Analisis Risiko Produksi Pembenihan Patin Siam (Pangasius hyphothalmus) pada Darmaga Fish Culture, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor

(1)

1

I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi perikanan cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi Jawa Barat pada tahun 2010 terhadap produksi perikanan Indonesia yang mencapai 30 persen dari total produksi ikan yang ada di Indonesia, yaitu sekitar 1,5 juta ton1. Produksi ikan di Jawa barat masih didominasi oleh sektor budidaya air tawar yang mencapai 620.000 ton sedangkan sisanya dari ikan tangkapan perairan umum maupun laut. Sentra produksi budidaya ikan air tawar di Jawa barat diantaranya adalah kota Sukabumi, Garut, Cianjur dan Bogor. Produksi yang dihasilkan kota Sukabumi untuk sektor budidaya mencapai 3.094 ton, kota Garut mencapai 26.170 ton, kota Cianjur mencapai 68.746 ton, dan kota Bogor mencapai 24.558 ton (Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, 2008).

Komoditi ikan yang dibudidayakan di Provinsi Jawa Barat ada beberapa jenis, diantaranya adalah ikan nila, mas, lele, patin, dan gurame. Adapun produksi budidaya air tawar berdasarkan kota dan kabupaten di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi Perikanan Budidaya Air Tawar Berdasarkan Kota dan Kabupaten di Provinsi Jawa Barat Tahun 2009

Kota/Kabupaten Produksi (ton)

Nila Mas Lele Patin Gurame

Kab. Cianjur 20.600 34.362 248 1.319 2.884

Kota Tasikmalaya 1.771 1.540 566 0 691

Kab. Tasikmalaya 4.460 9.215 583 0 509

Kota Bogor 559 470 480 485 390

Kab. Bogor 1.826 3.857 18.313 581 1.946

Kota Cirebon 14 8 34 7 2

Kab. Cirebon 245 199 448 45 283

Kota Bandung 468 1.260 891 0 0

Kab. Bandung

Barat 10.635 12.412 394 3.611 189

Kab. Purwakarta 23.831 39.745 250 6.617 1

Lainnya 22.714 26.230 25.834 247 6.126

Sumber : Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, 2010 (diolah)

1


(2)

2

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa setiap kota yang berada di Jawa Barat mempunyai keunggulan dalam komoditi tertentu. Kota Tasikmaya, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Purwakarta yang merupakan sentra produksi ikan nila yang mencapai 1.771 ton sampai 23.831 ton per tahunnya. Komoditi ikan mas dihasilkan oleh Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta, untuk sentra produksi ikan lele yang mencapai 18.313 ton pertahunnya dihasilkan oleh Kabupaten Bogor. Untuk ikan patin mayoritas dihasilkan oleh Kabupaten Bandung, Kabupaten Purwakarta. Sedangkan untuk sentra gurame di Jawa Barat adalah Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bogor. Kota Bogor dan Kabupaten Bogor mempunyai produksi yang cukup merata untuk setiap komoditi yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan kondisi alam yang sangat mendukung untuk melakukan usaha di bidang perikanan.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah Jawa Barat yang masyarakatnya cukup aktif dan turun temurun melakukan usaha di bidang perikanan air tawar. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan produksi budidaya perikanan air tawar di Bogor dari tahun 2007 sampai 2010 yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan Produksi Budidaya Air Tawar di Kabupaten Bogor dari Tahun 2007-2010

Budidaya

Produkai (Ton) Pertumbuhan

2007-2010 (%)

2007 2008 2009 2010

Kolam Air Tenang

(KAT) 15.570,00 17.418,00 24.072,98 31.167,15 19,89 Kolam Air Deras

(KAD) 7.225,00 6.768,00 4.023,64 4.207,87 -10,57 Perikanan Sawah 531,00 560,00 261,87 261,61 -11,97 Jaring Apung 221,00 243,00 302,38 336,93 11,45

Karamba 31,00 32,00 31,56 34,17 2,53

Total 23.578,00 25.021,00 28.692,43 36.007,73 15,42 Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)

Jika dilihat pada Tabel 2 , budidaya di kolam air tenang meningkat cukup signifikan setiap tahunnya. Pada tahun 2007 sampai 2008 budidaya kolam air tenang mengalami peningkatan sebesar 12 persen, sedangkan dari tahun 2009


(3)

3

sampai 2010 budidaya kolam air tenang mengalami peningkatan sebesar 29,47 persen.

Budidaya kolam air deras mengalami penurunan dari tahun 2007 sampai 2009, walaupun terjadi peningkatan pada tahun 2010, tetapi peningkatan tersebut tidak signifikan. hal ini disebabkan air sungai yang digunakan untuk budidaya kolam air deras sudah mulai tercemar sehingga sudah tidak mendukung untuk budidaya ikan air tawar. Untuk budidaya karamba mempunyai peningkatan yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis budidaya lainnya, pada tahun 2007 sampai tahun 2008 budidaya karamba mengalami peningkatan hanya sebesar 4 persen, sedangkan pada tahun 2009 sampai tahun 2010 budidaya karamba mengalami peningkatan sebesar 8 persen.

Ada beberapa jenis ikan yang dibudidayakan di Kota Bogor, yaitu ikan lele, mas, gurame,bawal, dan patin. Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, ada komoditi yang mengalami penurunan produksi dan ada juga yang mengalami peningkatan cukup signifikan. Adapun perkembangan produksi ikan konsumsi kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010

Jenis Ikan

Produksi (ton) Pertumbuhan

2007-2010 (%)

2007 2008 2009 2010

Lele 6.373,75 9.744,80 18.315,02 24.844,52 58,83 Mas 8.631,50 8.124,35 3.859,62 4.063,56 -17,69 Gurame 1.719,00 1.854,82 1.946,43 2.057,61 6,18 Nila 4.418,75 3.494,96 1.842,17 2.073,36 -18,55

Bawal 849,40 904,91 2.026,14 2.154,66 45,59

Patin 1.020,00 571,76 584,84 647,32 -10,32

Tawes 430,00 278,80 75,76 76,13 -35,83

Mujair 24,30 29,21 31,68 29,05 6,79

Nilem 13,70 8,23 2,10 0,00 -71,47

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa ikan Lele, Gurame dan Bawal mengalami perkembangan yang signifikan dibandingkan dengan dengan komoditi yang lainnya, sedangkan untuk komoditi ikan nilem mengalami penurunan setiap tahunnya, hingga pada tahun 2010 produksi ikan Nilem sudah tidak dibudidayakan lagi. Untuk komoditi yang mengalami fluktuatif setiap tahunnya


(4)

4

adalah ikan patin. Pada tahun 2007 sampai 2008, patin mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 1.020 ton menjadi 571,76 ton pertahunnya, tetapi pada tahun 2008 sampai 2010, produksi ikan patin mengalami peningkatan sebesar 13,2 persen. Hal ini dikarenakan permintaan ikan patin yang mulai meningkat di pasar domestik maupun mancanegara2.

Ikan patin mempunyai prospek yang cukup baik untuk saat ini. Hal ini dilihat dari produksi ikan patin di Jawa Barat pada 2011 diperkirakan naik sebesar 65,56% menjadi 64.900 ton dibandingkan tahun 2010, yaitu 39.200 ton3. Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang mempunyai rasa daging yang lezat, enak, dan tidak berduri. Hal tersebut yang menyebabkan ikan patin mempunyai kelebihan dan keunggulan yang khas bila dibandingkan dengan jenis ikan air tawar lainnya. Ikan patin sebagai sumber protein hewani dengan kandungan protein yang cukup tinggi dan dinilai lebih aman dari pada ternak jenis lainnya, karena kadar kolesterolnya relatif lebih rendah. Kandungan kalori ikan patin sekitar 120 kalori setiap 3,5 ons sehingga ikan ini sangat baik untuk menjaga kesehatan4. Jenis ikan patin yang cukup dikenal oleh masyarakat terdiri dari beberapa jenis, yaitu patin jambal, patin siam, dan patin pasupati. Untuk saat ini patin yang dibudidayakan di Kabupaten Bogor adalah patin siam.

Patin siam (Pangasius hypopthalmus) dari Bangkok (Thailand) masuk ke Indonesia pada tahun 1972. Alasan diintroduksikannya ikan patin siam ke Indonesia karena patin siam dianggap memiliki prospek yang baik karena pertumbuhannya tergolong pesat, mudah beradaptasi dengan lingkungan, memiliki respon yang positif terhadap pemberian pakan tambahan, dan fekunditas telurnya tinggi, dapat mencapai ukuran individu yang sangat besar serta dapat dipelihara secara intensif (Susanto, 2009). Berbeda dengan patin siam, patin jambal mempunyai fekunditas telur yang rendah serta pertumbuhannya lambat sehingga pembudidaya kurang tertarik untuk membudidayakan jenis patin ini. Jenis ikan patin yang terakhir adalah pasupati, ikan ini merupakan persilangan antara pati jambal asli Indonesia dengan patin siam. Patin pasupati memiliki

2

www.bisnisjabar.com (diakses tanggal 30 april 2011) 3

www.bisnisjabar.produksi ikan patin jabar diprediksi naik 65,56 %( diakses tanggal 30 April 2011)

4


(5)

5

beberapa keunggulan diantaranya kualitas benihnya cenderung lebih baik dibandingkan induknya, kualitas benih mudah dikontrol, kadar lemak yang rendah, dan pertumbuhan relatif lebih cepat. Tetapi untuk sekarang, jenis patin ini kurang diminati oleh para pembudidaya karena harga induk yang relatif mahal dikarenakan jumlahnya yang masih terbatas (Susanto, 2009)

Meningkatnya permintaan ikan konsumsi, khususnya ikan patin pada tahun 2008 sampai 2010, tentunya berbanding lurus dengan kegiatan pembenihan itu tersendiri. Kegiatan pembenihan mempunyai peran yang cukup besar dalam sistem budidaya patin siam. Oleh karena itu salah satu tantangan besar dalam kegiatan budidaya patin siam adalah bagaimana menghasilkan benih yang meningkat setiap tahunnya agar kebutuhan konsumsi ikan patin siam dapat terpenuhi. Apalagi dari tahun 2010 sampai 2011, Provinsi Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Riau, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah mengembangkan ikan patin dengan benih yang berasal dari daerah- daerah Jawa Barat seperti Bandung dan Bogor5. Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, pada tahun 2008 sampai 2009 benih patin yang dihasilkan mengalami penurunan yang cukup signifikan, hal ini dikarenakan banyak pembudidaya patin yang mengalami kerugian sehingga harus menutup usahanya. Pada tahun 2009 sampai 2010 terjadi peningkatan produksi benih patin siam sebesar 21,58 persen, hal tersebut dikarenakan para pembudidaya patin sudah mengetahui cara untuk melakukan pembenihan patin secara lebih baik dari pada tahun sebelumnya. Adapun perkembangan benih dari tahun 2007-2010 di Kabupaten Bogor, disajikan pada Tabel 4.

