Strategi Penanganan Risiko Produksi

67 yang memiliki probabilitas kecil, tetapi memiliki dampak yang besar. Hasil pemetaan risiko yang dilakukan akan digunakan untuk menentukan strategi penanganan yang tepat untuk mengendalikan risiko produksi yang dihadapi.

6.5 Strategi Penanganan Risiko Produksi

Kegiatan selanjutnya yang juga menjadi bagian akhir dari proses pengelolaan risiko produksi pembenihan patin siam di DFC setelah dilakukannya identifikasi dan pengukuran risiko adalah merumuskan usulan strategi untuk menangani risiko produksi yang dihadapi. Usulan strategi penanganan risiko produksi akan dirumuskan berdasarkan posisi dari masing-masing sumber risiko produksi pada peta risiko yang telah dibuat agar diperoleh strategi penanganan yang tepat untuk masing-masing risiko. Secara garis besar terdapat dua jenis strategi penanganan risiko, yaitu strategi preventif dan strategi mitigasi. Strategi preventif dilakukan apabila probabilitas risiko besar, sehingga dilakukan upaya-upaya pencegahan sedemikian rupa agar risiko tidak terjadi, sedangkan strategi mitigasi dilakukan apabila dampak risiko besar, dimana strategi ini bertujuan untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan oleh risiko. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sumber risiko produksi yang terletak pada kuadran 1 dan 2 akan ditangani dengan strategi preventif, sedangkan sumber risiko produksi yang terletak pada kuadran 2 dan 4 akan ditangani dengan strategi mitigasi. Uraian strategi penanganan risiko produksi, baik preventif maupun mitigasi yang diusulkan kepada DFC adalah sebagai berikut: 1. Strategi preventif Strategi preventif dilakukan untuk menangani sumber risiko produksi yang terletak pada kuadran 1, yaitu risiko kematian benih yang disebabkan oleh penyakit, perubahan suhu air, dan kematian induk patin yang disebabkan kesalahan penyuntikan induk. Usulan strategi preventif untuk menangani ketiga sumber risiko produksi adalah sebagai berikut : a. Sumber risiko produksi penyakit. Pencegahan benih patin untuk terkena penyakit di DFC masih sangat minimal. Hal tersebut terlihat dari penggunaan obat yang ada di DFC. Pihak DFC hanya mengandalkan air garam untuk mencegah penyakit menyerang benih patin. 68 Penyakit yang biasa menyerang benih patin di DFC adalah penyakit Aeromonas dan penyakit White spot. Penyakit Aeromonas adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Bakteri tersebut biasanya berasal dari pakan cacing sutera yang diberikan pada benih sebagai pakan utama. Pakan cacing sutera yang tidak segar, tercemar, dan tidak dibersihkan dengan benar dapat memicu penyebab bakteri Aeromonas dengan cepat. Cacing sutera yang diperoleh dari pembudidaya di sekitar DFC memang tidak dapat dipastikan selalu berada dalam kondisi yang baik dan tidak tercemar, sehingga sebaiknya dilakukan upaya pencegahan penyebaran penyakit yang berasal dari cacing tersebut. Strategi yang diusulkan untuk mencegah penyebaran bakteri yang berasal dari cacing sutera diantaranya adalah dengan tidak memberikan cacing sutera sebagai pakan apabila terdeteksi bahwa cacing sutera tersebut sudah dalam keadaan yang tidak segar, apalagi jika cacing tersebut sudah dalam keadaan mati karena justru akan menjadi racun bagi benih. Cacing sutera idealnya direndam dengan air bersih selama satu malam sebelum diberikan kepada benih. