12 berempati memiliki kepekaan rasa yang lebih baik daripada orang yang
tidak berempati terhadap keadaan di sekitarnya. Kepekaan rasa ini adalah suatu kemampuan dalam bentuk mengenali dan mengerti perasaan orang
lain. Carl Rogers dalam Taufik, 2012: 40 yang menyatakan bahwa
empati adalah sikap memahami yang seolah-olah individu tersebut masuk dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan mengalami
sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orang lain itu, tetapi tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri. Kemampuan empati dapat dikontrol
oleh individu sehingga tidak hanyut dalam situasi orang lain. Berdasarkan definisi para ahli dapat disimpulkan bahwa empati
merupakan kemampuan seseorang dalam memahami perasaan orang lain, dapat mengenali kondisi orang lain, merasakan pengalaman orang lain
serta dapat memberikan respon empatik yang sama terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain.
2. Pengertian Sikap
Setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap sebuah objek. Sikap berkaitan erat dengan perilaku seseorang. Menurut Sarlito
Sarwono dkk. 2009: 83 mengemukakan sikap adalah suatu konsep yang melibatkan tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan perilaku. Komponen
kognitif berupa semua pemikiran dan ide-ide baik positif maupun negatif yang berkaitan dengan objek. Komponen afektif berupa perasaan atau
emosi seseorang yang diwujudkan melalui perasaan suka atau tidak suka, senang atau tidak senang terhadap suatu objek. Komponen perilaku dapat
13 diketahui melalui respon seseorang terhadap suatu objek yang
ditunjukkan melalui tindakan atau perbuatan yang diamati. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan sikap adalah
suatu konsep yang dapat diketahui melalui pengetahuan, perasaan dan kecenderungan tingkah laku seseorang terhadap suatu objek.
3. Komponen Empati
Kemampuan empati tersusun dari beberapa komponen. Menurut Hoffman dkk. dalam Taufik, 2012: 43 komponen empati terdiri atas
komponen kognitif dan afektif.
a. Komponen Kognitif
Komponen kognitif merupakan komponen yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Ketika seseorang
memahami perasaan orang lain, maka individu tersebut mampu menempatkan diri dalam posisi orang lain. Baron Byrne 2005:
112 mengungkapkan bahwa kemampuan kognitif adalah kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain, mampu
menempatkan diri dalam posisi orang lain. Hal yang sama diungkapkan oleh Fesbach dalam Taufik, 2012: 44
bahwa komponen kognitif sebagai kemampuan untuk membedakan dan mengenali kondisi emosional yang berbeda. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh David Howe 2015: 24 bahwa empati kognitif didasarkan pada kemampuan melihat sebuah situasi dari sudut
pandang orang lain. Hal ini melibatkan proses berpikir tentang pikiran orang lain dipadu dengan kemampuan untuk merasakan perasaan
14 orang lain. Secara garis besar bahwa aspek kognitif dari empati
meliputi aspek pemahaman atas kondisi orang lain. Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa empati
kognitif adalah kemampuan memahami perasaan, dapat menempatkan diri dalam posisi atau kondisi orang lain.
b. Komponen Afektif Colley dalam Taufik, 2012: 51 menyatakan bahwa komponen
afektif merujuk pada kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain. Empati afektif merupakan suatu kondisi
dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi yang sedang dirasakan oleh orang lain. Aspek empati ini terdiri atas
simpati, sensitivitas dan sharing penderitaan yang dialami orang lain seperti perasaan dekat terhadap kesulitan-kesulitan orang lain yang
diimajinasikan seakan-akan dialami oleh diri. Pengalaman emosional memiliki pengaruh terhadap individu untuk
berempati. Menurut Colley, empati afektif merupakan suatu kondisi dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi
yang sedang dirasakan oleh orang lain, atau perasaan mengalami bersama dengan orang lain.
Berdasarkan pendapat ahli, dapat disimpulkan empati afektif adalah suatu kondisi dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan
pengalaman emosi yang dirasakan orang lain.
15
4. Proses Empati
Davis dalam Taufik, 2012: 53 menggolongkan proses empati ke dalam empat tahapan, yaitu antecedents, processes, interpersonal
outcomes, dan intrapersonal outcomes.
a. Antecedents
Antecedents yaitu kondisi-kondisi yang mendahului sebelum terjadinya proses empati. Setiap orang memiliki situasi yang berbeda
dalam memunculkan sikap empatinya. Situasional khusus inilah yang menjadi pendahulu sebelum individu memunculkan sikap empatinya.
