Iklan Pembalut Tahun 1977 Sejarah iklan pembalut dalam majalah Femina dan Gadis: studi citra perempuan periode 1977-2000.
44
Sebelum mengenal pembalut, perempuan memanfaatkan kain selebar ½ meter sebagai popok saat menstruasi tiba, yang disebut duk. Selain bermanfaat secara
ekologis dan higienis, pembalut kain membuat perempuan lebih mencermati dan peduli mengenai menstruasi. Perempuan harus mencuci bersih pembalut kain sesudah
dipakai, menjemurnya dan merawat supaya tetap dapat digunakan lagi untuk menstruasi berikutnya.
Modess mengubah aktifitas rutin tersebut sebagai sesuatu yang merepotkan. Serupa dengan industri lainnya, Modess mengemas pemahaman mengenai
penggunaan dan perawatan kain duk, yang seharusnya normal dilakukan oleh perempuan, menjadi tidak lagi biasa atau menyusahkan. Selain mengharuskan
perempuan supaya mengkonsumsi pembalut secara rutin, makna lain yang dapat diungkap adalah Modess mampu berperan menggantikan pemegang kendali atas
tubuh. Sosok ibu yang muncul sebagai model berikutnya ikut membenarkan
Modess, yang dianggap sangat membantu perempuan karena anaknya “merasa lebih
yakin akan dirinya dan dapat bergerak lebih bebas sesuka hatinya ” ketika mulai
mengenakan Modess. Sang ibu menyerahkan anak gadisnya kepada penggunaan barang hasil industri, yang yakin akan mendapatkan kebebasan. Sikap demikian
menghentikan aliran pengetahuan mengenai menstruasi yang berlangsung antara ibu dan anak. Pasalnya, anak perempuan hanya akan pasif memperhatikan cara
penggunaan pembalut yang tertera di bungkus produk. Jika demikian maka PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
pengetahuan mengenai menstruasi sebagai subyek menjadi hilang sehingga makin menguatkan tabu yang melarang wujud darah haid diperlihatkan.
Dalam buku Sisterhood is Powerful, Ann Treneman menemukan bahwa perempuan sesungguhnya memiliki pengetahuan minim mengenai menstruasi,
sehingga berpikir akan mati ketika melihat darah mengalir dari vaginanya untuk pertama kali.
82
Apabila sang ibu telah mempersiapkan penjelasan bahwa darah menstruasi tidak kotor dan mengatakannya sebagai proses alamiah yang harus
dialami setiap perempuan namun seringkali dilakukan secara tertutup. Ibu akan mengucapkannya perlahan dan hanya berdua saja bersama puterinya, seakan obyek
pembicaraan adalah suatu kutukan. Hal ini justru semakin menguatkan mitos bahwa menstruasi bersifat tabu. Menurut Freud, tabu menstruasi merupakan cermin dari
sikap ambivalen masyarakat terhadap perempuan yang mengalami menstruasi, dianggap kotor atau terkena kekuatan jahat sehingga perlu dijauhi.
83
Pada foto selanjutnya, sebuah testimonial terucap dari seorang gadis yang mengungkapkan keheranan mengapa teman-
temannya bertahan menggunakan “cara lama, bikinan sendiri
”. Selain ketidaksadaran diri untuk bergantung terhadap Modess, gadis berkemeja blouse
biru tersebut memahami benar ucapannya tentang “cara
82
Ann Treneman, op.cit., hlm. 234.
83
Ibid., hlm. 5.
46
lama”, yang menunjuk kepada sesuatu bernilai lama dan kuno. Gaya berposenya dengan membuka buku menyatakan modernitas mengenai “new era”.
84
Penampilan dan latar ketiga figur perempuan dalam iklan Modess secara bersamaan merepresentasikan kelompok menengah Indonesia, misalnya baju kebaya
dan liontin, mesin tik, telepon hingga rambut yang tertata. Secara normatif kelompok menengah Indonesia sesungguhnya dapat mengantongi peran sebagai “agen
perubahan sosial” yang menyebarkan modernisasi dan demokrasi. Akan tetapi muncul asumsi yang melemahkan kedudukan kelompok menengah Indonesia karena
merupakan hasil rekayasa pemerintah untuk kepentingan pembangunan.
85
Bila menganut pemahaman di atas maka tubuh perempuan yang menjadi figur iklan menjadi salah satu bentuk rekayasa pemerintah. Sosok ibu berkebaya
merupakan perwujudan dari simbol penguasaan negara terhadap perempuan. Kebaya dan kain dijadikan pakaian nasional bagi perempuan, salah satu referensinya adalah
penampilan Tien Soeharto dalam berbagai acara resmi kenegaraan. Dengan demikian tubuh perempuan bukan hanya menjadi sasaran konsumsi, melainkan juga sebagai
arena pertarungan identitas keindonesiaan.
86
84
Mengadopsi kutipan Thoreau dalam buku Walden, “how many a man has dated a new era in his life from reading a book
”. Henry David Thoreau, 1985, Walden, or, Life in the Woods, Amerika Serikat: Princeton University, hlm. 81.
85
Baca Francisia SSE Seda, 2012, “Kelas Menengah Indonesia: Gambaran Umum
Konseptual” dalam Prisma Vol. 32 No.1 terbitan 2012, hlm. 3-13.
86
Ninuk Mardiana Pambudy, 2012, “Gaya Hidup Suka Mengkonsumsi dan Meniru: Beranikah Berinovasi?”, Ibid, hlm. 14-27.
47