Biomassa Penyusunan model pendugaan dan pemetaan biomassa permukaan pada tegakan jati (Tectona grandis Linn F) menggunakan citra alos palsar resolusi 50 M dan 12,5 M (Studi kasus: KPH Kebonharjo perhutani unit 1 Jawa Tengah)

Secara alamiah tanaman jati banyak ditemukan di negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan. Pada abad ke-19 jati juga mulai dibudidayakan di Amerika tropik. Keberhasilan permudaan sejak akhir abad 19 telah dapat mengembangkan luas kawasan hutan jati di pulau Jawa. Pada akhir abad 19 luas hutan jati di pulau jawa seluruhnya diperkirakan berkisar 650.000 ha. Dan hingga tahun 1985 luas hutan jati terus bertambah hingga mencapai 1.069.712 ha. Hutan jati yang sebagian besar berada di Pulau Jawa dikelola oleh PT. Perhutani. Dimana luas daerah pengelolaannya mencapai 2.6 juta ha, terdiri dari 54 KPH Kesatuan Pemangkuan Hutan. Produksi hutan jati yang dikelola oleh Perhutani rata-rata 800.000 m3tahun, dimana sebagian besar produksi hutan jati dijual dalam bentuk log.

2.5 Biomassa

Brown 1997 mendefinisikan biomassa hutan sebagai bobot total materi organisma hidup setiap pohon di atas permukaan tanah dinyatakan dalam bobot kering ton per unit area. Biomassa dapat pula didefinisikan sebagai bobot dari material tumbuhan hidup per unit area. Total biomassa yang terdapat pada areal hutan dibagi ke dalam dua bagian yaitu biomassa di atas permukaan dan biomassa di bawah permukaan tanah. Biomassa pada dasarnya terdiri dari bobot organisma hidup di atas permukaan dan di bawah permukaan tanah, seperti pohon, semak belukar, tumbuhan menjalar, akar dan berat organisma mati dan sampah kasar yang terasosiasi dengan tanah. Karena terdapat kesulitan pada pengumpulan data lapangan biomassa di bawah permukaan Below-Ground Biomass, BGB, penelitian estimasi biomassa yang telah banyak dilakukan sebelumnya terfokus pada biomassa di atas permukaan Above-Ground Biomass, AGB Lu 2006. Tabel 4 menyajikan rangkuman dari beberapa teknik pendugaan biomassa yang berbeda berdasarkan 1 pengukuran lapangan, 2 remote sensing, dan 3 GIS. Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan Lugo Snedaker 1974. Pengukuran biomassa pada dasarnya mengacu pada empat teknik pengukuran Lu 2006: a teknik pemetaan pemanenan atau teknik sampling destruktif b teknik sampling non-destruktif c pengukuran berdasarkan data remote sensing yang dihasilkan oleh sistem airbornespaceborne, and d estimasi menggunakan model. Tabel 4 Beberapa metode untuk menduga biomassa Ketegori Metode Data digunakan Karakteristik Referensi Metode Dasar- Pengukuran Lapangan Penarikan contoh Destruktif Pohon contoh Individu pohon Klinge et al. 1975 Allometric equations persamaan allometric Pohon contoh Individu pohon Overman et al.1994, Honzak et al. 1996, Nelson et al. 1999 Konversi dari volume ke biomassa Volume dari pohon contoh atau tegakan Individu pohon atau tegakan vegetasi Brown dan Lugo 1984, Brown et al. 1989, Brown dan Lugo 1992, Gillespie et al. 1992, Segura dan Kanninen 2005 Metode Dasar- Penginderaan Jauh Metode berdasarkan fine spatial- resolution data Aerial photographs, IKONOS Per-pixel level Tiwari dan Singh 1984, Thenkabail et al. 2004 Metode berdasarkan medium spatial- resolution data Landsat TMETM+, SPOT Per-pixel level Roy dan Ravan 1996, Nelson et al. 2000a, Steininger 2000, Foody et al. 2003, Lu 2005 Metode berdasarkan coarse spatial- resolution data IRS-1C WiFS, AVHRR Per-pixel level Barbosa et al. 1999, Wylie et al. 2002, Dong et al. 2003 Metode berdasarkan data Radar Radar, lidar Per-pixel level Harrel et al. 1997, Lefsky et al. 1999b, Santos et al. 2002, 2003 Metode Dasar- SIG Metode berdasarkan Ancillary data Elevasi, kemiringan, tanah, presipitasi, dll. Per-pixel level atau per-field level Brown et al. 1994, Iverson et al. 1994, Brown dan Gaston 1995 Sumber: Lu 2005 Metode Pendugaan Biomassa dengan Non-Destruktif Sampling Pendekatan destruktif untuk menduga biomassa memberikan hasil yang paling akurat, tetapi penerapan teknik ini tidak dapat dilakukan pada seluruh areal hutan karena kerusakan yang diakibatkan cukup besar. Selain kerusakan yang diakibatkan, mahalnya biaya dan banyaknya waktu yang dibutuhkan dibandingkan dengan teknik pendugaan biomassa yang lain