47
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Identifikasi Sumber-Sumber Risiko Produksi
Identifikasi terhadap sumber-sumber risiko produksi yang terdapat pada usaha pembenihan patin siam yang dijalankan oleh Darmaga Fish culture
dilakukan dengan mengikuti alur kegiatan yang dilaksanakan disana. Alur kegiatan tersebut dimulai dari pemeliharaan induk, proses seleksi induk patin
siam yang siap untuk dipijahkan, proses penyuntikan indukan, penetasan telur, serta pemeliharaan larva patin siam hingga menjadi benih patin siam berumur 20
hari atau ukuran ¾ inchi. Risiko produksi yang terjadi secara umum di DFC adalah berupa kematian benih patin siam yang dipelihara, penurunan produksi
telur yang dihasilkan oleh induk betina dan kematian induk patin siam. Risiko tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Berdasarkan hasil pengamatan
secara langsung terhadap proses pembenihan patin siam di DFC dan wawancara yang dilakukan dengan pengelola perusahaan dan karyawan di DFC, maka dapat
diketahui beberapa hal yang teridentifikasi sebagai sumber timbulnya risiko produksi tersebut. Beberapa faktor yang menjadi sumber risiko pada usaha
pembenihan patin siam di DFC diantaranya adalah sebagai berikut : 1.
Kesalahan dalam melakukan seleksi induk Seleksi yang dilakukan terhadap induk yang akan dipijahkan merupakan
salah satu kegiatan penting dan menentukan keberhasilan dari pembenihan yang dilaksanakan. Hal ini dikarenakan induk patin yang akan dipijahkan harus
memenuhi beberapa kriteria atau persyaratan tertentu sebelum dipijahkan agar proses pemijahan dapat memberikan hasil yang diharapkan. Oleh karena itu,
seleksi induk merupakan proses yang harus dilakukan dan menjadi salah satu tahapan penting yang nantinya akan menentukan hasil produksi dalam kegiatan
pembenihan patin siam. Seleksi induk patin siam yang umumnya dilakukan meliputi pemeriksaan
terhadap tiga kondisi umum, yaitu kondisi visual, kecukupan umur, serta kematangan telur. Pemeriksaan kondisi visual meliputi pemeriksaan kondisi alat
kelamin, bobot, kondisi tubuh, serta pemeriksaan pada bagian perut yang khusus dilakukan pada induk betina. Umur juga menjadi aspek yang perlu diperhatikan
dimana induk patin yang akan dipijahkan harus berumur minimal dua tahun.
48
Sedangkan pemeriksaan kematangan telur dilakukan untuk memastikan bahwa telur yang dikandung oleh induk betina sudah matang dan memiliki kondisi baik
yang salah satu indikatornya dapat dilihat dari warna telur yang dihasilkan berwarna putih kekuningan, bentuk telur bulat dan tidak benjol, serta cangkang
telur cukup kuat, tidak mudah pecah bila disitir dengan jari. Karyawan di DFC telah memiliki cukup banyak pengalaman dalam
melakukan pembenihan, pengalaman tersebut diperoleh saat DFC melakukan pembenihan ikan hias pada tahun 2004 sampai 2008, sehingga pada dasarnya
sudah cukup memahami kriteria dan cara untuk melakukan seleksi induk yang benar. Akan tetapi terkadang karyawan perusahaan kurang teliti dalam memeriksa
semua kriteria patin siam yang layak untuk dipijahkan dalam melakukan proses seleksi induk karena merasa sudah cukup yakin dengan hanya mengandalkan
pengamatan secara sesaat. Penyeleksian induk dilakukan dengan melihat kloaka induk secara sekilas, serta memeriksa beberapa butir telur yang diambil dengan
cara disedot dengan selang yang telah dimasukan kedalam lubang kelamin induk betina sebelumnya. Selanjutnya telur yang telah disedot diletakan di pergelangan
tangan untuk dilihat kematangannya. Dalam hal ini, karyawan DFC terkadang hanya memeriksa warna dan bentuk telurnya secara sekilas saja. Karyawan di
DFC mempunyai pendapat bahwa apabila telur belum terlalu matang, karyawan DFC selalu memberikan obat chorullon untuk mematangkan telur pada proses
penyuntikan, tetapi hal tersebut tidak selalu benar. Terlihat selama kurun waktu Januari 2010 hingga April 2011. Tercatat lima kali kejadian kehilangan potensi
produksi akibat rendahnya derajat penetasan telur benih patin siam yang disebabkan kesalahan karyawan dalam melakukan seleksi induk, yaitu pada bulan
Februari, November, Desember 2010 serta Januari, Maret 2011. 2.
