Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas

pemetaan. Perubahan-perubahan kedudukan perbatasan antar negara yang telah ditetapkan di dalam suatu perjanjian merupakan bukti adanya ketidakpuasan dari negara yang saling berbatasan. Dalam penyusunan dan penetapan perjanjian perbatasan antar negara, peta memegang peranan yang sangat penting, yaitu sebagai alat bantu untuk menemukan dan menentukan lokasi distribusi spasial dari kawasan perbatasan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam setiap perjanjian perbatasan biasanya dilengkapi dengan peta sebagai lampiran yang berfungsi untuk mempermudah dan memperjelas letak dan lokasi dari masing-masing titik batas maupun area perbatasan yang telah disepakati oleh negara yang berbatasan.

B. Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas

Negara. B.1. Prinsip Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara. 1. Prinsip Penyelesaian Penetapan Batas Negara. Dalam dimensi hukum internasional, prinsip penetapan perbatasan negara dapat dibedakan menjadi 2 dua, yaitu Prinsip Umum dan Prinsip Khusus. Prinsip umum dalam penetapan perbatasan negara adalah ketentuan dasar yang dijadikan acuan dalam penyelesaian penetapan negara secara umum. Dalam prinsip umum penyelesaian penetapan perbatasan negara, terdapat 2 dua landasan hukum internasional, yaitu United Nations Charter Piagam PBB dan Treaty of Amity and Coorperation in Southeast Asia. 44 44 Ibid.Hal.80 Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, secara umum dalam penyelesaian penetapan perbatasan antar negara harus diselesaikan secara damai melalui perundingan, baik antara negara yang berbatasan ataupun melalui mediasi pihak ketiga. Dengan demikian prinsip penyelesaian secara damai merupakan prinsip utama atau prinsip umum dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara. Prinsip kedua dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara adalah prinsip khusus.Prinsip khusus tersebut dalam implementasinya dibedakan menjadi 2 dua yaitu Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat dan Prinsip Khusus Penetapan Batas Maritim atau Laut. 45 a. Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat. 1 Uti Possidentis Juris Prinsip ini menyatakan bahwa negara yang merdeka mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya. Dalam konteks Indonesia hal tersebut terlihat dalam penetapan batas negara antara lain sebagai berikut ; a Batas darat antara Indonesia dan Malaysia ditetapkan atas dasar Konvensi Hindia Belanda dan Inggris tahun 1891, tahun 1915, dan tahun 1928. b Batas darat antara Indonesia dan Timor Leste ditetapkan atas dasar Konvensi tentang Penetapan Batas Hindia Belanda dan Portugal Tahun 1904 dan Keputusan Permanent Court of Arbitration PCA tahun 1914. 45 Ibid. c Batas darat antara Indonesia dan Papua Nugini ditetapkan atas dasar Perjanjian Batas Hindia Belanda dan Inggris tahun 1895. 2 Border Stability Dalam penyelesaian penetapan perbatasan darat harus memperhatikan dan menjaga stabilitas kawasan perbatasan. Hal tersebut sangat beralasan karena kawasan perbatasan darat merupakan perbatasan langsung antar negara, selain itu dalam beberapa kasus terdapat hubungan kekerabatan antara masyarakat kedua negara yang berbatasan. Penyelesaian penetapan perbatasan darat yang mengabaikan prinsip border stability, pada gilirannya akan menimbulkan disharmonisasi hubungan antar warga negara yang dapat berujung pada timbulnya gangguan hubungan diplomatik antara negara yang berbatasan. Oleh sebab itu, prinsip ini merupakan prinsip yang mutlak untuk dilaksanakan, terutama dalam penyelesaian penetapan perbatasan darat sebagai wilayah yang berbatasan langsung antarnegara. 