menjadi bahan pertimbangan dalam penggunaan teknik ini. Teknik pendugaan biomasa yang banyak dilakukan pada saat ini adalah pendekatan non-destruktif sampling dimana pada pendekatan ini tidak diperlukan pemanenan pohon. Pendekatan non-destruktif sampling memilik persamaan regresi yang berbeda-beda, dengan parameter penyusunya seperti tinggi pohon, diameter pohon, volume batang, dan basal area untuk menduga biomassa. Berikut merupakan persamaan regresi yang banyak digunakan untuk menduga biomassa menurut Husch et al. 2003; B = C + C 1 S B = C + C 1 S + C 2 S 2 B = exp C 1 S B = exp C 2 S C 1 B = C + C 1 logS Menurut Chave et al. 2005 berdasarkan pengujian yang telah dilakukan didapatkan bahwa diameter pohon merupakan salah satu variabel yang penting bagi pendugaan biomassa selain berat jenis pohon dan tipe hutan. Teknik estimasi biomassa non-destruktif memiliki efisiensi yang baik jika dibandingkan dengan teknik sampling destruktif. Pada kasus area hutan tropis campuran yang heterogen, survey lapangan tidak mungkin dilakukan untuk mengambil sample pada plot dengan aksesibilitas yang rendah. Untuk memonitoring area hutan tropis campuran yang heterogen maupun hutan tropis homogen, penginderaan jauh menyediakan alat yang paling sesuai dan efektivitas waktu serta biaya jauh lebih baik dibandingkan pengukuran in-situ. Beberapa tahun terakhir, teknik penginderaan jauh remote sensing telah menjadi hal umum dalam menduga AGB Lu 2005. Penginderaan jauh sistem optik pada dasarnya merespon pada struktur kimia daun seperti Normilize Difference Vegetation Index NDVI Dong et al. 2003. Berdasarkan resolusi spasial, Lu 2006 mengategorikan data penginderaan jauh citra satelit untuk estimasi AGB ke dalam tiga kategori yaitu fine spatial-resolution data resolusi spasial kurang dari 5 m, medium spatial-resolution data resolusi spasial pada kisaran antara 10 m hingga 100 m, dan coarse spatial-resolution data resolusi spasial lebih dari 100 m. Penggunaan coarse spatial-resolution data memiliki keterbatasan dikarenakan ukuran pixelnya yang besar, dimana berbagai jenis pohon dari bermacam-macam area hutan terdapat di dalam pixel tersebut dan perbedaan yang amat besar antara ukuran pixel dengan plot yang dibuat untuk pengukuran lapangan. Pendugaan Biomassa Hutan Jati Berdasarkan Model Alometrik Pada pendugaan nilai biomassa tegakan jati di lokasi peneltian digunakan model alometrik biomassa terukur yang telah dikembangkan oleh Hendri 2001 di daerah KPH Cepu yang merupakan daerah Hutan Tanaman Jati yang berseberangan langsung dengan lokasi peneltian. Dimana R 2 pada persamaan alometik dengan destructive sampling ini sebesar 94,1. Selain itu kondisi umum lapangan baik kondisi tegakan maupun kondisi iklim daerah KPH Cepu memiliki kesamaan dengan kondisi umum lapangan KPH Kebonharjo. Berikut merupakan persamaan alometrik yang dikembangkan oleh Hendri 2001 Hendri dalam Tiryana 2011. W = 0.2759D 2.2227 R 2 = 0.941 Pendugaan Biomassa Hutan Jati Berdasarkan Nilai Biomass Expansion Factor BEF Biomass Expansion Factor BEF didefinisikan sebagai rasio total bobot biomassa kering tanur di atas permukaan tanah pada diameter minimum dbh 10 cm atau lebih dengan bobot biomassa kering tanur pada volume yang diinventarisasi atau rasio antara AGB total dengan biomassa batang yang dapat dimanfaatkan. BEF pada setiap tegakan hutan di berbagai negara sangat bervariasi, penghitungan BEF yang banyak dilakukan adalah dengan menggunakan dua metode, yaitu perhitungan BEF dari diameter pohon secara langsung dan BEF yang dihitung dengan menggunakan Double Sampling. Expansion Factor berdasarkan diameter saja secara konsisten memiliki nilai yang lebih baik dari Expansion Factor yang dicari berdasarkan Double sampling. Hipotesis yang diuji sebelumnya menunjukkan bahwa perbedaan nilai Expansion Factor pada daerah-daerah yang berbeda disebabkan oleh perbedaan rata-rata ukuran pohon yang diinventarisasi. Biomass Expansion Factor BEF pada tegakan jati yang dikembangkan di daerah tropis Panama, di hitung dengan membagi total prororsi biomassa dengan biomassa batang sehingga menghasilkan nilai BEF sebesar 1,53186 Kraenzel et al. 2003. BAB III METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Dokumen yang terkait

