UPAYA MENINGKATKAN SIKAP EMPATI MELALUI METODE STORYTELLINGPADA SISWA KELAS IV SD NEGERI CATURTUNGGAL 3 DEPOK SLEMAN.

(1)

UPAYA MENINGKATKAN SIKAP EMPATI METODE

SD NEGERI CATURTUNGGAL 3 DEPOK SLEMAN

Diajukan guna

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

i

UPAYA MENINGKATKAN SIKAP EMPATI MELALUI METODE STORYTELLING PADA SISWA KELAS IV

SD NEGERI CATURTUNGGAL 3 DEPOK SLEMAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan una Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Ela Destiyana NIM 12104244052

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

JULI 2016

MELALUI PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI CATURTUNGGAL 3 DEPOK SLEMAN

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Bercerita bukan sekedar berbicara secara lisan tetapi memaknai cerita yang sesungguhnya”

(Penulis)

“ Dengan empati kehidupan akan saling melengkapi sehingga kekurangan tak lagi menghalangi kebahagiaan”


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada :

1. Keluarga terhebat, Bapak Hudaya Zakaria, Ibu Rosdiana, Kakak Eli Alpiyana atas dukungan, doa dan kasih sayang yang diberikan dengan tulus.

2. Almamater tercinta, Universitas Negeri Yogyakarta 3. Agama, Nusa dan Bangsa


(7)

vii

UPAYA MENINGKATKAN SIKAP EMPATI MELALUI METODE STORYTELLINGPADA SISWA KELAS IV SD NEGERI CATURTUNGGAL 3 DEPOK SLEMAN

Oleh ElaDestiyana NIM 12104244052

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sikap empati melalui metode storytelling pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan subjek penelitian siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman yang berjumlah 18 siswa. Penelitian ini dilakukan dalam 2 siklus yang terdiri dari 6 tindakan yaitu cerita Kentang Ajaib, Ibu Bermata Satu, Rasulullah dan Pengemis

Buta, Sepeda Motor Baru, Ibu Pemungut Beras dan Dibuang ke Hutan. Metode

pengumpulan data menggunakan skala sikap empati, observasi dan wawancara. Analisis data menggunakan data kuantitatif dan kualitatif. Reliabilitas skala sikap empati sebesar 0,870.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap empati dapat ditingkatkan melalui metode storytelling. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil persentase rata-rata skor pre test, post test I dan post test II yang mengalami peningkatan dari 58,89 % menjadi 74,76 % dan meningkat lagi menjadi 79,29 %. Dari hasil tersebut, penelitian dapat dihentikan karena telah memenuhi kriteria keberhasilan yang ditargetkan yaitu 75 % dari persentase skor rata-rata sikap empati siswa. Interpretasi hasil observasi dan wawancara menunjukkan siswa telah mampu memunculkan sikap empati.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Upaya Meningkatkan Sikap Empati Melalui Metode Storytelling Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak dapat berjalan lancar tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada mereka yang telah mengantarkannya.

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.

2. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.

3. Bapak Sugiyatno, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Sugiyanto, M.Pd. selaku dosen penasehat akademik yang telah memberikan motivasi dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh dosen jurusan psikologi pendidikan dan bimbingan yang telah memberikan ilmu sehingga mempermudah dalam penyelesaian skripsi ini.


(9)

ix

6. Ibu Karti Andayani, S.Pd.SD dan Ibu Retno Nur Utami, S.Pd.SD yang telah membantu dalam kelancaran proses penelitian ini.

7. Siswa-siswa SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman khususnya kelas IV atas kesediaannya membantu penelitian ini.

8. Keluarga tercinta, kedua orangtua yang luar biasa dan kakakku tersayang yang telah memberikan nasehat dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Sahabat dan teman terbaik, Eke, Giar, Sandi, Mariska, Oni, Niken dan Fia yang telah memberikan semangat sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

10. Teman-teman BKC 2012 yang telah memberikan semangat dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

11. Teman-teman ASTRI 6F, Dyah, Ayu, Ayun dan Imna yang bersedia menemani, menghibur, memberi semangat serta selalu mendoakan demi kelancaran penyusunan skripsi ini.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan selama penelitian ini.

Semoga bantuan dari semua pihak mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran penulis harap untuk kesempurnaan tulisan ini.

Yogyakarta, 19 Juli 2016


(10)

x DAFTAR ISI

hal HALAMAN SAMPUL ... PERSETUJUAN ... PERNYATAAN ... PENGESAHAN ... MOTTO ... PERSEMBAHAN ... ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... B. Identifikasi Masalah ... C. Pembatasan Masalah ... D. Perumusan Masalah ... E. Tujuan Penelitian ... F. Manfaat Penelitian ... BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian tentang Sikap Empati ... 1. Pengertian Empati ... 2. Pengertian Sikap... 3. Komponen Empati ... 4. Proses Empati ... 5. Perkembangan Empati ... B. Kajian tentang Anak ... 1. Pengertian Masa Kanak-Kanak Akhir ... i ii iii iv v vi vii viii x xiii xiv xv 1 8 8 8 9 9 11 11 12 13 15 18 20 20


(11)

xi

2. Karakteristik Masa Kanak-Kanak Akhir ... 3. Tugas Perkembangan Masa Kanak-Kanak Akhir ... C. Kajian tentang Storytelling ...

1. Pengertian Storytelling ... 2. Unsur-unsur Storytelling ... 3. Manfaat Storytelling ... 4. Teknik Penyajian Storytelling ... 5. Rancangan Kegiatan Storytelling ... D. Penelitian yang Relevan ... E. Kerangka Berpikir ... F. Hipotesis Tindakan... BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian ... B. Tempat dan Waktu Penelitian ... C. Subjek dan Objek Penelitian ... D. Variabel Penelitian ... E. Desain Penelitian ... F. Skenario Siklus ... G. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ...

1. Skala ... 2. Observasi ... 3. Wawancara ... H. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... I. Teknik Analisis Data ... J. Indikator Keberhasilan Tindakan ... BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... B. Data Subjek Penelitian ... C. Data Studi Awal dan Pra Tindakan Penelitian ... D. Pelaksanaan Tindakan dan Pengamatan Siklus I ... E. Pelaksanaan Tindakan dan Pengamatan Siklus II ... F. Pembahasan ...

21 24 26 26 27 29 32 36 39 40 42 43 44 44 44 45 48 49 49 51 52 54 58 59 60 61 62 63 80 95


(12)

xii

G. Keterbatasan Penelitian ... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... B. Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... 104 105 106 107 110


(13)

xiii DAFTAR TABEL hal Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6 Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13. Tabel 14.

Kisi-kisi Skala Sikap Empati ... Pedoman Observasi untuk Siswa ... Pedoman Wawancara untuk Guru Wali Kelas ... PedomanWawancara untuk Siswa ... Uji Reliabilitas ... Pemilihan Item Berdasarkan Korelasi Item Total ... RumusanSkor Sikap Empati ... Kategorisasi Skor Sikap Empati ... Data Siswa Kelas IV ... Hasil Pre Test Siswa ... Hasil Post Test I ... Persentase Peningkatan Post Test II ... Hasil Post Test II ... Hasil Pre Test, Post Test I dan Post Test II ...

50 52 53 53 56 57 59 59 61 62 73 78 89 93


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1.

Gambar 2.

Gambar 3. Gambar 4.

Bagan Kerangka Berpikir ... Alur Penelitian Tindakan Kelas Model Kemmis dan Mc. Taggart ... Hasil Skor Sikap Empati Siswa ... Presentase Skor Sikap Empati Siswa ...

42

46 94 94


(15)

xv DAFTAR LAMPIRAN hal Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7 Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16.

Rencana Pelaksanaan Layanan……….. Skala Sikap Empati (Sebelum Uji Validitas) ... Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

(Sebelum Item Gugur) ... Kisi-kisi Skala Sikap Empati (Setelah Uji Validitas) ... Skala Sikap Empati (Setelah Uji Validitas) ... Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

(Setelah Item Gugur) ... Hasil Observasi Siklus I ... Hasil Observasi Siklus II ... Hasil Wawancara dengan Siswa ... Hasil Wawancara dengan Guru Wali Kelas ... Hasil Pre Test ... Hasil Post Test I ... Hasil Post Test II ... Cerita ... Dokumentasi ... Surat Izin Penelitian ...

110 122 127 129 130 134 136 140 143 149 157 158 159 160 176 179


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa kanak-kanak akhir atau sering juga disebut dengan masa usia sekolah yaitu tahap transisi anak mulai dari taman kanak-kanak menuju sekolah dasar. Masa usia sekolah dialami anak pada usia 6 tahun sampai masuk ke masa pubertas dan masa remaja awal yang berkisar pada usia 11-13 tahun (Rita Eka I. dkk, 2008: 104). Pada masa ini, anak harus mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitar yaitu teman, guru, dan warga sekolah lainnnya. Sekolah menjadi tempat menuntut ilmu kedua bagi anak setelah keluarga, diharapkan dapat memberikan pengaruh positif yang dapat membantu perkembangan anak baik dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut Kartini Kartono (1995:135) dengan pengajaran di sekolah, anak diharapkan mampu melaksanakan tugas kewajiban yang baru, khususnya dipersiapkan untuk tugas-tugas hidup yang cukup berat pada usia dewasa.

Penyesuaian awal ketika di sekolah menyebabkan anak mengalami perubahan sikap dan tingkahlaku. Perubahan tersebut dapat mengarah pada perubahan positif dan negatif. Perubahan positif yang dialami anak ketika dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah yaitu anak cenderung lebih mudah menjalin pertemanan, sedangkan perubahan negatif yang dialami anak ketika mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya yaitu anak dapat melakukan perilaku yang menyimpang. Syamsu Yusuf (2006: 122) menegaskan bahwa untuk mencapai kematangan


(17)

2

sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik orangtua, saudara, teman sebaya maupun orang dewasa lainnya.