3 Eternality of Boundary Treaty Perjanjian perbatasan antar negara merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional, yang tentu saja dalam pelaksanaannya mengikuti asas-asas dan kaedah dalam hukum internasional. Doktrin hukum internasional mengajarkan bahwa perjanjian tentang batas negara bersifat final, sehingga tidak dapat diubah. Sehubungan dengan hal tersebut, pihak salah satu negara tidak dapat menuntut perubahan garis besar setelah batas tersebut disepakati bersama. Doktrin adanya perubahan fundamental rebus sict stantibus yang seringkali berlaku dalam hukum internasional, ternyata tidak dapat diterapkan dalam perjanjian tentang batas antar negara. Secara tegas hal ini dinyatakan dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. b. Prinsip Khusus Penetapan Batas Maritim Dalam penetapan batas laut atau batas maritim, yang menjadi landasan hukum internasional adalah United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 yang selanjutnya disebut UNCLOS 1982. Dalam kaitan dengan penetapan batas laut teritorial, melalui Pasal 15 UNCLOS 1982 mengenai penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, dinyatakan sebagai berikut : “ Dalam hal dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak kecuali, ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titik sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku, apabila terdapat alasan baik historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara yang berlainan dengan ketentuan tersebut.” Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 15 UNCLOS 1982 berkaitan dengan penetapan batas laut teritorial dapat disimpulkan menjadi 3 tiga hal yaitu : pertama, dalam penetepan batas laut teritorial dilakukan dengan melalui perundingan; kedua, dalam penetapan batas laut teritorial pada negara yang berhadapan,digunakan metode equidistance;ketiga, ketentuan tersebut tidak dapat berlaku, apabila terdapat alasan baik historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara yang berlainan dengan ketentuan tersebut. Berkaitan dengan penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif yang selanjutnya disebut dengan ZEE dan Landas Kontinen, mengacu pada Pasal 74 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang penyelesaian penetapan batas garis ZEE 46 dan Pasal 83 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang penyelesaian penetapan batas Landas Kontinen 47 46 Pasal 74 Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan . . 1 Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai pemecahan yang adil. 2 Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. 3 Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat 1, negara- negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan. 47 Pasal 83 Berdasarkan pada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 74 dan Pasal 83 UNCLOS 1982, dalam penyelesaian penetapan batas ZEE dan garis batas Landas Kontinen secara garis besar memperhatikan 3 tiga prinsip sebagai berikut: pertama, dalam penetapan batas zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen dilakukan melalui perundingan ; kedua, dalam penyelesaian penetapan zona ekonomi eksklusif dan garis batas landas kontinen harus berdasarkan pada hukum internasional; dan ketiga, dalam implementasi penyelesaian penetapan batas zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen harus mencapai Equitable Result atau mendatangkan manfaat bagi negara-negara yang bersangkutan. B.2. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara. 1. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Darat. Pada hakikatnya dalam kajian hukum internasional tidak dikenal adanya regulasi yang bersifat khusus yang mengatur penetapan wilayah perbatasan darat antar negara. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penentuan wilayah Penetapan garis batas landa kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. 1 Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujusn atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai pemecahan yang adil. 2 Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara yang bersangkutanharus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. 