Pengertian Manusia Hakikat Manusia

Page 22 of 223 dunia dan akhirat, melalui metode dan media tertentu. Bebtuk-bentuk dakwah adalah tablîgh, irsyâd, tadbîr, dan tathwîr . Adapun jenis-jenis dakwah adalah dakwah nafsiyyah, fardiy yah, fi’ah qalîlah, dan hizbiyyah.

B. Hakikat Manusia

1. Pengertian Manusia

Menurut bahasa, manusia itu sendiri berasal dari kata “nasiya” yang artinya lupa. Maksudnya adalah bahwa manusia hakikatnya lupa akan perjanjian dengan Allah sewaktu di alam ruh. Dalam arti lain, hakikat manusia memang pelupa. Hadits Rasulullah SAW menjelaskan bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Al- Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insân , an-nâs , al-basyar , dan Banî dam 46 . Manusia disebut al-insân karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata an-nâs terambil dari kata an-naus , yang berarti gerak; dan ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unâs , yang berarti tampak, digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia 46 Syukriadi Sambas, Sembilanλ, hal. 41. Page 23 of 223 baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia. Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai banî dam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam a.s. sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali. Penggunaan istilah Banî dam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus sejenis kera. Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al- Qur’an Āleh Allah dengan huruf nid â’ Yâ dam. Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal anta dan bukan jamak antum sebagaimana terdapat dalam QS al-Baqarah2: 35. “Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah olehmu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim .” QS al-Baqarah2: 35 Page 24 of 223 Manusia dalam pandangan al- Qur’an bukanlah makhluk antropomorfisme yaitu makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al- Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk teomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan buruk, sehingga membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia takwa. Al- Qur’an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal-bakal manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan isterinya diturunkan dari surga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al- Qur’an justeru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik positif, hanîf. Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan Page 25 of 223 kesejatian semulia itu . Sungguh pun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema 47 dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab di dalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqîn di atas. Gambaran al- Qur’an tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada teori superego yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadikan rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia. Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang memunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital libido bitalis, sehingga penyaluran dorongan ego nafsun lawwâmahjiwa yang gamang tidak mudah menempuh jalan melalui superego nafsun muthmainnahjiwa yang tenang. Karena superego nafsun muthmainnah berfungsi sebagai badan sensor 47 Situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan Page 26 of 223 atau pengendali ego manusia. Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala instink, intuisi, dan intelegensi ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.

2. Tugas Manusia