Anak yang menginjak sekolah dasar atau dapat dikategorikan masuk pada masa kanak-kanak akhir memiliki tugas perkembangan yang berbeda dengan masa kanak-kanak awal ketika masih di taman kanak-kanak. Menurut Syamsu Yusuf (2006: 69) tugas perkembangan pada masa sekolah yaitu (1) belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan; (2) belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis; (3) belajar bergaul dengan teman sebaya; (4) belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya; (5) belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung; (6) belajar mengembangkan konsep sehari-hari; (7) mengembangkan kata hati; (8) belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi; dan (9) mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan lembaga-lembaga. Untuk mencapai tugas-tugas perkembangan tersebut secara optimal, maka anak membutuhkan lingkungan sosial yang dapat mendukung terlaksanakannya hal tersebut.

Lingkungan sosial yang baik akan memberikan pengaruh yang baik bagi anak begitu pula sebaliknya. Hal yang sama diungkapkan oleh Fawzia Aswin Hadis (1996: 167) bahwa anak pada usia ini harus belajar untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan orang dewasa di luar keluarganya. Hal ini dikarenakan, hubungan yang terjalin nantinya akan sangat


(18)

3

mempengaruhi perkembangan kontrol diri anak dan orientasinya terhadap keberhasilan. Syamsu Yusuf (2006: 180) menjelaskan bahwa perkembangan sosial pada anak-anak Sekolah Dasar ditandai dengan adanya perluasan hubungan di luar keluarga yaitu dengan teman sebaya sehingga ruang gerak hubungan sosialnya bertambah luas. Pada masa ini, anak mulai bisa memiliki kesanggupan menyesuaikan diri-sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerjasama). Perkembangan sosial yang dialami anak akan mempengaruhi anak dalam menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya.

Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Caturtunggal 3 dikarenakan dari hasil observasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa di sekolah tersebut mempunyai masalah tentang sikap empati. Hasil observasi pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3, siswa menunjukkan perilaku egosentris. Hal ini terlihat ketika ada siswa yang membutuhkan penggaris untuk mengerjakan tugas, tetapi temannya tidak bersedia meminjamkan dan menyarankan untuk meminjam penggaris kepada teman yang lain. Kasus lain misalnya, ketika ada teman yang sedang menangis di kelas karena diejek dan tidak ada siswa yang berusaha menenangkannya atau menghiburnya bahkan teman satu meja yang duduk disampingnya tetap menulis tanpa menghiraukan apa yang terjadi dengan teman disampingnya, sedangkan siswa laki-laki tertawa melihat temannya yang menangis dan mendukung teman yang membuat siswa itu menangis. Peristiwa ini menunjukkan bahwa siswa cenderung belum bisa memahami perasaan temannya.


(19)

4

Hal ini didukung data berdasarkan hasil wawancara dengan siswa kelas IV, siswa mengungkapkan ekspresi tidak senang ketika melihat temannya menjadi juara kelas. Siswa tidak mengucapkan selamat bahkan berpendapat negatif mengenai temannya. Perilaku siswa yang seperti ini menunjukkan siswa memiliki perasaan yang berbeda dengan temannya yang menjadi juara kelas. Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa belum bisa memahami perasaan temannya. Kasus lain misalnya, ada siswa kelas IV yang sedang sakit dan beberapa hari tidak masuk sekolah. Namun, hanya sedikit siswa perempuan yang ikut menjenguk sedangkan siswa laki-laki tidak mau ikut dan siswa perempuan lainnya mengatakan tidak memiliki waktu untuk menjenguk bahkan bertanya mengapa siswa tersebut harus dijenguk. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa siswa belum bisa memahami kondisi atau keadaan temannya.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara di SD Negeri Caturtunggal 3 Depok, jika anak terus dibiarkan seperti itu, maka anak bisa memiliki sikap apatis. Ketika hal itu terjadi anak akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan sehingga menghambat anak dalam menjalin hubungan sosialnya. Hubungan sosial yang terhambat menyebabkan anak merasa asing dengan lingkungan sekitarnya. Di samping itu, anak juga mengalami kesulitan dalam menjalin pertemanan terutama dengan teman sebayanya. Salah satu cara agar anak dapat mencapai tugas perkembangannya adalah belajar bergaul dengan teman sebaya. Hubungan sosial terjadi karena adanya interaksi sosial yang melibatkan emosi atau perasaan. Bagaimana caranya anak akan mengerti dan memahami kesulitan


(20)

5

yang dialami temannya jika anak tidak berinteraksi. Oleh karena itu, pentingnya bagi anak untuk membangun hubungan sosial yang baik sehingga tercipta rasa kasih sayang terhadap orang lain serta memudahkan anak dalam menumbuhkan sikap empati.

Goleman (2004: 136) menjelaskan bahwa kemampuan empati adalah kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain. Empati merupakan akar kepedulian dan kasih sayang dalam setiap hubungan emosional seseorang dalam upayanya untuk menyesuaikan emosionalnya dengan emosional orang lain. Johnson (Sari dkk, 2003 dalam Herly dkk, 2015: 5) mengemukakan bahwa empati adalah kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain. Seseorang yang berempati digambarkan sebagai seorang yang toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, mempunyai pengaruh serta bersifat humanistik.

Goleman (2004: 148) menegaskan bahwa anak-anak dengan empati mampu menjalin hubungan sosial yang baik karena empati mendasari banyak segi tindakan dan pertimbangan moral. Hal serupa diungkapkan oleh Ali Muhtadi (2002: 4) yang menyatakan bahwa anak yang memiliki kemampuan untuk berempati dapat digolongkan sebagai anak yang “baik”, lembut hati, memikirkan perasaan orang lain, mengarahkan diri sendiri kepada orang lain. Anak yang memiliki kemampuan berempati tinggi terhadap emosi orang lain cenderung memiliki hasrat yang jelas untuk bersikap bijaksana, sopan, murah hati dalam kerelaan anak melihat dunia sebagaimana orang lain melihatnya, untuk mengalami dunia melalui mata orang lain, dan untuk bertindak berdasarkan pengetahuan itu dengan


(21)

6

kelembutan hati. Newman dan Newman (dalam Rita Diah dkk, 2013: 122) menyatakan anak-anak usia sekolah dasar seharusnya sudah dapat memahami dan berempati pada perasaan orang lain. Permasalahan empati termasuk salah satu permasalahan sosial yang dapat menghambat hubungan sosial anak. Melihat berbagai permasalahan anak sekolah dasar yang mengindikasikan perlunya penanaman empati dalam kehidupan sehari-hari, maka dibutuhkan bimbingan dan konseling sosial untuk membantu permasalahan sosial anak sehingga tugas perkembangan anak dapat tercapai dengan baik. Salah satu upaya yang dilakukan peneliti yaitu dengan metode storytelling.

Storytelling adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau suatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain (Bachtiar, 2005: 10). Dengan metode storytelling diharapkan anak dapat mulai melatih kepekaan terhadap situasi maupun keadaan diri sendiri dan orang lain.

Berdasarkan hasil penelitian Rita Diah Ayuni dkk (2013: 126) membuktikan bahwa storytelling memberikan pengaruh pada perilaku empati anak, khususnya pada aspek fantasi dikarenakan anak diajak untuk mengimajinasikan cerita yang disampaikan. Melalui imajinasi-imajinasi yang telah terjadi pada saat storytelling, anak kemudian dapat membayangkan perasaan dan pikiran tokoh permainan yang sedang dibuatnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh F. Widiana Satya P (2012: 21) menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan antara kemampuan empati anak sebelum dan sesudah mengikuti pembacaan buku cerita. Hal ini


(22)

7

dibuktikan dari hasil post test yang lebih tinggi dari pre test. Anak yang memiliki skor pre test yang rendah dan kemudian memiliki skor post test yang tinggi. Penelitian ini membuktikan bahwa pembacaan buku cerita efektif dalam meningkatkan kemampuan empati anak.

Metode storytelling pernah digunakan di SD Negeri Caturtunggal 3 dalam pembelajaran namun pelaksanaannya belum optimal untuk meningkatkan sikap empati siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3. Oleh karena itu peneliti menganggap metode storytelling cocok diterapkan di sekolah dasar untuk meningkatkan empati anak khususnya siswa kelas IV yang menjadi subjek penelitian. Metode storytelling atau mendongeng juga memiliki potensi untuk memperkuat imajinasi, meningkatkan empati dan pemahaman, memperkuat nilai dan etika, dan merangsang proses pemikiran kritis/kreatif. Storytelling yang berarti penyampaian cerita kepada para pendengar dirasa tepat dijadikan metode pembelajaran bagi anak karena sifatnya yang menyenangkan, tidak menggurui, serta dapat mengembangkan imajinasi. Cerita yang disajikan melalui storytelling memberikan anak kesempatan menilai sesuatu dari berbagai sudut pandang. Peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita dapat memperkaya pengalaman dan pengetahuan anak tentang suatu hal dan dijadikan arahan untuk melihat perkembangan tingkah laku anak.

Berdasarkan uraian mengenai metode storytelling yang berguna bagi anak untuk meningkatkan sikap empati pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok, maka peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian ini.


(23)

8 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan tersebut dapat diidentifikasi berikut ini :

1. Beberapa siswa kelas IV masih menunjukkan sikap egosentris dengan lebih mementingkan diri sendiri dan mengabaikan orang lain.

2. Beberapa siswa masih belum bisa menunjukkan sikap empati terhadap teman yang sedang kesulitan maupun yang sedang bahagia.

3. Belum optimalnya pelaksanaan metode storytelling untuk meningkatkan sikap empati pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman.

C. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah tersebut, dalam penelitian ini dibatasi pada masalah proses dan hasil dari metode storytelling untuk meningkatkan sikap empati pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman. D. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah proses meningkatkan sikap empati pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman melalui metode storytelling ? 2. Bagaimanakah hasil dari proses meningkatkan sikap empati melalui

metode storytelling pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman ?


(24)

9 E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan proses dan hasil proses sikap empati melalui metode storytelling pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan dalam bidang bimbingan dan konseling terutama yang berkaitan dengan meningkatkan sikap empati pada anak sekolah dasar melalui metode storytelling.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman sebagai calon pendidik yang akan membimbing baik di SD,SMP maupun SMA sederajat.

b. Bagi Guru Wali kelas

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada guru/wali kelas terkait permasalahan yang terjadi pada siswa dan tetap memantau perkembangan siswanya.

c. Bagi Siswa

Dapat dijadikan sebagai langkah awal bagi siswa dalam melatih sikap empati sebagai bekal nantinya untuk bergabung di lingkungan masyarakat yang lebih luas.


