Judul yang diambil Media Indonesia “SBY Tolak Bawa Gayus ke KPK” menunjukkan bahwa SBY tidak mengikuti anjuran dari pihak lain. Media Indonesia
mengambil angle bahwa presiden menolak anjuran dari pihak lain untuk menyerahkan kasus Gayus ke KPK. Media Indonesia menunjukkan dalam beritanya
bahwa kinerja KPK lebih baik dari pada Kepolisian. Media Indonesia menonjolkan pernyataan banyaknya dukungan dari berbagai pihak, seperti Mahfud MD, Din
Syamsuddin, dan ICW untuk menyerahkan kasus ini ke KPK. Media Indonesia memposisikan dirinya sebagai media pengkritisi pemerintahan SBY, Media Indonesia
menilai SBY justru harus bertindak tegas meminta pertanggungjawaban kapolri karena menurut undang-undang. Kapolri berada di bawah Presiden. Presiden harus
menggintervensi kasus Gayus karena kasus tersebut telah mencoreng wibawa kepolisian, instansi penegak hukum yang posisinya di bawah presiden.
C. Analisis Perbandingan Framing Republika dan Media Indonesia
Dari hasil temuan dengan perangkat Framing Entman yang telah penulis dapatkan, penulis melihat adanya sudut pandang yang berbeda dari Republika dan
Media Indonesia pada kasus Gayus. Menurut penulis, Republika melihat kasus Gayus ini sebagai kasus hukum. Hal tersebut terlihat dari pemberitaan Republika yang hanya
menonjolkan aspek hukum saja. Semua permasalahan terkait Gayus ditarik ke dalam wilayah hukum. Misalnya saja terkait kasus keluarnya Gayus dari rutan dan pergi ke
Bali, Republika hanya mengaitkan kasus tersebut pada adanya penyuapan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat rutan sebagai instansi penegak
hukum. Republika terlihat hanya menyajikan fakta yang ada di lapangan tapi tidak
mengembangkan dugaan-dugaan yang beredar, seperti adanya isu bertemunya Gayus dengan Abu Rizal Bakrie.
“Kenapa kita bicara soal kelalaian pihak rutan, karena yang paling utama dari kasus ini adalah kenapa dengan mudahnya Gayus bisa keluar dari
penjara. Kalau kemudian kita mengacu, ini lebih kepada profesional saja, mengenai sudut pandang saja bahwa ada petemuan gayus dengan Ical,
faktanya seperti apa, apakah lebih kepada soal penggelapan pajak yang konon diduga adalah sebagian perusahaan milik Ical, kita tidak mauk ke situ, karena
tidak ada bukti, tidak ada fakta dan tidak ada data. Itu hanya praduga. “
99
Dalam keseluruhan berita di Republika terkait kasus Gayus, Republika menilai aparat penegak hukum yang menjadi penyebab masalah. Misalnya saja dalam
kasus penyuapan yang dilakukan Gayus kepada kepala rutan dan petugas jaga, Republika menilai itu merupakan bukti bahwa mental para penegak hukum di
Indonesia masih lemah. Polisi sebagai penegak hukum dalam kasus ini diperlihatkan telah menyalahgunakan wewenangnya. Apalagi asus Gayus ini sudah melebar. Kasus
Gayus yang semula berawal dari kasus mafia pajak berubah menjadi kasus mafia hukum setelah ditemukan adanya keterlibatan oknum polisi, kejaksaan, dan hakim
dalam rekayasa kasusnya. Solusi yang ditawarkan Republika juga terkait pada penanganan hukum. Republika menilai hukum perlu ditegakkan. Republika
merekomendasikan agar polisi tidak pandang bulu dalam menghukum semua yang terlibat, Bahkan Republika menilai perlu adanya reformasi birokrasi di instansi
penegak hukum di Indonesia.
99
Wawancara pribadi dengan Irwan Ariefyanto, Redpel II Harian Republika, Jakarta, 5 Mei 2011.
Berbeda dengan Republika, Media Indonesia yang terkenal dengan kekritisannya cenderung mengaitkan kasus Gayus ini tidak hanya pada masalah
hukum saja, tetapi sudah masuk ke ranah politik. Media Indonesia melihat kasus Gayus bukan hanya permasalahan adanya penyalahgunaan wewenang dan kuatnya
kultur koruptif yang dilakukan oleh instansi yang secara konstitusional berada di bawah presiden, yakni Ditjen Pajak, Kepolisian, dan Kejaksaan. Kasus Gayus ini
menurut Media Indonesia telah dikaitkan dan dimanipulasi secara politis demi kepentingan kekuasaan. Dalam pemberitaan di Media Indonesia, kepergian Gayus ke
Bali memunculkan spekulasi Gayus ke Bali untuk bertemu dengan tokoh politik. Meski tidak menyebut dengan pasti siapa tokoh politik tersebut, Media Indonesia
terlihat menggiring pembaca pada satu nama, yakni Abu Rizal Bakrie. Kontan dugaan ini langsung dihubungkan dengan Partai Golkar. Selain itu, Media Indonesia
menonjolkan tudingan keberadaan Satgas sebagai alat politik penguasa. Tudingan tersebut dimunculkan terkait keinginan presiden untuk tetap menyerahkan kasus
Gayus kepada kepolisian meski lembaga tersebut sudah jatuh citranya. Media Indonesia menilai pemerintah, dalam hal ini presiden harus melakukan interfensi
dalam penyelesaian kasus Gayus. Presiden harus mengambil langkah berani untuk membenahi wajah penegak hukum di Indonesia.
