8 perencanaan terlebih dahulu, dan juga sebaliknya, perencanaan tidak akan menghasilkan
sesuatu tanpa ada pengawasan. Perencanaan adalah proses untuk memutuskan tindakan apa yang akan diambil pada
masa yang akan datang Widjaja, 1996. Menurut Horngren 1992, perencanaan kebutuhan bahan adalah suatu sistem perencanaan yang mulanya berfokus pada jumlah dan besar
permintaan produk jadi, yang selanjutnya menentukan besar kebutuhan untuk bahan baku, komponen dan sub perakitan saat proses produksi.
Pengawasan bahan adalah suatu fungsi terkoordinasi di dalam organisasi yang terus menerus disempurnakan untuk mengelola bahan baku dan persediaan pada umumnya, serta
melakukan pengendalian internal yang menjamin adanya dokumen sah suatu transaksi yang berhubungan dengan pengawasan bahan, meliputi pengawasan fisik dan pengawasan nilai
atau rupiah bahan Supriyono, 1999. Kegiatan pengawasan persediaan tidak terbatas pada penentuan atas tingkat dan komposisi persediaan, tetapi juga termasuk pengaturan dan
pengawasan atau pelaksanaan pengadaan bahan-bahan yang diperlukan sesuai dengan jumlah dan waktu yang ditentukan dan dengan tingkat biaya serendah-rendahnya.
Menurut Widjaja 1996, pengendalian adalah proses manajemen yang memastikan bahwa kegiatan yang dijalankan oleh anggota dan suatu organisasi sesuai dengan rencana dan
kebijakannya. Pengendalian berkisar pada kegiatan memberikan pengamatan, pemantauan, penyelidikan dan pengevaluasian ke seluruh bagian manajemen agar tujuan yang ditetapkan
dapat tercapai.
2.3.2.2 Tujuan Pengendalian Bahan Baku
Menurut Assauri 1998, tujuan pengawasan persediaan dapat diartikan sebagai usaha untuk:
1. Menjamin agar ketersediaan persediaan tetap terjaga sehingga proses produksi tidak
terhenti 2.
Menjaga agar penentuan persediaan oleh perusahaan tidak terlalu besar sehingga biaya yang berkaitan dengan persediaan dapat ditekan
3. Menjaga agar frekuensi pembelian bahan baku lebih efektif
Tujuan dasar dari pengendalian bahan adalah kemampuan untuk melakukan pemesanan pada saat yang tepat ke pemasok terbaik untuk memperoleh kualitas dan kuantitas pada harga
yang tepat Matz, 1994. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka perencanaan dan pengendalian persediaan yang tepat dibutuhkan agar kelangsungan proses produksi tetap
terjaga.
2.3.2.3 Prinsip-Prinsip Pengendalian
Menurut Matz 1994, sistem dan teknik pengendalian persediaan harus didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
1. Persediaan diciptakan dari pembelian : a bahan dan suku cadang, dan b tambahan
biaya pekerja dan overhead untuk mengelola bahan menjadi barang jadi. 2.
Persediaan berkurang melalui penjualan dan perusakan. 3.
Perkiraan yang tepat atas jadwal penjualan dan produksi merupakan hal yang penting bagi pembelian, penanganan, dan investasi bahan yang efisien.
4. Kebijakan manajemen yang berupaya menciptakan keseimbangan antara keragaman
dan kuantitas persediaan bagi operasi yang efisien dengan biaya pemilikan
9 persediaan tersebut merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan
investasi persediaan. 5.
Pemesanan bahan merupakan tanggapan terhadap perkiraan dan penyusunan rencana pengendalian produksi.
6. Pencatatan persediaan saja tidak akan mencapai pengendalian atas persediaan.
7. Pengendalian bersifat komparatif dan relatif, tidak mutlak.
2.3.2.4 Model Pengendalian Persediaan
Pada dasarnya kebijakan pengendalian persediaan meliputi dua aspek yaitu 1 pada saat kapan atau pada tingkat persediaan berapa harus dilakukan pemesanan atau pengadaan
persediaan; dan 2 berapa banyak yang harus dipesan, diadakan atau diproduksi. Konsekuensi dari kedua aspek tersebut akan menentukan tingkat persediaan pada waktu
tertentu dan rata-rata tingkat persediaan. Menurut Assauri 1998, kebijakan persediaan berkaitan dengan penentuan pemesanan dan tingkat persediaan yang optimum, berapa jumlah
yang dipesan agar pemesanan tersebut ekonomis, dan kapan pemesanan itu dilakukan. Berdasarkan sifat permintaan dan waktu tunggu, model persediaaan dapat bersifat
deterministik diketahui dengan pasti atau probabilistik dijabarkan dengan sebuah fungsi probabilitas:
1. Model Persediaan Deterministik dan Probabilistik
a. Model Persediaan Deterministik
Menurut Taha 1997, permintaan deterministik dapat bersifat statis dalam arti bahwa laju pemakaian tetap konstan sepanjang waktu dan diketahui dengan pasti;
permintaan deterministik dapat bersifat dinamis yaitu permintaan diketahui dengan pasti tetapi bervariasi dari satu periode ke periode berikutnya.