Kesalahan penyuntikan induk Pemijahan ikan patin selama ini hanya baru bisa dilakukan secara buatan
yaitu dengan menyuntikan hormon perangsang yang berasal dari kelenjar hipofisa atau hormon sintetis dengan merk dagang ovaprim. Penyuntikan dilakukan
dengan tujuan untuk merangsang pemijahan yang matang kelamin. Ikan patin tidak dapat dipijahkan secara alami karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai.
Sebelum melakukan proses penyuntikan, lakukan penimbangan satu per satu
49
induk untuk mengetahui berat masing-masing induk dan memastikan dosis yang digunakan untuk setiap ekor induknya. Dosis yang diberikan untuk induk jantan
dan betina itu berbeda, untuk induk jantan dosis yang diberikan adalah 0,3 mlkg ovaprim sedangkan untuk induk betina adalah 0,5 mlkg. proses penyuntikan
dilakukan dua tahap, yaitu dosis 13 bagian pada penyuntikan pertama dan 23 bagian pada penyuntikan kedua untuk induk betina. Sementara penyuntikan induk
jantan dilakukan diberikan bersamaan dengan suntikan kedua induk betina. Pada proses penyuntikan induk betina, lokasi penyuntikan pertama dan kedua harus
berbeda. Pada penyuntikan pertama dilakukan di sebelah kiri sirip punggung dan lokasi penyuntikan kedua dilakukan di sebelah kanan sirip punggung.
Proses penyuntikan yang dilakukan di DFC kurang hati-hati. Hal ini terlihat dari banyaknya induk yang mati setelah proses penyuntikan. Bapak Gani
sebagai pengelola DFC yang melakukan proses penyuntikan masih sering melakukan kesalahan dalam proses tersebut. Adapun kesalahan yang dilakukan
diantaranya adalah sering terjadi kekurangan dosis yang diberikan kepada induk betina sehingga telur yang ada didalam perut tidak bisa keluar, isi dalam suntikan
yang masih terdapat gelembung udara yang bisa menyebabkan induk mati, dan jarum suntikan yang mengenai tulang punggung yang menyebabkan kematian
bagi induk patin. Hal tersebut terlihat dari bulan Januari 2010-April 2011, telah terjadi 10 induk betina yang mati setelah proses penyuntikan. Pihak DFC juga
tidak melakukan penyuntikan terhadap induk jantan, pengelola berpendapat bahwa ketersediaan sperma selalu tersedia setiap saat. Padahal proses penyuntikan
itu sangat penting dilakukan terhadap induk jantan agar sperma yang dihasilkan lebih baik pada saat dikeluarkan. Kematian induk betina yang terjadi di DFC,
tentunya akan berdampak kepada jumlah benih yang dihasilkan. Bobot jumlah induk yang mati bervariasi setiap periodenya, yaitu antara bobot induk 2 kg-5kg.
Hal tersebut tentunya akan mengurangi jumlah telur yang dihasilkan. Jika induk yang berada di DFC semakin sedikit jumlahnya karena kematian, pihak DFC
tentunya harus mengeluarkan biaya besar untuk membeli indukan yang baru dan bisa mengancam keberlangsungan usahanya.
50
3. Kanibalisme
Pada saat telur menetas menjadi benih patin, fase pertama yang dialami adalah fase larva. Larva ikan patin mulai membutuhkan makan dari luar setelah
cadangan makanannya yang berupa yolk suck telah habis. Pada fase ini larva ikan patin bersifat kanibal atau bersifat karnivora, tetapi setelah dewasa patin bersifat
omnivora. Larva yang berumur dua hari diberi pakan berupa artemia sampai berumur tiga hari kemudian dilanjutkan dengan pemberian cacing sutera hingga
berumur dua puluh satu hari. Tingkat kematian larva di DFC sangat tinggi, hal ini disebabkan karena
karyawan sering telat memberi makan sesuai waktu yang telah ditentukan. Hal ini menyebabkan larva ikan patin saling memakan kanibalisme. Pemberian pakan
artemia di DFC hanya di hari kedua sampai hari ketiga saja. Pada hari keempat dan hari kelima pakan artemia yang diberikan sudah diberikan bergantian dengan
pakan cacing sutera yang telah dipotong-potong secara halus. Menurut panduan budidaya patin yang baik, pemberian pakan artemia utuh harus diberikan sampai
hari keenam tanpa dicampur dengan cacing sutera. Hal ini agar menekan tingkat kanibalisme pada tahap larva.