5

www.bisnis jabar.com.produksi ikan patin jabar diprediksi naik 65,56 %( diakses tanggal 30 April 2011)


(6)

6 Tabel 4. Perkembangan Produksi Benih Ikan Tawar di Kabupaten Bogor Tahun

2007-2010

Jenis Ikan Produksi (Ribu Ekor)

Pertumbuhan 2007-2010

(%)

2007 2008 2009 2010

Mas 187.847 166.502 56.663 60.715 -23,39

Nila 98.438 109.580 35.700 36.995 -17,49

Nilem 701 397 0 0 -

Mujair 1.097 2.181 693 746 12,75

Gurame 78.770 92.282 36.166 37.779 -13,07

Tawes 18.940 9.459 5.510 5.765 -29,06

Patin 58.126 79.893 26.358 32.047 -2,66

Lele 227.482 244.634 62.020 81.063 -12,13

Sepat Siam 659 488 0 0 -

Tambakan 8.285 6.051 1.807 1.868 -31,24

Bawal 36.315 33.133 622.191 671.321 592,33

Jumlah 716.660 744.600 847.112 928.304 9,08

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)

Kegiatan pembenihan ikan patin siam di Kabupaten Bogor dilakukan secara perseorangan maupun dalam kelompok. Salah satu daerah pembenihan ikan patin di Kabupaten Bogor yaitu Dramaga. Petani pembenihan di Dramaga salah satunya yaitu Darmaga Fish Culture (DFC). Alasan utama DFC memilih untuk fokus pada sektor pembenihan ikan patin siam dikarenakan perputaran uang pada sektor tersebut lebih cepat, sehingga kebutuhan modal untuk pelaksanaan kegiatan produksi selanjutnya relatif lebih dapat direncanakan serta profit yang dihasilkan relatif besar pada sektor pembenihan.

Permintaan benih patin siam yang banyak dari luar Jawa, khususnya dari daerah Sumatera dan Kalimantan adalah salah satu alasan yang menyebabkan DFC masih terus bertahan sampai saat ini. Dalam menjalankan usaha tentunya tidak dapat dipisahkan dari sebuah risiko yang jenis dan karakteristiknya berbeda antara setiap kegiatan. Adapun risiko yang mempunyai pengaruh paling besar dalam pembenihan ikan patin siam di Darmaga Fish Culture adalah risiko produksi. Hal tersebut dikarenakan pembenihan merupakan tahap yang rentan dan mempunyai tingkat kegagalan yang tinggi dibandingkan dengan usaha pembesaran. Oleh karena itu perlu ada antisipasi yang tepat untuk menangani hal


(7)

7

tersebut, dikarenakan apabila terus dibiarkan akan menimbulkan risiko yang lebih besar lagi serta akan mengancam keberlangsungan usaha tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Darmaga Fish Culture merupakan salah satu usaha yang bergerak dibidang pembenihan ikan patin siam. DFC didirikan pada tahun 2000, komoditi pertama yang diusahakan adalah penjualan ikan konsumsi. Pada tahun 2004, DFC mengganti komoditi usahanya menjadi ikan hias, hal ini disebabkan karena permintaan ikan hias lebih prospektif dibandingkan dengan penjualan ikan konsumsi pada saat itu. Selanjutnya pada tahun 2008, DFC mengganti komoditinya kembali dengan pembenihan ikan patin. Hal tersebut dikarenakan pemilik DFC melihat bahwa potensi ikan patin sangat bagus untuk beberapa tahun ke depan.

Pada tahun 2008 sampai 2011, benih patin yang dihasilkan oleh DFC selalu berfluktuatif6. Benih patin yang dihasilkan sekitar 50.000 sampai 350.000 ribu setiap periodenya, dengan ukuran ¾ inchi. Hal tersebut tidak berbanding positif dengan adanya teknologi modern serta sarana produksi yang sangat memadai di Darmaga Fish Culture, sedangkan untuk kondisi harga benih patin yang di hasilkan DFC terbilang stabil, dimana pada tahun 2008 sampai sekarang, harga jual benih patin berkisar antara 60-70 rupiah per ekornya. Pemasaran ikan patin DFC sebagian besar ke daerah luar Pulau Jawa, seperti Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Konsumen patin DFC berharap pasokan patin yang disalurkan dapat kontinu dari sisi kuantitas. Berdasarkan kondisi tersebut dapat diketahui bahwa produksi merupakan risiko yang paling utama yang dihadapi oleh DFC, karena untuk harga tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap keberlangsungan usaha di DFC serta untuk pasar patin DFC tidak menjadi kendala karena berapa pun jumlah benih yang dihasilkan oleh DFC akan diserap oleh pasar. Beberapa faktor yang diindikasikan sebagai sumber risiko produksi diantaranya adalah perubahan suhu air yang ekstrim, kesalahan pembudidaya dalam melakukan seleksi induk, musim kemarau, dan penyakit. Faktor-faktor tersebut dapat memicu

6

Hasil wawancara peneliti dengan pengelola Darmaga Fish Culture Bapak Gani (tanggal 20 April 2011)


(8)

8

kematian benih, kegagalan telur menetas, dan penurunan produktivitas induk patin siam dalam menghasilkan telur.

Pada musim kemarau induk patin akan sulit untuk memijah. Hal ini menyebabkan telur yang dihasilkan induk patin akan sedikit, tetapi apabila telur telah menetas menjadi larva maka tingkat kematian larva sampai ukuran ¾ inchi akan relatif kecil, yaitu sekitar 20-30%, sedangkan pada musim hujan induk patin akan menghasilkan telur yang lebih banyak daripada musim kemarau, tetapi pada musim hujan tingkat kematian larva sampai ukuran panen yaitu ukuran ¾ inchi relatif lebih besar, yaitu sekitar 40-50%. Pada peralihan musim hujan ke musim kemarau atau lebih dikenal dengan musim pancaroba, kematian larva sampai benih ukuran siap panen sangat tinggi, dikarenakan perubahan suhu air yang ekstrim yang membuat benih patin tidak mampu untuk menyesuaikan. Salah satu indikasi adanya risiko produksi dalam usaha pembenihan ikan patin di DFC adalah produktivitas jumlah benih ikan patin yang dihasilkan. Adapun jumlah induk yang dipijahkan, benih yang dihasilkan, dan produktivitas di DFC dari Januari 2010-April 2011 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah Induk, Benih yang Dihasilkan, dan Produktivitas Patin Bulan Januari 2010-April 2011 di Darmaga Fish Culture

Bulan Induk yang dipijahkan (Kg) Benih yang dihasilkan (ekor) Produktivitas (ekor/Kg)

Jumlah Benih yang dihasilkan per induk

(ekor)

Januari 15 200.000 13.333 40.000

Februari 15 110.000 7.333 22.000

Maret 15 120.000 8.000 24.000

April 15 250.000 16.667 50.000

Mei 15 70.000 4.667 14.000

Juni 15 80.000 5.333 16.000

Juli 17 75.000 4.412 15.000

Agustus 15 170.000 11.333 34.000

September 15 110.000 7.333 22.000

Oktober 15 50.000 3.333 10.000

November 15 350.000 23.333 70.000

Desember 15 110.000 7.333 22.000

Januari 18 200.000 11.111 40.000

Februari 15 130.000 8.667 26.000

Maret 12 120.000 10.000 24.000

April 15 80.000 5.333 16.000


(9)

9

Pada Tabel 5 terlihat bahwa setiap bulannya produktivitas benih yang dihasilkan oleh DFC bervariasi, dari bulan Januari 2010-April 2011 produktivitas benih yang dihasilkan 3.333 ekor/kg sampai 23.333 ekor/kg setiap bulannya. DFC memijahkan sebanyak 15 kg induk setiap bulannya. Bobot induk yang ada di DFC bervariasi beratnya yaitu 2-5 kg, tetapi rata-rata induk yang ada di DFC mempunyai berat 3 kg. Jumlah induk yang dipijahkan sebanyak 5 ekor dengan asumsi seluruh berat induk patin mempunyai berat 3 kg. Hal ini dikarenakan berat induk 2 kg, 4 kg dan 5 kg hanya sedikit jumlahnya sekitar 15 ekor dari jumlah induk yang ada di DFC, yaitu 70 ekor. Sehingga setiap ekor induk yang dipijahkan di DFC dengan berat 3 kg memberikan hasil yang berbeda untuk menghasilkan benih patin.

Pada Bulan Oktober terlihat produktivitas benih patin sangat rendah dibandingkan dengan bulan lainnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pada bulan tersebut terjadi serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas Sp yang menyebabkan kematian benih patin dalam jumlah banyak. Sumber-sumber risiko produksi berdasarkan keterangan yang diperoleh dari proses identifikasi awal pada usaha pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture tentu belum dapat dipastikan akan menggambarkan keseluruhan faktor-faktor yang menjadi sumber risiko produksi. Oleh karena itu, menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi sumber-sumber risiko produksi lainnya yang benar-benar terdapat di Darmaga Fish Culture serta dapat menghasilkan alternatif strategi dalam mengendalikan sumber-sumber yang menyebabkan risiko.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian, yaitu :

1. Sumber-sumber risiko produksi apa saja yang terdapat pada usaha pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture?

2. Bagaimana probabilitas dan dampak risiko dari sumber-sumber risiko produksi pada usaha pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture? 3. Bagaimana strategi penanganan risiko yang dapat dilakukan oleh Darmaga

Fish Culture untuk mengendalikan sumber-sumber risiko produksi dalam kegiatan pembenihan ikan patin?


(10)

10 1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengidentifikasi sumber-sumber risiko produksi yang terdapat pada usaha pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture.

2. Menganalisis probabilitas dan dampak risiko yang disebabkan oleh sumber-sumber risiko produksi pada kegiatan pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture.

3. Menganalisis strategi penanganan yang dapat dilakukan oleh Darmaga Fish Culture untuk mengendalikan sumber-sumber risiko produksi dalam kegiatan pembenihan ikan patin.

1.4. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka kegunaan penelitian ini adalah :

1. Sebagai masukan bagi tempat usaha budidaya untuk menjadi bahan pertimbangan dalam meminimalisasi risiko yang dihadapi.

2. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang membutuhkan serta sebagai literature bagi penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Produk yang dikaji pada penelitian ini adalah benih ikan patin yang dibudidayakan di Darmaga Fish Culture dan difokuskan mengenai risiko produksi yang dihadapi beserta strategi yang diterapkan untuk menanganinya.


(11)

11

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Ikan Patin Siam

Ikan patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan panjang berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Ikan ini bukan ikan lokal tetapi berasal dari Thailand. Pertama kali didatangkan ke Indonesia pada tahun 1972 oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor. Ikan patin dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang tinggi dan kandungan protein hewani yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Selain rasa dagingnya yang lezat, ikan patin memiliki beberapa kelebihan lain misalnya ukuran per individunya besar. Pada pembudidayaan, dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35-40 cm. ikan patin cukup potensial dibudidayakan di berbagai media pemeliharaan yang berbeda, sebagaimana jenis ikan air tawar lainnya seperti mas, tawes, dan lele. Media pemeliharaan kolam, karamba, bahkan jala apung dapat digunakan untuk memelihara ikan patin (Susanto, 2009).

Di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan patin. Jenis yang banyak ditangkap dan berukuran besar serta sudah banyak diteliti adalah Pangasius pangasius atau patin jambal. Ada pula jenis patin yang lain, yaitu patin siam (Pangasius hyphothalmus) dan ikan patin hibrida dengan nama pasupati (patin super harapan pertiwi) yang merupakan persilangan antara patin jambal asli Indonesia dengan patin yang diintroduksi tahun 1972. Kerabat patin di Indonesia cukup banyak, diantaranya adalah ikan juaro (Pangasius polyuranodo), ikan rios, riu, lancang (Pangasius macronema), ikan pedado (Pangasius nasutus), ikan lawang (Pangasius nieuwrnhuisii). Ada beberapa perbedaan antara jenis patin jambal, patin siam dan patin pasupati, diantaranya adalah patin jambal memiliki pertumbuhan yang lambat, fekunditas telurnya rendah, warna dagingnya putih, serta tidak terlalu popular di masyarakat. Sedangkan patin siam memiliki pertumbuhan yang cepat, fekunditas telurnya tinggi, warna dagingnya merah, popular dikalangan masyarakat. Untuk pasupati memiliki pertumbuhan yang cepat, fekunditas telurnya tinggi, warna dagingnya putih, dan sedikit popular di masyarakat (Susanto, 2009).


