101
membutuhkan tiga varian produk Laurier untuk digunakan pada waktu malam atau siang hari. Selain itu kapitalisme juga menciptakan mitos bahwa perempuan rentan
akan tekanan bekerja yang mampu menyebabkan stress, ujung-ujungnya hanya mendikte penggunaan Sofie Panty Shields supaya mendapatkan rasa bebas dan
nyaman setiap menitnya di lingkungan kerja. Iklan pembalut sesungguhnya mampu berperan sebagai basis politik
emansipasi. Berbagai iklan di atas mampu memperlihatkan aktivitas perempuan bukan lagi berada dalam wilayah domestik. Namun demikian, basis politik
emansipasi tersebut tidak cukup kuat untuk mendobrak struktur patriarki karena para perempuan yang aktif di dunia publik hanya melaksanakan perjuangan terbatas untuk
kelompoknya atau bahkan sekadar memenuhi himbauan pemerintah mengenai peran ganda. Gerakan emansipasi modern ini bahkan rentan menggunakan cara
mensubordinasi perempuan lainnya yang tidak memiliki akses dan kapital budaya sebagai syarat terlibat dalam kehidupan sosial.
188
Di sisi lain, iklan pembalut seringkali menampilkan sosok perempuan sebagai model dengan setelan bekerja yang
mengarah ke dalam makna oposisi terhadap domestikasi dan label-label tradisional, seperti setelan bekerja, high heels atau menyetir mobil. Gambaran perempuan yang
erat dengan domestikasi seakan menemukan pintu gerbangnya karena tergambar dalam ruang-ruang publik. Namun tanpa disadari tanda-tanda tersebut justru
188
Irwan Abdullah, 1993, op.cit, hlm. 359.
102
memenjarakan perempuan ke dalam konstruksi-konstruksi yang terus dibuat oleh negara supaya terus mengikuti aliran kapitalisme.
189
189
Eva Leiliyanti, 2003, op.cit, hlm. 73
103
C. Kesimpulan
Menurunnya harga minyak dunia yang menimbulkan krisis ekonomi mendesak pemerintah untuk beralih memajukan sektor non-migas dengan membuka
lebar kesempatan penanaman modal asing sekaligus bantuan dari lembaga keuangan dunia. Hal ini menyebabkan derasnya arus teknologi dan produk masuk ke Indonesia
yang mempengaruhi kehidupan politik dan sosial di Indonesia. Dampaknya dapat terlihat mulai dari kedekatan terbuka Soeharto terhadap kelompok Islam, banyaknya
pendirian stasiun televisi swasta oleh kroni Soeharto, kontrol represif pemerintah terhadap media massa dan penerbitan, hingga kebijakan pemerintah mengenai peran
ganda perempuan. Negara mempropagandakan perempuan supaya bekerja di area publik, namun dengan persyaratan untuk tidak melupakan peran ibu rumah tangga.
Sementara itu, media massa justru menyambut hangat kebijakan tersebut yang diterapkan ke dalam terbitan artikel ataupun iklan, salah satunya produk pembalut.
Meskipun iklan menampilkan sosok perempuan pekerja yang memiliki berbagai atribut oposisi nilai tradisional, secara bersamaan merepresentasikan kontruksi sosial
mengenai gaya hidup urban, konsumerisme, dan ketergantungan terhadap benda industri. Dalam hal ini, iklan pembalut selain menawarkan produk tetapi juga
mengkonstruksi kehidupan perempuan supaya larut dalam skenario kapitalisme. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
BAB IV CITRA PEREMPUAN INDEPENDEN PERIODE 1994-2000
Menjelang tahun 2000, Indonesia mengalami banyak peristiwa dramatis, mulai dari krisis ekonomi, demonstrasi dan gejolak sosial hingga terselenggaranya
reformasi kepemimpinan negara. Dalam hal ini, keterlibatan perempuan dalam pembangunan sebagai pengemban peran ganda sempat mati suri. Kelompok
perempuan mulai aktif terlibat dalam ruang-ruang demokrasi publik, ikut menyuarakan protes terhadap pemerintah. Sayangnya perjuangan tersebut tidak
bertahan lama karena berbagai produk dan budaya populer yang membawa serta gambaran mengenai perempuan mulai membanjiri Indonesia. Di Bab IV memaparkan
keterkaitan antara krisis ekonomi, situasi sosial dan politik dengan perkembangan gambaran perempuan melalui iklan pembalut terbitan tahun 1994 hingga 2000.
