Budidaya Melon di Indonesia Efek Buruk Fungisida Golongan Strobilurin

30 o C, sedangkan pada periode pertumbuhan kisaran suhu yang ideal 25 o C-30 o C Rukmana, 1994 c. Tanah. Jenis tanah yang paling ideal untuk melon adalah tanah geluh berpasir yang lapisan olahnya dalam, tidak mudah becek menggenang, subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, dan pHnya antara 6,0-6,8 meskipun masih toleran pada pH antara 5,8-7,2 Rukmana, 1994.

C. Budidaya Melon di Indonesia

Menurut asal-usulnya, konon tanaman melon berasal dari daerah Mediterania yang merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan Afrika. Secara khusus ada yang menyebutkan bahwa melon berasal dari lembah Persia Syria. Tanaman ini kemudian menyebar secara luas ke Timur Tengah dan merambah ke Eropa Denmark, Belanda, dan Jerman. Dari Eropa, Melon dibawa ke Amerika pada abad ke-14 dan ditanam secara luas di daerah Colorado, California, dan Texas. Akhirnya, tanaman melon menyebar ke segala penjuru dunia, terutama pada daerah tropis dan subtropis mulai dari Jepang, Cina, Taiwan, Korea, Australia, hingga berkembang di Indonesia Prajnanta, 1997. Tanaman melon Cucumis melo L. merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah melon banyak digemari oleh masyarakat karena buahnya yang berasa manis dan mengandung banyak air sehingga menyegarkan apabila dimakan. Tanaman melon ini juga memiliki arti penting bagi perkembangan sosial ekonomi masyarakat khususnya dalam meningkatkan pendapatan petani, karena dirasa buah melon memiliki nilai ekonomis yang lebih PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tinggi, adapun arti penting yang lain adalah sebagai perbaikan gizi masyarakat dan perluasan kesempatan kerja Kristianingsih, 2010. Perkembangan agrobisnis melon di Indonesia belakangan ini menunjukan prospek usaha yang sangat menjanjikan. Bila dulunya usaha budidaya melon hanya berpusat di Cisarua Bogor dan Kalianda Lampung, sekarang ini persebarannya semakin meluas ke berbagai wilayah di Indonesia. Misalnya saja seperti di Daerah Grobogan, Malang, Ngawi, Pacitan, Madiun, Blitar, Sukoharjo, Surakarta, Karang Anyar, Klaten, Kulon Progo Yogyakarta, Banten, dan lain sebagainya Maimun, 2014.

D. Hama pada Perkebunan Melon

Budidaya melon di daerah tropis seperti Indonesia cukup rentan dengan serangan hama dan penyakit. Hama yang biasa menyerang budidaya melon antara lain kutu daun, lalat buah, ulat daun, thrips, tungau. Sedangkan penyakit yang menyerang antara lain antraknosa, busuk buah, busuk batang dan mosaik Sobir dan Firmansyah, 2014.

1. Ulat Daun

Ulat daun dikenal juga dengan ulat jengkal atau ulat grayuk. Daun tanaman yang terserang tanaman ini tampak menggulung dan berlubang-lubang, akhirnya meranggas hingga tinggal daunnya. Penanggulangan ulat daun dapat dilakukan dengan cara teknis dan mekanis Sobir dan Firmansyah, 2014.

2. Kutu

Aphids Hama ini mempunyai getah cairan yang mengandung madu dan di lihat dari kejauhan mengkilap. Hama ini menyerang tanaman melon yang ada di lahan penanaman. Aphids muda yang menyerang melon berwarna kuning, sedangkan yang dewasa mempunyai sayap dan berwarna agak kehitaman. Gejala yang ditimbulkan dari daun tanaman menggulung dan pucuk tanaman menjadi kering akibat cairan daun yang dihisap hama Sobir dan Firmansyah, 2014.

3. Thirps

Hama ini menyerang saat fase pembibitan sampai tanaman dewasa. Nimfa thirps berwarna kekuning-kuningan dan thirps dewasa berwarna coklat kehitaman. Thirps berkembang biak sangat cepat secara partenogenesis mampu melahirkan keturunan meskipun tidak kawin. Serangan dilakukan di musim kemarau. Gejala: daun-daun muda atau tunas-tunas baru menjadi keriting, dan bercaknya kekuningan; tanaman keriting dan kerdil serta tidak dapat membentuk buah secara normal. Kalau gejala ini timbul harus diwaspadai karena telah tertular virus yang dibawa hama thirps Sobir dan Firmansyah, 2014.