(12)

12

Untuk saat ini, jenis patin yang berkembang adalah Pangasius hyphothalmus atau patin siam. Ikan patin siam merupakan salah satu jenis ikan yang cukup populer di masyarakat karena sudah cukup lama di Indonesia dan memiliki berbagai kelebihan dibandingkan ikan jenis lainnya, diantaranya mudah beradaptasi dengan lingkungan, memiliki respon positif terhadap pemberian pakan tambahan, fekunditas telurnya tinggi, dan beratnya cukup menjanjikan menyebabkan patin siam termasuk ikan yang mudah diterima masyarakat dan sudah menyebar hampir ke seluruh pelosok tanah air7. Akan tetapi, dengan adanya jenis-jenis ikan patin tersebut akan memberikan alternative yang beragam bagi pembudidaya untuk memilih jenis ikan patin yang dianggap paling sesuai dan lebih menguntungkan untuk diusahakan.

2.2. Pembenihan Patin Siam

Ikan patin siam (Pangasius hyphothalmus) sulit memijah di kolam atau wadah pemeliharaan dan termasuk pula ikan yang kawin musiman. Oleh karena itu, pada umumnya dilakukan secara buatan karena selama ini belum ada orang yang berhasil memanipulasi lingkungan untuk merangsang patin agar mau memijah secara alami. Ikan patin siam memiliki kebiasaan memijah sekali setahun. Pemijahan alami biasanya terjadi pada musim hujan (bulan November-Maret). Musim pemijahan ini juga dipengaruhi oleh iklim sesuatu daerah sehingga masing-masing daerah memiliki masa atau waktu pemijahan yang berbeda-beda.

Untuk memijahkan induk patin siam secara buatan, bisa dilakukan dengan dua macam perangsang, yaitu penyuntikan dengan ovaprim atau dengan perangsang alami dari kelenjar hipofisa. Tetapi umumnya, pembudidaya lebih suka memijahkan patin siam dengan menggunakan obat perangsang ovaprim karena lebih praktis dan efisien. Induk yang akan disuntik hormon umumnya harus di seleksi dan melalui tahap pengecekan terlebih dahulu. Pengecekan induk betina dilakukan dengan cara kanulasi, bila diameter telur sudah mencapai 1,72 mm, induk siap dipijahkan. Jika diameter kurang dari 1,72 mm penyuntikan bisa dilakukan dengan menggunakan hormon HCG dengan dosis 500 IU/kg dan diamati selama 1 x 48 jam, untuk merangsang perkembangan diameter.

7

www.binaukm.com.kondisi mikro ikan patin dalam usaha budidaya ikan patin (diakses tanggal 5 april 2011)


(13)

13

Pengamatan inti telur dengan cara merendam telur dalam larutan sera (alkohol 99,5%: Formaldehyde 40%:Asam Asetat = 6:3:1). Bila inti telur tersebut sudah menepi, berarti induk sudah siap dipijahkan. Pada induk jantan, seleksi dilakukan dengan melihat alat kelamin yang agak menonjol dan bila diurut ke arah genital akan mengeluarkan cairan berwarna putih susu. Perbandingan induk betina dan jantan adalah 1: 2.

Induk betina disuntik dua kali ovaprim dengan selang waktu 9 jam. Penyuntikan I sebanyak 1/3 dosis total, sedangkan penyuntikan II sebanyak 2/3 nya. Sedangkan Pengambilan sperma dilakukan dengan melakukan pengurutan ke arah lubang genital, dari beberapa induk jantan kemudian sperma disedot dengan spuit 25 cc yang telah diisi dengan larutan NaCl 0,9% dengan perbandingan 4 cc Na Cl dan 1 cc sperma.

Selanjutnya telur yang keluar ditampung dalam wadah berupa baskom kecil. Pembuahan dimulai dengan mencampurkan telur dan sperma. Campuran tersebut diaduk secara perlahan-lahan menggunakan bulu ayam selama lebih kurang 3 menit. Setelah itu ditambahkan air bersih ke dalam campuran telur dan sperma, terus diaduk perlahan menggunakan bulu ayam selama 3 menit kemudian dicuci dengan air bersih. Pada proses pengeluaran telur dan sperma, induk betina dan jantan dibius untuk memudahkan penanganan dan mengurangi stres. Inkubasi telur menggunakan corong penetasan. Sebelum telur dimasukkan terlebih dahulu dilakukan pencucian menggunakan larutan tanah merah guna menghilangkan daya rekat telur. Larutan tanah merah dicampurkan ke dalam telur yang telah dibuahi, diaduk perlahan-lahan sampai daya rekat hilang. Terakhir telur dicuci dengan air bersih, kemudian dimasukkan kedalam corong penetasan dengan kepadatan 500-750 cc/corong suhu 280C- 290C. Telur akan menetas setelah 28 – 36 jam.

Panen Larva dilakukan setelah telur dianggap selesai menetas paling lambat 6 jam setelah menetas (sebelum telur yang tidak menetas hancur dan membusuk). Panen dilakukan dengan menyerok larva menggunakan skopnet halus. Larva patin siam yang baru menetas mempunyai panjang 0,4 cm dan berat rata-rata 2,3 mg, berwarna hitam dan bergerak sangat aktif yaitu berenang mendekati aerasi dan ke permukaan air. Larva dipelihara di akuarium/fiber glass dengan kepadatan 10 ekor/liter selama 6 hari. Pakan yang diberikan berupa naupli


(14)

14 Artemia sp dengan frekuensi pemberian 5 kali/hari yaitu pukul 07.00, 11.00, 15.00, 19.00 dan 23.00 WIB . Setelah 6 hari kepadatan diturunkan menjadi 5 ekor/liter dan pakan yang diberikan berupa cacing Tubifex sp hidup. Agar kualitas air tetap baik maka dilakukan penyiponan kotoran setiap hari sebelum dilakukan pemberian pakan pertama pada pagi hari. Penggantian air dilakukan pada hari ke 4, 6, 8, 10, 12, 14 dan 16. (Susanto, 2009).

2.3. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema penelitian yang dilakukan, diantaranya adalah mengenai sumber-sumber risiko agribisnis, metode analisis risiko dan strategi pengelolaan risiko.

2.3.1. Sumber-Sumber Risiko Agribisnis

Sumber-sumber penyebab risiko pada usaha perikanan sebagian besar disebabkan oleh faktor-faktor seperti perubahan suhu, hama dan penyakit, penggunaan input serta kesalahan teknis (human error) dari tenaga kerja. Pada umumnya risiko tersebut dapat diminimalisasi dengan menggunakan berbagai cara seperti penggunaan teknologi terbaru, penanganan yang intensif, dan pengadaan input yang berkualitas.

Penelitian Sahar (2010) menemukan bahwa sumber-sumber risiko pada pembenihan larva ikan bawal air tawar di Ben’s Farm Bogor adalah risiko produksi dan risiko pasar. Risiko produksi dalam penelitian Sahar (2010) terdapat beberapa sumber risiko diantaranya adalah penyakit yang menyerang induk dan larva ikan bawal air tawar, faktor cuaca, dan faktor manusia serta kerusakan peralatan teknis di perusahaan. Sedangkan untuk risiko pasar terdapat beberapa sumber risiko yang sangat mempengaruhi keberlangsungan perusahaan, diantaranya fluktuasi harga input dan fluktuasi harga benih. Pada penelitian tersebut, peneliti menggunakan peta risiko untuk mengklasifikasi sumber-sumber risiko yang ada, hal tersebut bertujuan untuk mempermudah dalam mencari alternatif penanganan risiko yang harus dilakukan oleh perusahaan.

Dalam peta risiko sumber risiko yang berada pada kuadran satu dan kuadran empat tidak teridentifikasi sumber risikonya. Untuk sumber risiko yang berada di kuadran dua adalah risiko produksi yaitu cuaca dan risiko harga yaitu fluktuasi harga jual larva. Sedangkan sumber risiko yang berada di kuadran tiga


(15)

15

adalah risiko produksi, yaitu penyakit yang menyerang indukan, penyakit white spot yang menyerang larva,kerusakan peralatan teknis dan faktor manusia, sedangkan untuk sumber risiko pasar di kuadran tiga adalah fluktuasi harga input. Hal tersebut tidak berbeda dengan penelitan Lestari (2009), sumber-sumber risiko dalam usaha pembenihan udang vannamei dengan mengambil studi kasus di PT Suri Tani Pemuka Serang, Banten. Pada penelitiaan tersebut terdapat sumber risiko pasar yang dihadapi, yaitu fluktuasi harga input. Untuk sumber Risiko operasional diantaranya adalah pengadaan induk udang vannamei yang didatangkan dari Hawai, Amerika Serikat dengan tingkat risiko sekitar tiga persen. Hal ini disebabkan induk yang didatangkan oleh perusahaan harus melewati proses karantina terlebih dahulu sehingga meminimumkan risiko. Selain itu sering ditemukan kasus induk udang vannamei yang mengalami stress dikarenakan proses distribusi yang memakan waktu dan juga adanya perbedaan suhu yang relatif besar. Adapun sumber operasional lainnya adalah faktor penyakit, cuaca, mortalitas dan kerusakan pada peralatan teknis.

Berbeda dengan Siregar (2010) dan Silaban (2011) dalam penelitiannya tentang analisis risiko produksi pembenihan lele dumbo pada Family Jaya 1 Kota Depok dan analisis risiko produksi ikan hias pada PT Taufan Fish Farm di Kota Bogor, sumber-sumber risiko hanya terdapat dalam risiko produksi. Sumber risiko tersebut diantaranya adalah kesalahan dalam melakukan seleksi induk, cuaca, perubahan suhu air, kualitas pakan, hama dan penyakit. Sedangkan untuk sumber risiko pasar hampir tidak ada pada perusahaan mereka, hal tersebut dilihat dari harga benih dan harga input yang cenderung stabil setiap tahunnya.

Berdasarkan penelitian terdahulu diperoleh variabel-variabel yang menjadi sumber risiko pasar yaitu fluktuasi harga pakan, fluktuasi harga benih, dan fluktuasi harga induk. Sedangkan untuk sumber risiko produksi, yaitu cuaca, hama dan penyakit, kerusakan teknis, kesalahan dalam melakukan seleksi induk, cuaca, perubahan suhu air, dan kualitas pakan. Variabel-variabel tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk menelusuri dan memeriksa hal-hal yang berpotensi menjadi sumber risiko pada Darmaga Fish Culture.


(16)

16 2.3.2. Metode Analisis Risiko

Pengukuran risiko dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis seperti standard deviation, variance, dan coefficient variation. Pada penelitian Sahar (2010) tentang manajemen risiko pembenihan larva ikan bawal menggunakan analisis deskriptif untuk menentukan sumber-sumber risiko yang ada dalam perusahaan. Untuk menentukan nilai risiko Sahar (2010) menggunakan alat analisis coefficient variation, analisis Z-score dan Value at Risk (VaR). Hal tersebut tidak berbeda dengan penelitian Lestari (2009) tentang manajemen risiko dalam usaha pembenihan udang vannamei dan Siregar (2010) tentang analisis risiko produksi pembenihan lele dumbo. Lestari (2009) dan Siregar (2010) menggunakan alat analisis deskriptif, coefficient variation, Z-score dan Value at Risk (VaR) juga dalam penelitiannya.