Pendugaan biomassa atas permukaan pada tegakan pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) menggunakan citra alos palsar resolusi spasial 50 M dan 12,5 M (studi kasus di KPH Banyumas Barat)

0 3 69

Pendugaan Simpanan Karbon di Atas Permukaan Lahan Pada Tegakan Jati (Tectona grandis) di KPH Blitar, Perhutani Unit II Jawa Timur.

1 17 74

Pendugaan potensi kandungan karbon pada tegakan jati (Tectona grandis Linn. F) di areal KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

1 16 89

Evaluasi manual penafsiran visual citra alos palsar dalam mengidentifikasi penutupan lahan menggunakan citra alos palsar resolusi 50 M

3 12 72

Penggunaan Citra Resolusi Tinggi untuk Pendugaan Sediaan Tegakan Jati (Tectona grandis, Linn.f) dengan Teknik Double Sampling di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

0 15 152

Penyusunan Model Penduga Sediaan Tegakan dan Biomassa Hutan Jati (Tectona grandis Linn f) Menggunakan Citra Dijital Non-Metrik Resolusi Tinggi

0 10 166

Pendugaan biomassa tegakan jati menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 M dan 50 M dengan peubah backscatter, umur, dan tinggi pohon (Kasus KPH Kebonharjo PERUM PERHUTANI UNIT I Jawa Tengah

0 2 128

Persamaan Alometrik Biomassa dan Massa Karbon Pohon Jati (Tectona grandis Linn. f.) (KPH Balapulang, Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah).

0 8 102

Model Spasial Pendugaan dan Pemetaan Biomassa di Atas Permukaan Tanah Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi 12.5 M.

4 19 51

Pendugaan Nilai Tegakan dan Analisis Nilai Tambah Jati (Tectona grandis L.f.) di KPH Pemalang Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah

1 6 33