Situasional khusus terdiri dari dua kondisi, pertama, kekuatan situasi dan tingkat persamaan antara observer dan target. Kekuatan
situasi sangat memengaruhi seseorang untuk berempati, misalnya ketika mengunjungi para korban bencana dan dihadapkan pada situasi
yang menyedihkan, ketika itu ada gejolak dalam perasaan dan pikiran tentang situasi tersebut dan mencari solusi apa yang dapat dilakukan.
Kedua, persamaan antara observer dan target, jika semakin tinggi tingkat persamaannya, maka semakin besar peluang observer untuk
berempati. Misalnya persamaan tempat tinggal, etnis, agama, bangsa dan sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kondisi yang mendahului sebelum terjadi proses empati yaitu kekuatan situasi dan
tingkat persamaan observer dan target.
16
b. Processes
Kemampuan empati yang dimunculkan oleh seseorang dibedakan menjadi tiga jenis proses yaitu non cognitive processes, simple
cognitive processes, dan advance cognitive processes. Non cognitive processes terjadi karena disebabkan oleh proses-proses non kognitif,
artinya tanpa memerlukan pemahaman terhadap situasi yang terjadi. Misalnya ketika satu bayi A menangis, selanjutnya akan diiringi
oleh tangisan bayi lainnya B. Proses empati jenis ini hanya melibatkan proses emosi dan terjadi dengan sendirinya.
Simple cognitive processes adalah proses empati yang hanya membutuhkan sedikit proses kognitif. Misalnya ketika seseorang
menghadiri upacara wisuda atau pesta pernikahan, orang tersebut akan datang dengan menunjukkan sikap bahagia atau sebaliknya
ketika menghadiri pemakaman, maka orang tersebut akan menunjukkan perasaan duka cita. Empati yang dimunculkan tidak
membutuhkan proses yang mendalam, karena situasi-situasi tersebut mudah dipahami.
Advance cognitive processes adalah proses empati yang menuntut seseorang mengerahkan kemampuan kognitif. Misalnya ketika teman
mengatakan “saya telah dipukuli oleh pencuri”. Ketika teman mengatakan kalimat itu, dia tidak menunjukkan wajah sedih atau
menderita dan terkesan berekspresi datar. Namun orang tersebut meresponnya dengan sikap empatik. Sikap empatik yang ditunjukkan
17 ini merupakan proses yang dalam, membutuhkan pemahaman yang
tinggi terhadap situasi yang terjadi. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan terdapat tiga
jenis proses empati yaitu non cognitive processes, simple cognitive processes, dan advance cognitive processes. Ketiga proses ini
ditimbulkan oleh penyebab yang berbeda-beda. Non cognitive processes terjadi tanpa memerlukan pemahaman terhadap situasi yang
terjadi. Simple cognitive processes terjadi karena situasinya mudah dipahami. Advance cognitive processes berbeda dengan kedua proses
sebelumnya karena pada proses ini memerlukan pemahaman yang
tinggi terhadap situasi yang terjadi.
c. Intrapersonal Outcomes Intrapersonal Outcomes terdiri dari dua macam yaitu affective
outcomes dan non affective outcomes. Affective outcomes terdiri atas reaksi-reaksi emosional yang dialami observer dalam merespon
pengalaman-pengalaman target. Affective outcomes terbagi dalam dua bentuk yaitu parallel dan reactive outcomes. Parallel outcomes yaitu
adanya keselarasan antara yang seseorang rasakan dengan yang dirasakan atau dialami oleh orang lain. Sedangkan reactive outcomes
didefinisikan sebagai reaksi-reaksi afektif terhadap pengalaman- pengalaman orang lain yang berbeda. Non affective outcomes
didasarkan pada proses kognitif, karena observer secara cermat menangkap dan menganalisis situasi-situasi yang dihadapinya .