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan polutan yang mungkin masih menempel pada cacing. Jumlah pakan yang diberikan juga harus diperhatikan, karena sisa pakan yang tidak termakan akan membusuk dan mencemari air pada akuarium pemeliharaan. Penyakit lain yang sering menyerang benih patin di DFC adalah penyakit White spot. Penyakit ini disebabkan oleh parasit yang biasanya berasal dari air akuarium yang terkontaminasi. Air yang digunakan oleh DFC untuk memelihara benih patin adalah air sumur, air tersebut sebelumnya sudah disaring terlebih dahulu dan didiamkan beberapa jam didalam tandon. Hal ini untuk menjaga kualitas air agar tetap baik. Tetapi tandon yang dibuat oleh DFC, tidak memiliki atap penutup seluruhnya, hanya ¾ bagian atap yang tertutup, sedangkan ¼ bagian terbuka begitu saja. Hal tersebut menyebabkan pada saat turun hujan, air hujan masuk kedalam tandon dan mencemari air dalam tandon. Air yang seharusnya berkualitas didalam tandon yang telah mengalami proses penyaringan, malah menjadi tercemar. Strategi preventif yang diusulkan adalah dengan menutup seluruh atap tandon sehingga pada saat turun hujan, air hujan tidak masuk ke dalam tandon, 69 sehingga air yang berada dalam tandon tetap terjaga kualitasnya. Pembersihan tandon juga sangat penting, hal ini dikarenakan pada saat penyaringan tidak seluruh kotoran dapat tersaring dengan baik sehingga menyebabkan ada beberapa kotoran yang mengendap didasar tandon dan juga terdapat lumut dalam tandon. Tandon sebaiknya dibersihkan satu minggu sekali, hal ini dapat mencegah air yang tercemar masuk kedalam air akuarim pemeliharaan benih patin. Strategi preventif tambahan yang diusulkan adalah apabila benih patin sudah terkena penyakit, sebaiknya benih patin tersebut dipisahkan dari benih yang sehat, lalu diobati secara intensif. Hal tersebut untuk mencegah agar penyakit tidak menyebar kepada benih yang lain. Pengggunaan selang sipon juga harus diperhatikan dengan baik, setelah membersihkan kotoran di dalam akuarim dengan selang sipon, pihak perusahaan harus merendam terlebih dahulu dengan air garam sebelum digunakan untuk menyipon akuarium yang lain. Hal tersebut mencegah apabila disatu akuarium terdapat bakteri atau virus yang menyebabkan penyakit, tidak menyebar kepada akuriun lainnya melalui selang sipon. b. Sumber risiko produksi perubahan suhu air Sistem pemeliharaan benih patin di DFC dilakukan di dalam ruangan tertutup. Hal tersebut dilakukan karena suhu ideal benih patin untuk hidup, yaitu antara 28°-29°C. Pada beberapa periode produksi yang terjadi di DFC, pihak DFC kurang mengontrol suhu didalam ruangan tersebut, sehingga pada saat hujan disiang hari atau pada malam hari yang menyebabkan suhu dalam ruangan turun secara signifikan, tidak diperhatikan, padahal di DFC telah tersedia kompor untuk menaikan suhu yang ada didalam ruangan. Begitu pula pada kondisi siang hari yang sangat panas yang menyebabkan suhu ruangan meningkat signifikan. Hal tersebut yang menyebabkan benih patin yang ada di DFC mati. Strategi preventif yang diusulkan terkait dengan upaya untuk mencegah fluktuasi suhu air melebihi batas yang bisa ditolerir oleh benih patin adalah dengan membuat jadwal kepada karyawan DFC untuk mengontrol suhu air yang ada didalam ruangan. Hal tersebut untuk mengetahui suhu air yang ada didalam ruangan agar tetap stabil, terutama pada saat malam hari. Pada malam hari, terkadang karyawan DFC kurang memperhatikan suhu air yang ada didalam ruangan. Padahal pada malam hari suhu akan turun secara signifikan, apalagi jika 70 hujan dimalam hari. Hal tersebut bisa