Metode nilai Z-Score ini untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kerugian atau risiko akibat hasil yang diperoleh menyimpang dari hasil standar sedangkan alat analisis Value at Risk (VaR) untuk menganalisis dampak terjadinya risiko pada usaha yang sedang diteliti. VaR adalah kerugian terbesar dalam rentang waktu atau periode yang diprediksikan dengan tingkat kepercayaan tertentu. Konsep VaR berdiri atas data-data historis sebelumnya. Pengukuran dampak dilakukan untuk mengukur dampak dari risiko pada kegiatan produksi dan penerimaan. Penggunaan alat analisis ini tentunya bertujuan untuk memperkaya kajian dari penelitian yang dilakukan tidak hanya sekedar menghitung besarnya probabilitas terjadinya risiko pada suatu usaha, tetapi juga mengukur dampak yang ditimbulkan risiko tersebut bagi perusahaan.

Berbeda dengan penelitian Silaban (2011) tentang analisis risiko produksi ikan hias pada PT Taufan Fish Farm yang hanya menggunakan variance, standard deviation, dan coefficient variation. Silaban (2011) juga mencoba melihat pengaruh diversifikasi (portofolio) untuk mengendalikan risiko dalam perusahaan yang dikajinya.

Berdasarkan hasil tinjauan terhadap penelitian terdahulu mengenai metode analisis, terlihat bahwa metode analisis yang ada tidak lagi sekedar digunakan untuk mengukur besaran risiko, tetapi juga digunakan untuk mengukur peluang terjadinya risiko dan dampak yang ditimbulkannya bagi usaha yang


(17)

17

dijalankannya. Terdapat persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian terdahulu. Metode analisis risiko yang dipergunakan pada penelitian Lestari (2009), Siregar (2010), dan Sahar (2010) dengan menggunakan alat analisis deskriptif, coefficient variation, Z-score dan Value at Risk (VaR) juga digunakan dalam penelitian ini.

2.3.3. Strategi Penanganan Risiko

Strategi penanganan risiko dalam pertanian ada dua (Kountur, 2008), yaitu strategi preventif dan mitigasi. Menurut Lestari (2009), Sahar (2010) dan Siregar (2010) pada penelitiannya tentang manajemen risiko dalam usaha pembenihan udang vannamei dan analisis risiko produksi pembenihan lele dumbo strategi penanganan risiko yang tepat adalah strategi preventif dan strategi mitigasi. Strategi preventif digunakan untuk mencegah kematian benih udang vannamei yang disebabkan oleh cuaca dan kerusakan peralatan teknis. Adapun strategi preventif yang digunakan oleh Lestari diantaranya adalah persiapan bak pemeliharaan, pemeliharaan induk, pemeliharaan larva, pengelolaan kualitas air, pengelolaan pakan serta pelatihan sumber daya manusia. Strategi mitigasi digunakan oleh Lestari untuk mengurangi kematian benih yang disebabkan penyakit serta induk udang yang stress karena baru didatangkan dari Hawai. Adapun strategi mitigasi yang digunakan oleh Lestari adalah kegiatan pengendalian penyakit dan pengadaan dan perlakuan induk yang tepat. Berbeda strategi dengan penelitian Siregar (2010), strategi preventif yang dilakukan oleh Siregar, yaitu pengendalian perubahan suhu yang ekstrim dan pengendalian serangan hama. Untuk strategi mitigasi yang dilakukan adalah mengatasi musim kemarau yang menyebabkan penurunan produksi telur yang dihasilkan.

Berbeda dengan Silaban (2011) dalam penelitiannya, bahwa strategi preventif tidak efektif digunakan dalam mengelola risiko. Pada penelitian Silaban (2010) tentang analisis risiko produksi ikan hias yang hanya menggunakan strategi mitigasi saja. Strategi mistigasi yang dilakukan Silaban (2011) adalah dengan menggunakan diversifikasi (portofolio) pada usaha yang ada. Adanya diversifikasi akan dapat meminimisasi risiko tetapi tidak dapat dihilangkan seluruhnya menjadi nol. Alternatif strategi yang disarankan oleh Silaban adalah melakukan diversifikasi komoditas ikan hias yang dibudidayakan di perusahaan.


(18)

18

Hal tersebut berfungsi apabila salah satu kegiatan pembenihan satu jenis ikan hias gagal, dapat ditutupi dengan kegiatan pembenihan ikan hias lainnya.

Pemetaan risiko adalah proses yang harus dilakukan sebelum dapat menangani risiko sehingga menjadi bagian yang penting dalam penelitian mengenai risiko. Peta risiko menggambarkan tentang kemungkinan terjadinya dan dampak yang dapat ditimbulkan oleh suatu risiko. Berdasarkan hasil pemetaan risiko tersebut, maka selanjutnya perusahaan menetapkan strategi penanganan risiko yang tepat. Strategi penanganan risiko secara garis besar terbagi atas dua, yaitu penghindaran risiko dan mitigasi risiko. (Lestari, 2009; Siregar, 2010) menggunaan metode tersebut untuk menetapkan strategi yang tepat untuk menangani risiko yang dihadapi oleh perusahaan yang menjadi objek penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu terlihat adanya perbedaan strategi penanganan risiko antara penelitian Siregar (2010) dan Silaban (2011). Strategi preventif dan strategi mitigasi dijadikan alternatif strategi oleh Siregar. Tetapi menurut Silaban (2010) alternatif strategi preventif kurang efektif bila dilakukan sehingga alternatif yang paling tepat adalah strategi mitigasi saja. Perbedaan tersebut dikarenakan kondisi tempat yang berbeda sehingga alternatif strategi yang diberikan juga tentunya akan berbeda. Tetapi dengan hasil penelitian terdahulu akan memberikan landasan terhadap penelitian ini dalam mengeksplorasi keadaan dilokasi penelitian.


(19)

19

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Definisi dan Konsep Risiko

Kata risiko banyak digunakan dalam berbagai pengertian dan sudah biasa dipakai dalam percakapan sehari-hari oleh kebanyakan orang. Dalam kegiatan usaha, pengertian risiko yang dimaksud berbeda dengan risiko dalam kehidupan sehari-hari. Risiko dalam bidang usaha memiliki berbagai kejadian yang kompleks dengan pertimbangan variabel yang berpengaruh terhadap keputusan bagi kelangsungan suatu usaha.

Definisi risiko (risk) menurut Robinson dan Barry (1987) adalah peluang terjadinya suatu kejadian (merugikan) yang dapat diukur oleh pengambil keputusan. Pada umumnya peluang pada suatu kejadian dapat ditentukan oleh pembuat keputusan berdasarkan pengalaman dalam mengelola suatu usaha. Sementara itu, menurut Darmawi (2005), risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian ) yang tidak diinginkan atau tidak

terduga. Penggunaan kata “kemungkinan” tersebut sudah menunjukan adanya

ketidakpastian. Ketidakpastian itu merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko, sedangkan kondisi yang tidak pasti tersebut timbul karena berbagai hal, antara lain:

1. Jarak waktu dimulai perencanaan atas kegiatan sampai kegiatan itu berakhir, makin panjang jarak waktu makin besar ketidakpastiannya. 2. Keterbatasan tersedianya informasi yang diperlukan.

3. Keterbatasan pengetahuan atau keterampilan mengambil keputusan.

Risiko sangat erat kaitannya dengan ketidakpastian, tetapi kedua hal tersebut memiliki makna yang berbeda. Ketidakpastian (uncertainty) menurut Robinson dan Barry (1987) adalah peluang suatu kejadian yang tidak dapat diukur oleh pengambilan keputusan. Adanya ketidakpastian dapat menimbulkan risiko. Menurut Kountur (2008), ada tiga unsur penting dari suatu kejadian yang dianggap sebagai risiko, yaitu : (1) Merupakan suatu kejadian. (2) kejadian tersebut masih merupakan kemungkinan, jadi bisa terjadi dan bisa tidak. (3) Jika sampai terjadi maka akan menimbulkan kerugian.


(20)

20 3.1.2. Klasifikasi Risiko

Menurut Harword et al (1999) terdapat beberapa sumber risiko yang dapat dihadapi oleh petani,yaitu :

1. Risiko Produksi

Sumber risiko yang berasal dari risiko produksi diantaranya adalah gagal panen,rendahnya produktivitas, kerusakan barang yang ditimbulkan oleh serangan hama dan penyakit, perbedaan iklim, kesalahan sumberdaya manusia dan lain-lain.

2. Risiko Pasar atau Harga

Risiko yang ditimbulkan oleh pasar diantaranya adalah barang tidak dapat dijual yang diakibatkan ketidakpastian mutu, permintaan rendah, ketidakpastian harga output, inflasi, daya beli masyarakat, persaingan dan lain-lain. Sementara itu, risiko yang ditimbulkan oleh harga karena inflasi.

3. Risiko Kelembagaan

Risiko yang ditimbulkan dari kelembagaan antara lain adanya aturan tertentu yang membuat anggota suatu organisasi menjadi kesulitan untuk memasarkan ataupun meingkatkan hasil produksinya.

4. Risiko Kebijakan

Risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan antara lain adanya suatu kebijakan tertentu yang dapat menghambat kemajuan suatu usaha, misalnya kebijakan tarif ekspor.

5. Risiko Finansial

Risiko yang ditimbulkan oleh risiko finansial antara lain adalah adanya piutang tak tertagih,likuiditas yang rendah sehingga perputaran usaha terhambat, perputaran barang rendah, laba yang menurun karena krisis ekonomi dan lain-lain.

Berdasarkan beberapa klasifikasi sumber risiko menurut Harword et al

(1999), maka sumber risiko yang secara umum dihadapi oleh Darmaga Fish Culture adalah risiko produksi. Risiko produksi yang dihadapi diantaranya bersumber dari faktor perubahan cuaca,musim,hama dan penyakit.


(21)

21

Risiko juga dapat diklasifikasikan dari sudut pandang penyebab timbulnya risiko, akibat yang ditimbulkannya, aktivitas yang dilakukan, dan sudut pandang kejadian yang terjadi (Kountur, 2008) :

1. Risiko dari Sudut Pandang Penyebabnya

Risiko jika diklasifikasikan dalam sudut pandang penyebab kejadian dapat dibedakan ke dalam risiko keuangan dan risiko operasional. Risiko keuangan disebabkan oleh faktor-faktor keuanagan seperti perubahan harga, tingkat bunga dan mata uang asing, sedangkan risiko operasional merupakan risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor non keuangan seperti manusia,teknologi dan alam. 2. Risiko dari Sudut Pandang Akibat

Risiko dari sudut pandang akibat terbagi atas dua, yaitu risiko murni dan risiko spekulatif. Risiko murni adalah risiko yang akibat yang ditimbulkannya hanya berupa sesuatu yang merugikan dan tidak memungkinkan adanya keuntungan, sedangkan risiko spekulatif, yaitu risiko yang memungkinkan untuk menimbulkan kerugian atau menimbulkan suatu keuntungan.

3. Risiko dari Sudut Pandang Aktivitas

Aktivitas dapat menimbulkan berbagai macam risiko, misalnya aktivitas pemberian kredit oleh bank yang risikonya dikenal dengan risiko kredit. Banyaknya risiko dari sudut pandang penyebab adalah sebanyak jumlah aktivitas yang ada.

