53
sebagai lawannya, yaitu tidak aman, mudah bocor dan kalut. Iklan Modess melakukan penumpukan mitos dalam penyampaiannya. Pertama, produsen Modess menciptakan
rasa tidak aman dan kalut akibat pembalut yang mudah bocor. Hal ini membawa penonton iklan kepada mitos kedua, yakni penyelesaian masalah-masalah tersebut
dengan ilustrasi produk yang mencantumkan elemen-elemen keunggulannya bahwa Modess memberikan rasa aman dan nyaman karena berdaya serap tinggi. Dengan
demikian, produsen Modess menggunakan mitos supaya membutakan mitos lainnya dengan sasarannya adalah perempuan beserta tubuhnya.
Gambar 8. Modess Sumber: Femina 1984
54
Selain itu, produsen Modess turut menawarkan dua jenis produk yang ber
beda, yaitu edisi “harum” dan “lebih melindungi”. Penciptaan produk edisi “harum” sangat jelas berhubungan dengan gambaran masyarakat terhadap menstruasi
sebagai darah kotor yang berbau amis. Produsen Modess seakan bertindak mencegah terjadinya abjeksi terhadap menstruasi dengan membubuhi wewangian ke dalam
produknya sehingga bau amis dari darah tidak lagi tercium. Akan tetapi yang sebenarnya terjadi adalah abjeksi terhadap bau amis merupakan ide awal penciptaan
produk Modess. Kelompok industri dengan sengaja menciptakan bahkan membuat- buat kebutuhan supaya masyarakat meyakini bahwa tindakan konsumsi terhadap
produk adalah benar. Iklan SoftEasy dan Modess yang terbit pada tahun 1984 merupakan dua
penawaran yang berbeda, namun mengamati tampilan visual pariwaranya dapat disimpulkan suatu kesamaan bahwa menstruasi sifatnya tabu. Hal ini ditunjukkan
dengan rasa malu pada wajah figur iklan SoftEasy dan kesan murni dari pembalut berwarna putih tanpa noda dalam pariwara Modess. Selain itu kedua iklan juga
meyakini bahwa produk pembalut milik mereka merupakan hasil teknologi mutakhir, yaitu SoftEasy yang flushable dan Modess mengandung wewangian. Keunggulan
tersebut pada dasarnya berupaya menyembunyikan darah menstruasi yang dianggap kotor dan berbau amis sehingga tampak tidak terlihat dan terasa, bahkan oleh
perempuan pemiliknya sendiri. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55 Gambar 9. Honeysoft 1984
Iklan selanjutnya, masih dalam penerbitan tahun 1984 memiliki tema penawaran yang berbeda. Namun terdapat satu hal yang membuatnya serupa, yaitu
penggunaan figur perempuan kelas menengah sebagai model iklan. Dalam iklan SoftEasy, figur yang muncul adalah perempuan muda tengah asyik memperagakan
tarian balet. Namun iklan Honeysoft berikut ini menyuguhkan sosok perempuan tengah baya mengenakan gaun putih sedang duduk di sebuah kursi sofa empuk,
dikelilingi bunga-bunga hiasan di dalam ruangan yang menandakan suasana rumah perkotaan. Serupa dengan segmentasi pembaca majalah Femina, baik iklan
56
SoftEasy dan Honeysoft menyasar perempuan kelas menengah sebagai tujuan konsumennya.
Kompetisi pasar semakin ketat dalam memperebutkan pangsa, karena merek-merek pembalut baru terus bermunculan, sehingga menekan pihak pemasaran
merancang kiat-kiat komunikasi yang persuasif, kreatif dan estetis.
97
Salah satu jurus jitu untuk memasarkannya adalah dengan menggunakan undian berhadiah seperti
yang dilakukan oleh pihak Honeysoft. Masih di tahun 1984 pada halaman ke-28 majalah Femina No. 37, produk Honeysoft menawarkan 400 hadiah yang berharga,
berupa sepeda motor, lemari es, televisi, mini compo tape dan panci susun.
