75 tersebut warga transmigran secara bertahap telah membuka Lahan Usaha II dan
Lahan Usaha Cadangan untuk mengembangkan tanamana karet secara swadaya. Di Batumarta terjadi perluasan tanaman karet secara sistematik. Perluasan
itu distimulasi dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Penyediaan 1 ha lahan karet telah memberikan demonstration effect yang
sangat efektif kepada masyarakat. Masyarakat melihat ‘kisah sukses’ di lahan milik mereka sendiri.
2. Usahatani tanaman pangan lahan kering pada tanah podzolik merah kuning, agaknya mengandung tantangan yang amat besar. Ketika tanah basah musim
hujan, tanah amat berat untuk diolah. Sementara kalau dalam keadaan kering, tanahnya menggumpal dan pecah-pecah, yang bisa merusak zona perakaran.
3. Ketika kawasan baru dibuka, ekplosi hama terjadi sangat intensif, terutama hama babi. Tanaman pangan selalu diserang babi.
4. Dua pengalaman praktek usahatani pangan itu telah menghasilkan kesimpulan,bahwa usahatani karet itu jauh lebih menguntungkan ketimbang
usahatani tanaman pangan. Pandangan itu mengakar sampai sekarang. Masyarakat tidak termotivasi untuk melakukan usahatani tanaman pangan
walaupun tidak cukup bukti adanya eksplosi hama babi yang intensif. 5. Pemerintah menyediakan layanan teknis diseminasi teknologi melalui UPT
Balai Penelitian Karet Sembawa. UPT ini melatih masyarakat. Peran UPT diperkuat dengan kehadiran Sekolah Menengah Farming yang menghasilkan
petani-petani generasi kedua yang lebih rasional.
4.5.3. Penerapan Teknologi
Untuk mengawal penerapan teknolodi budidaya karet, Balai Penelitian Perkebunan Sembawa menempatkan Unit Pelayanan Teknik di Batumarta II dan
Batumarta XII. UPT ini menyediakan kebun entres karet serta melakukan pelatihan teknis budidaya karet mulai dari okulasi sampai dengan penyadapan.
Kehadiran UPT ini sangat bermanfaat bagi penyebar-luasan pengetahuan dan keterampilan budidaya karet kepada petani, yang sebelumnya tidak mengenal
budidaya karet. Penyebarluasan teknologi dipercepat dengan hadirnya Sekolah Menengah
Farming SMF di Batumarta II. Pendirian SMF itu diilhami dengan sekolah
76 sejenis di Salatiga. Sekolah itu, beroperasi pada tahun 1984-2001, sangat berjasa
dalam penyebarluasan teknologi perkaretan kepada para petani generasi kedua. Keswadayaan dalam pengadaan bibit karet, yang pada gilirannya mendorong
perluasan areal pertanaman karet secara swadaya, dengan mudah dapat dikaitkan dengan kontribusi sekolah SMF ini.
Pengawalan teknologi itu dimaksudkan agar transmigran melakukan praktek-praktek budidaya terbaik, sesuai dengan standar yang berlaku. Namun
adanya ‘guncangan pasar’ telah menghancurkan tingkat kepatuhan transmigran dalam penerapan teknologi. Pada tahun 19901991 harga karet telah jatuh dari
Rp.500kg menjadi hanya Rp.125kg. Untuk memberikan layanan pasca panen, PTPN VI telah mendirikan pabrik
pengolah lateks di Batumarta III. Namun petani lebih memilih menjual lateks mereka ke luar lokasi dengan alasan sebagai berikut:
1. Harga lateks yang ditawarkan oleh PTPN relatif lebih rendah dibanding dengan harga di pasaran bebas Palembang maupun Lampung.
2. Pengukuran rendemen oleh PTPN selalu menghasilkan rendemen teraan yang lebih rendah dibandingkan dengan rendemen teraan perusahaan swasta.
4.5.4. Rasionalitas Semu
Guncangan pasar itu telah membentuk sebuah ‘rasionalitas semu’ di kalangan petani. Untuk mengejar target pendapatan ketika harga sedang turun,
maka petani akan meningkatkan frekuensi penyadapan. Logika itu seolah masuk akal, namun sesungguhnya sangat tidak memiliki justifikasi empirik. Karet yang
dipanen dua kali lebih sering dari standar, ternyata tidak menghasilkan produksi dua kali lipat.
Logika semua itu ternyata tidak berhenti ketika harga karet sudah beranjak naik ke tingkat normal. Penyadapan tetap terjadi setiap hari. Malahan ‘rasionalitas
semu’ itu juga menyebar pada praktek pemupukan. Dalam rangka meningkatkan pendapatan bersihnya, petani melakukan penghematan pemupukan seraya tetap
berharap produktifitas lateks tidak akan terganggu. Karena itu, pada saat ini praktek memupuk dengan dosis pemupukan lebih rendah dibandingkan dengan
dosis anjuran, makin sering dijumpai di kalangan petani
77 ‘Rasionalitas semu’ juga berlanjut pada saat petani melakukan peremajaan
tanaman karet mereka. Hal itu diterapkan pada dua aspek berikut: 1. Petani hanya melakukan penebangan batang karet lama, dan meninggalkan
pokoknya tunggulnya. Padahal petani tahu persis, bahwa dalam peremajaan tanaman karet itu harus memperhatikan kaidah: Pertama, pokok karet harus
diangkat sampai ke akarnya, karena dekomposisi akar karet akan mengundang jamur akar yang bisa memusnahkan tanaman karet berikutnya. Padahal petani
sudah memahami hal itu, namun tetap mereka lakukan kesalahan itu seraya berdoa mudah-mudahan tanaman karet muda itu tidak terserang hama jamur
akar. Kedua, sebelum dilakukan peremajaan karet, sangat dianjurkan untuk menanami hamparan itu dengan jenis tanaman lain selama 2-3 tahun dalam
rangka menghilangkan alelopati pada zona perakaran kebun karet tua mereka. 2. Dalam rangka memperoleh populasi tanaman yang lebih tinggi, dengan
harapan akan dicapai produktifitas hamparan yang lebih tinggi pula, petani telah menanami kebunnya dengan tingkat kerapatan tanaman yang lebih
tinggi. Padahal peningkatan kerapatan tanaman itu tidak akan meningkatkan produksi lateks per hektar lahan. ICRAF telah meneliti bahwa untuk
meningkatkan produktifitas lahan, sangat mungkin untuk melakukan tanaman sisipan, baik dengan tanaman kayu maupun rotan manau, bukan dengan
meningkatkan kerapatan tanaman karetnya. Pada tahun 2008 yang lalu terjadi guncangan pasar yang mengakibatkan
kemerosotan harga dari Rp.10.000kg menjadi Rp.2.500kg. Guncangan ini kian mengukuhkan ‘rasionalitas semu’ para petani. Alih-alih melakuan porto-folio
investasi misalnya dengan melakukan budidaya tanaman lainnya, baik tanaman pangan maupun tanaman sisipan pada kebun karetnya, petani tampaknya kian
yakin bahwa praktek-praktek mereka saat ini merupakan ‘best practices’ yang masuk akal.
4.5.5. Pendapatan Petani Dari Kebun Karet