(25)

10 d. Bagi Peneliti Selanjutnya

Dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan penelitian yang akan dilakukan dan diharapkan dapat menemukan alternatif metode lain untuk meningkatkan empati.


(26)

11 BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian tentang Sikap Empati 1. Pengertian Empati

Istilah empati pertama kali dikemukakan oleh Edward Titchener berasal dari bahasa Yunani empatheia yang artinya memasuki perasaan orang lain atau ikut merasakan keinginan atau kesedihan seseorang (David Howe, 2015: 15). Menurut Goleman (2004: 136) kemampuan berempati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain. Empati merupakan akar kepedulian dan kasih sayang dalam setiap hubungan emosional seseorang dalam upayanya untuk menyesuaikan emosionalnya dengan emosional orang lain. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan non verbal seperti nada bicara, gerak gerik, ekspresi wajah, dan sebagainya.

Kemampuan empati yang dimiliki oleh seseorang dapat membuat orang tersebut memahami kondisi orang lain. Menurut Kohut (dalam Taufik, 2012: 40) empati sebagai suatu proses dimana seseorang berpikir mengenai kondisi orang lain sehingga Kohut mendefinisikan empati adalah kemampuan berpikir objektif tentang kehidupan terdalam dari orang lain.

Setiawati, dkk. (dalam Treni, 2012: 6) mengemukakan bahwa empati berkenaan dengan perasaan yang bermakna sebagai suatu kepekaan rasa atau terhadap hal-hal yang berkaitan secara emosional sehingga timbul respon empatik terhadap orang lain. Seseorang yang


(27)

12

berempati memiliki kepekaan rasa yang lebih baik daripada orang yang tidak berempati terhadap keadaan di sekitarnya. Kepekaan rasa ini adalah suatu kemampuan dalam bentuk mengenali dan mengerti perasaan orang lain.

Carl Rogers (dalam Taufik, 2012: 40) yang menyatakan bahwa empati adalah sikap memahami yang seolah-olah individu tersebut masuk dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan mengalami sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orang lain itu, tetapi tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri. Kemampuan empati dapat dikontrol oleh individu sehingga tidak hanyut dalam situasi orang lain.

Berdasarkan definisi para ahli dapat disimpulkan bahwa empati merupakan kemampuan seseorang dalam memahami perasaan orang lain, dapat mengenali kondisi orang lain, merasakan pengalaman orang lain serta dapat memberikan respon empatik yang sama terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain.

2. Pengertian Sikap

Setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap sebuah objek. Sikap berkaitan erat dengan perilaku seseorang. Menurut Sarlito Sarwono dkk. (2009: 83) mengemukakan sikap adalah suatu konsep yang melibatkan tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan perilaku. Komponen kognitif berupa semua pemikiran dan ide-ide baik positif maupun negatif yang berkaitan dengan objek. Komponen afektif berupa perasaan atau emosi seseorang yang diwujudkan melalui perasaan suka atau tidak suka, senang atau tidak senang terhadap suatu objek. Komponen perilaku dapat


(28)

13

diketahui melalui respon seseorang terhadap suatu objek yang ditunjukkan melalui tindakan atau perbuatan yang diamati.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan sikap adalah suatu konsep yang dapat diketahui melalui pengetahuan, perasaan dan kecenderungan tingkah laku seseorang terhadap suatu objek.

3. Komponen Empati

Kemampuan empati tersusun dari beberapa komponen. Menurut Hoffman dkk. (dalam Taufik, 2012: 43) komponen empati terdiri atas komponen kognitif dan afektif.

a. Komponen Kognitif

Komponen kognitif merupakan komponen yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Ketika seseorang memahami perasaan orang lain, maka individu tersebut mampu menempatkan diri dalam posisi orang lain. Baron & Byrne (2005: 112) mengungkapkan bahwa kemampuan kognitif adalah kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain, mampu menempatkan diri dalam posisi orang lain.

Hal yang sama diungkapkan oleh Fesbach (dalam Taufik, 2012: 44) bahwa komponen kognitif sebagai kemampuan untuk membedakan dan mengenali kondisi emosional yang berbeda. Sebagaimana yang dikemukakan oleh David Howe (2015: 24) bahwa empati kognitif didasarkan pada kemampuan melihat sebuah situasi dari sudut pandang orang lain. Hal ini melibatkan proses berpikir tentang pikiran orang lain dipadu dengan kemampuan untuk merasakan perasaan


(29)

14

orang lain. Secara garis besar bahwa aspek kognitif dari empati meliputi aspek pemahaman atas kondisi orang lain.

Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa empati kognitif adalah kemampuan memahami perasaan, dapat menempatkan diri dalam posisi atau kondisi orang lain.

b. Komponen Afektif

Colley (dalam Taufik, 2012: 51) menyatakan bahwa komponen afektif merujuk pada kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain. Empati afektif merupakan suatu kondisi dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi yang sedang dirasakan oleh orang lain. Aspek empati ini terdiri atas simpati, sensitivitas dan sharing penderitaan yang dialami orang lain seperti perasaan dekat terhadap kesulitan-kesulitan orang lain yang diimajinasikan seakan-akan dialami oleh diri.

Pengalaman emosional memiliki pengaruh terhadap individu untuk berempati. Menurut Colley, empati afektif merupakan suatu kondisi dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi yang sedang dirasakan oleh orang lain, atau perasaan mengalami bersama dengan orang lain.

Berdasarkan pendapat ahli, dapat disimpulkan empati afektif adalah suatu kondisi dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi yang dirasakan orang lain.


(30)

15 4. Proses Empati

Davis (dalam Taufik, 2012: 53) menggolongkan proses empati ke dalam empat tahapan, yaitu antecedents, processes, interpersonal outcomes, dan intrapersonal outcomes.

a. Antecedents

Antecedents yaitu kondisi-kondisi yang mendahului sebelum terjadinya proses empati. Setiap orang memiliki situasi yang berbeda dalam memunculkan sikap empatinya. Situasional khusus inilah yang menjadi pendahulu sebelum individu memunculkan sikap empatinya.

Situasional khusus terdiri dari dua kondisi, pertama, kekuatan situasi dan tingkat persamaan antara observer dan target. Kekuatan situasi sangat memengaruhi seseorang untuk berempati, misalnya ketika mengunjungi para korban bencana dan dihadapkan pada situasi yang menyedihkan, ketika itu ada gejolak dalam perasaan dan pikiran tentang situasi tersebut dan mencari solusi apa yang dapat dilakukan. Kedua, persamaan antara observer dan target, jika semakin tinggi tingkat persamaannya, maka semakin besar peluang observer untuk berempati. Misalnya persamaan tempat tinggal, etnis, agama, bangsa dan sebagainya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kondisi yang mendahului sebelum terjadi proses empati yaitu kekuatan situasi dan tingkat persamaan observer dan target.


(31)

16

b. Processes

Kemampuan empati yang dimunculkan oleh seseorang dibedakan menjadi tiga jenis proses yaitu non cognitive processes, simple cognitive processes, dan advance cognitive processes. Non cognitive processes terjadi karena disebabkan oleh proses-proses non kognitif, artinya tanpa memerlukan pemahaman terhadap situasi yang terjadi. Misalnya ketika satu bayi (A) menangis, selanjutnya akan diiringi oleh tangisan bayi lainnya (B). Proses empati jenis ini hanya melibatkan proses emosi dan terjadi dengan sendirinya.

Simple cognitive processes adalah proses empati yang hanya membutuhkan sedikit proses kognitif. Misalnya ketika seseorang menghadiri upacara wisuda atau pesta pernikahan, orang tersebut akan datang dengan menunjukkan sikap bahagia atau sebaliknya ketika menghadiri pemakaman, maka orang tersebut akan menunjukkan perasaan duka cita. Empati yang dimunculkan tidak membutuhkan proses yang mendalam, karena situasi-situasi tersebut mudah dipahami.

Advance cognitive processes adalah proses empati yang menuntut seseorang mengerahkan kemampuan kognitif. Misalnya ketika teman mengatakan “saya telah dipukuli oleh pencuri”. Ketika teman mengatakan kalimat itu, dia tidak menunjukkan wajah sedih atau menderita dan terkesan berekspresi datar. Namun orang tersebut meresponnya dengan sikap empatik. Sikap empatik yang ditunjukkan


(32)

17

ini merupakan proses yang dalam, membutuhkan pemahaman yang tinggi terhadap situasi yang terjadi.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan terdapat tiga jenis proses empati yaitu non cognitive processes, simple cognitive processes, dan advance cognitive processes. Ketiga proses ini ditimbulkan oleh penyebab yang berbeda-beda. Non cognitive processes terjadi tanpa memerlukan pemahaman terhadap situasi yang terjadi. Simple cognitive processes terjadi karena situasinya mudah dipahami. Advance cognitive processes berbeda dengan kedua proses sebelumnya karena pada proses ini memerlukan pemahaman yang tinggi terhadap situasi yang terjadi.

c. Intrapersonal Outcomes

Intrapersonal Outcomes terdiri dari dua macam yaitu affective outcomes dan non affective outcomes. Affective outcomes terdiri atas reaksi-reaksi emosional yang dialami observer dalam merespon pengalaman-pengalaman target. Affective outcomes terbagi dalam dua bentuk yaitu parallel dan reactive outcomes. Parallel outcomes yaitu adanya keselarasan antara yang seseorang rasakan dengan yang dirasakan atau dialami oleh orang lain. Sedangkan reactive outcomes didefinisikan sebagai reaksi-reaksi afektif terhadap pengalaman-pengalaman orang lain yang berbeda. Non affective outcomes didasarkan pada proses kognitif, karena observer secara cermat menangkap dan menganalisis situasi-situasi yang dihadapinya .