membuat suhu berubah secara ekstrim. Kondisi pada siang hari juga perlu diperhatikan, karena pada siang hari suhu diluar akan tinggi dan menyebabkan suhu dalam ruangan juga akan meningkat secara signifikan. Pada saat malam hari, karyawan DFC harus menyalahkan kompor, hal ini bisa mencegah perubahan suhu air yang signifikan dalam ruangan. Apalagi pada saat turun hujan, kompor sangat berperan untuk menaikan suhu air dalam ruangan. Langkah tersebut juga harus dikontrol secara baik, agar kompor yang digunakan tepat untuk menaikan suhu menjadi ideal untuk benih patin. Pada siang hari juga pegawai DFC harus memperhatikan suhu air, apabila suhu air meningkat secara signifikan, pihak DFC harus membuka pintu diruangan agar suhu yang ada didalam ruangan menjadi turun. Hal tesebut tentunya bisa mencegah perubahan suhu air yang ekstrim di dalam ruangan, tetapi apabila terjadi hujan pada siang hari, pihak DFC harus menutup kembali pintu ruangan tersebut. Hal ini dilakukan agar suhu air dalam ruangan tetap stabil. c. Sumber risiko produksi kesalahan penyuntikan induk Dalam melakukan pembenihan patin siam, pihak DFC melakukan penyuntikan kepada induk patin, hal tersebut agar merangsang induk patin bisa dipijahkan secara buatan. Penyuntikan yang dilakukan oleh DFC belum baik, hal ini dilihat dari banyaknya induk yang mati setelah proses penyuntikan pada periode produksi yang lalu. Strategi preventif yang diusulkan kepada perusahaan adalah dengan mengikuti pelatihan penyuntikan ke BBAT Subang. Hal ini dikarenakan BBAT Subang merupakan salah satu tempat terbaik untuk melakukan pelatihan penyuntikan, terbukti dengan banyaknya para ahli untuk menyuntik ikan patin yang berasal dari sana. Hal tersebut merupakan langkah yang paling utama yang harus segera dilakukan oleh pihak DFC untuk mencegah lebih banyak ikan yang mati karena kesalahan dalam penyuntikan. Strategi preventif lainnya yang dapat dilakukan untuk saat ini adalah dengan memperhatikan dosis penyuntikan secara hati-hati. Agar tidak terjadi kekurangan dosis yang menyebabkan telur didalam induk tidak bisa keluar pada saat proses stripping serta kombinasi dari dosis yang digunakan juga. DFC menggunakan 2 obat penyuntikan, yaitu chorullon dan ovaprim. Seharusnya pihak 71 DFC menggunakan obat ovaprim saja. Berdasarkan wawancara dengan ahli patin, yaitu Bapak Nirwan dari bekasi. Obat chorullon tidak bagus untuk digunakan karena chorullon mempunyai fungsi untuk mematangkan telur induk sehingga telur tersebut akan matang secara terpaksa. Padahal telur yang bagus adalah telur yang matang secara alami pada saat induk dipelihara di kolam. Memasukan dosis ke dalam suntikan juga merupakan hal yang penting. Apabila didalam suntikan masih terdapat gelembung udara, maka induk yang disuntik akan mati. Pihak DFC memasukan obat ke dalam suntikan biasanya pada malam hari, sebelum melakukan penyuntikan. Hal tersebut seharusnya dilakukan pada sore hati dikarenakan pada sore hati lebih terlihat gelembung udara masih terdapat dalam suntikan atau tidak. Berbeda dengan malam hari yang hanya mengandalkan cahaya lampu, yang memungkinkan gelembung udara masih berada didalam suntikan. Strategi preventif lainnya adalah dengan menggunakan jasa orang yang ahli dalam proses penyuntikan. Hal ini, memang memerlukan biaya tambahan untuk membayarnya, tetapi uang yang dikeluarkan tentunya tidak akan sia-sia karena telur yang dihasilkan akan optimal serta persentase induk yang mati juga akan hilang. Apabila telur