Pada hari ketiga sampai hari keenam, tubuh benih patin telah mengalami bentuk sempurna, dimana salah satu senjata untuk melindungi dirinya telah ada,
yaitu patil. Hal tersebut akan menyebabkan pada fase larva hari ketiga sampai keenam benih patin yang dimakan atau pun yang memakan akan mengalami
kematian, dikarenakan patil yang telah tumbuh akan menusuk perut larva yang memakan. Kondisi ini yang menyebabkan larva yang memakan juga ikut mati.
Kematian larva sangat tinggi di DFC dapat dilihat dari bulan Januari 2010- April 2011. Terlihat pada rentang waktu tersebut, tingkat kematian larva sampai
hari ketujuh sekitar 20-30 persen. Persentase tersebut lebih besar dari batas yang telah ditetapkan oleh DFC untuk tingkat kematian larva yang hanya 10 persen
sampai hari ketujuh. Hal tersebut harus diantisipasi dengan baik oleh pihak DFC, karena harus diperhatikan pada saat kanibalisme hari ketiga sampai hari ketujuh
yang mengalami kematian dua ekor setiap proses kanibalisme, yaitu yang dimakan dan memakan. Kematian larva tersebut tentunya akan mengurangi
jumlah benih yang dihasilkan oleh DFC pada setiap periodenya.
51
4. Musim kemarau
Musim kemarau merupakan salah satu sumber risiko produksi yang sangat dirasakan dampaknya secara umum oleh pembudidaya benih patin siam, termasuk
juga DFC. Hal tersebut dikarenakan musim kemarau akan mempengaruhi produksi telur yang dihasilkan oleh induk betina. Stimulus patin siam untuk
memijah pada lingkungan alaminya terjadi pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau stimulus tersebut akan menurun sehingga turut
mempengaruhi insting patin siam untuk memijah dan menghasilkan telur dalam jumlah normal. Produktivitas induk patin siam dalam menghasilkan telur pada
musim kemarau dapat berkurang hingga lebih dari 50 persen dari produksi telur pada kondisi normal yang jumlahnya berkisar antara 100.000 sampai 150.000
butir telur. Keadaan berkurangnya jumlah telur yang dihasilkan induk patin siam biasanya disebut dengan kempes telur.
Kondisi kempes telur akibat musim kemarau sudah tentu akan menyebabkan kerugian bagi DFC dari sisi produksi, karena hal tersebut
mengakibatkan produksi benih patin akan mengalami penurunan yang signifikan. Akan tetapi, karena musim kemarau terjadi dengan siklus alam, maka terjadinya
kondisi tersebut memang tidak bisa dihindari dan akan berulang setiap tahunnya. Sehingga pihak DFC hanya berusaha agar penurunan produksi telur tidak
melebihi batas normal dengan melakukan upaya-upaya tertentu. Kondisi kempes telur akibat musim kemarau pada beberapa tahun terakhir menurut pengelola
secara umum terjadi antara bulan April hingga September. Hal ini dikarenakan musim hujan dan musim kemarau di Bogor sulit untuk diprediksi. Walaupun ada
ramalan musim oleh pihak BMKG setiap harinya, tetapi ramalan tersebut terkadang tidak sesuai dengan kejadian yang terjadi di lapang.
Berdasarkan data produksi benih patin dari bulan Januari 2010 sampai April 2011, diketahui bahwa musim kemarau pada kurun waktu tersebut terjadi di
bulan Mei, Juni, Juli 2010 dan bulan April 2011. Pada kurun waktu tersebut, produksi benih patin yang dihasilkan oleh DFC mengalami penurunan hingga 50
persen jika dibandingkan dengan target produksi di DFC sebesar 500.000 benih per bulannya.