(33)

18

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan intrapersonal outcomes terdiri dari affective outcomes dan non affective outcomes. Affective outcomes terdiri atas reaksi-reaksi emosional yang dialami observer dalam merespon pengalaman target. Non affective outcomes didasarkan pada proses kognitif dikarenakan observer menangkap dan menganalisis situasi yang dihadapinya.

d. Interpersonal Outcomes

Interpersonal outcomes akan berdampak pada hubungan antara observer dan target. Salah satu bentuk dari interpersonal outcomes adalah munculnya helping behavior (perilaku menolong). Hubungan yang akan terjalin antara observer dan target salah satunya diawali dengan perilaku menolong. Jadi interpersonal outcomes diwujudkan dalam perilaku menolong yang nantinya akan mempererat hubungan hubungan antara observer dan target.

Dalam penelitian ini untuk siswa kelas IV proses empati lebih difokuskan pada simple cognitive proceses yaitu proses empati yang terjadi karena situansinya mudah dipahami dan interpersonal outcomes yang diwujudkan dalam perilaku menolong.

5. Perkembangan Empati

Kemampuan empati yang dimiliki setiap orang dapat dikembangkan melalui lingkungan sosialnya. Taufik (2012: 92) mengemukakan keberadaan empati adalah sesuatu yang telah dianugerahkan pada diri sejak bayi dan akan dibentuk serta dikembangkan oleh orang-orang di sekitarnya melalui berbagai


(34)

19

pengalaman yang ditemukan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun melalui pembelajaran langsung yang diberikan oleh orangtua kepada anak-anaknya.

Hoffman (dalam Taufik, 2012: 93) menjelaskan anak memiliki kapabilitas untuk mempelajari hubungan-hubungan yang sederhana dan bayi telah mengetahui tekanan-tekanan psikologis pada orang lain dengan ketidaknyamanan yang mereka rasakan.

Dovidio, Piliavin, Schroeder & Penner (dalam Taufik, 2012: 93) berpendapat anak pada usia 1-2 hari memang belum bisa berempati, namun telah memiliki potensi-potensi untuk berempati dan potensi tersebut nantinya harus terus dikembangkan oleh orangtua dan guru agar anak menjadi pribadi yang berempati.

Hoffman (dalam Taufik, 2012: 94) berpendapat bahwa selama tahun pertama, anak-anak tidak memiliki rasa tentang diri sendiri sebagai individu yang unik, terpisah dan berbeda dengan orang-orang disekitarnya karena anak belum dapat membedakan diri sendiri dengan orang lain.

Anak yang berusia 1 tahun mulai bisa memahami bahwa orang lain sedih, sementara anak belum bisa memahami kesedihannya sendiri. Kemampuan empati anak masih berorientasi pada diri sendiri yaitu hanya sebatas tahu kalau orang lain sedih maka sedihnya orang lain itu situasinya sama seperti saat dirinya sedang sedih.

Pada usia 2 atau 3 tahun, empati anak lebih berkembang ditandai dengan anak mulai memahami bermacam kondisi emosional dan


(35)

makna-20

makna istilah untuk berbagai keadaan yang berbeda seperti kekecewaan, kesedihan karena kehilangan, bahkan perasaan buruk tentang diri sendiri (misalnya harga diri yang rendah).

Pada masa akhir kanak-kanak, anak dapat mengalami empati dalam merespon kondisi kehidupan orang lain, tidak hanya terfokus pada diri sendiri. Reaksi-reaksi tersebut dapat diperoleh atau dipelajari oleh anak seiring dengan makin intensifnya berteman atau berinteraksi dengan teman sepermainannya yang berasal dari latar belakang yang berbeda beda.

Berdasarkan penjelasan para ahli dapat disimpulkan bahwa empati dapat dibentuk dan dikembangkan melalui orang-orang di sekitarnya. Perkembangan empati anak dimulai sejak bayi. Memasuki masa kanak-kanak akhir perkembangan empati anak semakin baik. Anak mengalami empati dalam merespon kondisi kehidupan orang lain. Reaksi tersebut didapat seiring dengan makin intensifnya berteman dengan teman dari latar belakang yang berbeda.

B. Kajian tentang Anak

1. Pengertian Masa Kanak-Kanak Akhir

Masa kanak-kanak akhir atau sering juga disebut dengan masa usia sekolah yaitu tahap transisi anak mulai dari taman kanak-kanak menuju sekolah dasar. Masa usia sekolah dialami anak pada usia 6 tahun sampai masuk ke masa pubertas dan masa remaja awal yang berkisar pada usia 11-13 tahun (Rita Eka I. dkk, 2008: 104). Pada masa ini anak paling peka, siap untuk belajar, dapat memahami pengetahuan, dan selalu ingin


(36)

21

bertanya. Anak akan mengalami perubahan yang dapat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosialnya.

Perkembangan sosial anak mulai meningkat yang ditandai dengan adanya perubahan pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai kebutuhan ketentuan maupun peraturan-peraturan. Masa usia sekolah disebut pula sebagai periode intelektual dimana keadaan emosionalitas anak jadi makin berkurang, sedangkan unsur intelek dan akal budi jadi semakin menonjol serta minat yang obyektif terhadap dunia sekitar menjadi semakin besar (Abu Ahmadi, 1991: 77).

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan masa kanak-kanak akhir adalah masa transisi anak dari taman kanak-kanak-kanak-kanak menuju sekolah dasar yang dialami pada usia 6 tahun sampai masuk ke masa pubertas awal yang berkisar pada usia 11-13 tahun.

2. Karakteristik Masa Kanak-kanak Akhir

Masa kanak-kanak akhir mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan masa kanak-kanak awal. Berikut ciri-ciri penting dari masa kanak-kanak akhir menurut Elizabeth B. Hurlock (1980: 146) yaitu :

a. Masa kanak-kanak akhir bagi orangtua merupakan usia yang menyulitkan yaitu suatu masa dimana anak tidak mau lagi menururti perintah dan dimana lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebaya daripada oleh orangtua dan anggota keluarga lain.

b. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia tidak rapih yaitu suatu masa dimana anak cenderung tidak memperdulikan dan ceroboh dalam


(37)

22

penampilan dan kamarnya sangat berantakan, terutama anak laki-laki kurang memperhatikan dan tidak bertanggungjawab terhadap pakaian dan benda-benda miliknya sendiri.

c. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia bertengkar yaitu suatu masa dimana banyak terjadi pertengkaran antarkeluarga dan suasana rumah yang tidak menyenangkan bagi semua anggota keluarga. Keluarga yang memiliki anak laki-laki dan perempuan adalah hal biasa jika anak laki-laki mengejek saudara perempuannya kemudian terjadi pertengkaran dalam bentuk maki-makian atau serangan fisik.

d. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia sekolah dasar dimana anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan mempelajari berbagai keterampilan tertentu, baik keterampilan kurikuler maupun ekstrakurikuler.

e. Masa kanak-kanak akhir merupakan periode kritis dalam dorongan berprestasi yaitu suatu masa dimana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses, atau sangat sukses.

f. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia berkelompok yaitu suatu masa dimana perhatian utama anak tertuju pada keinginan diterima oleh teman-teman sebaya sebagai kelompok, terutama kelompok yang bergengsi dalam pandangan teman-temannya.

g. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia penyesuaian diri yaitu anak ingin menyesuaikan dengan standar yang disetujui kelompok dalam penampilan, berbicara dan perilaku.


(38)

23

h. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia kreatif yaitu suatu masa dalam rentang kehidupan dimana akan ditentukan apakah anak-anak menjadi konformis atau pencipta karya yang baru dan orisinal.

i. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia bermain yaitu anak diberi kebebasan dalam mementukan minat dan kegiatan bermain yang menjadi pilihannya.

Masa kanak-kanak akhir terdiri dari dua fase yaitu masa kelas rendah dan masa kelas tinggi. Masa kelas rendah Sekolah Dasar yaitu berlangsung antara usia 6/7 tahun – 9/10 tahun, biasanya siswa duduk di kelas 1,2 dan 3 Sekolah Dasar, sedangkan masa kelas tinggi yaitu berlangsung antara usia 9/10 tahun – 12/13 tahun, biasanya mereka duduk di kelas 4,5 dan 6 sekolah dasar. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV Sekolah Dasar yang termasuk ke dalam katergori masa kelas tinggi. Ciri-ciri anak pada masa kelas-kelas tinggi Sekolah Dasar menurut Rita Eka I. dkk (2008: 116) adalah :

a. Perhatiannya tertuju kepada kehidupan praktis sehari-hari b. Ingin tahu, ingin belajar dan realistis

c. Timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus

d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah

e. Anak-anak suka membentuk kelompok sebaya atau peergroup untuk bermain bersama dan mereka membuat peraturan sendiri dalam kelompoknya.


(39)

24

Berdasarkan pendapat dari para ahli dapat disimpulkan karakteristik masa kanak-kanak akhir adalah :

a. Perhatiannya tertuju kepada kehidupan praktis sehari-hari b. Ingin tahu, ingin belajar dan realistis

c. Timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus

d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah

e. Anak-anak suka membentuk kelompok sebaya atau peergroup untuk bermain bersama dan mereka membuat peraturan sendiri dalam kelompoknya.