3 Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat 1, negara- negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan. 4 Dalam hal ada suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang bersangkutan, masalah yang berkaitan dengan penetapan garis batas landas kontinen harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan tersebut. perbatasan darat antar negara dapat ditentukan dengan berdasarkan 2 dua cara, yakni: 48 48 Ibid.Hal 87. Pertama, Secara Alamiah. Penentuan batas secara alamiah terlihat pada kasus pasca lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999 dan kemudian menjadi negara yang berdaulat penuh pada 20 Mei 2002 dengan nama Republik Demokratik Timor Leste. Hal tersebut membawa konsekuensi bagi Indonesia maupun Timor Leste dalam kaitan dengan penetapan perbatasan darat. Dalam kasus dengan Timor Leste, penetapan batas darat mengacu pada perjanjian treaty antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Portugal yang ditandatangani pada 20 April 1859 di Lisabon dan kemudian pada 13 Agustus 1860 dilaksanakan pertukaran ratifikasi. Selanjutnya perjanjian batas wilayah antara koloni Belanda dan Portugal di Pulau Timor secara rinci ditetapkan melalui perjanjian konvensi yang ditanda tangani pada 1 Oktober 1904 di Den Haag, dimana pada saat itu Indonesia merupakan koloni dari Kerajaan Belanda, sedangkan Timor Portugis nama Timor Leste pada saat menjadi koloni Portugal merupakan koloni Portugal. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam bentuk idealnya pola penetapan batas secara alamiah yang dilakukan penguasa kolonial merupakan upaya untuk mempertimbangkan faktor pengelompokan berdasarkan kesatuan etnis yang tinggal di wilayah perbatasan. Hal ini pada hakekatnya konkuren dengan daerah batas penaklukan suatu daerah yang diperoleh dari kekuasaan tradisional penguasa daerah tersebut. Metode lain yang digunakan adalah dengan mengikuti kontur alamiah daerah perbatasan tersebut. Hukum internasional mengenal pendekatan ini sebagai pendekatan atau metode watersheed, yakni mengikuti aliran turunnya air dari tempat yang lebih tinggi. Dalam praktiknya, penentuan atau penetapan perbatasan darat dengan menggunakan metode watersheed apabila kedua belah pihak negara yang saling berbatasan tidak mempunyai penafsiran yang sama akan menimbulkan konflik antar negara yang berbatasan tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran kedua belah pihak akibat perbedaan fakta di lapangan dengan isi naskah dalam perjanjian. Berkaitan dengan hal tersebut, hukum internasional menyatakan perlunya membangun kesamaan persepsi dan saling percaya antara negara-negara yang saling berbatasan, untuk mengupayakan jalan damai apabila timbul persengketaan yang berkaitan dengan penetapan atau penegasan perbatasan darat. Kesepakatan yang dicapai oleh kedua belah pihak dalam penetapan perbatasan di lapangan dapat dituangkan ke dalam field plan dan selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam penetapan perbatasan darat. Kedua, Perbatasan Artifisial, perbatasan secara artifisial adalah penentuan atau penetapan perbatasan darat dengan cara buatan atau menggunakan properti antara lain berupa pilar, beacon, tugu dan lain sebagainya. Penentuan perbatasan dengan cara buatanartifisial apabila dibandingkan dengan alamiah lebih praktis dan mudah untuk dilakukan, sehingga mempermudah penetapan di lapangan. Dalam hukum internasional apabila penarikan garis batas secara lurus menyinggung mengenai sungai maka berlaku prinsip thalweg. Prinsip metode thalweg adalah menggunakan dasar sungai yang dapat dijadikan alur pelayaran sebagai acuan dalam penentuan perbatasan antar negara.Meskipun penentuan perbatasan dengan menggunakan metode ini lebih praktis dan menguntungkan, metode ini cenderung mengabaikan faktor upaya memelihara kesatuan etnis yang mendiami wilayah perbatasan sehingga secara tidak langsung dapat menimbulkan potensi konflik horizontal antar negara, terutama berkaitan dengan kesenjangan sosial dan ekonomi antar wargapenduduk di wilayah perbatasan. 3. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Laut. Dalam kaitan dengan penetapan perbatasan laut antar negara dalam konterks hukum internasional dikenal 2 dua konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa selanjutnya disebut dengan PBB yaitu 49 1 Konvensi Hukum Laut Tahun 1958 UNCLOS 1958 : Pada awalnya perkembangan penetapan perbatasan antar negara di wilayah laut menggunakan metode penetapan batas secara artifisial dengan asumsi bahwa wilayah laut merupakan bagian dari kekuasaan imperium atas daratan. Garis batas antar negara di wilayah laut berfungsi sebagai allocation line yang menjadi batas pemisah kepemilikan daratan diantara penguasa kolonial sehingga tidak dapat menjadi perbatasan laut semata, hal tersebut dapat dilihat dari contoh disepakatinya perjanjian antara Portugis dan 49 Ibid.Hal 90. Spanyol pada abad 15 yang dikenal dengan Perjanjian Tordesilas. Perjanjian Tordesilas ini membagi dunia menjadi 2 dua dimana masing- masing merupakan wilayah kolonijajahanjalur pelayaran dari Portugis dan Spanyol. Selain Perjanjian Tordesilas, pada tahun 1930 disepakati pula Perjanjian Paris Paris Treaty antara Amerika Serikat dan Inggris yang menjadi dasar bagi klaim atas kewilayahan Philipina oleh Amerika Serikat dan Inggris. Kedua perjanjian tersebut merupakan contoh dari penggunaan batas laut oleh negara-negara imperial untuk saling berbagi wilayah koloni, sehingga batas laut sering diartikan sebagai allocation line. Dalam kaitan itu, mulai muncul gagasan atau konsep untuk mengatur tentang konsep laut wilayah atau yang lebih dikenal dengan laut teritorial. Pada masa itu konsep laut wilayah merupakan suatu hal baru, seiring ditemukannya teknologi persenjataan meriam, di mana sesuai dengan daya jangkau meriam tersebut yaitu sejauh 3 mil laut, maka jarak 3 mil laut dinyatakan sebagai legitimate claim atas wilayah laut oleh negara pantai. Namun demikian pada praktiknya Konvensi Hukum Laut 1958 selanjutnya disebut dengan UNCLOS 1958 tidak berhasil menyepakati masalah ini, melainkan hanya menyebutkan penerapan prinsip equidistance dan median line dalam rangka penetapan batas laut teritorial negara yang saling berhadapan. Sementara itu, lebar maksimal klaim laut teritorial yang dibenarkan menurut hukum internasional tidak disebutkan sama sekali. Perdebatan tentang lebar laut teritorial menjadi isu yang sangat penting dan tidak terpecahkan dalam UNCLOS 1958. Hal tersebut pada gilirannya merupakan suatu bentuk refleksi kuatnya tuntutan rezim kebebasan dalam pengelolaan wilayah laut mare liberum vis a vis dengan sebagian negara yang mengkehendaki pembatasan yang lebih tegas dan jelas dalam rangka memberikan keleluasaan kepada negara pantai untuk melalukan pengawasan atas wilayah perairannya mare clausum. Terlebih lagi dalam penentuan hak ekonomis terhadap sumber daya alam minyak dan gas di dasar laut selanjutnya disebut sebagai landas kontinen, UNCLOS 1958 juga belum memberikan batasan yang jelas dan tegas melainkan digantungkan pada faktor natural prolongation dan eksploitabilitas. Hal ini membawa dampak yang tidak menguntungkan, terutama bagi negara-negara yang baru merdeka setelah periode Perang Dunia ke-II, kenyataan tersebut dinilai sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan negara imperial yang adalah negara-negara maritim besar Spanyol,Portugis,Perancis,Inggris atas jajahannyabekas jajahannya. Hal ini kemudian mendatangkan ketidakpuasan masyarakat internasional sehingga melahirkan tuntutan-tuntutan yang dipelopori oleh negara-negara di Amerika Selatan yang melakukan klaim laut teritorial secara ekstrim hingga mencapai 200 mil laut. Tindakan ini akhirnya mendorong dilaksanakannya konferensi ketiga hukum laut internasional yang kemudian melahirkan UNCLOS 1982 yang hingga saat ini masih dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia. Terlepas dar kegagalan UNCLOS 1958 terhadap dua pokok masalah tersebut, UNCLOS 1958 memberikan sumbangan penting berkaitan dengan diakuinya prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur mengenai perbatasan laut antar negara. Hal ini tercermin dari perkara yang diputuskan Mahkamah Internasional bahkan pada periode setelah UNCLOS 1982 berlaku. 