4. Risiko dari Sudut Pandang Kejadian

Risiko dari sudut pandang kejadian menyatakan suatu risiko berdasarkan kejadiannya. Misalnya jika terjadi kebakaran, maka risiko yang terjadi adalah risiko kebakaran. Perlu diketahui bahwa dalam suatu aktivitas pada umumnya terdapat beberapa kejadian, sehingga kejadian adalah salah satu bagian dari aktivitas.

3.1.3. Manajemen Risiko

Manajemen risiko dapat didefinisikan sebagai langkah-langkah yang berfungsi untuk membantu perusahaan dalam memahami dan mengatur ketidakpastian atau risiko yang mungkin timbul selama proses usaha (Pressman 2001). Manajemen risiko berfungsi untuk mengenali risiko yang sering muncul, memperkirakan probabilitas terjadinya risiko, menilai dampak yang ditimbulkan


(22)

22

risiko dan menyiapkan rencana penanggulangan dan respon terhadap risiko. Sementara itu, definisi manajemen risiko menurut Darmawi (2005) adalah suatu usaha untuk mengetahui, menganalisis, serta mengendalikan risiko pada setiap kegiatan perusahaan dengan tujuan untuk memperoleh efektivitas dan efisiensi.

Manajemen risiko perusahaan adalah cara bagaimana menangani semua risiko yang ada dalam perusahaan dalam usaha mencapai tujuan. Penanganan risiko dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari manajemen (Kountur, 2008). Sasaran utama dari manajemen risiko perusahaan adalah untuk menghindari risiko. Manajemen risiko merupakan suatu proses dan struktur yang diarahkan untuk merealisasikan peluang potensial sekaligus mengelola dampak yang merugikan.

Pentingnya manajemen risiko diantaranya adalah untuk menerapkan tata kelola usaha yang baik, menghadapi kondisi lingkungan usaha yang cepat berubah, mengukur risiko usaha, pengelolaan risiko yang sistematis serta untuk memaksimumkan laba. Konsep manajemen risiko yang penting untuk penilaian suatu risiko diantaranya tingkat maksimum kerusakan yang akan dialami perusahaan jika terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan risiko atau yang disebut dengan eksposur, besarnya kemungkinan suatu peristiwa yang berisiko, besarnya kerusakan yang akan dialami oleh perusahaan, waktu yang dibutuhkan untuk terekspos dalam risiko (Lam, 2007).

Proses manajemen risiko dimulai dengan mengidentifikasi sumber risiko krusial apa saja yang terjadi diperusahaan. Sumber risiko ini dapat terbagi menjadi tiga bagian, yaitu risiko lingkungan,risiko proses, dan risiko informasi. Tahap ini akan menghasilkan output berupa daftar risiko yang kemudian akan dilakukan pengukuran risiko. Pengukuran risiko ini terdiri dari tahap pengukuran dampak dan kemungkinan terjadinya risiko yang kemudian akan menunjukan status risiko dalam perusahaan. Pengukuran status risiko ini akan dibantu dengan pemetaan risiko yang akan menunjukan posisi risiko. Posisi risiko ini yang nantinya akan membantu membentuk perumusan manajemen risiko yang tepat untuk pengelolaan risiko yang terjadi (Kountur, 2008).

Menurut Kountur (2008), ada begitu banyak risiko dan tidak mungkin kita dapat mengidentifikasi seluruhnya. Jika kita ingin mengidentifikasi risiko


(23)

23

sebanyak-banyaknya, maka kita akan kehabisan waktu, energi, dan biaya. Oleh karena itu, dapat digunakan aplikasi dari hukum pareto pada risiko, yaitu bahwa 80 persen kerugian perusahaan disebabkan oleh hanya 20 persen risiko yang krusial. Jika kita dapat menangani 20 persen risiko krusial tersebut, maka kita sudah dapat menghindari 80 persen kerugian dan itu merupakan jumlah yang sangat besar. Namun jika salah menangani risiko, dimana yang ditangani justru bukan risiko yang krusial, tetapi justru yang tidak penting bukan tidak mungkin kita menangani 80 persen risiko yang sebenarnya hanya memberikan kontribusi 20 persen saja, sehingga sangat penting untuk dapat mengetahui mana risiko-risiko yang krusial. Jadi tidak semua risiko-risiko perlu untuk diidentifikasi, tetapi cukup pada risiko-risiko yang krusial.

3.1.4. Pengukuran Risiko

Menurut Darmawi (2005), sesudah risiko diidentifikasi, maka selanjutnya risiko itu harus diukur untuk menentukan derajat kepentingannya dan untuk memperoleh informasi yang akan menolong untuk menetapkan kombinasi peralatan manajemen risiko yang cocok untuk menanganinya. Informasi yang diperlukan berkenaan dengan dua dimensi risiko yang perlu diukur, yaitu : (a) frekuensi atau jumlah kerugian yang akan terjadi; (b) keparahan dari kerugian. Sementara itu, paling sedikit untuk masing-masing dimensi itu yang ingin diketahui ialah : (a) Rata-rata nilainya dalam periode anggaran; (b) Variasi nilai dari suatu periode ke periode anggaran sebelumnya dan berikutnya; (c) Dampak keseluruhan dari kerugian-kerugian itu jika seandainya kerugian itu ditanggung sendiri.

Menurut Batuparan (2001) , pengukuran risiko dibutuhkan sebagai dasar untuk memahami signifikansi dari akibat (kerugian) yang akan ditimbulkan oleh terealisasinya suatu risiko, baik secara individual maupun portofolio terhadap tingkat kesehatan dan kelangsungan usaha. Pemahaman signifikansi yang akurat lebih lanjut akan menjadi dasar bagi pengelolaan risiko yang terarah dan berhasil guna. Signifikansi suatu risiko maupun portofolio risiko dapat diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap dimensi risiko, yaitu : (a) kuantitas risiko, yaitu jumlah kerugian yang mungkin muncul dari terjadinya risiko,(2) kualitas risiko, yaitu probabilitas dari terjadinya risiko. Semakin tinggi tingkat kemungkinan


(24)

24

terjadinya risiko maka semakin besar pula tingkat risikonya dan semakin tinggi dampak yang ditimbulkan dari terjadinya risiko maka semakin besar pula tingkat risikonyaa.

Menurut Kountur (2008) maksud dari pengukuran risiko adalah untuk menghasilkan apa yang disebut dengan status risiko dan peta risiko. Status risiko adalah ukuran yang menunjukan tingkatan risiko, sehingga dapat diketahui mana risiko yang lebih krusial dari risiko lainnya, sedangkan peta risiko adalah gambaran sebaran risiko dalam suatu peta sehingga kita bisa mengetahui dimana posisi risiko terhadap peta. Berdasarkan peta risiko dan status risiko kemudian manajemen dapat melakukan penanganan risiko sesuai dengan posisi risiko yang telah terpetakan dalam peta risiko, sehingga proses penanganan risiko dapat dilakukan dengan lebih tepat sesuai dengan status risikonya (Kountur, 2008).

3.1.5. Konsep Penanganan Risiko

Menurut Kountur (2008), berdasarkan peta risiko dapat diketahui cara penanganan risiko yang tepat untuk dilaksanakan. Ada dua strategi penanganan risiko, yaitu :

1. Preventif

Preventif dilakukan untuk menghindari terjadinya risiko. Strategi ini dilakukan apabila probabilitas risiko besar. Strategi preventif dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya : (1) membuat atau memperbaiki system, (2) mengembangkan sumberdaya manusia, dan (3) memasang atau memperbaiki fasilitas fisik.

2. Mitigasi

Mitigasi adalah strategi penanganan risiko yang dimaksudkan untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan oleh risiko. Strategi mitigasi dilakukan untuk menangani risiko yang memiliki dampak yang sangat besar. Adapun beberapa cara yang termasuk ke dalam strategi mitigasi adalah :

a. Diversifikasi

Diversifikasi merupakan cara menempatkan asset di beberapa tempat sehingga jika salah satu tempat terkena musibah tidak akan menghabiskan semua aset yang dimiliki.


(25)

25

b. Penggabungan

Penggabungan atau yang lebih dikenal dengan istilah merger menekankan pola penanganan risiko pada kegiatan penggabungan dengan pihak perusahaan lain. Contoh strategi ini adalah dengan melakukan merger atau dengan melakukan akuisisi.

c. Pengalihan Risiko

Pengalihan risiko merupakan cara penanganan risiko dengan mengalihkan dampak dari risiko ke pihak lain. Cara ini bermaksud jika terjadi kerugian pada perusahaan maka yang menanggung kerugian tersebut adalah pihak lain. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengalihkan risiko ke pihak lain, diantaranya melalui asuransi, leasing,outsourching, dan

hedging.

Asuransi dilakukan dengan cara mengasuransikan harta perusahaan yang dampak risikonya besar, sehingga mengurangi dampak kerugian dari risiko tersebut karena sudah dialihkan kepada pihak asuransi. Leasing adalah cara dimana suatu aset digunakan, tetapi kepemilikannya ada pada pihak lain. Jika terjadi sesuatu pada aset tersebut, maka pemiliknya yang akan menanggung kerugian atas aset tersebut.

Outsourcing adalah cara dimana pekerjaan diberikan kepada pihak lain, sehingga kita tidak menanggung kerugian seandainya pekerjaan yang dilakukan gagal. Sementara itu, Hedging adalah cara pengurangan dampak risiko dengan cara mengalihkan risiko melalui transaksi penjualan dan pembelian. Beberapa cara melakukan Hedging diantaranya adalah forward contract, future contract, option, dan swap.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Darmaga Fish Culture memiliki lahan 3.600 m2 yang digunakan untuk memproduksi benih ikan patin. Benih patin tersebut dipelihara dalam akuarium dan bak fiber yang berada didalam ruangan Hatchery. Darmaga Fish Culture dalam menjalankan bisnisnya menghadapi kendala,yaitu risiko produsi. Risiko produksi tersebut salah satunya diindikasikan dari adanya fluktuasi produktrivitas benih yang dihasilkan. Sementara itu, sumber utama yang menjadi indikasi faktor penyebab terjadinya risiko produksi dalam budidaya pembenihan ikan patin siam


(26)

26

(pangasius hyphothalmus) diantaranya adalah faktor cuaca, tingkat keterampilan yang dimiliki perusahaan yang belum memadai dalam melaksanakan kegiatan proses produksi, dan penyakit. Kerugian akibat risiko produksi yang dialami antara lain adalah jumlah produksi benih yang rendah. Rendahnya jumlah produksi benih patin yang dihasilkan berdampak terhadap pendapatan yang diterima oleh Darmaga Fish Culture. Adanya kendala di Darmaga Fish Culture yang telah dijelaskan diatas, tentunya perlu ada upaya untuk mengatasi kendala tersebut.

Dalam penelitian ini akan dilakukan proses identifikasi sumber-sumber risiko produksi apa saja yang dihadapi oleh perusahaan tersebut. Selanjutnya, mengidentifikasi upaya penanganan risiko produksi yang dilakukan oleh Darmaga Fish Culture. Analisis ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif melalui observasi, wawancara,dan diskusi dengan pengelola Darmaga Fish Culture. Analisis selanjutnya yang dilakukan adalah analisis probabilitas dan dampak risiko produksi benih patin akibat adanya sumber-sumber risiko. Pengukuran probabilitas atau kemungkinan terjadinya kerugian dilakukan dengan analisis nilai standar atau dikenal dengan analisis z-score, sedangkan pengukuran dampak risiko dilakukan dengan menggunakan analisis Value at Risk (VAR). Analisis dilakukan menggunakan data produksi benih patin di DFC dari bulan Januari 2010 sampai April 2011. Hasil analisis ini akan menunjukkan status risiko, sehingga dapat diketahui risiko produksi mana yang lebih krusial dibandingkan dengan risiko-risiko produksi lainnya yang ada di DFC.