Seperti yang penulis telah sampaikan, latar belakang penulis memilih Republika dan Media Indonesia sebagai objek penelitian adalah karena berita yang
penulis teliti terkait dengan kasus Gayus, dimana ada isu kedekatan Abu Rizal Bakrie, pengusaha sekaligus politisi Partai Golkar. Penulis berasumsi Republika
memiliki kedekatan dengan Abu Rizal Bakrie terkait dengan Erick Tohir dan ICMI. Meskipun hal tersebut dibantah oleh pihak Republika dari hasil wawancara penulis
dengan Redaktur Pelaksana II Republika, Irwan Ariefianto: “Republika memang pada awalnya didirikan oleh ICMI, namun sejak
tahun 2000 sebagian besar sahamnya dibeli oleh MAHAKA MEDIA, yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh keluarga Erick Tohir. Erick Tohir tidak ada
hubungannya dengan Abu Rizal Bakrie, kalaupun ada hubungannya dia pernah menjadi Direktur Utama TV 1, dan sekarang sudah tidak ada. Itupun
sebatas hubungan profesional. Jadi tidak ada hubungannya ketika kasus ini melesat, kita seolah-
olah menyembunyikan keterlibatan Abu Rizal Bakrie.”
100
Sedangkan Surya Paloh, pemilik Media Indonesia adalah tokoh yang sebagian besar publik menyatakan sebagai “lawan politik” Abu Rizal Bakrie. Selain itu, Media
Indonesia yang dimiliki Surya Paloh juga diketahui sangat intens dalam mengkritisi pemerintahan SBY. Penulis tetap menggunakan asumsi tersebut dalam penelitian ini.
Penulis tidak banyak menemukan berita di Republika yang membahas dugaan keterkaitan Abu Rizal Bakrie, jikapun ada Republika menonjolkan penyangkalan
Abu Rizal Bakrie baik yang disampaikan secara langsung oleh Abu Rizal Bakrie maupun dari pihak yang mewakili Abu Rizal Bakrie. Redaktur Pelaksana II
Republika, Irwan Ariefiyanto mengatakan: “Kalau kemudian kita mengacu, ini lebih kepada profesional saja,
mengenai sudut pandang saja bahwa ada petemuan Gayus dengan Ical, faktanya seperti apa, apakah lebih kepada soal penggelapan pajak yang konon
diduga adalah sebagian perusahaan milik Ical, kita tidak mauk ke situ, karena tidak ada bukti, tidak ada fakta dan tidak ada data. Itu hanya praduga. “
101
100
Wawancara pribadi dengan Irwan Ariefyanto, Redpel II Harian Republika, Jakarta,5 Mei 2011 pukul 05:45 WIB.
101
Ibid.
Dari pernyataan Irwan tersebut bisa diambil kesimpulan Republika hanya memberitakan fakta saja, adapun dugaan yang ada tidak dikembangkan oleh
Republika. Berbeda dengan Republika, di periode November pemberitaan Media
Indonesia terlihat menggiring pembacanya pada adanya kemungkinan tokoh di balik kasus Gayus. Berulang kali pada berita-berita yang berbeda, Media Indonesia selalu
mengungkapkan “Abu Rizal Bakrie juga berada di Bali menonton pertandingan tenis” atau “Gayus pernah menerima suap dari tiga perusahaan milik Grup Bakrie”. Dalam
beritanya Media Ind onesia menggunakan istilah “tokoh politik yang juga pengusaha”
atau “tokoh politik yang berpengaruh”. Ditekankan lagi dalam pemberitaannya Media Indonesia menyebutkan Gayus ke Bali diduga menemui tokoh politik untuk
menghilangkan jejak suap kasus pajak. Menurut Kadiv Content Enrichment Media Indonesia yang penulis wawancarai mengatakan:
“Gayus itu terlalu kecil, ia hanya Pegawai negeri Gol.III A, gaji pegawai negeri sekitar 10 jutabulan. Kalau anda membagi 100 miliyar
dengan 10 juta gaji gayus tanpa belanja tanpa dipakai gajinya hanya ditabung saja, itu membutuhkan waktu sekitar ½ abad, 50 tahun. Luar biasa. Gayus
seorang pegawai kecil yang menangani masalah banding pajak, pajak besar, berarti perusahaannya besar. Semakin besar perusahaannya maka semain
besar pajaknya. Itu berarti, Gayus berhubungan dengan orang-orang besar. Fakta lain seputar Gayus, dari awal misalnya ia mendapatkan uang 28
Miliyar, tapi yang dituntut PN Tangerang sekitar 300 juta. Jadi banyak kejanggalan seputar kasus gayus. Pertanyaan kita adalah ada apa dengan
Gayus, kita berasumsi bahwa gayus tidak sendirian. Ia bekerja untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya, nah sesuatu itu yang selalu dikejar oleh Media
Indonesia sampai sekarang”
102
102
Wawancara pribadi dengan Kepala Divisi Content Enrichment Media Indonesia Gaudensius Suhardi, Jakarta, 31 Januari 2011.