3. Tugas Perkembangan Masa Kanak-kanak Akhir

Tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada fase-fase tertentu dalam kehidupan individu. Keberhasilan melaksanakan tugas perkembangan itu akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas yang selanjutnya. Berikut tugas-tugas perkembangan pada masa sekolah menurut Winarno Surakhmad (1992: 24) :

1. Belajar menguasai keterampilan-keterampilan fisik untuk permainan-permainan yang umum

2. Membentuk sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai organisme yang sedang tumbuh

3. Belajar bergaul dengan baik bersama teman-teman sebaya 4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya


(40)

25

5. Mengembangkan keterampilan-keterampilan yang penting dalam hal membaca, menulis dan berhitung

6. Mengembangkan konsep-konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari

7. Mengembangkan pembentukan kata hati, moral dan nilai sosial 8. Mengembangkan sikap yang sehat terhadap kelompok-kelompok

sosial dan lembaga-lembaga

Keberhasilan dalam menyelesaikan tugas perkembangan pada masa kanak-kanak awal memang banyak ditentukan oleh lingkungan keluarga dan orang-orang terdekat dalam keluarga. Menurut Rita Eka Izzaty (2008: 104) keberhasilan melaksanakan tugas perkembangan pada masa kanak-kanak akhir adalah ditentukan oleh keluarga, sekolah dan lingkungan teman sebaya.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan tugas perkembangan masa kanak-kanak akhir adalah :

1. Belajar menguasai keterampilan-keterampilan fisik untuk permainan-permainan yang umum

2. Membentuk sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai organisme yang sedang tumbuh

3. Belajar bergaul dengan baik bersama teman-teman sebaya 4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya

5. Mengembangkan keterampilan-keterampilan yang penting dalam hal membaca, menulis dan berhitung


(41)

26

6. Mengembangkan konsep-konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari

7. Mengembangkan pembentukan kata hati, moral dan nilai sosial 8. Mengembangkan sikap yang sehat terhadap kelompok-kelompok

sosial dan lembaga-lembaga C. Kajian tentang Storytelling

1. Pengertian Storytelling

Storytelling adalah kegiatan menyampaikan cerita dari seseorang storyteller kepada pendengar dengan tujuan memberikan informasi bagi pendengar sehingga dapat digunakan untuk mengenali emosi dirinya sendiri dan orang lain, serta mampu melakukan problem solving. Storytelling disampaikan tanpa menggunakan alat peraga, namun dengan mengandalkan kualitas vokal, mimik wajah, gerakan tangan serta tubuh (Rita Diah Ayuni dkk, 2013: 123).

Menurut Henny (dalam Muallifah, 2013: 99) dalam proses pembelajaran storytelling atau metode bercerita merupakan salah satu metode untuk meningkatkan kemampuan berbicara. Bercerita bukan hanya berbagi pengetahuan tentang isi cerita dan pengalaman, tetapi juga memberikan suatu nasihat kepada anak. Selain itu bercerita juga dapat memperkenalkan anak kepada nila-nilai moral dan sosial. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Brewer (dalam Mualifah, 2013: 100) menggambarkan storytelling adalah bertutur dengan intonasi yang jelas, menceritakan sesuatu yang berkesan, menarik, punya nilai-nilai khusus dan punya tujuan khusus.


(42)

27

Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa storytelling adalah metode yang dilakukan dengan menceritakan (mendongengkan) sebuah cerita yang didalamnya terdapat nilai-nilai moral dan sosial.

2. Unsur – unsur Storytelling

Sebuah cerita memiliki unsur-unsur penting yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tersebut dikenal dengan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun dari dalam sebuah cerita. Menurut Enny Zubaidah (2012: 62-93) unsur intrinsik meliputi: (a) tema dan amanat, (b) tokoh dan penokohan, (c) alur, (d) seting/latar, (e) sudut pandang, dan (f) gaya penceritaan. Berikut adalah penjelasan unsur intrinsik yang terkandung dalam cerita :

(1) Tema dan Amanat

Tema adalah pesan cerita, yang merupakan perasaan, ide, dan makna yang ingin disampaikan penulis tentang kehidupan, nilai, kepercayaan, atau perilaku manusia. Tema memegang peranan penting dalam storytelling. Sebuah cerita harus memiliki tema yang menarik untuk disampaikan kepada anak sehingga menarik perhatian anak dalam mengikuti storytelling .

Sebuah cerita selain memiliki tema tentu terdapat amanat yang terkandung di dalamnya. Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Hal penting yang harus diperhatikan adalah kejelasan tema cerita sehingga memudahkan anak dalam memahami amanat yang terkandung dalam cerita.


(43)

28 (2) Tokoh dan Penokohan

Sebuah cerita menjadi lebih menarik apabila melibatkan tokoh yang mempunyai sifat yang berbeda-beda. Tokoh cerita atau sering dikenal dengan pelaku cerita memiliki sifat, kebiasaan, dan tingkahlaku yang secara keseluruhan mampu menggambarkan seseorang. Tokoh yang digunakan dalam cerita memiliki peran untuk menghidupkan sebuah cerita. Jadi tokoh yang dideskripsikan memiliki sifat yang berbeda-beda akan membuat cerita menjadi lebih menarik sehingga mempunyai kesan tersendiri bagi anak-anak yang membacanya.

(3) Alur

Alur adalah jalan sebuah cerita dari awal sampai akhir cerita disampaikan. Sebuah cerita dapat dipahami karena memiliki alur yang jelas. Dalam pelaksanaan storytelling, haruslah memilih cerita yang mempunyai alur yang jelas dan mudah dipahami sehingga anak dapat mengerti isi cerita di dalamnya.

(4) Seting atau Latar Cerita

Latar menggambarkan tempat, suasana, dan waktu terjadinya peristiwa ketika peristiwa tersebut berlangsung. Tempat bisa terjadi di rumah, di hutan, dikantor, dan sebagainya. Waktu bisa berlangsung pagi hari, siang hari, sore hari, malam hari, besok, atau pun lusa.Suasana dapat berlangsung ketika cuaca panas, dingin, sejuk dan sebagainya.


(44)

29 (5) Gaya Penceritaan

Gaya cerita memegang peranan penting untuk menarik perhatian anak. Hal ini terlihat dari cara pemilihan kata, penggunaan kalimat dalam gaya bahasa, teknik penggambaran tokoh, latar cerita dan sebagainya. Sebuah cerita yang dapat dipahami oleh anak adalah cerita yang menggunakan bahasa sederhana sehingga tidak membingungkan anak.

(6) Sudut Pandang

Sudut pandang merupakan cara penulis dalam menyampaikan cerita melalui tokoh dan unsur yang ditampilkan. Sebuah cerita tergantung dari siapa yang menceritakan. Oleh karena itu, cerita dapat berubah jika cerita itu ditulis melalui sudut pandang yang orang yang berbeda.

Unsur ekstrinsik berbeda dengan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar cerita seperti masyarakat, agama, politik, ekonomi dan filsafat. Sebuah cerita yang dibuat oleh seseorang tergantung pada seberapa luas dan dalamnya pegetahuan orang tersebut sehingga mempengaruhi cerita yang dihasilkan.

3. Manfaat Storytelling

Bagi anak-anak, duduk yang manis menyimak penjelasan dan nasihat merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Sebaliknya jika mereka diminta untuk duduk berlama-lama untuk menyimak cerita atau dongeng adalah hal yang menyenangkan. Oleh karena itu, mendidik dan


(45)

30

menasehati anak melalui cerita memberikan efek pemuasan terhadap kebutuhan akan imajinasi dan fantasi.

Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2005: 24) bercerita menjadi sesuatu yang penting bagi anak karena beberapa alasan :

1. Bercerita merupakan alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah dicerna anak disamping teladan yang dilihat anak setiap hari.

2. Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk mengembangkan kemampuan bersimpati dan berempati terhadap peristiwa yang menimpa orang lain. Hal tersebut mendasari anak untuk memiliki kepekaan sosial.

3. Bercerita memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan guru sebagai pencerita, seperti kedekatan emosional sebagai pengganti figur lekat orangtua.

4. Bercerita mendorong anak memberikan “makna” bagi proses belajar terutama mengenai empati sehingga anak dapat berpikir bagaimana seharusnya memandang sesuatu masalah dari sudut pandang orang lain. Dengan kata lain, anak belajar memahami sudut pandang orang lain secara lebih jelas berdasarkan perkembangan psikologis masing-masing.

Menurut Musfiroh (Elis, 2009)(Musfiroh, 2005) dalam Treni (2012: 8) berpendapat terdapat beberapa alasan menjadi sesuatu yang penting yaitu sebagai berikut :

1. Memberi contoh pada anak bagaimana menyikapi suatu masalah dengan baik, bagaimana melakukan pembicaraan yang baik,


(46)

31

sekaligus memberi pelajaran pada anak bagaimana cara mengendalikan keinginan-keinginan yang dinilai negatif oleh masyarakat.

2. Mendongeng memberi ruang gerak pada anak kapan sesuatu nilai berhasil ditangkap dan diaplikasikan.

Pendapat yang sama diungkapkan oleh Moeslichaton (dalam Muallifah, 2013: 98) bahwa metode bercerita (storytelling) memiliki manfaat, diantaranya :

1. Menyisipkan sifat empati, kejujuran, kesetiaan, keramahan dan ketulusan.

2. Memberikan sejumlah pengetahuan sosial, moral, dan lain sebagainya.

3. Melatih anak belajar mendengarkan apa yang disampaikan.

4. Membuat anak bisa mengembangkan aspek psikomotor, kognitif dan afektif.

5. Mampu meningkatkan imajinasi dan kreatifitas anak.

Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan manfaat storytelling sebagai berikut :

1. Bercerita merupakan alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah dipahami anak disamping teladan yang dilihat anak setiap hari. 2. Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk

mengembangkan kemampuan bersimpati dan berempati terhadap peristiwa yang menimpa orang lain.


(47)

32

3. Bercerita memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan guru sebagai pencerita.

4. Bercerita mendorong anak memberikan “makna” bagi proses belajar terutama mengenai empati.

5. Memberi contoh pada anak bagaimana menyikapi suatu masalah dengan baik

6. Memberi ruang gerak pada anak kapan sesuatu nilai berhasil ditangkap dan diaplikasikan.

4. Teknik Penyajian Storytelling

Sebuah cerita akan menjadi lebih menarik tergantung bagaimana cara guru sebagai storyteller dalam menyampaikan cerita. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2005: 141-159) teknik penyajian storytelling terbagi menjadi dua macam yaitu bercerita dengan alat peraga dan bercerita tanpa alat peraga.

a. Bercerita dengan Alat Peraga

Bercerita dengan alat peraga merupakan salah satu alternatif agar kegiatan storytelling menjadi lebih menarik. Alat peraga yang paling sederhana adalah buku, gambar, papan flanel, boneka dan film bisu. a) Bercerita dengan Alat Peraga Buku

Bercerita dengan alat peraga buku dikategorikan sebagai reading aloud (membaca nyaring). Membacakan cerita dalam buku memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Beberapa kelebihan yaitu pertama, membacakan cerita dalam buku merupakan demonstrasi terbaik bagaimana mencintai buku;


(48)

33

kedua, buku merupakan sumber ide terbaik; ketiga, ketika menyimak tulisan, anak memiliki kesempatan untuk memprediksi kata dari kelanjutan cerita; keempat, gambar dalam buku membantu pemahaman anak; kelima, keberadaan buku mendorong anak untuk belajar membacanya sendiri begitu kegiatan bercerita selesai.