Hasil analisis ini akan menunjukan status risiko dalam perusahaan dan untuk mengetahui posisi risiko dalam perusahaan, maka dilakukan pemetaan risiko. Setelah mengetahui posisi risiko maka selanjutnya dapat dibuat alternatif strategi penanganan risiko yang tepat untuk mengendalikan sumber-sumber risiko tersebut. Hasil analisis terhadap risiko produksi, selanjutnya akan direkomendasikan kepada Darmaga Fish Culture. Alur kerangka pemikiran operasional penelitian secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.


(27)

27 Gambar 1.Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian

Fluktuasi produktivitas benih pada Usaha Pembenihan Ikan Patin di Darmaga Fish Culture

Identifikasi Sumber-Sumber Risiko Produksi Menggunakan Analisis Deskriptif pada Aspek Produksi

Analisis Probabilitas dari Sumber-Sumber

Risiko Produksi Menggunakan Metode

Z- score

Alternatif Strategi Penanganan Risiko Produksi Analisis Dampak dari

Sumber-Sumber Risiko Produksi Menggunakan Metode Value at Risk

(VaR)

Tujuan Darmaga Fish Culture : 1. Memaksimumkan keuntungan 2. Meminimumkan risiko


(28)

28

IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Darmaga Fish Culture yang berlokasi di Selatan Jalan Ciherang, Desa Ciherang Pentas, RT 002/RW 05, Kecamatan Dramaga, Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Juni 2011. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa DFC merupakan salah satu perusahaan pembenihan patin yang cukup besar di daerah Bogor karena mempunyai sarana yang cukup lengkap seperti jumlah akuarium sekitar 200 buah dan 2 buah ruangan hatchery untuk proses kegiatan pembenihan serta adanya sistem modern dalam proses produksinya.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, baik data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber atau objek penelitian. Data primer diantaranya diperoleh melalui pengamatan langsung di lokasi usaha maupun dari proses wawancara dengan pengelola yaitu, bapak Gani dan Ibu Erni serta karyawan DFC yaitu, Bapak Mumuh, Sarif dan Feri untuk mengetahui keadaan umum lokasi usaha, proses produksi, penanganan induk, sumber risiko produksi yang dihadapi dalam melakukan usaha pembenihan patin siam (pangasius hyphothalmus).

Data sekunder yang digunakan diantaranya diperoleh dalam bentuk data historis yang dimiliki oleh perusahaan berupa data produksi benih patin Darmaga Fish Culture pada bulan Januari 2010 hingga April 2011, data statistik, buku, jurnal, dan bahan pustaka lain yang relevan dengan topik dan komoditas penelitian yang diantaranya bersumber dari Dinas Pertanian Kota Bogor, perpustakan Pusat Kajian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dan LSI IPB.

4.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian yang dilaksanakan dilakukan dengan cara :


(29)

29

1. Melakukan observasi atau pengamatan, observasi dilakukan dengan melihat dan mengamati secara langsung proses pembenihan ikan patin siam (pangasius hypothalmus) yang dilakukan di Darmaga Fish Culture. 2. Melakukan wawancara dan diskusi dengan pengelola perusahaan yaitu,

Bapak Gani dan Ibu Erni serta karyawan di DFC yaitu, Sarif, Feri, dan Bapak Mumuh untuk memperoleh keterangan yang sesuai dengan kebutuhan penelitian, sehingga data yang akan digunakan menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan, khususnya mengenai hal-hal yang berpotensi menjadi sumber risiko produksi pada usaha pembenihan ikan patin siam (pangasius hypothalmus).

3. Membaca dan melakukan pencatatan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian.

4.4. Metode Analisis Data

4.4.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu sel kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analisis deskriptif dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi sumber risiko produksi dalam usaha pembenihan ikan patin siam (pangasius hyphothalmus) yang dilaksanakan di Darmaga Fish Culture. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses identifikasi risiko diantaranya adalah dengan cara melakukan pendekatan dari pengelola DFC serta kepada karyawan-karyawan DFC untuk mengetahui kejadian merugikan apa saja yang sering dialami oleh perusahaan dalam melakukan pembenihan patin siam. Kemudian menanyakan kegiatan-kegiatan apa saja yang harus dilakukan untuk menghasilkan benih patin siam. Setelah mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan untuk menghasilkan patin siam, selanjutnya menanyakan kegiatan-kegiatan yang berisiko dari kegiatan-kegiatan yang ada serta kejadian merugikan apa saja yang mungkin terjadi pada kegiatan berisiko tersebut. Setelah mengetahui kejadian yang merugikan di DFC, selanjutnya menanyakan penyebab dari setiap kejadian yang merugikan tersebut untuk


(30)

30

mengetahui sumber-sumber risiko yang ada di DFC. Setelah sumber-sumber risiko teridentifikasi, langkah selanjutnya melakukan diskusi dengan pengelola dan karyawan DFC untuk memastikan sumber-sumber risiko yang kita identifikasi sesuai dengan keadaan yang dialami oleh perusahaan.

4.4.2. Analisis Kemungkinan Terjadinya Risiko

Risiko dapat diukur jika diketahui kemungkinan terjadinya risiko dan besarnya dampak risiko terhadap perusahaan. Ukuran pertama dari risiko adalah besarnya kemungkinan terjadinya yang mengacu pada seberapa besar probabilitas risiko akan terjadi. Metode yang akan digunakan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya risiko adalah metode nilai standar atau z-score. Metode ini dapat digunakan apabila ada data historis sebelumnya dan berbentuk kontinus (desimal). Pada penelitian ini, yang akan dihitung adalah kemungkinan terjadinya risiko pada kegiatan produksi benih patin di DFC. Data yang akan digunakan untuk menghitung kemungkinan terjadinya risiko pada kegiatan produksi adalah data produksi benih patin siam dari bulan Januari 2010 sampai April 2011. Menurut Kountur (2008), langkah yang perlu dilakukan untuk melakukan perhitungan kemungkinan terjadinya risiko meggunakan metode ini dan aplikasinya pada usaha pembenihan ikan patin siam (pangasius hyphothalmus) di Darmaga Fish Culture adalah :

1. Menghitung rata-rata kejadian berisiko

Rumus yang digunakan untuk menghitung rata-rata benih patin yang diproduksi adalah :

= �

� �=1

Dimana :

= Nilai rata-rata dari kejadian berisiko

xi = Nilai per bulan dari kejadian berisiko


(31)

31

= −

2. Menghitung nilai standar deviasi dari kejadian berisiko

= ( � −

�=1 )2

� −1

Dimana :

S = Standar deviasi dari kejadian berisiko

xi = Nilai per bulan dari kejadian berisiko = Nilai rata-rata dari kejadian berisiko

n = Jumlah data 3. Menghitung Z-score

Dimana :

z = nilai Z-score dari kejadian berisiko

y = Batas risiko yang dianggap masih dalam taraf normal = Nilai rata-rata kejadian berisiko

s = Standar deviasi dari kejadian berisiko

Jika, hasil Z-score yang diperoleh bernilai negatif, maka nilai tersebut berada di sebelah kiri nilai rata-rata pada kurva distribusi normal dan sebaliknya jika nila Z-score positif, maka nilai tersebut berada di sebelah kanan kurva distribusi z (normal).

4. Mencari probabilitas terjadinya risiko produksi

Setelah nilai Z-score dari produksi benih patin di Darmaga Fish Culture diketahui, maka selanjutnya dapat dicari probabilitas terjadinya risiko produksi yang diperoleh dari tabel distribusi Z (normal) sehingga dapat diketahui berapa persen kemungkinan terjadinya keadaan dimana produksi benih patin mendatangkan kerugian.


(32)

32 4.4.3. Analisis Dampak Risiko

Metode yang paling efektif digunakan dalam mengukur dampak risiko adalah VaR (Value at Risk). VaR adalah kerugian terbesar yang mungkin terjadi dalam rentang waktu tertentu yang diprediksikan dengan tingkat kepercayaan tertentu. Penggunaan VaR dalam mengukur dampak risiko hanya dapat dilakukan apabila terdapat data historis sebelumnya. Analisis ini dilakukan untuk mengukur dampak dari risiko pada kegiatan produksi benih patin di Darmaga Fish Culture. Kejadian yang dianggap merugikan berupa penurunan produksi sebagai akibat dari terjadinya sumber-sumber risiko. Menurut Kountur (2008), VaR dapat dihitung dengan rumus berikut.

� = + �

Dimana :

VaR = Dampak kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian berisiko = Nilai rata-rata kerugian akibat kejadian berisiko

z = Nilai Z yang diambil dari tabel distribusi normal dengan alfa 5%.

s = Standar deviasi kerugian akibat kejadian berisiko

n = Banyaknya kejadian berisiko

4.4.4. Pemetaan risiko

Menurut Kountur (2008), sebelum dapat menangani risiko, hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah membuat peta risiko. Peta risiko adalah gambaran mengenai posisi risiko pada suatu peta dari dua sumbu, yaitu sumbu vertikal yang menggambarkan probabilitas dan sumbu horizontal yang menggambarkan dampak. Contoh layout peta risiko dapat dilihat pada Gambar 2.


(33)

33 Probabilitas (%)

Besar

Kecil

Dampak (Rp) Kecil Besar

Gambar 2. Peta Risiko

Sumber : Kountur (2008)

Probabilitas atau kemungkinan terjadinya risiko dibagi menjadi dua bagian, yaitu besar dan kecil. Dampak risiko juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu besar dan kecil. Batas antara probabilitas atau kemungkinan besar dan kecil ditentukan oleh manajemen, tetapi pada umumnya risiko yang probabilitasnya 20 persen atau lebih dianggap sebagai kemungkinan besar, sedangkan dibawah 20 persen dianggap sebagai kemungkinan kecil (Kountur, 2008). Sementara itu, berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, ditetapkan nilai standar yang membatasi kemungkinan besar dan kecil adalah sebesar 28 persen.

4.4.5. Penanganan Risiko

Berdasarkan hasil pemetaan risiko pada peta risiko , maka selanjutnya dapat ditetapkan strategi penanganan risiko yang sesuai. Terdapat dua strategi yang dapat dilakukan untuk menangani risiko,yaitu :

1. Penghindaran Risiko (Preventif)

Strategi preventif dilakukan untuk risiko yang tergolong dalam probabilitas risiko yang besar. Strategi preventif akan menangani risiko yang berada pada kuadran 1 dan 2. Penanganan risiko dengan menggunakan strategi preventif, maka risiko yang ada pada kuadran 1 akan bergeser ke kuadran 3 dan risiko yang berada pada kuadran 2 akan bergeser kekuadran 4 (Kountur, 2008). Penanganan risiko menggunakan strategi preventif dapat dilihat pada Gambar 3.

