109
Setelah melewati perjuangan berdarah, tuntutan rakyat akan reformasi kursi kepresidenan terkabulkan.
203
Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan pengunduran dirinya sebagai presiden. Sebagai wakil presiden yang kala itu tengah
menjabat, B.J. Habibie naik menggantikan Soeharto. Usai reformasi hingga tahun 2000, Indonesia mengalami pergantian presiden sebanyak dua kali yaitu B.J Habibie
dan Abdurrahman Wahid Gus Dur. Dalam bagian selanjutnya akan memaparkan ringkasan pendek mengenai kepemimpinan dan situasi Indonesia pasca reformasi.
3. Pasca Lengsernya Soeharto
Sebagai pengganti Soeharto, Habibie tidak memiliki banyak pilihan dalam menjalankan tugas presiden karena selain minimnya waktu jabatan juga harus
berhadapan dengan kepentingan elite politik, baik daerah maupun pusat, yang bermunculan akibat dari konsentrasi kekuasaan politik dan keuangan.
204
Secara bersamaan kedekatan Habibie terhadap para elite era pemerintahan Soeharto
mengurangi inisiatif reformisnya. Selang tujuh belas bulan kemudian, Abdurrahman Wahid Gus Dur naik
sebagai presiden menggantikan Habibie. Selain nama Gus Dur, sidang umum Majelis
203
Pendapat lain menyebutkan bahwa praktek pemerintahan Soeharto yang otoriter, oligopoli dan menindas hak-hak asasi manusia dinilai sangat berlawanan dengan berkobarnya
semangat demokrasi di negara-negara Dunia Ketiga. Lihat Herman Hidayat, 2003, “Sistem
Politik Orde Baru Menuju Kepudaran ” dalam Muhamad Hisyam ed., op.cit, hlm. 231.
204
Tod Jones, 2015, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, hlm.210. Bandingkan dengan Idi Subandy Ibrahim
ed., op.cit, Bandung: Penerbit Mizan, hlm. 22.
110
Permusyawaratan Rakyat MPR juga menghadirkan calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia PDI, yaitu Megawati Soekarnoputri.
205
Namun setelah melalui proses panjang nan dramatis, MPR memutuskan Gus Dur sebagai pemenang
meskipun hanya bertahan dua tahun. Rendahnya tingkat dukungan dan gaya kepemimpinan yang eksentrik menimbulkan perpecahan dalam tubuh kabinet
sehingga menghambat pelaksanaan upaya reformasi. Akibatnya pemerintahan Gus Dur berakhir prematur.
206
Meskipun demikian, Gus Dur menjadi presiden pertama yang tegas mengeluarkan kebijakan mengenai pengarusutamaan gender sehingga
mendorong tindakan afirmasi kuota 30 perempuan dalam ranah politik.
207
Terbitnya kebijakan pengarusutamaan gender pada tahun 2000 membuktikan bahwa perhatian terhadap isu perempuan menjadi salah satu agenda utama
205
Meskipun nama Megawati Soekarnoputri telah melekat dalam dunia politik, mengingat dirinya mengetuai Partai Demokrasi Perjuangan, namun penolakan pencalonan
banyak bermunculan terutama dari kelompok Islam dan para pemimpin intelektual liberal. Mereka menolak Megawati Soekarnoputri dengan alasan bukan berasal dan mendapat
dukungan dari kelompok atau organisasi Islam mana pun, sekaligus beragama Hindu. Celakanya, Megawati Soekarnoputri adalah seorang perempuan yang tidak tepat menjadi
sosok pemimpin apabila menganut tradisi agama Islam. Baca Krishna Sen, 2000,
“The Mega Factor in Indonesian Politics: A New President or a New Kind of Presidency?
” dalam Kathryn Robinson dan Sharon Bessell ed., op.cit, hlm. 13-15.
206
Dalam hal ini, Tod Jones mengemukakan dua alasan yang menimbulkan kejatuhan pemerintahan Gus Dur yakni pernyataan pengakuan terhadap aliran kepercayaan
Konghucu dan penerbitan undang-undang mengenai legalisasi komunisme. Pada pemerintahan sebelumnya, Soeharto melarang segala bentuk aksi kebudayaan terkait dengan
masyarakat Tionghoa dan gerakan komunisme. Lihat Tod Jones, 2015, op.cit, hlm. 211.