yang dihasilkan banyak, tentunya larva yang dihasilkan juga akan banyak dan berdampak kepada kenaikan keuntungan di DFC. Strategi preventif yang diusulkan bertujuan untuk mencegah terjadinya risiko produksi yang disebabkan oleh sumber-sumber risiko produksi yang ada pada usaha pembenihan patin siam di DFC. Upaya pencegahan terjadinya risiko produksi tersebut diharapkan dapat menurunkan probabilitas terjadinya risiko produksi dari besar menjadi kecil. Usulan strategi preventif risiko produksi pada peta risiko dapat dilihat pada Gambar 8. 72 Probabilitas Besar 28 Kecil Dampak Rp Kecil Rp 6.418.750 Besar Pada Gambar 8 dapat dilihat usulan strategi preventif untuk menangani sumber risiko produksi yang terdapat pada kuadran 1 dan kuadran 2. Hasil dari aplikasi strategi preventif ini bertujuan untuk memperkecil probabilitas terjadinya risiko produksi yang disebabkan oleh sumber-sumber risiko, sehingga diharapkan sumber-sumber risiko produksi yang yang sebelumnya berada pada kuadran 1 dan kuadran 2 yang memiliki probabilitas besar dapat bergeser ke kuadran 3 dan kuadran 4 yang merupakan tempat untuk sumber risiko produksi dengan probabilitas kecil. Strategi preventif yang digunakan untuk menangani sumber- sumber risiko yang ada di DFC adalah dengan memperbaiki sistem dan prosedur dalam pembenihan patin siam serta membuat aturan dan kebijakan. Hal ini terlihat dari prosedur pemberian dosis pada proses penyuntikan induk yang harus diperbaiki, sistem pemberian pakan cacing sutera yang harus diperbaiki untuk benih patin siam serta membuat jadwal kepada karyawan untuk mengontrol suhu ruangan didalam ruang hatchery. - Tidak memberikan cacing sutera sebagai pakan apabila tidak segar - Menutup seluruh atap tandon air - Memisahkan benih yang terkena penyakit - Merendam selang sipon dengan air garam - Membuat jadwal untuk mengontrol suhu ruangan - Mengikuti pelatihan penyuntikan di BBAT Subang - Memperhatikan dosis obat dalam penyuntikan Menggunakan jasa orang yang ahli dalam proses penyuntikan Gambar 8. Usulan Strategi Preventif Risiko Produksi 73 2. Strategi Mitigasi Strategi mitigasi dilakukan untuk menangani sumber risiko produksi yang terdapat pada kuadran 2 dan kuadran 4, yaitu risiko potensi benih patin yang hilang akibat kesalahan penyuntikan induk dan penurunan benih patin yang disebabkan oleh musim kemarau. Usulan strategi mitigasi untuk menangani sumber risiko produksi tersebut adalah sebagai berikut: a. Sumber risiko produksi kesalahan penyuntikan induk Sumber risiko produksi yang terdapat pada kuadran 2 adalah kesalahan penyuntikan induk. pengaruh kesalahan penyuntikan induk tidak langsung berdampak kepada kematian benih patin siam di DFC, tetapi berdampak terhadap telur yang nantinya akan dihasilkan pada periode berikutnya. Ada berbagai kesalahan penyuntikan induk yang dilakukan oleh pihak DFC, diantaranya adalah apabila terjadi kesalahan penyuntikan induk karena kekurangan dosis akan mengakibatkan telur tidak keluar di dalam perut induk betina dan akan menyebabkan kematian pada induk tersebut. Kesalahan penyuntikan induk yang lainnya adalah jarum suntik yang digunakan dalam proses penyuntikan mengenai tulang punggung si induk, hal tersebut dapat menyebabkan kematian bagi induk. Kesalahan penyuntikan yang terakhir adalah obat di dalam suntikan masih terdapat gelembung udara, hal tersebut juga dapat menyebabkan induk akan mati setelah proses penyuntikan. Usulan strategi mitigasi untuk mengurangi dampak kerugian