Model deterministik merupakan model yang didasarkan pada asumsi bahwa laju permintaan diketahui untuk suatu selang periode. Asumsi-asumsi yang digunakan pada
umumnya yaitu bahan yang dipesan satu macam, kebutuhan per periode diketahui, dan bahan yang dibutuhkan segera dapat tersedia Love, 1979.
b. Model Persediaan Probabilistik
Model probabilistik merupakan model yang melibatkan distribusi peluang permintaan maupun peluang waktu tunggu. Menurut Waters 1992, model probabilistik
dibedakan menjadi dua, yaitu model untuk permintaan diskrit dan model untuk permintaan kontinu. Model untuk permintaan diskrit digunakan untuk barang-barang
yang sifat permintaannya tidak kontinu; sedangkan model permintaan kontinu digunakan untuk barang-barang dengan permintaan berkesinambungan atau terus menerus. Model
untuk tingkatan seperti model permintaan kontinu adalah model service level atau model tingkat pelayanan.
2. Model Material Requirements Planning MRP
Material Requirements Planning MRP adalah suatu sistem perencanaan dan penjadwalan kebutuhan material untuk produksi yang memerlukan beberapa tahapan
prosesfase. Dengan kata lain, MRP merupakan suatu rencana produksi untuk sejumlah produk jadi yang diterjemahkan ke bahan mentah komponen yang dibutuhkan dengan
menggunakan waktu tenggang sehingga dapat ditentukan kapan dan berapa banyak yang
10 dipesan untuk masing-masing komponen suatu produk yang akan dibuat Rangkuti,
2004. Sistem MRP merencanakan ukuran lot sehingga barang-barang tersebut tersedia
pada saat dibutuhkan. Ukuran lot adalah kuantitas yang akan dipesan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan dengan kuantitas yang dapat meminimalkan biaya
persediaan sehingga perusahaan akan memperoleh keuntungan.
2.4 METODE EOQ ECONOMIC ORDER QUANTITY
2.4.1 Pengertian EOQ Economic Order Quantity
EOQ merupakan volume atau jumlah pembelian yang paling ekonomis untuk dilakukan pada setiap kali pembelian. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka dapat diperhitungkan
pemenuhan kebutuhan pembelian yang paling ekonomis yaitu sejumlah barang yang akan dapat diperoleh melalui pembelian dengan menggunakan biaya yang minimal Gitosudarmo,
2002. Menurut Yamit 1999, EOQ adalah jumlah pesanan yang dapat meminimumkan total
biaya persediaan atau dengan kata lain pembelian yang paling optimal. EOQ diperhitungkan untuk menetapkan berapa total tetap bahan yang harus dibeli dalam setiap kali pembelian untuk
menutup kebutuhan selama satu periode.
2.4.2 Kebijakan-Kebijakan EOQ Economic Order Quantity
2.4.2.1 Menentukan Jumlah Bahan Baku yang Ekonomis
Adanya pembelian bahan baku dalam jumlah yang optimal dapat menghasilkan total biaya persediaan yang paling minimal. Unsur-unsur yang mempengaruhi Economic Order
Quantity EOQ antara lain : biaya penyimpanan per unit, biaya pemesanan tiap kali pesan, kebutuhan bahan baku untuk suatu periode tertentu, dan harga pembelian Ahyari, 2003.
Menurut Supriyono 1999, terdapat beberapa anggapan dasar yang perlu diperhatikan dalam perhitungan EOQ yaitu:
1. Selama saat akan dilakukan pembelian, dana selalu tersedia
2. Pemakaian bahan relatif stabil dari waktu ke waktu selama periode tertentu
3. Bahan tersebut selalu tersedia setiap saat akan dilakukan pembelian
4. Fasilitas penyimpanan selalu tersedia berapa kali pun pembelian dilakukan
5. Bahan yang bersangkutan tidak mudah rusak dalam penyimpanan
2.4.2.2 Menentukan Persediaan Pengaman Safety Stock
Persediaan pengaman merupakan suatu persediaan yang dicadangkan sebagai pengaman dari kelangsungan proses produksi. Persediaan pengaman diperlukan karena dalam
kenyataannya jumlah bahan baku yang diperlukan untuk proses produksi tidak selalu tepat seperti yang direncanakan Ahyari, 2003.
Meskipun EOQ sudah ditentukan, masih ada kemungkinan terjadi out of stock dalam proses produksi. Menurut Gitosudarmo 2002, kemungkinan out of stock tersebut akan
timbul jika penggunaan bahan baku dalam proses produksi lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini akan menimbulkan terjadinya kekurangan persediaan karena persediaan