207
Kebijakan afirmasi politik ini baru terlaksana pada masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri melalui UU No. 122003 yang mengharuskan keterwakilan
perempuan di lembaga legislatif sebanyak 30. Kebijakan ini terus diperbaharui pada tahun 2008 dan 2012. Baca “Gus Dur dan Kesetaraan Gender”, diakses dari www.nu.or.id pada
tanggal 13 Maret 2016 pukul 2:39 WIB. Baca juga arsip “Pengarusutamaan Gender”, diakses dari kkp.go.id pada tanggal 11 Maret 2016 pukul 08:18 WIB.
111
pembangunan. Memang, tidak terlepas dari tekanan dunia luar namun perjuangan perempuan di Indonesia berkaitan erat dengan situasi politik dan sosial yang tengah
berkembang. Bagian selanjutnya memaparkan kehidupan dan gerakan perempuan menjelang dan pasca reformasi yang berkembang lebih subur dibandingkan periode
sebelumnya.
B. Kehidupan Perempuan
Tuntutan dunia terhadap negara-negara berkembang untuk menegakkan demokrasi berkembang menjadi kepedulian pada isu perempuan. Hal ini tercermin
dari penyelenggaraan Konferensi Perempuan Sedunia IV oleh Perserikatan Bangsa- bangsa yang diadakan di Beijing, Tiongkok pada bulan September 1995. Dalam
konferensi tercipta keputusan bahwa perempuan harus berbicara speak up. Konferensi ini bukan hanya menghadirkan utusan resmi dari negara-negara anggota
Perserikatan Bangsa-bangsa, namun juga organisasi-organisasi swasta seluruh dunia. Pasalnya, pada waktu yang bersamaan juga terealisasi Pertemuan Forum Organisasi
Perempuan Non Pemerintah. Kedua kelompok perempuan tersebut berhasil mencapai kesepakatan, kemudian bersedia menandatangani persetujuan Plant of Action
CEDAW Convention on the Elimination All of Forms of Discriminations Against Women yang membahas dua belas masalah kritis, mulai dari kemiskinan,
pendidikan, kesehatan, kekerasan, konflik bersenjata, ekonomi, kekuasaan, mekanisme institusional, hak-hak asasi, media massa, lingkungan, hingga anak-anak.
112
Bagi perempuan Indonesia, penyelenggaraan konferensi ini membangkitkan semangat gerakan perlawanan terhadap rezim. Selain itu juga menggiatkan partisipasi
perempuan untuk terlibat dalam institusi pemerintahan atau sebagai representasi dari partai politik. Berikut penjelasan dari masing-masing resultan di atas.
1. Gerakan Perempuan
Keterlibatan delegasi Indonesia dalam penandatanganan CEDAW di Beijing membuka jaringan lebih luas antara aktivis perempuan lokal dan dunia. Secara
bersamaan, krisis multidimensional berkepanjangan membuat masyarakat geram sehingga memicu berbagai aksi. Setelah selama 32 tahun lamanya perempuan
dibekukan melalui ideologi ibuisme, di bulan Februari muncul sebuah aksi turun ke jalan dari Yayasan Jurnal Perempuan.
208
Aksi ini cenderung dianggap sebagai non- politik, namun tujuannya membuka keberanian bagi perempuan untuk terlibat dalam
perubahan politik melalui “demo susu” bernama Suara Ibu Peduli.
Suara Ibu Peduli bersama UNIFEM United Nations Development Fund for Women memulai aksinya dengan menggalang dana guna membeli susu untuk dijual
208
Yayasan Jurnal Perempuan merupakan organisasi non-profit yang digagas oleh Gadis Arivia pada tahun 1995 dengan dukungan dari Toety Heraty Noerhadi, Ida Dhanny,
dan Asikin Arif. Awalnya, penerbitan Jurnal Perempuan disebabkan oleh minimnya bacaan mengenai
feminisme bagi
mahasiswa Universitas
Indonesia. Namun
seiring perkembangannya, jumlah pembaca Jurnal Perempuan meningkat maka disusunlah sebuah
redaksi kecil yang berhasil mewujudkan jurnal feminis pertama di Indonesia dengan bermacam tema, seperti trafficking, kekerasan dan permasalahan perempuan nyangkut
ekonomi, sosial, hukum. Baca Profil Yayasan Jurnal Perempuan, diakses dari www.jurnalperempuan.org pada tanggal 13 Maret 2016 pukul 4:54 WIB.