52
5. Perubahan suhu air
Perubahan suhu air yang terjadi ekstrim atau drastis menjadi salah satu sumber produksi dalam usaha pembenihan patin siam di DFC. Perubahan suhu air
yang bersifat ekstrim tersebut didahului oleh terjadinya peralihan antara dua kondisi cuaca yang berbeda, yaitu panas dan hujan yang kemudian mengakibatkan
perubahan suhu air pada ruangan hatchery. Kondisi tersebut tentu akan mengganggu kestabilan suhu air pada akuarium pemeliharaan benih yang menjadi
salah satu syarat penting yang menentukan keberlangsungan hidup benih patin yang sedang di pelihara. Pada kondisi normal, suhu air pada akuarium berkisar
antara 28°-29° celcius. Sistem pemeliharaan benih patin di DFC dilakukan didalam ruangan
tertutup, hal itu dikarenakan agar suhu air ikan patin tetap terjaga. Tetapi terkadang pada siang atau malam hari cuaca yang terlalu panas ataupun terlalu
dingin karena hujan akan mengakibatkan suhu air dalam akuarium pemeliharaan patin tidak terkontrol dengan baik oleh pihak DFC, sehingga suhu yang ada
didalam akuarium pemeliharaan meningkat sampai 30 derajat atau juga menurun secara signifikan pada saat musim hujan. Hal tersebut mengakibatkan benih patin
tidak dapat bertahan dan akhirnya mati. Berdasarkan literatur, benih patin siam tidak bisa mentolerir perubahan suhu air jika perubahannya melebihi 1° celcius.
Sementara itu, jika suhu air terus mengalami penurunan, maka biasanya nafsu makan benih patin akan berkurang dan akan ditemukan bintik-bintik putih pada
tubuh benih yang diketahui sebagai gejala penyakit white spot. Pada kondisi tersebut ikan akan mengalami kesulitan dalam bernafas dan terlihat sering muncul
dipermukaan air karena proses penyerapan oksigen terganggu. Pada kurun waktu Januari 2010 hingga April 2011, telah terjadi banyak
peristiwa kematian benih patin siam karena perubahan suhu. Perubahan suhu berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, yaitu Bapak Gani adalah
merupakan sumber risiko produksi yang cukup sulit untuk diprediksi kapan terjadinya karena merupakan proses yang bersumber dari alam. Walaupun
pemeliharaan benih patin di dalam Hatchery, turunnya hujan pada malam hari sulit diprediksi.
53
6. Penyakit
Penyakit yang menyerang benih patin siam juga menjadi salah satu sumber risiko produksi yang cukup mempengaruhi jumlah benih patin siam yang
diproduksi oleh DFC. Penyakit yang menyerang benih patin siam biasanya disebabkan oleh bakteri Aeromonas dan penyakit White spot. Bakteri Aeromonas
ini dapat menyebabkan ikan kehilangan nafsu makan, lemas, serta sering terlihat dipermukaan air. Peningkatan populasi bakteri Aeromonas disebabkan oleh pakan
yang diberikan atau sisa pakan serta kotoran yang menumpuk didasar akuarium. Salah satu sumber utama penyebaran bakteri Aeromonas yang menyerang
benih patin siam di DFC diketahui berasal dari cacing sutera yang diberikan sebagai pakan untuk benih patin siam yang sedang dipelihara. Cacing sutera
berpotensi untuk menyebarkan bakteri Aeromonas apabila cacing tersebut sudah dalam keadaan tidak segar, mati, tercemar limbah beracun atau tidak dibersihkan
dengan benar sebelum diberikan sebagai pakan kepada benih patin siam. Pemberian pakan cacing sutera dalam keadaan tersebut dapat mencemari air pada
akuarium pemeliharaan sekaligus meningkatkan populasi bakteri Aeromonas yang dapat menyebabkan kematian benih apabila tidak segera ditangani. Untuk
penyakit White spot disebabkan oleh parasit. Biasanya penyakit White spot berasal dari air dalam tandon yang tercampur dengan air hujan. Hal ini dikarenakan, atap
tandon di DFC tidak tertutup secara keseluruhan, hanya ¾ bagian saja. Kematian benih yang disebabkan bakteri ini selama kurun waktu bulan
Januari 2010 sampai April 2011 cukup banyak. Kasus kematian yang disebabkan penyakit atau bakteri ini relatif sering di DFC dengan jumlah benih yang mati
tidak terlalu banyak. Tetapi hal tersebut harus segera ditangani karena bukan tidak mungkin jumlah benih yang mati dalam jumlah banyak akan terjadi oleh penyakit
dan bakteri dikarenakan penyakit dan bakteri mudah menyebar dari satu benih ke benih yang lain.
6.2 Analisis Probabilitas Risiko Produksi