karena sumber risiko produksi kesalahan penyuntikan induk adalah dengan menambahkan dosis yang digunakan dengan segera, apabila terjadi kekurangan dosis pada induk. Hal ini bisa terlihat dari 12 jam setelah penyuntikan kedua, setelah 12 jam penyuntikan kedua, induk betina akan melalui proses stripping yaitu proses pengurutan perut induk betina agar telur di dalam perutnya bisa keluar. Apabila dalam proses stripping telur tidak bisa keluar dari dalam perut indukan, pihak DFC harus menambahkan dosis kepada induk tersebut, dikarenakan apabila dalam proses stripping telur tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan kemungkinan telur untuk keluar dari perut si induk sangat kecil. Dengan pemberian dosis tambahan, telur yang ada di dalam perut akan keluar semuanya dari perut indukan dalam 10-15 menit kemudian, sehingga induk 74 tersebut tidak akan mati dikarenakan tidak ada telur yang tersisa di perut induk. Meskipun ada kemungkinan telur tersebut keluar jika tidak ditambahkan dosis obat, akan tetapi kualitas telurnya akan menurun dan juga telur yang keluar tidak akan seluruhnya. Apabila telur tidak keluar seluruhnya dalam perut induk, maka induk tersebut akan mati karena sisa telur tersebut akan membusuk di perut si induk. Untuk kesalahan penyuntikan yang disebabkan oleh jarum suntik yang mengenai tulang punggung dan di dalam suntikan masih terdapat gelembung udara sulit untuk dikurangi dampaknya, karena apabila hal tersebut terjadi maka induk tersebut pasti akan mati. Kesalahan tersebut hanya bisa diatasi dengan strategi preventif yang telah dijelaskan sebelumnya. b. Sumber risiko produksi musim kemarau Pada musim kemarau, induk patin akan mengalami penurunan produksi telur yang dihasilkan. Pengaruh musim kemarau terhadap penurunan produktivitas telur yang dihasilkan oleh induk patin siam memang relatif tidak dapat dicegah karena berkaitan dengan faktor alam, tetapi dapat dilakukan upaya atau strategi tertentu untuk mengurangi dampak kerugian yang disebabkan oleh pengaruh musim kemarau tersebut. Usulan strategi mitigasi yang diajukan untuk menangani risiko penurunan produksi akibat pengaruh musim kemarau adalah dengan melakukan pemeliharaan induk patin siam secara intensif, khususnya dalam hal pemberian pakan. Kualitas dan kecukupan pakan yang diberikan pada induk patin siam akan mempengaruhi kemampuan indukan dalam menghasilkan telur. Berdasarkan hasil wawancara dengan penyuluh di BBAT Subang diketahui bahwa kandungan dari pakan yang paling penting untuk diperhatikan agar penurunan produksi telur tidak semakin drastis selama musim kemarau adalah protein. Oleh karena itu, pada masa pemeliharaan pemberian pakan yang mengandung protein tinggi penting untuk diperhatikan. Protein adalah senyawa organik kompleks yang tersusun atas banyak asam amino yang diperlukan untuk penyusunan tubuh dan pertumbuhan ikan. Kebutuhan patin siam terhadap protein lebih besar dibandingkan dengan jenis ikan karnivora dan herbivora. Umumnya kebutuhan ikan terhadap protein berkisar antara 20-60 persen, sedangkan kadar optimal berkisar antara 32-40 persen. Pakan patin yang baik harus mengandung protein minimal 30 persen. Menurut Susanto 75 2009, secara garis besar fungsi protein dalam tubuh ikan adalah untuk: a sebagai sumber energi bagi ikan; b berperan dalam pertumbuhan maupun pembentukan jaringan tubuh; c mengganti jaringan tubuh yang rusak; d berperan dalam pembentukan gonad; e komponen utama pembentuka enzim dan hormon; f