A. Latar Belakang
1. Krisis Ekonomi
Memasuki tahun 1997, krisis moneter krismon melanda kawasan Asia tak terkecuali Indonesia.
190
. Dampak krismon terhadap Indonesia memburuk oleh adanya hutang luar negeri yang membengkak. Nasib malang melanda negeri. Tatanan
190
Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat kian melemah hingga benar- benar tidak masuk akal menjadi Rp 12.600 di bulan Mei 1998.
105
perbankan nasional mengalami kekacauan dan korupsi merajalela,
191
sementara devisa nasional justru menipis.
192
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia kembali menempuh usaha dengan meminta bantuan terhadap IMF International Monetery Fund yang ternyata tidak
mudah didapatkan. Baik lembaga keuangan dunia maupun negara penyedia dana bantuan mengajukan persyaratan kepada Indonesia supaya melaksanakan perubahan
kebijakan ekonomi, keuangan, hingga anggaran yang cukup elementer.
193
Akan tetapi, negara justru cenderung menggunakan dana pinjaman untuk menjalankan
191
Antara tahun 1993-1994, muncul dua kasus korupsi yang merugikan negara dengan nilai uang triliun, yaitu Eddy Tansil dan Kim Johanes Mulia. Keduanya merupakan
pengusaha yang berhasil memalsukan persyaratan pencairan kredit dari badan keuangan negara. Namun ulasan Gatra justru mampu memaparkan sisi lain dari kasus-kasus korupsi
yang melibatkan para pejabat negara, bahwa sebenarnya mereka membantu dan ikut menikmati raibnya dana kredit Bapindo.
191
Gatra menilai, praktek manipulasi ekspor fiktif akan semakin rapi apabila bank pelaksana bermain mata dengan eksportir yang bersangkutan,
misalnya untuk membiayai kegiatan atau bisnis pribadi. Pengusaha, yang namanya menjadi pelaku peminjaman, tentu saja mendapat uang tutup mulut. Gatra Edisi Perkenalan terbitan
Oktober 1994, hlm. 36. Baca juga “Laporan Utama: Bapindo, Subekti, dan Sumarlin”, Tempo No. 1Tahun XXIV terbitan 5 Maret 1994, hlm. 21-
30. Baca juga “Sukhoi dan Bisnis Kim Johanes”, Berita Satu, diakses dari m.beritasatu.com, tanggal 2 Maret 2016, pukul 04:11
WIB.
192
Muhamad Hisyam, 2003, “Hari-hari Terakhir Orde Baru” dalam Muhamad
Hisyam ed., Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 56.
193
Salah satu perubahan dapat dilihat dari kasus penghapusan monopoli BULOG terhadap impor gandum dan tepung terigu yang disambut gembira oleh masyarakat karena
telah lama menginginkan agar segala bentuk distorsi ekonomi ditiadakan. Akan tetapi kebijakan ini dilakukan lebih karena persyaratan supaya mendapat kucuran dana dari IMF
atau Bank Dunia ketimbang mendengarkan aspirasi dan usulan oleh rakyat. Lihat Mahmud Thoha, 2003,
“Pasang Surut Perekonomian” dalam Muhamad Hisyam ed., op.cit, hlm 263- 264.
106
kebijakan ekonomi yang terbuka bagi modal asing atau pasar barang-barang impor.
194
Alih-alih mendapatkan surplus pendapatan, Indonesia malah semakin terhisap dalam ketergantungan terhadap kapitalis dunia.
Ketika pemerintah mengemban tuntutan dari penyedia dana bantuan, kepercayaan rakyat pun berubah mengendur melihat ketidakseriusan penanganan
krisis ekonomi. Di sisi lain, antara tahun 1980 hingga 1990-an jumlah koorporasi internasional dan penggabungan modal antar pengusaha lokal maupun Tionghoa terus
mengalami peningkatan.
195
Proyek-proyek yang menguntungkan dipegang oleh politikus ataupun kelompok militer. Perekonomian yang mengalami fluktuasi namun
tanpa penyelesaian disertai marginalisasi terhadap kelompok masyarakat lokal berkehidupan miskin, sementara negara tetap mengekang dinamika politik
menimbulkan ledakan energi,
196
seperti kerusuhan, demonstrasi, hingga tuntutan reformasi yang dipaparkan pada bagian berikutnya.
194
Arief Budiman, 1995, op.cit, hlm. 74.
195
Rajeswary Ampalavanar Brown, 2006, The Rise of the Corporate Economy in Southeast Asia, New York: Routledge, hlm. 10.
196
Mencomot penjelasan Daniel Dhakidae yang mengatakan bahwa kerusuhan politik terjadi bukan hanya disebabkan oleh kebuntuan, tetapi juga faktor lainnya, yaitu ada
energi tak tersalurkan dan meledak karena ketiadaan jalan keluar. Sementara itu, negara tetap bersikukuh terhadap keterbukaan politik maka jalan reformasi akan nihil terjadi. Reformasi
politik menolak pengekangan. Daniel Dhakidae, op.cit, hlm.370. Baca juga Idi Subandy Ibra
him, 2000, Pengantar Editor “Melawan ya Melawan tapi Jangan Melawan: Teater Teror dan Teknologi Kepatuhan” dalam Idi Subandy Ibrahim ed., Perlawanan dalam Kepatuhan:
Esai-esai Budaya, Bandung: Penerbit Mizan, hlm. 19-46.
107
2. Gerakan Mahasiswa dan Perlawanan
Perubahan politik di Indonesia mulai memperlihatkan denyutnya pada awal tahun 1990-an. Mahasiswa memberanikan diri untuk menggelar aksi demonstrasi di
luar lingkungan kampus.
197
Semula aksi-aksi ini menuntut agar pemerintah bertindak segera untuk menurunkan harga-harga kebutuhan pokok yang kian hari melambung
tinggi, serta menghapus monopoli, dan praktik KKN korupsi, kolusi, nepotisme para pejabat negara atau keluarga penguasa. Selain itu, mahasiswa juga
menginginkan mulainya suksesi kepemimpinan nasional dan berlakunya kedautalan rakyat.
198
Puncaknya, di bulan Mei 1998 ribuan mahasiswa melakukan long march bersama menuju gedung DPR yang justru menimbulkan korban akibat kekerasan dari
pihak kepolisian dan militer. Empat mahasiswa meninggal karena tembakan senjata api, sementara 20 korban lainnya mengalami luka-luka.
199
Di lain pihak, aktivis kebudayaan dan buruh berupaya merevitalisasi praktik kebudayaan kiri melalui kesenian dan kesusastraan sebagai tanggapan atas tekanan
politik dari pemerintah.
200
Penyair Wiji Thukul dan JAKER Jaringan Kerja Kesenian
197
Mahasiswa tidak lagi bersikap patuh terhadap himbauan pemerintah mengenai NKK Normalisasi Kehidupan Kampus.
198
Muhamad Hisyam, 2003, op.cit, hlm. 60.
199
Ibid, hlm. 65.
200
Dalam kaitan hal tersebut, kita dapat melihat Wiji Thukul yang menggunakan puisi untuk mendekonstruksi praktik kebudayaan supaya mencapai gerakan perlawanan dan
demokrasi. Selain itu, juga ada Seno Gumira Ajidarma yang menggunakan sastra untuk membongkar kekejaman invasi Indonesia terhadap Timor Leste sebagai jalan pengganti atas
108
Rakyat membuat kolaborasi bersama organisasi kebudayaan lainnya untuk membina kelompok buruh, bahkan mengorganisir rangkaian demonstrasi, dan mengakomodasi
karya seni maupun sastra pinggiran yang ditulis berdasarkan komitmen sosial.