Menurut Kurt Lang dan Gladys Engel Lang, media massa memaksakan perhatian pada isu-isu tertentu. Media massa membangun citra publik tentang figur-
figur politik. Media massa secara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukkan apa yang hendaknya dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan
individu-individu dalam masyarakat.
103
Media Indonesia terlihat secara konstan menghadirkan isu keterkaitan Abu Rizal Bakrie dengan kasus Gayus, sedangkan
Republika justru sebaliknya menghadirkan penyangkalan Abu Rizal Bakrie yang menyatakan isu tersebut sebagi intrik politik belaka mengingat dia adalah ketua
umum Partai Golkar yang memiliki dukungan besar di berbagai daerah. Warren Breed dalam artikel
“social control in the newsroom” mengamati bahwa penerbit surat kabar, sebagai pemilik atau representasi pemilik, memiliki hak
untuk menetapkan dan memberlakukan kebijakan surat kabar. Yang dimaksud Breed sebagai kebijakan adalah orientasi yang diperlihatkan oleh surat kabar dalam
editorialnya, kolom beritanya, dan berita utamanya berkenaan dengan kejadian atau permasalahan tertentu. Pandangan surat kabar tak akan menimbulkan
pembohongan, melainkan “penghilangan, pemilihan diferensial, dan penempatan preferensial, seperti „menampilkan di halaman depan‟ berita yang pro-kebijakan,
„mengubur‟ berita yang anti-kebijakan, dan sebagainya.
104
Tidak ada bahan objektif yang didapatkan oleh reporter. Semua yang ditulis reporter dipengaruhi oleh
orientasi, misi, visi, dan kebijakan media yang bersangkutan, emosi reporter. Dengan
103
Warner J. Severin dan James Tankard, Teori Komunikasi. Jakarta : Prenada Media Group, 2007, h. 264.
104
Ibid, h.401-402.
kata lain, “warna” setiap media ditentukan oleh kecenderungan personal, konteks sosial, dan budaya yang melingkupi gatekeeper. Bentuk dari pelaksanaan gatekeeper
adalah kebijakan redaksional. Tagline
Media Indonesia “jujur bersuara” memengaruhi politik redaksional yang diimplementasikan dalam pengkonstruksian pemberitaanya. Terkait kasus
Gayus, Media Indonesia menilai tidak ada fakta yang disembunyikan dihadapan publik, selalu tampil apa adanya tanpa basa-basi. Berita di Media Indonesia menurut
penulis cukup merepresentasikan Surya Paloh sebagai pemiliknya. Surya Paloh seperti yang kita ketahui, dikalahkan oleh Abu Rizal Bakrie dalam bursa pemilihan
ketua umum Partai Golkar, dan semenjak itu ia mendirikan Nasional Demokrat ormas sekaligus cikal bakal parpol yang akan ikut di Pemilu 2014 mendatang. Media
Indonesia bahkan menjadi salah satu media yang dilaporkan Abu Rizal Bakrie terkait pemberitaan dugaan pertemuan Abu Rizal Bakrie dengan Gayus. Media Indonesia
pada saat itu dianggap telah mencemarkan nama baik Abu Rizal Bakrie. Mungkin saja jika Surya Paloh masih mesra dengan Abu Rizal Bakrie dan Golkar, Surya Paloh
melalui Media Indonesianya bisa saja membela habis-habisan Abu Rizal Bakrie dengan segala wacana. Selain itu, Media Indonesia sangat intens dalam mengkritisi
pemerintah. Bahkan Media Indonesia pernah menjadi salah satu media yang mendapat ancaman boikot oleh Sekretaris Kabinet, Dipo Alam karena dianggap
sering menjelekkan pemerintah. sejak saat itu Media Indonesia semakin frontal dalam mengkritisi pemerintahan SBY. Rasanya sah saja jika penulis berasumsi, pemberitaan
di Media Indonesia dilatar belakangi karena persaingan politik tersebut.