berperan dalam proses metabolism dalam tubuh ikan. Pakan yang mengandung protein tinggi diusulkan untuk diberikan terdiri atas dua jenis, yaitu pakan buatan pabrik dan pakan tambahan. Pakan buatan atau pellet merupakan pakan utama bagi induk patin siam. Pelet yang baik untuk diberikan adalah pellet apung yang umumnya memiliki kandungan protein minimal 30 persen, seperti pelet dengan kode PL 3 dan vitality. Sementara itu, terdapat beberapa pilihan pakan berprotein tinggi yang dapat diberikan sebagai pakan tambahan bagi induk patin siam, seperti keong mas dan cumi-cumi. Keong mas yang akan diberikan sebagai pakan terlebih dahulu direbus dalam air yang mendidih, kemudian dipisahkan dari cangkangnya, lalu dicacah dan selanjutnya diberikan kepada induk patin siam. Hal yang hampir sama juga dilakukan pada cumi-cumi yang harus direbus terlebih dahulu sebelum diberikan kepada induk patin siam. Pemberian pakan dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang ditetapkan. Pada periode musim kemarau sebaiknya ukuran pakan pelet yang diberikan adalah sebanyak 3 persen dari bobot induk patin siam dengan frekuensi pemberian pakan minimal 3 kali dalam satu hari. Sementara itu, pakan tambahan yang dapat diberikan untuk melengkapi pemberian pelet dengan takaran untuk pakan keong mas adalah sebanyak 1 kilogram untuk sekitar 40 ekor induk, sedangkan untuk cumi-cumi adalah sebanyak 1 kilogram juga untuk sekitar 60 ekor induk. pemberian pakan tambahan ini dapat dilakukan sebanyak 1-2 kali setiap dua minggu. Selain perhatian khusus terhadap pemberian pakan, aspek-aspek lainnya seperti kondisi dan kualitas serta kebersihan kolam harus tetap dijaga untuk menunjang aplikasi strategi mitigasi yang dilakukan. Usulan strategi mitigasi lainnya adalah dengan membudidayakan kembali ikan hias tiger catfish yang ada di DFC. Hal tersebut mengingat bahwa sumber risiko produksi musim kemarau sulit untuk dikendalikan karena disebabkan oleh faktor alam. Pada saat ini, indukan ikan hias tiger catfish masih banyak di DFC. 76 Indukan tersebut berasal dari usaha pembenihan ikan hias yang pernah dilakukan oleh DFC pada tahun 2004 sampai tahun 2008. Hal tersebut juga didukung dengan pengalaman para karyawan yang pernah membudidayakan ikan tiger catfish selama 4 tahun, sehingga para karyawan sudah mengerti cara untuk memelihara ikan tiger catfish. Permintaan untuk ikan hias juga sangat prospektif untuk saat ini. Hal ini terlihat dari perkembangan produksi ikan hias di Kabupaten Bogor tahun 2009-2010 yang meningkat dari 104.603.000 ekor menjadi 112.085.000 ekor Dinas peternakan dan perikanan kabupaten Bogor, 2010. Dengan membudidayakan ikan hias tiger catfish kembali, pihak DFC tentunya bisa mengurangi dampak kerugian benih patin pada saat musim kemarau. Apalagi untuk saat ini harga ikan hias tiger catfish mencapai harga Rp.1.000 sampai Rp. 1.500 per ekornya. Adanya diversifikasi produk ikan patin siam dan ikan tiger catfish di DFC tentunya akan meminimalkan kerugian yang dialami oleh DFC. Hal tersebut dikarenakan apabila usaha patin mengalami kerugian, maka kerugian tersebut bisa ditutupi dengan usaha tiger catfish, begitu pula sebaliknya. Apabila usaha tiger catfish mengalami kerugian, maka kerugian tersebut bisa ditutupi dengan usaha patin. Meskipun ada kemungkinan kedua usaha tersebut mengalami kerugian bersamaan, tetapi kemungkinan tersebut sangat kecil sekali dikarenakan permintaan untuk ikan hias yang selalu meningkat setiap tahunnya. Hasil dari aplikasi usulan strategi mitigasi tersebut, diharapkan dapat mengurangi atau meminimalisir terjadinya penurunan produksi telur yang diakibatkan pengaruh musim kemarau, sehingga dampak kerugian yang diderita akibat terjadinya penurunan produksi tersebut dapat dikurangi. Usulan strategi mitigasi risiko pada peta risiko dapat dilihat pada Gambar 9. 