201
Selain itu, sebagai perlawanan dengan cara damai terhadap buku putih terbitan pemerintahan Soeharto, Yosep Stanley Adi Prasetyo yang merupakan pendiri ISAI
Institut Studi Arus Informasi mengeluarkan karya berisi penjelasan alternatif mengenai Tragedi 1965 berjudul Bayang-bayang PKI di tahun 1995.
Senada dengan gerakan-gerakan tersebut, pemerintah terus menggunakan jalan kekerasan melalui polisi atau militer, baik secara langsung, struktural, maupun
kultural supaya menciptakan keamanan dan keadilan yang sesungguhnya semu. Hal ini memancing antar generasi rentan mendistribusikan dan menyebarkan
kekerasan.
202
Oleh karena itu, tidak heran apabila rangkaian tragedi, mulai dari Santa Cruz, Dili 1991 hingga Aceh 1999 nihil penyelesaian di peradilan, mengorbankan
banyak orang dan menyisakan kepedihan yang mendalam.
kontrol represif pemerintah terhadap pers. Wijaya Herlambang, 2014, Kekerasan Budaya Pasca 1965, Tangerang Selatan: CV Marjin Kiri, hlm. 226. Baca juga Seno Gumira
Ajidarma, 2006, Trilogi Insiden: Saksi Mata, Jazz, Parfum Insiden, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, Yogyakarta: Bentang Pustaka.
201
Karya seni dan sastra berkomitmen sosial berbeda dengan tradisi universialisme dan individualisme, karena dibikin oleh kelompok masyarakat minoritas, seperti Tionghoa
atau buruh yang menceritakan kenyataan sehari-hari, misalnya kemiskinan, bukan hal-hal absurd layaknya gaya penulisan Sutardji Calzoum Bachri atau Budi Darma khas
pemerintahan Soeharto. Lihat Wijaya Herlambang, op.cit, hlm. 225-228.
202
A. Latief Wiyata, 2006, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LKiS, hlm. 10.
109
Setelah melewati perjuangan berdarah, tuntutan rakyat akan reformasi kursi kepresidenan terkabulkan.
203
Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan pengunduran dirinya sebagai presiden. Sebagai wakil presiden yang kala itu tengah
menjabat, B.J. Habibie naik menggantikan Soeharto. Usai reformasi hingga tahun 2000, Indonesia mengalami pergantian presiden sebanyak dua kali yaitu B.J Habibie
dan Abdurrahman Wahid Gus Dur. Dalam bagian selanjutnya akan memaparkan ringkasan pendek mengenai kepemimpinan dan situasi Indonesia pasca reformasi.
3. Pasca Lengsernya Soeharto
Sebagai pengganti Soeharto, Habibie tidak memiliki banyak pilihan dalam menjalankan tugas presiden karena selain minimnya waktu jabatan juga harus
berhadapan dengan kepentingan elite politik, baik daerah maupun pusat, yang bermunculan akibat dari konsentrasi kekuasaan politik dan keuangan.
204
Secara bersamaan kedekatan Habibie terhadap para elite era pemerintahan Soeharto
mengurangi inisiatif reformisnya. Selang tujuh belas bulan kemudian, Abdurrahman Wahid Gus Dur naik
sebagai presiden menggantikan Habibie. Selain nama Gus Dur, sidang umum Majelis
203
Pendapat lain menyebutkan bahwa praktek pemerintahan Soeharto yang otoriter, oligopoli dan menindas hak-hak asasi manusia dinilai sangat berlawanan dengan berkobarnya
semangat demokrasi di negara-negara Dunia Ketiga. Lihat Herman Hidayat, 2003, “Sistem
Politik Orde Baru Menuju Kepudaran ” dalam Muhamad Hisyam ed., op.cit, hlm. 231.
204
Tod Jones, 2015, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, hlm.210. Bandingkan dengan Idi Subandy Ibrahim
ed., op.cit, Bandung: Penerbit Mizan, hlm. 22.