Kuadran 1 Kuadran 2


(34)

34 Probabilitas (%)

Besar

Kecil

Dampak (Rp) Kecil Besar

Gambar 3. Preventif Risiko

2. Mitigasi Risiko

Strategi mitigasi digunakan untuk meminimalkan dampak risiko yang terjadi. Risiko yang berada pada kuadan dengan dampak yang besar diusahakan dengan menggunakan strategi mitigasi dapat bergeser ke kuadran yang memiliki dampak risiko yang kecil. Strategi mitigasi akan menangani risiko sedemikian rupa sehingga risiko yang berada pada kuadran 2 bergeser ke kuadran 1 dan risiko yang berada pada kuadran 4 akan bergeser ke kuadran 3. Strategi mitigasi dapat dilakukan dengan metode diversifikasi, penggabungan dan pengalihan risiko (Kountur, 2008). Mitigasi risiko dapat dilihat pada Gambar 4.

Probabilitas (%)

Besar

Kecil

Dampak (Rp) Kecil Besar

Gambar 4. Mitigasi Risiko

Kuadran 1 Kuadran 2

Kuadran 3 Kuadran 4

Kuadran 1 Kuadran 2


(35)

35 4.5. Indikator Penentuan Jenis Sumber Risiko Pada Setiap Kejadian

Darmaga Fish Culture menghadapi risiko produksi dalam melaksanakan kegiatan pembenihan ikan patin siam (Pangasius hyphothalmus), dimana beberapa faktor yang diindikasikan sebagai sumber dari risiko produksi tersebut diantaranya adalah perubahan suhu air yang ekstrim, kesalahan pembudidaya dalam melakukan seleksi induk, musim kemarau, dan serangan penyakit. Oleh karena itu, perlu ditetapkan indikator untuk menggolongkan atau mengkategorikan jenis sumber risiko pada setiap kejadian yang berisiko yang terjadi pada pelaksanaan kegiatan pembenihan ikan patin siam (Pangasius

hyphothalmus). Tujuan dari penetapan indikator tersebut adalah untuk

menghindari kesalahan penggolongan dari setiap kejadian berisiko yang dapat mengakibatkan proses analisis yang dilakukan tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya terjadi dilokasi penelitian.

Sumber risiko produksi perubahan suhu air yang ekstrim diindikasikan oleh kejadian berisiko dalam bentuk kematian benih yang sedang dipelihara secara mendadak dan bersamaan pada akuarium dan bak fiber akibat terjadinya perubahan suhu air yang signifikan pada akuarium dan bak fibers pasca terjadinya peralihan cuaca dari panas kepada hujan ataupun sebaliknya. Meskipun pemeliharan benih patin berada pada ruang hatchery dan menggunakan kompor untuk menjaga suhu air tetap terjaga, kenyataannya suhu air menjadi sumber risiko bagi perusahaan. Sementara itu, indikator untuk sumber risiko produksi kesalahan pembudidaya dalam melakukan seleksi induk adalah apabila kejadian berisiko yang terjadi mengakibatkan banyak telur yang tidak menetas atau derajat penetasannya rendah. Hal tersebut dikarenakan induk patin yang dipijahkan pembudidaya sebenarnya tidak memenuhi kriteria yang seharusnya dimiliki oleh induk patin yang akan dipijahkan, meliputi kecukupan umur, berat, kondisi genetis, kondisi fisik, serta kematangan telur yang dikandung oleh induk betina. Induk patin yang tidak memenuhi semua kriteria untuk dipijahkan tersebut tetap dapat menghasilkan telur, tetapi telur yang dihasilkan memiliki derajat penetasan yang rendah atau banyak yang gagal menetas sehingga banyak potensi benih patin siam yang hilang.


(36)

36

Sumber risiko produksi musim kemarau diindikasikan oleh kejadian berisiko yang mengakibatkan penurunan produktivitas telur yang dihasilkan oleh induk patin betina dalam jumlah yang signifikan sehingga menyebabkan penurunan benih patin siam yang dihasilkan dalam jumlah banyak di perusahaan. Penurunan produksi telur tersebut terjadi akibat kondisi musim kemarau yang biasanya terjadi sekitar bulanApril sampai bulan Oktober.

Sumber risiko produksi yang terakhir yaitu penyakit yang menyerang benih patin, diindikasikan oleh suatu kejadian berisiko yang mengakibatkan benih yang dipelihara pada akuarium dan bak fiber mengalami kematian dalam waktu yang hampir bersamaan pasca menunjukan tanda-tanda bahwa benih tersebut telah terinfeksi oleh suatu penyakit. Penyakit yang umumnya menyerang benih patin biasanya diakibatkan oleh white spot dan bakteri Aeromonas yang berasal dari pakan cacing sutera yang tercemar ataupun dalam kondisi mati serta air dalam akuarium yang terkontaminasi oleh air hujan. Tanda-tanda benih patin yang telah terinfeksi bakteri tersebut adalah benih sering terlihat mengambang dipermukaan akuarium dan bak fiber, lemas, dan kehilangan nafsu makan. Berdasarkan penjelasan diatas, diperkirakan kejadian yang merugikan untuk sumber risiko produksi di DFC adalah kematian benih patin siam, penurunan benih patin siam dan potensi benih patin siam yang hilang.


(37)

37

V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

Proses pengambilan data yang dilakukan peneliti dalam memperoleh data tentang gambaran umum perusahaan dilakukan dengan wawancara, kemudian dilanjutkan dengan pemberian file dari pihak perusahaan untuk kemudian dipaparkan dalam penelitian ini. Beberapa data diperoleh langsung oleh peneliti dari perusahaan seperti sejarah berdirinya perusahaan, aspek organisasi dan manajemen perusahaan, aspek permodalan, aspek sumberdaya perusahaan. Data yang diperoleh merupakan data mentah dari perusahaan yang kemudian dilengkapi oleh peneliti dalam mempermudah pembaca dalam memahami skripsi ini.

5.1 Sejarah Perusahaan

Darmaga Fish Culture merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang budidaya ikan hias air tawar. Secara letak geografisnya perusahaan Darmaga Fish Culture terletak di Selatan Jalan Ciherang, Desa Ciherang Pentas, RT 002/RW 05, Kecamatan Dramaga, Jawa Barat. Darmaga Fish Culture terletak di belakang terminal Laladon yang berjarak sekitar ± 100 meter dari terminal Laladon. Luas area perusahaan Darmaga Fish Culture yaitu 3.600 m2, dengan tekstur tanah yang berpasir dan bebatuan. Batas lokasi PerusahaanDarmaga Fish Culture berada pada :

 Sebelah Utara berbatasan dengan sawah milik penduduk setempat

 Sebelah Timur berbatasan dengan kali Ciherang

 Sebelah Barat berbatasan dengan kolam pemancingan

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Ciherang

Darmaga Fish Culture berdiri sejak tahun 2000 yang berawal dari hobi Pemilik Darmaga Fish Culture yaitu, Ir. Husni Manggabarani, Msi. yang suka dengan dengan usaha di bidang perikanan. Usaha pertama yang dijalankan di Darmaga Fish Culture adalah komoditi ikan konsumsi seperti ikan mas, bujaer, gurame dan sebagainya, pada saat menjalankan bisnis ikan konsumsi ini dikelola oleh Bapak Kholik. Pada bulan Juli 2004 seiring dengan adanya permintaan yang bagus dan sangat menjanjikan di pasaran terhadap ikan hias maka Darmaga Fish Culture mencoba merubah komoditas utamanya dari ikan konsumsi menjadi ikan


(38)

38

hias, pada bisnis ikan hias ini adanya pergantian pengelola yaitu, dari Bapak Kholik menjadi drh. Ria Puryanti Yahya, MSi. Perusahaan ini membudidayakan ikan hias dalam bentuk pembenihan. Pada tahun 2008 sampai sekarang, Darmaga Fish Culture merubah kembali komoditi utamanya dari ikan hias menjadi ikan patin siam yang diusahakan dalam bentuk pembenihan juga. Karena pada saat itu, benih ikan patin memiliki permintaan yang tinggi di pasaran.

5.2 Aspek Organisasi dan Manajemen Perusahaan

Darmaga Fish Culture adalah salah satu perusahaan yang bergerak dibidang budidaya pembenihan ikan patin. Kegiatan perusahaan akan berjalan dengan baik dan lancar apabila perusahaan mengelola kegiatan usahanya dengan sebaik mungkin. Salah satu upaya dari perusahaan yang harus dilakukan adalah menjalankan suatu struktur organisasi yang tepat dalam menjalankan usahanya. Dimana struktur organisasi merupakan sistem kegiatan yang terkoordinir dari sekelompok orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan dibawah kepemimpinan suatu pimpinan.

Struktur organisasi dalam suatu perusahaan dibagi menjadi empat macam sistem yaitu sisttem lini, fungsional, divisional dan matriks. Adapun struktur organisasi yang diterapkan oleh perusahaan Darmaga Fish Culture adalah organisasi sistem lini. Sistem lini dibuat untuk perusahaan kecil seperti industri rumah tangga dan organisasi ini bersifat langsung dimana garis perintah berlangsung secara vertikal. Pada suatu struktur organisasi yang berlangsung secara vertikal merupakan garis perintah dari atasan kepada bawahan untuk menjalankan tugas dan kewajibannya.

Secara garis besar, struktur organisasi pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture dapat dilihat pada Gambar 5 .

Gambar 5. Struktur organisasi di Darmaga Fish Culture

Pemilik

Karyawan Pengelola


(39)

39

Pada Gambar 5, menunjukan bahwa struktur organisasi perusahaan di Darmaga Fish Culture dipimpin oleh pengelola perusahaan. Tugas pengelola perusahaan yaitu merencanakan, mengelola, melaksanakan, dan mengevaluasi kinerja dan kontinuitas perusahaan. Pengelola perusahaan merangkap dalam bidang pemasaran dan membawahi 4 karyawan yang bekerja pada bagian produksi. Masing-masing karyawan saling membantu dan melaksanakan tugas kerjanya.

5.3 Aspek Sumberdaya Perusahaan

Sumberdaya merupakan faktor penting perusahaan untuk melakukan kegiatan usahanya. Sumberdaya yang dimiliki suatu perusahaan terdiri dari 2 jenis yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik. Sumberdaya yang dimiliki Darmaga Fish Culturedijabarkan dibawah ini.

5.3.1 Karyawan

Pada Darmaga Fish Culture seluruh kegiatan operasionalnya masih mengandalkan tenaga kerja. DFC memiliki karyawan sebanyak 5 orang yang terdiri dari 2 orang sebagai pengelola yang mencakup bagian administrasi dan bagian pemasaran. Sedangkan untuk bagian produksi dilakukan oleh 3 orang karyawan lainnya, tetapi terkadang pengelola juga ikut membantu bagian produksi apabila dibutuhkan. Besarnya gaji yang diberikan antara karyawan yang satu dengan yang lainnya tergantung kepada lamanya bekerja di DFC. Hal itu yang menyebabkan gaji karyawan di DFC berbeda antara satu karyawan dengan yang lainnya.

5.3.2 Kepemilikan Peralatan

Peralatan yang dimiliki DFC cukup memadai dan sangat mendukung terlaksananya kegiatan perusahaan sehari-hari. Peralatan yang dimiliki DFC tersebut dapat membatu karyawan bekerja sesuai dengan tugasnya sehingga dapat meningkatkan hasil produksi. Adapun peralatan yang digunakan seperti, Mesin diesel, Blower, selang penyipon, selang kateter, akuarium, kompor gas, saringan, termometer, corong penetasan, waring, bak fiber, tabung oksigen dan lain-lain


(40)

40 5.3.3 Aspek Permodalan

Modal yang dimiliki Darmaga Fish Culture terdiri dari modal lancar dan tidak lancar. Modal lancar adalah modal uang tunai yang dimiliki Darmaga Fish Culture sedangkan modal tidak lancar yaitu kepemilikan lahan, bangunan, peralatan dan perlengkapan usaha bisnis Darmaga Fish Culture. Modal yang dimiliki Darmaga Fish Culture sangat penting untuk digunakan dalam perencanaan kuantitas produksi sehingga rencana yang telah ditetapkan Darmaga Fish Culture dapat berjalan dengan baik.