77 Probabilitas Besar 28 Kecil Dampak Rp Kecil Rp 6.418.750 Besar Pada Gambar 9 dapat dilihat usulan strategi mitigasi yang dapat dilakukan untuk menangani sumber risiko produksi kesalahan penyuntikan induk adalah dengan menambahkan dosis yang digunakan dengan segera, apabila terjadi kekurangan dosis pada induk, sedangkan untuk menangani sumber risiko produksi musim kemarau adalah dengan melakukan pemberian pakan pada induk patin siam secara intensif dan membudidayakan kembali ikan hias tiger catfish di DFC. Hasil dari aplikasi strategi mitigasi ini bertujuan untuk memperkecil dampak dari terjadinya risiko produksi yang disebabkan oleh sumber risiko produksi, sehingga diharapkan sumber-sumber risiko produksi yang sebelumnya berada pada kuadran 2 dan kuadran 4 yang memiliki dampak besar dapat bergeser ke kuadran 1 dan kuadran 3 yang merupakan tempat untuk sumber risiko produksi dengan dampak kecil. Strategi mitigasi yang digunakan di DFC diantaranya dengan melakukan diversifikasi produk yaitu, dengan membudidayakan kembali ikan hias tiger catfish di DFC serta memperbaiki sumber daya manusia yang ada di DFC. Usulan strategi penanganan risiko produksi berdasarkan peta risiko memang lebih mengutamakan penanganan terhadap risiko yang berada pada kuadran 1, 2, dan 4 karena pada kuadran-kuadran tersebut terdapat risiko dengan probabilitas dan dampak yang besar. Akan tetapi, keadaan tersebut tentu tidak lantas menjadikan sumber risiko produksi yang berada pada kuadran 3 yang memiliki probabilitas dan dampak yang kecil menjadi terabaikan, karena pada - Menambahkan dosis yang digunakan dengan segera, apabila terjadi kekurangan dosis pada induk. - melakukan pemberian pakan induk patin secara intensif - membudidayakan kembali ikan hias tiger catfish Gambar 9. Usulan Strategi Mitigasi Risiko Produksi 78 hakikatnya dengan melakukan penanganan terhadap sumber-sumber risiko tersebut, pihak DFC dapat mencegah terjadinya kerugian yang diakibatkan terjadinya risiko produksi tersebut. Oleh karena itu, usulan strategi penanganan terhadap risiko produksi yang terdapat pada kuadran 3 juga akan dirumuskan. Strategi yang dirumuskan akan mengutamakan aspek preventif atau pencegahan terjadinya risiko tersebut. Sumber risiko produksi yang berada pada kuadran 3 terdiri atas dua faktor, yaitu kesalahan dalam melakukan seleksi induk dan kanibalisme yang terjadi pada tahap larva. Pencegahan terjadinya risiko yang disebabkan sumber-sumber risiko tersebut tentu akan menjadi hal yang diutamakan dari strategi yang akan diajukan. Kesalahan dalam melakukan seleksi induk lebih banyak disebabkan faktor kelalaian pembudidaya yang tidak mengikuti setiap urutan prosedur yang selayaknya harus dilalui dalam melakukan kegiatan penyeleksian induk yang akan dipijahkan. Oleh karena itu, strategi yang diusulkan untuk mencegah terjadinya hal tersebut adalah dengan menganjurkan pembudidaya untuk mengikuti setiap prosedur yang telah ditentukan dalam melakukan seleksi indukan yang meliputi pemeriksaan umur, ukuran tubuh, kondisi kelamin, kandungan telur, serta kondisi tubuh dari calon indukan yang akan