18 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan intrapersonal
outcomes terdiri dari affective outcomes dan non affective outcomes. Affective outcomes terdiri atas reaksi-reaksi emosional yang dialami
observer dalam merespon pengalaman target. Non affective outcomes didasarkan pada proses kognitif dikarenakan observer menangkap dan
menganalisis situasi yang dihadapinya. d. Interpersonal Outcomes
Interpersonal outcomes akan berdampak pada hubungan antara observer dan target. Salah satu bentuk dari interpersonal outcomes
adalah munculnya helping behavior perilaku menolong. Hubungan yang akan terjalin antara observer dan target salah satunya diawali
dengan perilaku menolong. Jadi interpersonal outcomes diwujudkan dalam perilaku menolong yang nantinya akan mempererat hubungan
hubungan antara observer dan target. Dalam penelitian ini untuk siswa kelas IV proses empati lebih
difokuskan pada simple cognitive proceses yaitu proses empati yang terjadi karena situansinya mudah dipahami dan interpersonal outcomes
yang diwujudkan dalam perilaku menolong.
5. Perkembangan Empati
Kemampuan empati yang dimiliki setiap orang dapat dikembangkan melalui lingkungan sosialnya. Taufik 2012: 92
mengemukakan keberadaan empati adalah sesuatu yang telah dianugerahkan pada diri sejak bayi dan akan dibentuk serta
dikembangkan oleh orang-orang di sekitarnya melalui berbagai
19 pengalaman yang ditemukan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
melalui pembelajaran langsung yang diberikan oleh orangtua kepada anak-anaknya.
Hoffman dalam Taufik, 2012: 93 menjelaskan anak memiliki kapabilitas untuk mempelajari hubungan-hubungan yang sederhana dan
bayi telah mengetahui tekanan-tekanan psikologis pada orang lain dengan ketidaknyamanan yang mereka rasakan.
Dovidio, Piliavin, Schroeder Penner dalam Taufik, 2012: 93 berpendapat anak pada usia 1-2 hari memang belum bisa berempati,
namun telah memiliki potensi-potensi untuk berempati dan potensi tersebut nantinya harus terus dikembangkan oleh orangtua dan guru agar
anak menjadi pribadi yang berempati. Hoffman dalam Taufik, 2012: 94 berpendapat bahwa selama
tahun pertama, anak-anak tidak memiliki rasa tentang diri sendiri sebagai individu yang unik, terpisah dan berbeda dengan orang-orang
disekitarnya karena anak belum dapat membedakan diri sendiri dengan orang lain.
Anak yang berusia 1 tahun mulai bisa memahami bahwa orang lain sedih, sementara anak belum bisa memahami kesedihannya sendiri.
Kemampuan empati anak masih berorientasi pada diri sendiri yaitu hanya sebatas tahu kalau orang lain sedih maka sedihnya orang lain itu
situasinya sama seperti saat dirinya sedang sedih. Pada usia 2 atau 3 tahun, empati anak lebih berkembang ditandai
dengan anak mulai memahami bermacam kondisi emosional dan makna-
20 makna istilah untuk berbagai keadaan yang berbeda seperti kekecewaan,
kesedihan karena kehilangan, bahkan perasaan buruk tentang diri sendiri misalnya harga diri yang rendah.
Pada masa akhir kanak-kanak, anak dapat mengalami empati dalam merespon kondisi kehidupan orang lain, tidak hanya terfokus pada diri
sendiri. Reaksi-reaksi tersebut dapat diperoleh atau dipelajari oleh anak seiring dengan makin intensifnya berteman atau berinteraksi dengan
teman sepermainannya yang berasal dari latar belakang yang berbeda beda.
Berdasarkan penjelasan para ahli dapat disimpulkan bahwa empati dapat dibentuk dan dikembangkan melalui orang-orang di sekitarnya.
Perkembangan empati anak dimulai sejak bayi. Memasuki masa kanak- kanak akhir perkembangan empati anak semakin baik. Anak mengalami
empati dalam merespon kondisi kehidupan orang lain. Reaksi tersebut didapat seiring dengan makin intensifnya berteman dengan teman dari
latar belakang yang berbeda.
B. Kajian tentang Anak 1. Pengertian Masa Kanak-Kanak Akhir
Masa kanak-kanak akhir atau sering juga disebut dengan masa usia sekolah yaitu tahap transisi anak mulai dari taman kanak-kanak menuju
sekolah dasar. Masa usia sekolah dialami anak pada usia 6 tahun sampai masuk ke masa pubertas dan masa remaja awal yang berkisar pada usia
11-13 tahun Rita Eka I. dkk, 2008: 104. Pada masa ini anak paling peka, siap untuk belajar, dapat memahami pengetahuan, dan selalu ingin