4. Antraknosa

Antraknosa merupakan penyakit disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp Suryanto, 2010. Cendawan termasuk dalam Thallophita. Makhluk hidup ini tidak mempunyai pigmen klorofil sehingga hidup sebagai saprofit maupun parasite Pracaya, 2007. Gejala serangan cendawan Collectotrichum sp adalah adanya bercak berwarna hitam dibagian kulit buah dan bercak tersebut sedikit demi sedikit bersatu, kemudian daging buah membususk. Daun yang terserang cendawan ini akan timbul bercak tidak teratur dengan ukuran kuran lebih 5 mm. pusat bercak akan pecah sehingga menyebablan daun berlubang. Pada tangkai daun, serangan menyebabkan daun layu dan rontok. Serangan pada batang muda menyebabkan bercak berwarna kelabu dan dapat berkembang. Serangan pada bagian bunga menyebabkan bintik-bintik kecil berwarna hitam, terutama pada keadaan cuaca lembab Suryanto, 2010. Penyakit antraknosa menyerang berbagai jenis tanaman. Penyakit ini sangat sulit dikendalikan, terutama jika kelembaban areal pertanaman sangat tinggi. Bagian tanaman yang terserang penyakit patek atau antraknosa pada umumnya adalah buah atau daun. Penyakit patek atau antraknosa menyerang pada bagian daun terutama pada tanaman sansevieria, anggrek, bromelia, miracle, seledri, dan melon. Penyakit ini juga sering menyerang buah, terutama pada tanaman melon, apel, cabai, tomat, mangga, kopi, pepaya, alpukat, dan sebagainya Kurniati, 2013. Cara menghindari serangan hama dan penyakit dengan dilakukan kultur teknis seperti rotasi tanaman, pemupukan berimbang dan menjaga sanitasi kebun. Bila hama dan penyakit telah menyerang semprot dengan pestisida yang cocok. Bisa pestisida organik atau pestisida sintetis. Lakukan penyemprotan sesuai dengan dosis anjuran Sobir dan Firmansyah, 2014.

E. Fungisida

1. Pengertian Fungisida

Fungisida merupakan salah satu jenis dari pestisida yang mengontrol penyakit jamur dengan menghambat atau membunuh jamur penyebab penyakit. Namun, tidak semua penyakit yang disebabkan oleh jamur dapat dikendalikan menggunakan fungisida McGrath, 2004.