2 Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 UNCLOS 1982 Pada tahun 1982 tepatnya 30 April 1982 di New York, konvensi hukum laut PBB UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea telah diterima baik dalam konferensi PBB tentang hukum laut III yakni pada sidangnya yang ke-11, dan ditandatangani pada tanggal 10 Desember tahun yang sama di Montego Bay, Jamaica 50 Rezim-rezim hukum laut internasional yang diatur didalam UNCLOS 1982, yaitu .UNCLOS tersebut mengatur tentang rezim-rezim hukum laut, termasuk negara kepulauan. 51 1 Perairan Pedalaman : Lebar laut teritorial diukur dari “garis pangkal” dan perairan yang berada pada arah darat dari garis tersebut dinyatakan sebagai perairan pedalaman. Dalam keadaan-keadaan tertentu dapat digunakan garis pangkal yang lain,yang akan menimbulkan adanya perairan pedalaman. 50 DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 309. 51 Albert W.Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gajah Mada University Press.Yogyakarta.1994.Hal 5. Keadaan-keadaan tersebut adalah : a Apabila garis pantai sangat menjorok ke dalam atau apabila terdapat jajaran pulau-pulau di sepanjang pantai, suatu garis pangkal lurus dapat ditarik dari titik-titik tertentu pada pantai atau pulau-pulau tersebut Pasal 7 b Apabila daratan sangat cekung ke dalam sehingga dapat dikatakan adanya perairan yang dilingkupi oleh daratan dalam keadaan dimana daerah lekukan lebih besar dari setengah lingkaran dengan diameter yang sama lebarnya dengan lebar mulut lekukan tersebut, laut teritorial dapat diukur dari garis penutup yang ditarik pada mulut lekukan, dengan ketentuan bahwa gris penutup tersebut panjangnya tidak boleh melebihi 24 mil laut Pasal 10. c Apabila sebuah sungai langsung bermuara ke laut, garis pangkal dapat ditarik melintasi mulutnya dengan menghubungkan titik-titik pada garis air rendah di tepi muara tersebut Pasal 9 2 Laut Teritorial Pasal 2 Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai meliputi laut teritorialnya, termasuk ruang udara di atasnya dan dasar laut serta tanah dibawahnya. Kesepakatan yang dicapai mengenai batas laut teritorial,yaitu: 12 mil laut diukur dari garis pangkal Pasal 4. Konvensi memuat ketentuan-ketentuan untuk penetapan batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan dan berdampingan: apabila tidak ada persetujuan yang menyatakan sebaliknya, tidak satu negara pun yang berhak untuk menetapkan bahwa laut teritorialnya melebihi garis tengah, yaitu suatu garis yang titik-titiknya sama jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial masing-masing negara Pasal 15. 3 Jalur Tambahan Pada suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, negara pantai dapat melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangannya pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya dan sekaligus juga dapat menerapakan hukumnya Pasal 33. 4 Zona Ekonomi Eksklusif Zona ekonomi eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial Pasal 55 dan 57. Menurut pengertian pasal 56, di zona ekonomi eksklusif negara pantai dapat menikmati: a Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula terhadap semua kegiatan yang ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut seperti produksi energi dari air, arus, dan angin. b Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan konvensi, pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan serta perlindungan lingkungan laut. c Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi. Zona ekonomi eksklusif bukan laut teritorial dilihat dari ketentuan Pasal 58 yang menyatakan bahwa, di zona ekonomi eksklusif semua negara dapat menikmati kebebasan berlayar dan terbang di atasnya serta kebebasan untuk meletakkan pipa dan kabel bawah laut, dan juga untuk penggunaan sah lainnya yang berkenaan dengan kebebasan tersebut. Sesuai dengan ketentuan ini, aspek-aspek kebebasan di laut lepas berlaku juga di zona ekonomi eksklusif. 5 Landas Kontinen Yang dimaksud dengan landas kontinen menurut Konvensi ini adalah, daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas terluar tepian kontinen continental margin, atau sampai jarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut Pasal 76.

C. Klasifikasi Perbatasan Negara