23
merupakan bagian integral dari masyarakat, yang mendasar dan tidak terpisahkan.
39
Pada bagian selanjutnya akan membahas kehidupan perempuan Indonesia dalam kondisi sosial politik di awal pemerintahan Soeharto.
b. Kehidupan Perempuan
Jumlah populasi perempuan pada tahun 1977 tercatat lebih banyak ketimbang laki-laki, yaitu 67 juta orang. Sementara itu populasi laki-laki berjumlah
64 juta orang. Hingga tahun-tahun berikutnya, baik jumlah populasi perempuan maupun laki-laki terus mengalami pertambahan. Namun hasil laporan tersebut tidak
berdampak pada meningkatnya jumlah pekerja perempuan, yang masih kalah berebut peluang kerja dengan laki-laki.
Komposisi jumlah perempuan dalam dunia kerja berbanding terbalik dari populasi keseluruhan. Laporan Biro Pusat Statistik 1976 mengungkapkan bahwa
jumlah pekerja perempuan jauh lebih sedikit, hanya sebesar 28 ribu orang sementara laki-laki 118 ribu orang. Apabila bekerja perempuan dikenal berupah murah, loyal,
disiplin, tanpa banyak protes, walaupun memiliki ketelitian yang lebih baik bila dibandingkan dengan laki-laki. Hingga tahun 1985 upah pekerja perempuan tercatat
hanya Rp 1.290, sementara laki-laki lebih besar, yaitu Rp 1.722. Mengu
tip pernyataan Heidi Hartmann, “the resulting mutual accommodation between patriarchy and capitalism has created a vicous circle for women
”.
40
39
Julia I. Suryakusuma, 1981, “Wanita dalam Mitos, Realitas, dan Emansipasi”, Prisma No. 7 Th. X terbitan Juli 1981, hlm. 3.
24
Kapitalisme kerap mengkampanyekan penghapusan diskriminasi upah antara perempuan dan laki-laki namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Rendahnya
gaji perempuan merupakan keuntungan bagi kapitalisme. Pertama, perempuan akan terdorong memilih untuk menikah dan menggantungkan dirinya terhadap laki-laki.
Kedua, ketika perempuan memutuskan menikah maka balasannya terhadap suami adalah menampilkan peran sebagai pengemban tugas domestik yang mengurangi
porsinya bekerja di publik. Maka laki-laki mendapatkan dua keuntungan sekaligus dari proses tersebut, yaitu gaji tinggi dan kekekalan pembagian kerja domestik yang
porsinya lebih besar oleh perempuan. Keberhasilan skenario kapitalisme tersebut dengan mudah menempatkan perempuan sebagai konsumen, bersikap pasif dan
menelan segala produk industri. Pada tahun 1974 pemerintah menerbitkan Undang-undang Perkawinan yang
menegaskan asas monogami untuk mempersulit poligami meskipun agama Islam memperbolehkannya. Namun dalam pasal 31 menegaskan bahwa suami adalah
kepala keluarga dan isteri berkewajiban sebagai ibu rumah tangga. Pembagian tugas gender ini menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan harus mengenakan
embel-embel pendamping suami sehingga cenderung lemah mengambil keputusan, bahkan termasuk kuasa tubuhnya. Dalam kurun waktu 20 tahun program Keluarga
Berencana berhasil mengurangi laju pertumbuhan penduduk dari 2,32 di tahun
40
Heidi Hartmann, 1976, “Capitalism, Patriarchy and Job Segregation by Sex”, Jurnal Signs, Vol. 1, No. 3, Women and The Workplace: The Implications of Occupational
Segregation, Chicago: The University of Chicago Press, hlm. 139.
25
1960-an menjadi 1,97 pada tahun 1980-an
41
, meskipun kenyataannya memberatkan pihak perempuan. Alih-alih mensosialisasikan metode pencegahan kehamilan secara
alami menggunakan penanggalan masa subur, pemerintah justru siap siaga menyediakan jumlah alat kontrasepsi berupa pil dan I.U.D spiral lebih banyak
ketimbang kondom.
42
Sementara itu perlindungan hak perempuan dalam bekerja belum mendapatkan jaminan oleh undang-undang.
43
Hal ini mencerminkan bahwa perempuan belum mendapatkan perlindungan hukum sepenuhnya dan masih berada
pada posisi subordinat. Peran perempuan tidak lebih sebagai pendamping suami, pengatur rumah tangga serta pengasuh anak karena hanya dalam status perkawinan
negara mengakui hak dan keberadaannya.
41
M.C. Ricklefs, op.cit, hlm. 634.
42
Sebuah data statistik menunjukkan bahwa pada periode 1978-1982 penyediaan alat kontrasepsi I.U.D spiral memiliki jumlah terbanyak, yakni 962,410 ribu. Urutan kedua
adalah pil, yang jumlahnya mencapai 231,831 ribu. Sementara kondom hanya tersedia dalam jumlah 1.021 buah. Yayasan Cipta Loka Caraka, 1973, Ensiklopedi Populer Politik
Pembangunan Pancasila Jilid IV dari F sampai Ker, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, hlm. 112-113.
43
Hal ini justru merupakan kemunduran, karena di tahun 1961 pada Kongres Gerwani IV telah diusulkan undang-undang mengenai hak perempuan, salah satunya adalah
kenaikan upah kerja perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki. Saskia E. Wieringa, 1999, op.cit, hlm. 331. Sementara itu, Undang-undang perlindungan terhadap perempuan
dalam dunia kerja mengenai cuti hamil dan menstruasi terbit kembali di tahun 2003. Pada tahun 1948 UU Perlindungan terhadap Perempuan pernah diterbitkan,yang isinya melarang
aktivitas bekerja di malam hari kecuali menurut sifatnya dan memberikan kelonggaran bekerja ketika menstruasi hari pertama dan kedua. Namun pada masa pemerintahan Soeharto
UU tersebut mengalami disfungsi.