2. Kategori Fungisida

Fungisida dikategorikan dengan beberapa cara menurut perbedaan karakteristiknya. Karakteristik yang umum digunakan dalam pengkategorian dijelaskan sebagai berikut: a. Mobilitas di dalam tanaman. Berdasarkan kategori ini, fungisida dibagi menjadi kontak dan sistemik. Fungisida kontak disebut dengan protectant sedangkan sistemik disebut dengan penetrant. Fungisida kontak merupakan fungisida yang tetap berada dipermukaan tanaman. Penggunaan yang terlalu banyak berpotensial toksik terhadap tanaman phytotoxic. Penetrant atau fungisida sistemik merupakan fungisida yang diserap dalam tanaman. Penetrant ini memiliki beberapa pergerakan setelah aplikasi, diantaranya bergerak dalam jarak yang sangat dekat dari tempat aplikasi sistemik lokal atau translaminar, sistemik lemah yang dapat bergerak lebih jauh dibandingkan sistemik lokal, xylem-mobile systemic dan phloem-mobile systemic yang bekerja jauh lebih luas. b. Peran dalam proteksi. Terdapat dua macam kategori fungisida yaitu preventif dan kuratif. Fungisida kontak termasuk dalam fungisida preventif yang cocok untuk pencegahan dengan aksi kontak pada permukaan tanaman, aplikasi ulang diperlukan pada fungisida kontak untuk melindungi pertumbuhan tanaman baru dan mengganti materi yang telah hilang akibat hujan, irigasi, atau terdegradasi oleh factor lingkungan seperti matahari. Fungisida sistemik mampu menembus tanaman sehingga beberapa fungisida sistemik baik untuk preventif maupun kuratif eradicant atau kick-back. c. Luasnya aktivitas. Berdasarkan luasnya aktivitas, fungisida terdapat dua macam kategori yaitu single-site dan multi-site. Single-site berarti hanya aktif pada satu titik dalam satu jalur metabolisme patogen atau melawan kritikal enzim tunggal atau protein yang dibutuhkan oleh jamur. Fungisida ini memiliki spesifikasi toksisitas yang tinggi, memiliki efek kecil pada sebagian besar organisme, dan memiliki sifat sistemik. Biasanya, fungisida kontak yang lebih tua memiliki aktivitas multi-site dan dengan demikian biasanya mempengaruhi banyak jamur di kelas yang berbeda. d. Modus aksi. Fungisida membunuh jamur dengan mengganggu membran sel jamur, inaktivasi kritikal enzim atau protein, atau dengan mengganggu proses kunci seperti produksi energi atau respirasi. Dampak lainnya adalah mengganggu jalur metabolik spesifik seperti produksi sterol atau chitin. Sebagai contoh, fungisida phenylamide mengikat dan menghambat fungsi RNA polymerase dari Oomycetes, sedangkan fungisida benzimidazole menghambat formasi beta tubulin polymerase yang digunakan oleh sel selama pembelahan inti nukleus. Pengetahuan secara tepat mengenai bagaimana fungisida mempengaruhi jamur sangat membantu dalam memilih produk. Pertama, modus aksi menentukan jamur akan dipengaruhi oleh fungisida dan dengan demikian penyakit dapat dikontrol dengan menggunakan fungisida. Kedua, fungisida dengan modus aksi yang lain dibutuhkan dalam program manajemen penyakit untuk menunda perkembangan resistensi fungisida. e. Tipe bahan kimia. Terdapat dua kategori fugisida berdasarkan tipe bahan kimia yaitu : anorganik dan organik. Fungisida juga dapat diklasifikasikan berdasarkan komposisi kimia. Secara kimia, molekul organik memiliki atom karbon di dalam struktur kimianya sedangkan anorganik tidak punya. Banyak fungisida anorganik pertama kali dikembangan berbahan sulfur atau logam ion seperti tembaga, timah, kadnium dan merkuri. Tembaga dan sulfur masih banyak digunakan. Kebanyakan fungisida lain yang digunakan saat ini adalah fungisida organik dan terdapat karbon. Istilah organik yang digunakan di sini berdasarkan terminologi kimia dan berbeda dari organik yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem pertanian yang berusaha untuk menjadi holistik dan meningkatkan kesehatan agroekosistem McGrath, M.T. 2004.

3. Pengambilan Fungisida oleh Tanaman

Penggunaan fungisida dapat dilakukan dengan cara semprot, tabur, injeksi pada batang dan lain-lain. Sebagian besar fungisida diaplikasikan dengan cara disemprot terutama pestisida dalam bentuk konsentrat teremulsikan Kamali, 2008. Setelah penyemprotan, pestisida terdistribusi di udara, tanah, air, tumbuhan dan manusia, seperti pada gambar menurut EXTOXNET 1993 dibawah ini. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 1. Distribusi Residu Fungisida di Lingkungan Residu fungisida yang berada di udara dan lama-kelamaan jatuh ke tanah. Untuk jenis pestisida yang tidak mudah menguap dan bersifat persisten, fungisida berada di dalam tanah dalam jangka waktu yang lama. Fungisida yang sudah berada di dalam tanah dapat terbawa oleh air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air penerima berupa sungai dan sumur. Fungisida yang disemprotkan pada tanaman akan meninggalkan residu. Residu terdapat pada semua bagian tumbuhan seperti batang, daun, buah, dan akar. Khusus untuk buah, residu terdapat pada permukaan atau masuk ke dalam daging buah tersebut Kamali, 2008. Fungisida yang berada di tanaman dapat mengalami translokasi. Translokasi atau pengambilan fungisida dalam tanaman dapat terjadi ke arah atas akropetal, bawah basipetal atau lateral. Translokasi ke bagian atas tanaman berlangsung melalui pembuluh xylem, dimana arah lajunya sangat dipengaruhi oleh transpirasi tanaman. Fungisida yang terserap melalui daun berasimilasi dan cenderung berpindah ke dalam batang, yaitu melalui floem serta berakumulasi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dalam bagian yang tumbuh dari tanaman seperti akar dan ujung tanaman. Ini merupakan pola pergerakan yang normal untuk fungisida sistemik yaitu fungisida yang dapat diabsorpsi dan ditranslokasi oleh tanaman Kamali, 2008.