Kelemahan pada teknik ini yaitu kegiatan bercerita dapat menjadi monoton dan membosankan. Penggunaan terknik ini tergantung kepada guru yang membacakan cerita. Jika guru tersebut membacakan cerita dengan intonasi, ekspresi dan menguasai isi cerita maka, kegiatan storytelling akan menarik meskipun dengan membaca buku.

b) Bercerita dengan Alat Peraga Gambar

Alat peraga gambar yang dapat digunakan untuk menyampaikan dongeng kepada anak meliputi gambar berseri dalam bentuk kertas lepas dan buku, serta gambar di papan flanel. Keduanya dapat diterapkan dengan memperhatikan jumlah anak, kebutuhan media, dan kesesuaian cerita.

Media gambar dalam bentuk kertas lepas dan buku sesuai apabila jumlah anak tidak terlalu banyak dan sebaliknya, gambar di papan flanel dapat digunakan untuk jumlah yang lebih besar mengingat papan flanel memiliki daya jangkau yang lebih luas daripada gambar lepas dan buku.


(49)

34

Bercerita dengan gambar lepas membutuhkan penguasaan cerita yang baik. Guru dituntut bukan saja hafal cerita tetapi juga memiliki kemampuan mensinkronkan gambar dan cerita, serta keterampilan mengkomunikasikan gambar kepada pendengar. c) Bercerita dengan Alat Peraga Boneka

Boneka menjadi alat peraga yang dianggap mendekati natularitas bercerita. Tokoh-tokoh yang diwujudkan melalui boneka berbicara dengan gerakan-gerakan yang mendukung cerita dan mudah diikuti anak. Melalui boneka, anak tahu tokoh mana yang sedang berbicara, apa isi pembicaraannya dan bagaimana perilakunya. Boneka kadang menjadi sesuatu yang hidup dalam imajinasi anak.

Boneka menjadi alat yang menarik bagi anak-anak bila digunakan dalam kegiatan storytelling. Jenis cerita yang disampaikan dengan alat peraga boneka adalah cerita dongeng dan cerita rakyat. Boneka yang biasa digunakan untuk storytelling adalah kancil, tikus, monyet, gajah, semut dan lain-lain.

Bercerita dengan boneka membutuhkan persiapan yang matang, terutama persiapan memainkan boneka. Keterampilan menggerak-gerakkan jari dengan lincah menjadi bagian penting dalam memainkan peran para tokoh. Keterampilan memainkan boneka menjadi faktor penentu keberhasilan bercerita disamping keterampilan berolah suara.


(50)

35

d) Bercerita dengan Media Gambar Gerak

Bercerita dengan teknik ini masih jarang dipergunakan oleh guru ketika melakukan storytelling. Bercerita dengan media gambar gerak adalah bercerita menggunakan film bisu. Gambar dan film dibuat berurutan dalam satu jalinan cerita, sedangkan narasi dan dialog diisi oleh guru.

Cerita jenis ini kadang dipergunakan oleh pendongeng untuk menghibur pendengar dalam jumlah banyak. Bercerita dengan media ini memerlukan keterampilan bercerita yang tinggi dan prima. Disamping menghafal skenario cerita, pencerita juga harus memiliki berbagai karakter suara tokoh dan kemampuan bernada yang baik. Suara hasil aksi seperti memukul, menendang, mengaduh dan meloncat juga sangat baik jika dikuasai pendongeng.

b. Bercerita tanpa Alat Peraga

Bercerita tanpa alat peraga disebut juga bercerita secara langsung. Teknik ini sering digunakan oleh guru dalam melakukan storytelling. Teknik ini tidak terikat tempat, waktu, dan orang yang hadir. Meskipun fleksibel, bercerita dengan tanpa alat peraga membutuhkan keterampilan dan memori yang tinggi. Hal ini dikarenakan ketika storytelling tidak ada alat bantu apapun yang dapat membangkitkan daya ingat akan peristiwa, narasi dan dialog tokoh-tokohnya.

Bercerita tanpa alat peraga ini sangat mengandalkan kualitas suara, ekspresi wajah, serta gerak tangan dan tubuh. Untuk mengatasi


(51)

36

hal ini, guru mungkin memerlukan catatan kecil sebagai penolong jika ada bagian yang terlupakan.

Metode storytelling dalam penelitian ini adalah bercerita dengan alat peraga yaitu buku bacaan. Hal ini dilakukan untuk menghindari bagian-bagian yang terlupakan oleh guru sehingga keseluruhan isi cerita dapat disampaikan secara lengkap tanpa ada kekurangan apapun dan siswa dapat memahami makna yang terkandung dalam cerita. 5. Rancangan Kegiatan Storytelling

Sebelum memulai kegiatan bercerita, guru terlebih dahulu membuat rancangan kegiatan storytelling yang meliputi proses persiapan awal sampai penutup akhir cerita. Menurut Moeslichatoen (2004: 175) dalam rancangan kegiatan bercerita terdapat rancangan persiapan guru, pelaksanaan, dan penilaian kegiatan bercerita.

a. Rancangan Persiapan Guru

Guru melakukan persiapan terlebih dahulu sebelum melaksanakan kegiatan storytelling. Secara umum persiapan guru untuk merancang kegiatan storytelling adalah sebagai berikut :

1. Menetapkan tujuan dan tema/judul cerita yang dipilih.

Sebuah cerita harus memiliki tujuan yang jelas dan sesuai dengan tema ataupun judul cerita yang dipilih. Setelah menetapkan tujuan, pilihlah tema atau judul cerita yang dapat menarik perhatian anak sehingga anak antusias dalam mengikuti kegiatan storytelling.


(52)

37

2. Menetapkan bentuk cerita yang dipilih.

Guru harus menetapkan bentuk cerita yang disampaikan kepada anak. Cerita yang disampaikan dapat menggunakan ilustrasi gambar, majalah/buku, maupun papan flanel.

3. Menetapkan rancangan bahan dan alat yang diperlukan untuk kegiatan bercerita.

Bahan dan alat yang digunakan tergantung alat peraga yang digunakan.

b. Rancangan Pelaksanaan Kegiatan Bercerita

Kegiatan storytelling dapat berjalan dengan baik karena ada proses atau langkah-langkah sebagai acuan dalam melaksanakannya. Langkah-langkah kegiatan storytelling adalah sebagai berikut : 1. Mengkomunikasikan tujuan dan tema/judul cerita kepada anak. 2. Mengatur tempat duduk anak.

3. Membuka kegiatan bercerita dengan menggali pengalaman anak yang berkaitan dengan cerita.

4. Mengembangkan cerita dengan menyampaikan fakta-fakta yang terjadi di kehidupan sehari-hari.

5. Menyampaikan cerita dengan memberikan gambaran positif dari sebuah peristiwa.


(53)

38

c. Menetapkan Rancangan Penilaian Kegiatan Bercerita

Penilaian kegiatan bercerita dilakukan dengan menggunakan teknik bertanya pada akhir kegiatan yang memberi petunjuk seberapa besar perhatian dan tanggapan anak terhadap isi cerita. Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan rancangan kegiatan storytelling yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Menetapkan masalah untuk diberikan tindakan

Peneliti menetapkan masalah untuk diberikan tindakan dalam kegiatan storytelling. Permasalahan yang ditampilkan yaitu sikap empati sesuai dengan judul penelitian yang diteliti.

2. Memilih cerita yang akan disampaikan kepada siswa

Pemilihan cerita untuk disampaikan pada kegiatan storytelling diambil dari buku cerita anak yang isi cerita secara keseluruhan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

3. Membuka kegiatan bercerita dengan memberikan pengantar awal Untuk memulai topik yang berkaitan dengan cerita maka, guru dapat mengajukan pertanyaan kepada siswa sebagai pengantar sehingga ada interaksi awal yang baik dalam membangun antusias siswa dalam kegiatan storytelling.

4. Mengkomunikasikan tujuan dan tema/judul dalam kegiatan bercerita kepada siswa

Pada tahapan ini peneliti menjelaskan tujuan dari kegiatan storytelling yang dilakukan dan judul cerita yang disampaikan agar siswa memahami dan mengerti apa yang dilakukan oleh gurunya.


(54)

39 5. Memulai kegiatan bercerita

Guru mulai membacakan cerita yang dipilih dan meminta siswa untuk konsentrasi dalam mendengarkan cerita yang disampaikan. 6. Melakukan tanya jawab dengan siswa

Setelah cerita selesai dibacakan, guru dan siswa melakukan tanya jawab terkait cerita tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah siswa mendengarkan dan mengerti isi cerita yang disampaikan oleh guru.

7. Menutup kegiatan dengan pernyataan penutup

Guru dapat menutup kegiatan storytelling dengan penyataan tertutup terkait cerita yang disampaikan seperti menyampaikan amanat yang terkandung dalam cerita.

D. Penelitian yang Relevan

Penelitian terdahulu yang dapat dijadikan acuan adalah hasil penelitian Rita Diah Ayuni dkk. (2013: 126) membuktikan pengaruh pada perilaku empati anak, khususnya pada aspek fantasi dikarenakan anak diajak untuk mengimajinasikan cerita yang disampaikan. Melalui imajinasi-imajinasi yang telah terjadi pada saat storytelling, anak kemudian dapat membayangkan perasaan dan pikiran tokoh permainan yang sedang dibuatnya.

Pada penelitian ini, variabel yang diteliti sama yaitu empati. Namun, pendekatan penelitian dan subjek penelitian berbeda. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasi dan subjek penelitian adalah siswa kelas II.