Meski telah dibantah oleh Redpel II Republika, penulis menilai asumsi penulis bahwa Republika memiliki kedekatan dengan Abu Rizal Bakrie terbukti
benar, terlihat dari hasil analisa penulis yang menunjukkan Republika menonjolkan penyangkalan Abu Rizal Bakrie. Selain itu, tidak banyak berita di Republika yang
menonjolkan dugaan keterlibatan Abu Rizal Bakrie. Jadi dapat disimpulkan Republika dan Media Indonesia menonjolkan berita
yang berbeda. Disinilah Gatekeeper berperan. Berita sebagai proses konstruksi media tidak merefleksikan fakta tunggal dan objektif. Berita yang dibaca khalayak adalah
hasil dari proses panjang konstruksi yang dilakukan oleh awak media. Republika dan Media Indonesia mempunyai pandangannya sendiri terhadap kasus Gayus, hal
tersebut dilandaskan dengan kebijakan yang ada di masing- masing media. Jadi pastinya, baik Republika maupun Media Indonesia memandang suatu peristiwa
dengan berbeda dan mengkonstruksnya dengan berbeda pula. Selain membentuk konstruksi atas realitas, media massa juga melakukan
tahap konfirmasi. Dalam tahap ini media massa melihat bagaimana khalayak melakukan framing indidu terhadap suatu berita. Terkadang framing individu
khalayak tidak sama dengan framing yang dilakukan oleh media massa. setiap individu menafsirkan peristiwa secara berbeda sesuai dengan pemahaman dan
pengetahuan mereka. Dalam penelitian ini penulis juga berusaha melihat bagaimana pembaca melakukan framing pada 4 berita yang menjadi objek penulis. Penulis
melakukan wawancara kepada dua orang pembaca dengan sebelumnya meminta mereka membaca keempat berita yang menjdai objek penelitian penulis. Dari hasil
wawancara tersebut terdapat kesamaan pendapat dari kedua pembaca tersebut. keduanya beranggapan berita di Republika dan Media Indonesia memiliki perbedaan
karakter yang cukup jelas, baik dari segi pemilihan bahasa maupun isinya. Pembaca pertama menanggapi pemberitaan di Republika dan Media Indonesia
seperti berikut ini: “Isi berita di Republika dan Media Indonesia perbedaannya cukup
jelas. Keduanya memang memberitakan hal yang sama, tapi cara penyampaiannya berbeda. Dari judulnya aja sudah terlihat perbedaan
karakternya. Media Indonesia sepertinya lebih kritis. Media Indonesia kan sama saja seperti Metro TV, di Metro TV juga isinya kebanyakan kritik.
Bahasanya juga berani. Media Indonesia terus mengaitkan adanya hubungan Bakrie di kasus ini, tapi di Republika tidak membahas Bakrie terlibat,
Republika cuma memperlihatkan Bakrie menyangkal saja. Ya mungkin saja
karena Media Indonesia punya Surya Paloh, kan dia saingannya Bakrie.”
105
Sedangkan pembaca kedua mengungkapkannya sebagai berikut : “Media Indonesia dan Republika pastinya memiliki karakternya
masing-masing. Media Indonesia kan sudah terkenal atas kekritisannya. Setelah membaca saya menemukan perbedaan yang cukup jelas. Keduanya
memang sama-sama mengungkap fakta di lapangan, tetapi penyampaiannya berbeda. Untuk berita pertama Republika hanya menginformasikan fakta di
lapangan, sedangkan Media Indonesia lebih kritis karena menyebutkan adanya pihak yang lebih tinggi dari kepala rutan. Dari judulnya saja sudah terlihat
jelas, Gayus Bayar Rp 100 Juta dengan Gayus Gaji Polisi Rp. 100 Juta, menurut saya maknanya sudah beda. Gayus Gaji menunjukkan Gayus
berkuasa banget. Di berita soal desakan KPK juga berbeda, Republika sepertinya lebih aman ketimbang Media
Indonesia.yang menjadi perbedaannya lagi adalah kalau Media Indonesia sering menyebut-nyebut
keterlibatan Bakrie, tidak menyebut secara jelas memang, tapi Media Indonesia menunjukkan Bakrie yang menyuap Gayus, sedangkan Republika
justru sebaliknya, dia malah memberitakan Bakrie yang menyangkal.”
106
105
Wawancara pribadi dengan Khairunnisa Tafrizi, Teluk Naga, 8 Juni 2011.
106
Wawancara pribadi dengan Ahmad Mugalih, Ciputat, 9 Juni 2011.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan