66
pemasaran dan periklanan yang sama pentingnya dengan keredaksian.
118
Pers mengembangkan suatu subkultur baru dalam masyarakat,
119
karena berperan sebagai media promosi dan persuasi budaya massa
120
yang berasal dari industri. Tekanan represif dan kontrol informasi dari pemerintah malah memicu tindakan self-
sensorship awak pers, bahkan berdampak pada industri periklanan. Periode 1980 hingga 1990 merupakan masa tersubur pertumbuhan konsep
dan persaingan kreatif di antara industri periklanan. Meskipun demikian, tema mengenai ketimpangan ataupun diskrepansi sosial yang menggambarkan kemiskinan
menjadi haram untuk dimunculkan sebagai topik iklan.
121
Bagian selanjutnya akan membahas dunia periklanan pada periode 1986 hingga 1993 yang jauh dari kesan
politik namun dekat terhadap komersialisasi industri.
a. Periklanan
Dalam dunia industri, perkembangan teknologi memicu aktivitas produksi menjadi lebih besar sehingga menghasilkan produk yang jumlahnya tidak seimbang
dengan permintaan. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketidakseimbangan antara jumlah barang dan permintaan pasar maka industri kapitalis melakukan pembalikan.
118
Jakob Oetama, 1987, Perspektif Pers Indonesia, Jakarta: LP3ES, hlm. xvi.
119
Ibid, hlm. xiv.
120
Budaya massa merupakan produk-produk atau praktek-praktek kultural yang relatif homogen, dirancang untuk merangsang hasrat konsumsi kelompok terbesar dari
populasi masyarakat heterogen. Baca Hikmat Budiman, 2002, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 53-54.
121
Bedjo Riyanto, 2003, op.cit, hlm. 59.
67
Herbert Marcuse mengemukakan bahwa industri kapitalis maju advanced capitalism dengan sengaja justru menciptakan kebutuhan supaya barang produksi
dapat habis dikonsumsi.
122
Melalui sistem demikian, pers mendapatkan berperan lebih besar karena mampu mempengaruhi, membujuk, dan menciptakan kebutuhan. Dalam periode
1980-an fokus industri pers Indonesia mulai meninggalkan arena perdebatan mengenai kebijakan pemerintah, lantaran lebih mempedulikan ekspansi bisnis guna
mempertahankan finansial.
123
Hal ini merujuk kepada pernyataan Marcuse mengenai pertanyaan peran pers yang semestinya, apakah sebagai instrumen penyebar
informasi dan hiburan atau berperan selaku agen penipuan serta indoktrinasi.
124
Seturut perkembangan peradaban masyarakat kapitalis, iklan bukan lagi sekadar merangsang keinginan massa namun juga memberi pemahaman bahwa hidup
akan lebih baik melalui konsumsi. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut baik pihak industrialis dan periklanan lantas menerapkan berbagai jurus pemikat,
seperti hadiah ongkos naik haji, pemberian beasiswa, penyelenggaraan konser musik,
122
Herbert Marcuse, 1964, One-Dimensional Man, Boston: Beacon Press, hlm. 22.
123
Rosihan Anwar, seorang redaktur senior, berpendapat mengenai kelompok pers Indonesia yang terbagi menjadi dua, yakni “di atas angin” dan “di bawah angin”. Kelompok
“di atas angin” adalah pers yang memiliki kondisi keuangan kuat dan sanggup bertahan dalam perpolitikan Indonesia karena adanya perubahan etos kerja, semula memperhatikan
keadilan sosial dan hak asasi manusia namun beralih menuju pandangan khas kelas menengah dengan mementingkan gaya hidup dan individualisme. Sementara kelompok pers
“di bawah angin” adalah sebaliknya, gagal beradaptasi dengan tuntutan manajemen dan tidak sanggup membangun pondasi finansial kokoh. David T. Hill, op.cit, hlm. 59. Lihat juga
kolom Media “Jika Pers Menggugat Pers”, Tempo No. 4 terbitan Tahun XVI, 22 Maret 1986, hlm. 56-57.
124
Ibid, hlm. 8.
68
hingga cashback pengembalian uang atau sama halnya dengan diskon senilai ratusan juta.
125
Tanri Abeng, selaku presiden direktur PT Multi Bintang Indonesia, mengungkapkan bahwa pemberian hadiah yang berlebihan jumlahnya bertujuan
untuk mendorong konsumerisme.
126
b.
Pertelevisian
Pada periode 1990-an, konsumerisme semakin mencengkeram kehidupan masyarakat dengan hadirnya industri siaran televisi swasta yang mampu
menghadirkan gambar bersuara sebagai kekuatan adidaya periklanan.
127
Berbeda halnya dengan radio yang hanya menyiarkan suara, televisi menjadi medium terbaru
berkekuatan audio visual sehingga mampu menjangkau penonton lebih luas. Tayangan dalam televisi mampu memperkenalkan sekaligus membentuk suatu
realitas “yang lain” dengan hukum dan logikanya sendiri.
128
Sejak tahun 1962 layar kaca Indonesia hanya memiliki satu siaran, yaitu TVRI Televisi Republik Indonesia.
129
Namun menjelang periode 1990-an, dengan
125
Lihat kolom Kiat Promosi “Jor-joran Menarik Pembeli”, Tempo No. 44 Tahun XIX terbitan 30 Desember 1989, hlm. 96.
126
Ibid.
127
Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 60.
128
Ibid.
129
Mulanya, peresmian TVRI bertujuan untuk meliput semua kejuaraan dan pertandingan Asian Games IV yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1962. Dalam
proses pertumbuhannya, TVRI juga menjadi media propaganda bagi penguasa. Misalnya, setiap tanggal 30 September malam, pemerintahan Soeharto memerintahkan TVRI untuk
menayangkan film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI dan mewajibkan para pelajar sekolah menontonnya.