(55)

40

Hasil Penelitian yang dilakukan oleh F. Widiana Satya P (2012: 21) menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan antara kemampuan empati anak sebelum dan sesudah mengikuti pembacaan buku cerita. Hal ini dibuktikan dari hasil post test yang lebih tinggi dari pre test. Anak yang memiliki skor pre test yang rendah dan kemudian memiliki skor post test yang tinggi. Penelitian ini membuktikan bahwa pembacaan buku cerita efektif dalam meningkatkan kemampuan empati anak.

Penelitian ini memiliki persamaan variabel yang diteliti yaitu kemampuan empati. Perbedaan penelitian ini terletak pada pendekatan penelitian dan subjek penelitian. Pendekatan penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen dan subjek penelitian adalah anak usia 6-7 tahun yang bersekolah di Taman Kanak-Kanak.

E. Kerangka Pikir

Sikap empati yang dibahas dalam penelitian ini akan dibatasi dan difokuskan pada masa kanak-kanak akhir atau masa usia sekolah. Masa kanak-kanak akhir adalah masa dimana anak akan memasuki babak baru dalam kehidupannya yaitu masuk Sekolah Dasar (SD). Lingkungan yang baru menuntut anak untuk dapat menyesuaikan diri. Ketika masuk sekolah dasar, anak akan mengenal teman sebayanya, guru sekolah maupun warga sekolah lainnya. Anak juga akan lebih sering menghabiskan waktu dengan teman sebayanya. Teman sebaya dapat memberikan pengaruh baik maupun buruk. Oleh karena itu, agar anak terhindar dari perilaku menyimpang yang dapat menghambat tugas perkembangannya maka peran keluarga sangatlah penting dalam menanamkan nilai-nilai yang dapat membantu anak dalam


(56)

41

membangun hubungan sosialnya. Salah satunya yaitu dengan mengajarkan anak bahwa pentingnya memiliki rasa kasih sayang terhadap orang lain yang diwujudkan dalam sikap empati.

Goleman (2004: 148) menyatakan bahwa anak-anak dengan empati mampu menjalin hubungan sosial yang baik karena empati mendasari banyak segi tindakan dan pertimbangan moral. Hal ini menandakan bahwa pentingnya bagi anak untuk memiliki sikap empati karena akan berpengaruh terhadap perkembangan hubungan sosialnya. Namun, sikap empati pada setiap anak itu berbeda-beda. Untuk meningkatkan sikap empati pada anak-anak, maka dibutuhkan sebuah metode yang nantinya dapat memiliki dampak yang baik bagi perkembangan empati anak. Metode tersebut adalah storytelling. Sekolah yang menjadi tempat penelitian yaitu SD Negeri Caturtunggal 3 Depok. Di sekolah tersebut sudah pernah dilakukan storytelling, namun belum optimal sehingga harus ada perbaikan agar dapat meningkatkan sikap empati anak.

Storytelling merupakan kegiatan menyampaikan cerita kepada pendengar dengan tujuan memberikan informasi atau pesan yang terkandung di dalam cerita agar pendengar dapat merasakan emosi sesuai dengan jalan cerita yang disampaikan. Bercerita bukan hanya berbagi pengetahuan tentang isi cerita dan pengalaman, tetapi juga memberikan suatu nasihat kepada anak dan memperkenalkan anak kepada nila-nilai moral dan sosial.

Selama melakukan kegiatan storytelling, sikap empati yang diharapkan muncul pada anak adalah dilihat dari bagaimana ekspresi anak dalam mendengarkan cerita, pendapat anak terhadap cerita yang telah disampaikan,


(57)

42

perumpamaan jika anak menjadi salah satu tokoh dalam cerita tersebut, apa yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah yang pada cerita tersebut.

Peneliti menggunakan tiga teknik pengumpulan data untuk mengukur sikap empati siswa yaitu wawancara, observasi dan skala sikap empati. Hasil dari analisis ketiga teknik ini akan menunjukkan apakah sikap empati siswa mengalami peningkatan atau tidak.

Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir

F. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini adalah metode storytelling mampu meningkatkan sikap empati siswa kelas IV di SD Negeri Caturtunggal 3.

Metode Storytelling Sikap empati rendah / kurang

Wawancara Observasi Skala Sikap Empati

Sikap empati siswa meningkat


(58)

43 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian Tindakan Kelas merupakan salah satu upaya guru atau praktisi dalam bentuk berbagai kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu pembelajajaran di kelas (Kasihani Kasbolah, 1998: 13). Penelitian tindakan kelas adalah salah satu strategi pemecahan masalah yang memanfaatkan tindakan nyata dan proses pengembangan kemampuan dalam mendeteksi dan memecahkan masalah (Depdikbud Dirjendikdasmen Dikmen, 1999: 1). Penelitian Tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan dengan (1) merencanakan, (2) melaksanakan, dan (3) merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan memperbaiki kinerja sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat (Wijaya Kusuma dkk, 2010: 9).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru yang bertujuan untuk memecahkan masalah dalam situasi sosial dengan melakukan suatu tindakan nyata sehingga dapat memperbaiki atau meningkatkan mutu pembelajaran di kelas. Apabila diterapkan dalam bimbingan dan konseling, penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah dalam situasi sosial dengan melakukan suatu tindakan nyata sehingga dapat memperbaiki atau meningkatkan kualitas hubungan sosial terutama terkait peningkatan sikap empati siswa.


(59)

44 B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Caturtunggal 3 Depok yang beralamat di Jalan Kaliurang KM. 4 Depok Sleman Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan bulan April sampai Mei 2016.

C. Subjek dan Objek Penelitian

Penentuan subjek dalam penelitian ini adalah menggunakan purposive

sampling. Purposive sampling adalah teknik sampling yang lebih

mengutamakan tujuan penelitian yang akan dicapai dalam menentukan sampel penelitian (Burhan Bungin, 2005: 125). Pertimbangan dari pemilihan sampel adalah dengan memilih siswa yang belum bisa memunculkan sikap empati. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok yang selama melakukan observasi dan wawancara menunjukkan bahwa siswa di kelas tersebut belum bisa memunculkan sikap empati dan objek penelitiannya adalah sikap empati siswa kelas IV.

D. Variabel Penelitian

Sugiyono (2011: 63) menjelaskan bahwa variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut dan kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Independen

Variabel independen atau variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel independen dalam penelitian ini adalah storytelling.


(60)

45 2. Variabel Dependen

Variabel dependen atau variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah sikap empati.

E. Desain Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari rangkaian kegiatan berupa perencanaan, tindakan dan pengamatan, serta refleksi. Peneliti terlibat secara langsung dari tahap perencanaan, observasi, mencatat dan mengumpulkan data. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pendahuluan atau pra tindakan dan tahap pelaksanaan tindakan.

1. Tahap Pendahuluan (Pra Tindakan)

Sebelum dilakukan tindakan terlebih dahulu, peneliti melakukan beberapa langkah pra tindakan agar pelaksanaan tindakan berjalan sesuai dengan tujuan. Langkah-langkah pra tindakan adalah sebagai berikut : a. Peneliti melakukan observasi langsung untuk melihat bagaimana

perilaku siswa di kelas maupun luar kelas.

b. Peneliti melakukan wawancara dengan guru wali kelas dan siswa kelas IV terkait dengan sikap empati siswa yang belum terlihat, kemudian peneliti juga menjelaskan metode storytelling sebagai alternatif peningkatan sikap empati.

c. Peneliti bekerjasama dengan guru wali kelas dalam melaksanakan tindakan terhadap subjek penelitian.

d. Peneliti meminta izin kepada kepala pihak sekolah untuk melakukan penelitian.


(61)

46 2. Tahap Pelaksanaan Tindakan

Pada tahap ini peneliti menggunakan model Spiral dari Kemmis & McTaggart. Berikut ini bentuk desain Kemmis & Mc Taggart (Depdikbud Dirjendikdasmen Dikmen, 1999: 21) :

Gambar 2. Alur Penelitian Tindakan Kelas Model Kemmis dan Mc Taggart Siklus dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Perencanaan

Tahap perencanaan dimulai dengan membuat rencana pelaksanaan layanan, format observasi, format wawancara dan menyusun instrument berupa skala sikap empati yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data. Sebelum memulai tindakan, peneliti menentukan cerita yang disampaikan dan menentukan jadwal pemberian tindakan storytelling.

2. Pelaksanaan Tindakan dan Pengamatan

Sebelum melaksanakan tindakan, peneliti terlebih dahulu membagikan skala empati kepada siswa sebagai acuan bagaimana kapasitas empati siswa. Pelaksanaan tindakan mengacu pada rencana


(62)

47

yang sudah disusun sebelumnya. Pelaksanaan tindakan peneliti berkolaborasi dengan guru wali kelas sebagai pelaksana tindakan pada saat penelitian. Pengamatan dilaksanakan pada saat dilakukan tindakan dan setelah dilakukannya tindakan peningkatan sikap empati siswa melalui metode storytelling. Observasi ini meliputi antusias siswa dalam dalam proses tindakan, susasana di dalam kelas ketika mengukuti tindakan dan hambatan yang dialami ketika menggunakan metode storytelling. Pada tahap ini pihak-pihak yang dilibatkan adalah guru wali kelas, siswa dan peneliti.

Metode storytelling dilaksanakan dalam 6 kali tindakan. Judul cerita yang disampaikan yaitu sebagai berikut :

Judul cerita Tindakan I : Kentang Ajaib Judul cerita Tindakan II : Ibu Bermata Satu

Judul cerita Tindakan III : Rasulullah dan Seorang Pengemis Buta

Judul cerita Tindakan IV : Sepeda Motor Baru Judul cerita Tindakan V : Ibu Pemungut Beras Judul cerita Tindakan VI : Dibuang Ke Hutan 3. Refleksi

Tahap refleksi yaitu dengan mengumpulkan data dari proses tindakan kemudian dianalisis sebagai hasil refleksi. Berdasarkan hasil data yang telah dianalisis, peneliti dapat mengetahui apakah metode storytelling dapat meningkatkan sikap empati siswa atau tidak. Setelah mengetahui hasil dari refleksi, maka hasil tersebut


(63)

48

dapat digunakan sebagai pedoman untuk merencanakan tindakan pada siklus selanjutnya yang lebih efektif.