4. Kriteria Aplikasi Fungisida yang Tepat

Untuk memperkecil dampak negative fungisida, terutama mengurangi residu fungisida pada hasil pertanian, maka aplikasi fungisisda harus memenuhi 6 enam kriteria tepat, yaitu: a. Tepat jenis. Jenis fungisida yang digunakan efektif terhadap OPT sasaran hasil pengamatan rutin, dapat dibaca pada label kemasan. b. Tepat mutu. Fungisida yang digunakan bermutu baik. Oleh karena itu digunakan fungisida yang telah terdaftar dan diizinkan, tidak menggunakan fungisida yang telah rusak, kadaluwarsa atau diduga palsu. c. Tepat sasaran. Berdasarkan hasil pengamatan rutin secara tepat di identifikasi jenis OPT usahakan hanya bagian tanaman yang diaplikasikan OPT. d. Tepat dosis dan konsentrasi. Dosis dalam liter atau kilogram fungisida per hektar luas tanaman dan konsentrasi dalam milliliter atau gram fungisida per liter cairan semprot yang digunakan sesuai petunjuk penggunaan pada label kemasan. e. Tepat waktu aplikasi. Aplikasi fungisida dilakukan pagi atau sore hari, saat udara cerah, angin tidak terlalu kencang, dan tidak hujan. Disamping itu OPT masih stadia awalpeka, dan poplulasi atau intensitas serangnya sudah melampaui ambang pengendalian. f. Tepat cara dan alat aplikasi. Cara aplikasi fungisida harus sesuai antara alat yang digunakan dengan jenis pestisidanya dan fase tanaman yang disemprot serta OPT sasaran DEPTAN, 1994.

F. Efek Buruk Fungisida Golongan Strobilurin

Pestisida strobilun termasuk dalam kelompok fungisida baru dengan registrasi azoxystrobin yang diterima EPA pada tahun 1997. Kemudian diikuti trifloxystrobin pada tahun 1999 dan registrasi yang paling terbaru adalah pyraclostrobin. Ketiganya merupakan agen yang efektif terhadap beberapa patogen tanaman penting, tetapi juga memiliki beberapa sifat yang unik. Azoxystrobin, trifloxystrobin dan pyraclostrobin merupakan family pertama fungisida yang menyediakan control dari tiga tipe utama jamur patogenik tanaman dan karena afinitasnya yang kuat terhadap lilin di permukaan tanaman. Mereka mampu untuk translokasi dari atas permukaan daun sampai ke bawah menyediakan kontrol pada kedua permukaan. Strobilun memiliki berbagai tempat aplikasi yang memungkinkan untuk digunakan tergantung pada produk. Strobilun terdaftar dapat digunakan pada buah jeruk, tanaman kecil dan pohon, turfgrass, bidang dan sayuran, dan banyak komoditas khusus. Setelah peluncuran produk fungisida ini, laporan resistensi jamur tertentu di laporkan pertama oleh negara-negara di Asia dan Eropa, dan berkembang sampai Amerika Utara. Strobilurin memiliki aksi yang spesifik menghambat respirasi pada mitokondria yang dapat mencegah perkembangan spora dan tumbuhnya mycelial, karena hal ini menyebabkan strobilurin memiliki resiko resistensi yang tinggi. Strobilurin dikatergorikan pada kategori 3 bahan berbahaya dan dapat menyebabkan efek akut pada oral, dermal, dan pernapasan. Pada penelitian yang telah dilaporkan, kadar yang dapat menyebabkan toksisitas akut pada 60 kg berat badan dipaparkan sebagai berikut : konsumsi oral dari 500 sampai 5.000 mgkg berat badan, paparan kulit dari 2.000 sampai 20.000 mgkg berat badan, atau menghirup 2,0-20,0 mgL. Konsumsi oral yang menyebabkan toksisitas akut akan sama dengan satu ons untuk satu kali paparan sebagai dosis yang mematikan. Mereka dianggap non-onkogenik pada tikus uji di studi toksisitas kronis. Strobilurins beracun bagi ikan dan invertebrata air. Label produk mereka memiliki pernyataan mengenai penggunaan tindakan pencegahan di sekitar air dan bidang yang menjadi perhatian yaitu air tanah. Dampak ekologi lainnya tampak diabaikan Frederick, 2015.

G. Azoxystrobin