Pada awal berdiri, pemilik hanya memiliki modal berupa uang tunai sekitar Rp 250.000.000,- yang berasal dari modal pribadi. Modal tersebut digunakan pemilik untuk membeli lahan, membangun lokasi produksi serta kebutuhan yang menunjang seperti peralatan, perlengkapan produksi dan pengemasan.

5.4 Unit Bisnis

Unit Bisnis yang ada di Darmaga Fish Cuture terdiri hanya 1 unit bisnis saja yaitu pembenihan ikan Patin, berbeda saat dahulu Darmaga Fish Culture bergerak di komoditi ikan hias, Perusahaan melihat peluang pasar yang cukup menjanjikan di budidaya pembenihan ikan patin ini, karena itu perusahaan mencoba fokus didalam bisnis pembenihan ikan patin.

5.4.1 Proses Budidaya Ikan Patin

Adapun alur proses produksi pembenihan ikan patin yang terdapat di Darmaga Fish Culture dapat dilihat pada Gambar 6.


(41)

41 Gambar 6. Proses Produksi Pembenihan Ikan Patin di Darmaga Fish Culture

A. Pemeliharaan induk 1. Tempat pemeliharaan

Wadah pemeliharaan induk ikan patin berupa kolam (air tenang) dengan kontruksi tembok. Luas kolam yang ada di DFC untuk tempat pemeliharaan induk adalah (10 x 25 x 1,5) m yang dibagi 5 sekat dengan masing-masing ukuran (10 x 5 x 1,5) m dengan padat tebar 2 ekor/m2.

2. Pemberian pakan

Induk ikan patin perlu mendapatkan asupan pakan dengan jumlah yang cukup serta mutu yang baik. Kadar protein untuk pakan induk adalah 32 persen- 40 persen dengan tingkat pemberian pakan 2-3 persen dari bobot biomas ikan/hari dengan frekuensi pemberian pakan 2 kali/hari. Pakan yang diberikan pada induk ikan patin berupa pakan buatan, yaitu berupa pellet terapung. Jenis pellet yang digunakan DFC adalah jenis pellet terapung dengan merk turbo feed. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 1 kg/ kolam dengan frekuensi pemberian pakan 2 kali, yaitu pagi dan sore.

Penyiapan dan pemilihan

induk patin Penyuntikan Stripping

Penebaran telur di akuarium Penetasan telur

Pemeliharaan :

- Pemisahan telur yang menetas dengan yang tidak

- Pemberian pakan - Penjagaan suhu

- Pembersihan dan pengisian air akuarium

- Pemberantasan hama dan penyakit

Panen dan Pasca panen


(42)

42

B. Penyiapan dan pemilihan induk

Induk merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha pembenihan ikan patin. Induk yang baik dan sehat tentu akan menghasilkan benih yang baik pula. Induk ikan patin yang akan disuntik (dipijahkan) harus diseleksi terlebih dahulu, yaitu dengan memilih induk-induk betina dan jantan yang telah matang gonad atau siap pijah. Penangkapan induk harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari agar ikan tidak stress. Cara penangkapan induk ikan patin yang dilakukan di DFC adalah dengan menggunakan jaring, penangkapan tersebut. Setelah dilakukan pemilihan dan penyeleksian induk, baru kemudian induk-induk patin tersebut disimpan dikolam untuk dilakukan penyuntikan nantinya. Satu ekor induk patin dapat dipijahkan sebanyak 4 kali dalam setahun dengan masa produktivitas 10 tahun.

C. Penyuntikan

Penyuntikan yang dilakukan oleh di DFC dilakukan dengan menggunakan ovaprim atau korullon yang berfungsi untuk membantu mematangkan sel telur dan memudahkan telur keluar dari perut induk. Sebelum dilakukan penyuntikan induk patin tersebut ditimbang terlebih dahulu untuk menentukan dosis yang diberikan, karena banyaknya dosis yang diberikan tergantung pada berat ikan patin tersebut. Induk yang disuntik hanya induk betina saja sedangkan induk jantan tidak mengalami proses penyuntikan. Dosis yang diberikan untuk induk betina adalah 0,5 ml/kg ovaprim dan 0,5 ml/kg chorullon. Penyuntikan tahap pertama dilakukan pada sore hari pada pukul 16.00 WIB dengan menggunakan chorullon dan tahap kedua dilakukan setelah selang waktu 24 jam dari penyuntikan tahap pertama dengan menggunakan ovaprim. Penyuntikan dilakukan oleh 2 orang dengan tujuan agar induk ikan tidak berontak, 1 orang memegangi induk patin, 1 orang lagi yang menyuntik. Sebelum disuntik ikan harus rileks terlebih dahulu dan bila perlu mata atau kepala ikan ditutup dengan menggunakan kain yang basah agar ikan tidak berontak.

D. Stripping

Proses stripping dilakukan pada pagi hari, dengan jangka waktu 24 jam setelah dilakukan penyuntikan. Stripping dilakukan dengan cara memijat bagian perut induk patin betina. Caranya adalah induk patin betina dipegang dengan


(43)

43

kedua tangan, tangan kiri memegang pangkal ekor sedangkan tangan kanan memegang perut bagian bawah, ujung kepala induk patin betina ditopangkan ke pangkal paha, selanjutnya perut diurut secara perlahan-lahan dari arah bagian depan ke arah bagian belakang dengan menggunakan jari tengah dan jempol, telur yang ada di dalam perut harus dikeluarkan sampai benar-benar tidak tersisa, telur-telur hasil stripping tersebut kemudian ditaruh dalam wadah berupa baskom,.

Stripping yang dilakukan pada induk jantan tidak jauh berbeda dengan stripping

yang dilakukan pada induk betina. Setelah sperma dikeluarkan kemudian disatukan dengan telur yang ada didalam wadah dengan menggunakan bulu ayam agar tercampur rata. Untuk meningkatkan fertilasi (pembuahan), ditambahkan larutan NaCl ke dalam campuran telur dan sperma tadi.

E. Penebaran telur ke dalam akuarium

Setelah campuran telur dan sperma tadi merata, kemudian ditebar ke dalam akuarium. Akuarium yang akan ditebari telur, sebelumnya harus dikeringkan dan diisi dengan air bersih sampai kurang lebih 20 cm selama 1-2 hari sebelum telur ditebar. Setiap akuarium dapat ditebari telur sampai dengan 10.000-15.000 telur, dan setelah telur itu ditebar ke dalam akuarium kemudian tiap akuarium yang berisi telur tersebut diberikan mytelin blue yang berguna sebagai antiseptic sebanyak 2 centong untuk tiap akuariumnya.

F. Penetasan telur

Penetasan telur yang ada di Darmaga Fish Culture menggunakan dua cara yaitu dengan menggunakan penetasan alami di dalam akuarium dan penetasan yang menggunakan corong. Penetasan dengan menggunakan corong sebenarnya lebih efisien karena larva yang menetas lebih mudah untuk dihitung serta larva yang dihasilkan lebih kuat dari pada larva yang dihasilkan dengan penetasan alami di akuarium. Resiko keracunan juga relatif rendah, karena kualitas air dapat mudah diperbaiki dengan menambahkan air segar. Sedangkan untuk penatasan secara alami kelemahannya adalah kita tidak dapat mengetahui berapa banyak jumlah telur yang menetas serta resiko larva keracunan relatif tinggi. Namun kelebihannya adalah tidak terlalu sering diperiksa keadaan kontinuitas aliran airnya.


(44)

44

Cara penetasan dengan menggunakan corong di DFC untuk saat ini sudah tidak dipergunakan lagi oleh pihak perusahaan. Hal ini dikarenakan tingkat keberhasilan telur menetas sangat rendah sehingga perusahaan lebih memilih penetasan menggunakan sistem alami yang tingkat penetesannya lebih baik dari pada sistem corong.

G. Pemeliharaan

1. Pemisahan telur yang menetas dengan telur yang tidak menetas

Pemisahan telur yang tidak menetas dengan yang menetas dilakukan dengan cara akuarium disedot airnya agar telur yang ada di dasar akuarium dapat terangkat dengan menggunakan selang, kemudian air dan sisa telur tersebut ditampung ke dalam wadah berupa ember plastik dan baskom, hingga akuarium bersih dari ampas telur dan sisa telur yang gagal. Benih ikan yang tersedot akan diambil dengan menggunakan centong dan dikembalikan ke akuarium.

2. Pemberian pakan

Pemberian pakan dilakukan pada larva yang telah berumur 2 hari. Pakan yang digunakan adalah jenis pakan alami, yaitu artemia dan cacing sutera.

a) Artemia

Pemberian pakan artemia dilakukan setelah telur-telur tersebut menetas yaitu dari hari ke-2 sampai hari ke-3. Satu kaleng artemia yang berukuran 425 gram idealnya dapat digunakan untuk 100.000 ekor larva, akan tetapi di Darmaga Fish Culture sendiri 0,5 kaleng artemia tersebut digunakan untuk 450.000 ekor larva. Pemberian pakan artemia dilakukan setiap 2 jam sekali. Pada hari ke-4 sampai hari ke-5 larva masih diberikan pakan artemia, tetapi pakan artemia diberikan bergantian dengan cacing sutera yang telah dipotong-potong halus dengan pisau.

b) Cacing

Pakan cacing diberikan setelah benih berumur lebih dari 6 hari. Takarannya yaitu ¼ kg cacing ditambah dengan 13 liter air, dapat digunakan untuk 82 akuarium dengan takaran 1 centong per akuarium. Cacing-cacing yang akan digunakan untuk pakan harus dihaluskan terlebih dahulu dengan menggunakan pisau dan talenan baru kemudian dicampur dengan air. Pemberian


(1)

94 Lampiran 13. Perhitungan Analisis Dampak Sumber Risiko Penyakit

Bulan Kematian benih akibat penyakit (ekor) Harga

(Rp/ekor)

Kerugian (Rp)

Januari 80.000 60 4.800.000

Febuari 15.000 60 900.000

Maret 90.000 60 5.400.000

April 90.000 70 6.300.000

Mei 62.500 70 4.375.000

Juni 33.000 70 2.310.000

Juli 40.000 70 2.800.000

Agustus 80.000 65 5.200.000

September 50.000 65 3.250.000

Oktober 240.000 65 15.600.000

Desember 30.000 65 1.950.000

Januari 50.000 65 3.250.000

Febuari 100.000 65 6.500.000

April 40.000 70 2.800.000

Jumlah 65.435.000

Rata-rata 4.673.929

Sd 3.558.259

Z 1,65


(2)

95 Lampiran 14. proses produksi pembenihan patin siam di Darmaga Fish Culutre

Gambar 1.Pemeliharaan induk patin dikolam pemeliharaan


(3)

96 Gambar 3. Seleksi induk patin siam yang akan dipijahkan


(4)

97 Gambar 5. Penebaran telur patin siam ke dalam akuarium


(5)

98 Gambar 7. Proses menetaskan cyste artemia menjadi naupli artemia


(6)

99 Gambar 9. Pemanenan dan pengemasan benih patin siam