F. Skenario Siklus

Skenario siklus kegiatan storytelling yang direncanakan dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:

1. Menetapkan masalah untuk diberikan tindakan

Peneliti menetapkan masalah untuk diberikan tindakan dalam kegiatan storytelling. Permasalahan yang ditampilkan yaitu sikap empati sesuai dengan judul penelitian yang diteliti.

2. Memilih cerita untuk disampaikan kepada siswa

Pemilihan cerita untuk disampaikan pada kegiatan storytelling diambil dari buku cerita anak yang isi cerita secara keseluruhan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

3. Membuka kegiatan bercerita dengan memberikan pengantar awal

Untuk memulai topik yang berkaitan dengan cerita maka, guru dapat mengajukan pertanyaan kepada siswa sebagai pengantar sehingga ada interaksi awal yang baik dalam membangun antusias siswa dalam kegiatan storytelling.

4. Mengkomunikasikan tujuan dan judul dalam kegiatan bercerita kepada siswa

Pada tahapan ini peneliti menjelaskan tujuan dari kegiatan storytelling yang dilakukan dan judul cerita yang disampaikan agar siswa memahami dan mengerti apa yang dilakukan oleh gurunya.


(64)

49 5. Memulai kegiatan bercerita

Guru mulai membacakan cerita yang dipilih dan meminta siswa untuk konsentrasi dalam mendengarkan cerita yang disampaikan.

6. Melakukan tanya jawab dengan siswa

Setelah cerita selesai dibacakan, guru dan siswa melakukan tanya jawab terkait cerita tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah siswa mendengarkan dan mengerti isi cerita yang disampaikan oleh guru. 7. Menutup kegiatan dengan pernyataan penutup

Guru dapat menutup kegiatan storytelling dengan penyataan tertutup terkait cerita yang disampaikan seperti menyampaikan amanat yang terkandung dalam cerita.

G. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data 1. Skala

Peneliti menggunakan skala dengan empat pilihan jawaban. Skala ini diberikan kepada siswa untuk mengetahui tingkat sikap empati anak sebelum maupun sesudah diberikan tindakan. Berikut adalah langkah-langkah untuk membuat skala sikap empati yaitu :

a. Penyusunan Definisi Operasional

Sikap adalah suatu konsep yang dapat diketahui melalui pengetahuan, perasaan dan kecenderungan tingkah laku seseorang terhadap suatu objek.

Empati adalah kemampuan seseorang dalam memahami perasaan orang lain, dapat mengenali kondisi orang lain, merasakan


(65)

50

pengalaman orang lain serta dapat memberikan respon empatik yang sama terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain.

Storytelling adalah metode yang dilakukan dengan menceritakan (mendongengkan) sebuah cerita yang didalamnya terdapat nilai-nilai moral dan sosial.

b. Membuat Kisi-Kisi Skala Sikap Empati

Kisi-kisi sikap empati dibuat berdasarkan definisi operasional yang telah dikemukakan. Adapun kisi-kisi skala sikap empati dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Kisi-Kisi Skala Sikap Empati

No Aspek Indikator Deskriptor Positif Negatif Nomor Item Jumlah 1 Kognitif Memahami

perasaan orang lain

Memahami

kesulitan orang lain

1,17,33

,45 9,25,39,48 8 Memahami

kebahagiaan orang lain

10,26,4

0,49 2,18,34,46 8 Mengenali

kondisi orang lain

Mengenali

kondisi orang lain yang sedang bahagia dari mimik wajah

3,19 11,27 4

Mengenali

kondisi orang lain yang sedang sedih mimik wajah

12,28,3

5 4,20,41 6

2 Afektif Merasakan pengalaman orang lain

Merasakan

pengalaman yang menyenangkan orang lain

5,21,42

,47 13,29,36 7

Merasakan

pengalaman tidak menyenangkan orang lain

14,30,3

7,50 6,22,43 7

Memberikan


(66)

51 empatik

terhadap orang lain

secara verbal Memberikan respon empatik secara non verbal

16,32,5

1 8,24,38 6

Jumlah 51

c. Penyusunan item skala berdasarkan kisi-kisi

Pada skala likert, responden diminta untuk menjawab suatu pernyataan positif dan negatif yang berhubungan dengan empati menggunakan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Masing-masing jawaban diberikan nilai. Untuk bentuk pernyataan positif urutan skornya 4, 3, 2, 1, sedangkan untuk bentuk pernyataan negatif urutan skornya 1, 2, 3, 4.

Hasil dari skala ini memaparkan bagaimana sikap empati siswa sebelum diberikan tindakan dan menyatakan apakah siswa mengalami peningkatan sikap empati atau tidak setelah diberikan tindakan. Hasil skala tersebut disesuaikan dengan standar nilai untuk mengukur sikap empati siswa sekolah dasar.

2. Observasi

Sutrisno Hadi (dalam Sugiyono, 2011: 196) menjelaskan observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Menurut Nasution (2012: 106) observasi dilakukan untuk memperoleh informasi tentang tentang kelakuan manusia seperti terjadi dalam kenyataan sehingga memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial yang sukar diperoleh dari metode lain. Dalam observasi ini peneliti mengamati keadaan yang


(67)

52

wajar dan sebenarnya tanpa usaha yang disengaja untuk mempengaruhi, mengatur, atau memanipulasinya.

Observasi sebagai salah satu alat pengumpul data diharapkan dapat membantu peneliti dalam melakukan observasi menurut kenyataan, melukiskannya dengan kata-kata secara cermat dan tepat apa yang diamati, mencatatnya dan kemudian mengolah dalam rangka masalah yang diteliti secara ilmiah. Observasi dilakukan oleh peneliti saat proses storytelling dilaksanakan, agar dapat dijadikan acuan untuk melakukan perbaikan dalam tindakan selanjutnya. Pedoman observasi dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :

Tabel 2. Pedoman Observasi untuk Siswa

No Aspek yang diobservasi Hal yang diungkap 1 Pelaksanaan metode

storytelling a) Kesiapan siswa dalam mengikuti kegiatan storytelling b) Perilaku siswa saat pelaksanaan

metode storytelling

c) Kendala dalam mengikuti kegiatan storytelling

2 Kemampuan empati siswa a) Sikap empati siswa yang muncul pada saat kegiatan storytelling b) Sikap empati siswa setelah

melakukan tindakan 3. Wawancara

Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi (Nasution, 2012: 113). Dalam penelitian ini dilakukan wawancara dengan guru wali kelas dan siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman pada saat awal penelitian, proses metode storytelling dan akhir penelitian. Hasil wawancara awal digunakan untuk studi pendahuluan dan sebagai acuan


(68)

53

dalam melakukan proses penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengungkap keberhasilan upaya meningkatkan sikap empati melalui pelaksanaan metode storytelling pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman. Pedoman wawancara dapat dilihat pada tabel 3 dan tabel 4 berikut :

Tabel 3. Pedoman Wawancara untuk Guru Wali Kelas No Aspek yang diteliti Hal yang diungkap

1 Proses pelaksanaan

storytelling a. Kesesuaian rencana dengan proses pelaksanaan storytelling

b. Hambatan yang dialami pada saat pelaksanaan storytelling 2 Hasil pelaksanaan

storytelling a. Keberhasilan storytelling metode dalam

meningkatkan sikap empati pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman

b. Tanggapan guru wali kelas terhadap hasil pelaksanaan metode storytelling dalam meningkatkan sikap empati pada siswa kelas IV SD Negeri

3 Kemampuan berempati

siswa a. Perubahan sikap empati siswa sebelum dan setelah mengikuti kegiatan storytelling

Tabel 4. Pedoman Wawancara untuk Siswa Kelas IV No Aspek yang diteliti Hal yang diungkap

1 Proses pelaksanaan

storytelling a. Ketertarikan siswa dalam mengikuti kegiatan storytelling dari awal sampai akhir

b. Suasana dalam kelas saat pelaksanaan storytelling 2 Hasil pelaksanaan

storytelling a. Manfaat yang dirasakan siswa terhadap pelaksanaan metode storytelling

3 Kemampuan berempati


(69)

54

terhadap orang lain

b. Kemampuan empati siswa sebelum dan setelah pelaksanaan storytelling c. Manfaat diajarkan

kemampuan empati saat dilaksanakan metode storytelling

Wawancara dalam penelitian ini ditujukan kepada siswa dan guru wali kelas yang dilakukan setelah pelaksanaan tindakan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dialami selama tindakan, hasil tindakan dan kemampuan berempati siswa sebelum dan sesudah pelaksanaan tindakan.

H. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen 1. Uji Validitas Instrumen

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana akurasi suatu tes atau skala dalam menjalankan fungsi pengukurannya (Saifuddin Azwar, 2012: 8). Pengukuran dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila menghasilkan data yang secara akurat memberikan gambaran mengenai variabel yang diukur seperti dikehendaki oleh tujuan pengukuran tersebut. Akurat dalam hal ini berarti tepat dan cermat sehingga apabila tes menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran maka dikatakan sebagai pengukuran yang memiliki validitas rendah.

Penelitian ini menggunakan validitas konstrak dan validitas isi. Untuk menguji validitas konstrak, dapat digunakan pendapat dari ahli (expert judgment). Instrument yang sudah dikonstruksi terkait aspek-aspek diukur


(1)

176

DOKUMENTASI Pelaksanaan Siklus I

Tindakan I. Guru membacakan cerita yang berjudul “Kentang Ajaib”

Tindakan II. Guru membacakan cerita yang berjudul “Ibu Bermata Satu”

Tindakan III. Guru membacakan cerita yang berjudul “Rasulullah dan Pengemis Buta”


(2)

177 Pelaksanaan Siklus II

Tindakan IV. Guru membacakan cerita yang berjudul “Sepeda Motor Baru”

Tindakan V. Guru membacakan cerita yang berjudul “Ibu Pemungut Beras”


(3)

178

Gambar 5. Siswa sedang mengisi Gambar 6. Siswa sedang mengisi Post

Pre Test Test I


(4)

(5)

(6)