98
Dengan semakin banyak membeli pembalut Honeysoft yang ekonomis maka memperbesar kemungkinan memenangkan hadiah undian. Honeysoft mengharapkan
bahwa kaum perempuan dapat merasakan dua keuntungan dari menggunakan produk, yakni rasa nyaman dan hadiah. Pihak pemasaran dan perancang iklan dengan jeli
mengeksploitasi hasrat konsumtif rumah tangga, seperti kulkas, televisi, ataupun panci sebagai jurus pembujuk yang justru khas domestikasi.
e. Iklan Pembalut Tahun 1985
Serupa dengan SoftEasy, iklan Softex tahun 1985 menggunakan seorang balerina sebagai model utama.
99
Namun sosok balerina dalam iklan Softex adalah
97
Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 33.
98
Femina No. 37 Tahun XII terbitan 1984, hlm. 28. Lihat gambar 9.
99
Femina No. 26 Tahun XIII terbitan 1985, hlm. 15. Lihat gambar 10.
57
seorang mooi indie.
100
Balerina tersebut tengah berpose duduk, seakan bersiap memulai tarian baletnya sesudah memperbaiki kaus kakinya. Senyumnya kecil,
terkesan malu-malu dan matanya menatap ke arah lain, bukan menuju penonton. Melalui senyumnya, balerina seperti mengatakan bahwa dirinya merasakan
kenyamanan berkat menggunakan Softex. Namun tatapan matanya justru menyiratkan ketidakinginan perhatian orang lain mengetahui bahwa ia sedang mengenakan
pembalut atau dalam keadaan menstruasi. Ilustrasi demikian meninggalkan paradoks, karena pada satu sisi pihak iklan menyatakan untuk mendobrak ketabuan menstruasi
dengan memunculkan sosok Barat dalam iklan, namun ekspresi balerina sebagai model justru mempertajam aroma “rahasia” kaum perempuan.
Masa industrialisasi menciptakan rasional baru mengenai kebutuhan akan sesuatu yang modern dan praktis, salah satunya adalah pembalut untuk perempuan.
Agar proses tersebut berjalan lancar, produsen pembalut menggunakan mitos-mitos mengenai tabu menstruasi supaya perempuan gemar mengkonsumsi produk-
produknya. Secara normatif iklan-iklan yang memasarkan produk pembalut memang bertujuan meningkatkan pembelian. Namun tanpa disadari iklan-iklan pembalut yang
beredar pada periode 1977-1985 turut membentuk gambaran perempuan supaya bebas bergerak. Kebebasan tersebut hanya didapatkan melalui konsumsi pembalut
yang praktis dan modern.
100
Visual iklan yang menggunakan model-model dari Barat mengingatkan pada zaman “Mooi Indie” yang menjadi acuan para seniman tahun 1900-an ataupun sekadar
replika dan duplikasi dari iklan-iklan edaran pers mancanegara. Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 57.
58 Gambar 10. Softex Sumber: Femina 1985
59
C. Kesimpulan
Meningkatnya pendapatan negara memacu pertumbuhan investasi dalam negeri. Namun tujuan sukses pembangunan harus melibatkan kontrol represif dari
pemerintah, meliputi dwifungsi ABRI, dominasi Golkar, pembredelan pers hingga domestikasi perempuan. Jumlah populasi dan kemampuan membaca pada perempuan
memang lebih banyak, tapi minim dalam komposisi dunia kerja dibandingkan dengan laki-laki. Jika pun bekerja, maka perempuan adalah pekerja dengan upah rendah dan
tidak memiliki perlindungan hukum. Perempuan marjinal dalam bidang produksi, karena ditempatkan pada posisi dominan sebagai obyek konsumsi dan tontonan.
Salah satu wujudnya adalah iklan pembalut yang menggunakan tubuh perempuan menstruasi sebagai komoditi untuk dijual pada penontonnya, yaitu perempuan.
Kapitalisme membebaskan tubuh perempuan dari identitas tradisional, seperti pemahaman menstruasi adalah darah kotor. Sebagai agen kapitalis, perancang iklan
bertindak mereduksi tabu tersebut ke dalam simbol-simbol, salah satunya penggunaan cairan biru antiseptik untuk membutakan warna merah darah.
60
BAB III CITRA PERAN GANDA PEREMPUAN PERIODE 1986-1993
Peralihan kebijakan negara kepada eksplorasi sektor non-migas dan keterbukaan diri terhadap bantuan dari luar negeri yang ditujukan untuk
pembangunan justru menimbulkan ketidakadilan sosial.
101
Pasalnya, hanya para pemodal asing dan kaum borjuasi lokal yang dapat menikmati hasilnya. Demi
mendorong pembangunan, pemerintah turut mengeluarkan kebijakan peran ganda perempuan yang sejujurnya kian mengeksploitasi tubuh supaya meningkatkan daya
konsumsi. Hal tersebut tercermin dalam iklan-iklan pembalut terbitan periode 1986- 1993 yang diuraikan berikut ini.
101
Sejak awal dasawarsa 80-an harga minyak internasional merosot hingga US 10 per barel. Oleh OPEC Organization of The Petroleum Exporting Countries, Indonesia
mendapat pembatasan produksi minyak sebesar 1,19 juta barel per hari sejak Desember 1986. Usaha OPEC tersebut bertujuan untuk mengontrol jumlah minyak di pasar dunia agar tidak
over supply dan mempertahankan harga yang telah disepakati oleh negara-negara anggota OPEC. Lihat Sejarah Bank Indonesia: Moneter Periode 1983-1997, diakses dari
www.bi.go.id tanggal 29 Januari 2016. Lihat juga M. Arief Djanin dan Firman Djunasien, Prospek Migas 19881989 dalam M. Arsjad Anwar, Sri-Edi Swasono, Iwan Jaya Azis, dan
Freddy Nazar ed., 1985, Ekonomi Indonesia: Masalah dan Prospek 19881989, Jakarta; UI- Press, hlm. 91.
61
A. Latar Belakang
1. Perkembangan Perekonomian
Menghadapi masa krisis perekonomian akibat menurunnya harga minyak sementara bunga hutang luar negeri justru meningkat, mendesak pemerintah
memberlakukan kebijakan baru. Sejak tahun 1982 hingga 1989, pemerintah mencanangkan kebijakan deregulasi
102
dan pengetatan moneter, yang dikenal sebagai Gebrakan Sumarlin I
103
, sehingga berhasil membuka kesempatan lebih besar kepada korporasi internasional dan Bank Dunia dalam menanamkan modal atau membangun
usaha di Indonesia.
104
Sayangnya, keterlibatan korporasi internasional tersebut justru
102
Kebijakan deregulasi ini mencakup bidang perbankan, perhubungan, investasi, industri, serta perdagangan luar negeri. Salah satunya adalah pengurangan tarif secara besar-
besaran sehingga para produsen yang risau menghadapi tingginya harga bahan baku lokal mendapat kesempatan untuk mengimpor dari luar negeri dengan harga lebih murah karena
tidak dikenai bea cukai. Baca Tempo Edisi Khusus , “Soeharto”, diakses dari
www.serbasejarah.files.wordpress.com tanggal 31 Mei 2015. Baca juga Soeheroe Tjokro Prajitno, 1988, Deregulasi di Sektor Perhubungan dalam M. Arsjad Anwar, Sri-Edi
Swasono, Iwan Jaya Azis, dan Freddy Nazar ed., 1985, op.cit, hlm. 400. Baca juga Laporan Utama “Kali ini Paket 6 Mei Panjang Umurmu Eksportir”, Tempo No. 12 Tahun XVI terbitan
17 Mei 1986, hlm. 74-77.
103
Richard Robison, 2012, op.cit, hlm. 310.
104
Pengetatan moneter merupakan langkah untuk mendevaluasi rupiah terhadap US sebesar 31 dan meningkatkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Sebutan
Sumarlin sendiri diambil dari nama Menteri Keuangan ad-interim, yang menggantikan posisi Menteri Keuangan sesungguhnya, Radius Prawiro, karena sedang melakukan perjalanan
dinas ke luar negeri. Data tersebut diperoleh dari situs www.kemenkeu.go.id diakses pada tanggal 29 Januari 2016.