Kehidupan Politik dan Sosial
25
1960-an menjadi 1,97 pada tahun 1980-an
41
, meskipun kenyataannya memberatkan pihak perempuan. Alih-alih mensosialisasikan metode pencegahan kehamilan secara
alami menggunakan penanggalan masa subur, pemerintah justru siap siaga menyediakan jumlah alat kontrasepsi berupa pil dan I.U.D spiral lebih banyak
ketimbang kondom.
42
Sementara itu perlindungan hak perempuan dalam bekerja belum mendapatkan jaminan oleh undang-undang.
43
Hal ini mencerminkan bahwa perempuan belum mendapatkan perlindungan hukum sepenuhnya dan masih berada
pada posisi subordinat. Peran perempuan tidak lebih sebagai pendamping suami, pengatur rumah tangga serta pengasuh anak karena hanya dalam status perkawinan
negara mengakui hak dan keberadaannya.
41
M.C. Ricklefs, op.cit, hlm. 634.
42
Sebuah data statistik menunjukkan bahwa pada periode 1978-1982 penyediaan alat kontrasepsi I.U.D spiral memiliki jumlah terbanyak, yakni 962,410 ribu. Urutan kedua
adalah pil, yang jumlahnya mencapai 231,831 ribu. Sementara kondom hanya tersedia dalam jumlah 1.021 buah. Yayasan Cipta Loka Caraka, 1973, Ensiklopedi Populer Politik
Pembangunan Pancasila Jilid IV dari F sampai Ker, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, hlm. 112-113.
43
Hal ini justru merupakan kemunduran, karena di tahun 1961 pada Kongres Gerwani IV telah diusulkan undang-undang mengenai hak perempuan, salah satunya adalah
kenaikan upah kerja perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki. Saskia E. Wieringa, 1999, op.cit, hlm. 331. Sementara itu, Undang-undang perlindungan terhadap perempuan
dalam dunia kerja mengenai cuti hamil dan menstruasi terbit kembali di tahun 2003. Pada tahun 1948 UU Perlindungan terhadap Perempuan pernah diterbitkan,yang isinya melarang
aktivitas bekerja di malam hari kecuali menurut sifatnya dan memberikan kelonggaran bekerja ketika menstruasi hari pertama dan kedua. Namun pada masa pemerintahan Soeharto
UU tersebut mengalami disfungsi.
26
Pembangunan seyogyanya merupakan proses menyejahterakan, namun 40 penduduk Indonesia masih berada dalam garis kemiskinan.
44
Di lingkungan pedesaan perempuan yang sebelumnya aktif bekerja dalam pertanian sebagai penanam benih
padi, pemanen, maupun penumbuk gabah harus berhenti seiring lahirnya kebijakan Revolusi Hijau. Sistem dan pengoperasian mesin pertanian lebih mengutamakan
keahlian dari laki-laki. Selain menghadapi masalah kemiskinan, perempuan desa juga harus menerima kenyataan mengenai minimnya peluang kerja dan upah yang
diterima akibat adanya mekanisasi teknologi pertanian. Pada masyarakat perkotaan, pembangunan membawa perubahan dengan
mengalirnya nilai-nilai Barat, misalnya melalui pendidikan dan bahasa asing yang disahkan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di bangku sekolah. Perempuan
golongan menengah atas mampu mengakses pendidikan sehingga memiliki kesadaran untuk mengembangkan diri dan berkesempatan mendapatkan pekerjaan dalam
berbagai bidang. Di Asia Tenggara laki-laki menguasai kantor-kantor pemerintahan dan militer namun perdagangan terbuka bagi perempuan, seperti isteri-isteri pejabat
pemerintah di Jakarta mengurusi pertokoan atau berbisnis batu mulia. Peningkatan pembangunan ekonomi yang didukung oleh curahan dana dari
IMF dan Bank Dunia memacu pertumbuhan dunia periklanan sebagai sarana promosi produk-produk industri . Di sisi lain, stabilitas nasional yang menggunakan tindakan
44
Irene Tinker, 1975, “Pengaruh Pembangunan yang Merugikan Kaum Wanita”, Prisma No. 5 terbitan Oktober 1975, hlm. 33.