjumlah 44 item. Sedangkan, menurut Rammstedt dan John 2007 the big five personality dapat diukur dengan menggunakan skala Big Five Inventory-10 BFI-10. BFI-10 merupakan turunan dari BFI-44 yang dikemukakan oleh John, Donahue, Kentle. Item pada instrument ini sebanyak 10 item, kurang dari 25 dari BFI-44 tetapi mampu memprediksi 70 dari item yang ada di BFI- 44. Dari beberapa alat ukur diatas, peneliti memutuskan untuk mengadaptasi alat ukur Big Five Inventory BFI yang dikembangkan oleh John, dkk 1991. BFI merupakan kuesioner self-report yang berisi 44 item. Hal ini dikarenakan sesuai dengan teori yang peneliti gunakan pada penelitian ini dan BFI juga sudah banyak digunakan dan teruji pada penelitian terdahulu, serta item-item dalam BFI telah dibandingkan dengan inventory kepribadian yang sudah baku dan memiliki reabilitas yang cukup baik.