Ikan Cucut dan Pari sebagai Ikan Hasil Tangkapan Samping HTS Kemunduran Mutu Ikan selama Masa Penyimpanan Suhu Dingin

Beberapa jenis batoid adalah sangat mirip dengan cucut pada morfologinya dan pengolahan dagingnya-pun sama seperti cucut Musick 2005. Ikan pari termasuk ikan bertulang rawan, yang memiliki kadar urea yang lebih tinggi daripada ikan bertulang keras Manik 2003. Manik 2003 melaporkan bahwa di Indonesia daging ikan pari dimanfaatkan sebagai bahan makanan manusia dan pakan ternak. Minyaknya dapat digunakan sebagai obat-obatan. Ikan pari yang dijual di pasaran biasanya dalam keadaan segar atau sudah dikeringkan. Ikan tersebut merupakan ikan hasil tangkapan samping. Ikan pari tertangkap diseluruh perairan Indonesia, dimana daerah penangkapan terbesar berada di pulau Sumatera 23.262 ton DKP 2005. Selengkapnya data statistik penangkapan ikan pari di Indonesia tahun 2003 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Produksi perikanan pari di Indonesia tahun 2003 DKP 2005 Propinsi Produksi tangkapan ton Sumatera Jawa Bali-Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku-Papua 23.262 22.651 1.919 6.333 4.071 1.223 Total 59.459 Keterangan: jumlah produksi dihitung berdasarkan tempat pendaratan ikan

2.3 Ikan Cucut dan Pari sebagai Ikan Hasil Tangkapan Samping HTS

Menurut Camhi et al. 1998 ikan elasmobranchii memiliki tingkat produksi yang rendah di dunia dibandingkan dengan jenis ikan target teleostei. Jenis ikan ini memiliki nilai yang rendah dan dalam jumlah yang besar tertangkap sebagai ikan HTS. Jenis ikan ini biasa tertangkap pada alat tangkap jenis pukat, jaring insang, pukat cincin, dan rawai. Menurut Francis dan Grigs 1997 diacu dalam Camhi et al. 1998 dalam penangkapan ikan teleostei laut misalnya tuna dan billfishes justru cucut tertangkap lebih banyak sebagai ikan HTS dibandingkan dengan ikan target penangkapan utama. Bonfill 1994 diacu dalam Camhi et al. 1998 melaporkan bahwa hingga akhir tahun 1980 terdapat 12.000 ton bahkan hingga 300.000 ton elasmobranchii tertangkap sebagai HTS setiap tahunnya. Sekitar 4.000 ton tertangkap oleh alat tangkap rawai permukaan dan lebih dari 8.000 ton tertangkap oleh rawai tuna pada perikanan tuna di Jepang, Korea dan Taiwan. Sangat disayangkan sekali bahwa dari 10.000 ton ikan cucut yang tertangkap setiap tahunnya hanya diambil siripnya saja dan dagingnya dibuang kembali ke laut Musick 2005. Dalam FAO International Plan of Action for the Conservation and Management of Shark IPOA-Shark mewajibkan untuk memanfaatkan seluruh bagian tubuh cucut yang telah mati, termasuk juga pada cucut yang telah dihilangkan siripnya Musick 2005.

2.4 Kemunduran Mutu Ikan selama Masa Penyimpanan Suhu Dingin

Kualitas daging ikan yang disimpan selama suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh aktivitas mikrobiologis dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain itu karakteristik biologi, kondisi ikan saat ditangkap dan penanganan setelah ditangkap juga dapat mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin Sikorski dan Sun Pan 1994. Kemunduran mutu terjadi sesaat setelah ikan mati. Menurut Amlacher 1961 ketika suplai oksigen terhenti, maka akan terjadi peristiwa glikolisis pada jaringan otot ikan. Akibat dari peristiwa tersebut maka pH akan turun, dimana glikogen akan dihidrolisis menjadi asam laktat yang menyebabkan turunnya nilai pH Connell 1980; Suvanich dan Marshall 1996. Selanjutnya kreatin-fosfat CP gudang dari energi ikatan fosfat secara normal akan hilang dari jaringan otot. Setelah kehilangan sekitar 60 CP, penguraian terhadap adenosin trifosfat ATP dimulai. Menurut Botta 1994 penguraian secara enzimatis pada daging ikan akan menyebabkan terurainya ATP menjadi hipoksantin. Setelah ikan mati, ATP akan mengalami penguraian secara cepat melalui reaksi defosforilasi dan deaminasi menjadi adenosin monofosfat AMP dan akan terurai lagi menjadi inosin monofosfat IMP. IMP akan terurai dengan lambat secara defosforilasi dan hidrolisasi oleh enzim atau mikroba menjadi hipoksantin. Hipoksantin akan teroksidasi menjadi xantin dimana xantin juga akan terurai oleh proses oksidasi menjadi asam urat. Hipoksantin dapat menyebabkan rasa pahit pada daging ikan. Skema proses penguraian ATP menjadi asam urat dapat dilihat pada Gambar 3. 2 Pi defosforilasi Adenosin monofosfat AMP NH 3 deaminasi Inosin monofosfat IMP 2 Pi defosforilasi Inosin hidrolisis Hipoksantin oksidasi Xantin oksidasi Adenosin trifosfat ATP Asam urat Gambar 3 Degradasi nukleotida pada saat fase rigormortis ikan Botta 1994 Menurut Clucas dan Ward 1996 mikroorganisme yang ada pada kulit, insang, dan alat pencernaan pada kondisi ikan mati akan segera menggandakan diri untuk menyerang daging ikan karena didukung oleh kondisi lingkungan yang baik untuk tumbuh. Selanjutnya Connell 1980 menyatakan bahwa selama ikan hidup, tubuh ikan akan terjaga tetap steril dari mikroorganisme pembusuk karena tubuh ikan memiliki kemampuan diri untuk mempertahankan hidupnya. Menurut Connell 1980 penguraian tingkat lanjut oleh enzim terjadi setelah proses rigormortis selesai yang dimulai dengan meningkatnya nilai pH. Menurut Amlacher 1961 setelah rigor, enzim proteolisis aktif. Enzim ini akan menguraikan protein. Tingkat akhir dari hasil penguraian ini adalah terbentuknya senyawa amonia. Kemunduran mutu ikan setelah mati disebabkan karena aktivitas enzimatis dan mikrobiologis yang sudah ada secara alami pada tubuh ikan ketika hidup. Menurut Clucas dan Ward 1996 pada suhu di bawah 4 ÂșC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah.

2.5 Surimi