dipijahkan. Sumber risiko produksi kanibalisme terjadi pada tahap larva. Pada tahap larva, patin siam merupakan hewan yang bersifat karnivaro, sedangkan setelah dewasa patin siam bersifat omnivora. Saat larva berumur 1 hari, larva belum diberikan makan, hal tersebut dikarenakan larva masih mempunyai cadangan makanan berupa yolk sack atau kuning telur. Setelah larva berumur 2 hari, larva sudah mulai diberikan makan berupa artemia sampai hari ke 3. Dalam rentang waktu tersebut, larva harus diberikan makan artemia setiap dua jam sekali. Apabila waktu pemberian pakan tersebut tidak tepat, maka tingkat kanibalisme larva akan tinggi. Berdasarkan wawancara dengan pengelola, hal tersebut yang sering terjadi di DFC yang menyebabkan banyak larva yang mati karena kanibalisme. Strategi yang diusulkan untuk mencegah kanibalisme terjadi pada tahap larva adalah dengan memberikan pakan secara teratur kepada larva. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat jadwal pemberian pakan setiap harinya. Dengan 79 adanya jadwal yang dibuat, tentunya setiap karyawan telah mengetahui kapan waktu untuk memberikan pakan kepada larva. Dengan demikian larva akan terus terkontrol kebutuhan makanannya. Kuantitas dari pakan yang diberikan kepada larva juga harus diperhatikan dengan baik. Apabila pakan yang diberikan kepada larva kurang, tentunya sifat kanibalisme masih akan terjadi. Namun apabila pakan yang diberikan kepada larva terlalu banyak, maka akan berdampak negatif juga bagi larva. Hal tersebut dikarenakan pakan yang tidak habis oleh larva, akan mengendap didasar akuarium yang selanjutnya akan menjadi racun bagi larva itu sendiri. Di DFC pemberian pakan artemia dilakukan dari hari ke 2 sampai hari 3, sedangkan pada hari ke 4 dan hari ke 5 pakan yang diberikan kepada larva masih artemia, tetapi sudah di campur dengan pakan cacing sutera yang sudah dicincang halus. Menurut buku panduan pembenihan patin yang baik, seharusnya pemberian pakan artemia utuh harus diberikan dari hari ke 2 sampai hari ke 7, hal ini untuk mengurangi kanibalisme pada larva. Apabila larva sudah diberikan pakan cacing sutera pada hari ke 4 dan ke 5 kemungkinan larva untuk bisa memakannya sangat kecil. Apalagi jika cincangan cacing sutera tersebut tidak halus atau masih kasar, larva patin tidak akan bisa memakan dikarenakan mulut dari larva yang belum terlalu besar. Strategi tambahan lainnya yang cukup penting adalah ketelitian untuk memisahkan antara cangkang artemia dengan naupli artemia. Naupli artemia diperoleh dengan cara mengkultur cyste artemia dengan air yang dicampur dengan dua bungkus garam dapur serta diberikan diaerasi, cyste akan menetas dalam waktu 15 jam. Pada saat cyste sudah menetas, naupli artemia akan terpisah dengan cangkangnya. Naupli artemia akan berada didasar air sedangkan cangkangya akan berada diatas air. Pada saat pemisahan antara cangkang artemia dengan naupli artemia, pihak DFC harus membuang terlebih dahulu cangkangnya dengan menggunakan selang sipon, sebelum melakukan proses penyaringan. Hal ini mencegah agar cangkang artemia tidak tercampur dengan naupli artemia ketika diberikan kepada larva. Apabila cangkang artemia ikut tercampur dengan naupli artemia, dan cangkang artemia tersebut ikut termakan oleh larva, maka akan menyebabkan kematian bagi larva. Prosedur pemisahan tersebut harus diperhatikan dengan baik agar tingkat kematian larva bisa ditekan seminimal mungkin. 80 VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan